Eddy duduk di kursi roda, sinar matahari pagi menyinari wajahnya yang terlihat lebih tua dan penuh lelah. Semilir angin membawa aroma bunga dari taman di sekitar mereka. Di sampingnya, Queen duduk dengan tatapan penuh kekhawatiran.“Papa kehabisan modal lagi,” ucap Eddy dengan kepala yang tertunduk begitu dalam karena mau. Kata demi kata yang lirih terdengar hampir tertelan oleh suara burung yang berkicau dan gemericik air terjun buatan.Queen menatap ayahnya dengan prihatin. “Aku ingat, Kak Rey pernah mengajukan pinjaman ke aku.”Queen mengingat beberapa peristiwa yang telah berlalu. Mencoba merangkai benang merah kejadian demi kejadian.Eddy menggelengkan kepala, matanya nanar mengingat Rey. “Anak itu… yang ada dipikirannya hanya uang saja.”Eddy menghela napas panjang, terlihat jelas rasa putus asa di wajahnya. Rey, putra sulung yang dia harapkan mampu melanjutkan dan membesarkan perusahaan yang dia rintis sejak muda, justru menjadi orang yang perlahan-lahan menghancurkan impiannya
Ageng tertegun. Dia tidak menyangka Queen akan bertanya hal itu kepadanya. "Queen, itu bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin membantu keluargamu. Perusahaan itu hampir bangkrut, dan ….""Tidak, Ageng," potong Queen. "Papa bilang kamu mengancamnya. Dia dipaksa menyerahkan perusahaan itu. Apa benar begitu?"Ageng menelan ludah, wajahnya berubah serius. Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Queen layaknya tusukan dari belakang yang dilakukan oleh Eddy. Setelah semua bantuan yang dia berikan, lelaki yang tidak lain adalah mertuanya sendiri justru memfitnahnya dengan begitu keji.“Untung cinta pada anaknya, kalau tidak … sudah aku tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan,” gumam Ageng dalam hati, menahan amarah kepada Eddy. “Sudah dalam keadaan sakit, masih belum sadar juga kesalahannya,” sambungnya sambil menggelengkan kepala.Di tatapnya wajah tegas Queen yang bercampur dengan semburat amarah, justru tampak sangat menggemaskan bagi Ageng. Tetapi bukan berarti
Queen mengangkat wajahnya, terkejut. “Apa? Bagaimana bisa?”Queen tidak percaya begitu saja dengan kata demi kata yang baru saja terlontar dari mulut Ageng. Karena dia merasa tidak pernah menorehkan tanda tangan apa pun yang berhubungan dengan perusahaan papanya. Lalu bagaimana mungkin dirinya adalah pemilik baru perusahaan milik papanya.“Untuk lebih meyakinkanmu tentu aku tidak bisa hanya memberi penjelasan dengan kata-kata, mungkin aku harus mengajak Cyrus agar kamu lebih percaya.”“Cyrus?” Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja Cyrus, dia bukan hanya sahabat tetapi juga pengacara bagi Wardana Group dan keluarga Wardana.“Ya, dia yang mengurus semua permasalahan hukum perusahaanmu.” Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi di hadapan Queen, Ageng pun menyebutnya dengan ‘perusahaanmu’.Queen masih tetap tidak percaya dengan ucapan Ageng, ditatapnya dengan saksama wajah tampan di hadapannya, mencoba untuk mencari kebohongan di sana. Bingung, wajah tenang itu justru membuatnya semakin terta
“Aku hanya melakukan tugasku, papa sedang sakit dan tidak bisa memimpin perusahaan. Jadi ….”“Apa? Kau akan menggantikan papa?” sergah Rey sambil melangkah mendekati Queen dengan wajah yang merah padam. "Kau tidak berhak. Aku yang lebih pantas memimpin perusahaan ini. Kau hanya muncul ketika semuanya hampir selesai."Queen mengalihkan pandanga ke arah Cyrus