Dengan tangan yang gemetar, Ageng menyalakan mesin mobilnya dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Jalanan terasa seperti labirin yang tak berujung, tetapi dia memaksa dirinya tetap fokus.Pikiran Ageng dipenuhi bayangan Queen yang pingsan, sendirian di rumah sakit. Apakah ini akibat dari penyakitnya? Apakah dia terlalu lelah atau stres? Perasaan bersalah mulai merayap masuk, menyadari bahwa dia tidak ada di sana untuk mendukungnya.Setiap lampu merah terasa seperti penghalang yang kejam. Setiap detik berlalu terlalu lambat. Ageng berusaha keras menahan emosinya, tetapi cemas dan khawatir semakin mengguncang hatinya.Akhirnya, rumah sakit terlihat di kejauhan. Ageng mempercepat laju mobilnya, mencari tempat parkir terdekat. Setelah menemukan tempat parkir, dia berlari masuk ke dalam gedung, melewati lorong-lorong yang terasa begitu panjang.“Pa! Ma!” Ageng segera menghampiri Arya Suta dan Laras berdiri di luar ruang gawat darurat.Wajah mereka terlihat serius dan penuh kekha
Kehamilan Queen adalah kabar yang sangat dinantikan oleh Ageng. Tetapi saat kabar baik itu menggetarkan gendang telinganya, sulit bagi Ageng untuk mempercayai hal tersebut."Istri saya hamil?" tanyanya dengan mata membelalak.Dokter mengangguk. "Ya, hamil. Ini mungkin yang menjadi salah satu penyebab kelelahan dan stresnya Ibu Queen. Masa-masa awal kehamilan bisa sangat berat bagi beberapa wanita, terutama jika mereka sudah mengalami kelelahan dan stres sebelumnya.""Tapi Dok! Bagaimana mungkin istri saya bisa hamil?" Ageng bertanya lagi, kebingungan tampak jelas di wajahnya.Dokter yang memeriksa Queen pun terpengaruh dengan pertanyaan yang baru saja Ageng lontarkan. Biasanya seorang suami akan sangat bahagia saat mendengar jika istrinya sedang hamil. Hingga hal tersebut membuat sang dokter mengangkat kedua alisnya."Selama ini istri saya menggunakan IUD, jadi bagaimana mungkin dia bisa hamil?" lanjut Ageng, suaranya mengandung nada putus asa."IUD?" tanya balik sang dokter, lalu dia
Ageng memutuskan untuk memberikan perawatan intensif kepada Queen, meskipun dokter mengatakan keadaan Queen dan janin dalam kandungannya baik-baik saja. Dia tidak ingin mengambil risiko yang bisa membahayakan keselamatan mereka.Di ruang perawatan, Ageng menghela nafas dalam-dalam seolah mengumpulkan seluruh kekuatannya. Dia tahu harus menunjukkan kebahagiaan di hadapan Queen, harus memberikan dukungan yang dibutuhkannya. Ketika dia melihat Queen duduk di atas brankar sambil memainkan ponselnya, Ageng melempar senyum paling manis yang bisa dia berikan.Melihat kedatangan Ageng, Queen bergegas meletakkan ponsel di nakas. Senyum balasan segera muncul di wajahnya, menyambut Ageng dengan hangat."Bagaimana keadaanmu?" Ageng bertanya sambil melabuhkan kecupan hangat di kening Queen.Sejenak Queen memejamkan mata mata menikmati kebersamaan yang penuh kehangatan dan kebahagiaan."Kau bahagia?" Queen bertanya balik, menarik tangan Ageng agar duduk di dekatnya."Tentu," jawab Ageng singkat sam
“Bangun-bangun!”Suara melengking dan cempreng berhasil membangunkan Ageng dan Queen yang masih terlelap di atas brankar. Queen menggeliat berlahan sambil mengusap matanya agar bisa segera terbuka dengn sempurna dan bisa melihat sosok yang telah mengganggu kenyamanan tidurnya. Sementara itu Ageng, tampak biasa saja karena sudah mengenali suara tersebut.Arum melangkah memasuki ruangan, wajahnya tegas seperti komandan yang memanggil pasukan untuk bangun dan bergerak. "Ini di rumah sakit, bukan di apartemen kalian. Ayo cepat bangun!" katanya dengan nada yang tidak memberi ruang untuk protes.Suara tegas Arum semakin membuat Ageng merasa tidak nyaman. Ageng akhirnya menyerah pada kenyataan dan membuka matanya sepenuhnya. Meskipun kantuk masih terasa, dia tahu tidak ada gunanya melawan suara tegas Arum. Di sampingnya, Queen menggeliat dan mengusap matanya, mencoba fokus pada sosok di depannya."Ardan, hati-hati!" suara Danu terdengar dari belakang Arum, mencoba mencegah anaknya yang berla
Hari yang sangat melelahkan bagi Ageng, setelah mengurus kepulangan Queen dari rumah sakit, mengikuti rapat penting di kantornya, dan sekarang dia harus mendatangi undangan sahabat-sahabatnya.Bukan bermaksud untuk mengabaikan Queen yang sendirian di apartemen, tetapi saat ini Ageng membutuhkan suasana untuk sejenak melupakan berbagai masalah yang sedang mendera. Berharap berkumpul dengan sahabat-sahabatnya bisa membantunya untuk meringankan beban pikiran yang ada.“Jalannya gagah banget calon ayah satu ini,” goda Derrian yang sudah mendengar kabar kehamilan Queen.“Akhirnya kerja keras kamu membuahkan hasil juga,” sahut Cyrus yang terlihat sangat bahagia mendengar kabar kehamilan Queen.Sejauh ini Cyrus yang paling tahu bagaimana Ageng dan Queen berjuang untuk mempertahankan pernikahan. Sebagai seorang sahabat, Cyrus berharap dengan kehadiran anak di antara mereka bisa semakin menambah keharmonisan rumah tangga Ageng dan Queen.“Ya, kadang sampai biru-biru semua lehernya,” celetuk Br
Terbiasa hidup mandiri sejak muda, ditambah tanggung jawab besar yang diberikan Ageng kepadanya, membuat Queen tidak bisa menghabiskan waktu luang hanya dengan bersantai-santai saja.Setelah Ageng pergi, Queen segera menghubungi beberapa orang kepercayaan yang bekerja di perusahaannya. Sebuah masalah yang timbul dalam operasional perusahaan membuatnya terpaksa mengadakan rapat dadakan secara online.Queen duduk di depan laptopnya, menatap layar dengan fokus yang tajam. Ia mengklik ikon untuk memulai rapat. Satu per satu, wajah para manajer muncul di layar.“Apa yang dilakukan Pak Rey?” tanya Queen, suaranya terdengar tenang namun tegas. Mira, manajer keuangan, terlihat gelisah. “Pak Rey memaksa saya untuk menandatangani pengeluaran sejumlah uang ke rekening pribadi miliknya, Bu,” jawab Mira dengan ragu. “Katanya sudah mendapat ACC dari Bu Queen langsung.”“Sudah ditandatangani?” tanya Queen sambil mengernyitkan dahi.“Belum, Bu. Kami menunggu perintah langsung dari Bu Queen,” jawab M
“Apa yang terjadi pada Queen?” tanya Rania dengan air mata yang bercucuran. Tubuh ringkih itu sudah bersiap untuk turun dari brankarnya, tetapi Surya Wijaya dan Mike segera mencegahnya. Rania, yang baru saja selesai menjalani kemoterapi, tampak begitu rapuh. Kemo telah menguras energinya, membuat kulitnya pucat dan tubuhnya lemah. Namun, kecemasan tentang putrinya, Queen, membuatnya ingin bangkit dari tempat tidur. “Katakan kepadaku apa yang terjadi pada Queen!” pinta Rania dengan suara yang dibarengi tangis, terdengar sungguh menyayat hati. “Kamu tenang dulu, nanti kami akan menjelaskan semuanya kepadamu.” Dengan penuh kelembutan, Surya Wijaya berusaha untuk menenangkan istrinya. Satu hal yang paling ditakutkan oleh Surya Wijaya dari peristiwa ini adalah kesehatan Rania yang bisa saja tiba-tiba menurun saat mendengar Queen pingsang dan sempat mendapat perawatan di rumah sakit. “Queen baik-baik saja, Ma!” Mike pun berusaha membantu sang papa untuk menenangkan ibu sambungnya. “Di
Pesan dari Surya Wijaya benar-benar membuat ketenangan hidup Ageng menjadi terganggu. Setiap kali ia mencoba untuk memahami maksud dari kata-kata itu, hatinya terasa semakin berat. Pikirannya terus berputar, hingga menciptakan skenario-skenario yang terasa sangat buruk baginya.Ageng sadar salah satunya cara untuk mengetahui kebenaran adalah dengan bertanya langsung pada Queen. Tetapi, keberanian itu tidak ada. Ageng merasa dirinya pengecut. Ia tidak mampu menghadapi kemungkinan bahwa Queen mungkin menyembunyikan sesuatu darinya. Maka, ia memilih jalan yang lain, mengikuti Queen secara diam-diam dan menemukan kebenaran dengan caranya sendiri.Saat memimpin rapat, Ageng sulit berkonsentrasi. Ia duduk di ujung meja, mendengarkan penjelasan dari bawahannya, namun pikirannya melayang pada pesan yang diterimanya. Dalam sekejap, ia melihat ponselnya di bawah meja, berharap ada pesan yang memberinya kepastian bahwa Queen masih berada dalam pengawasannya. Setiap kali layar ponsel menyala, hat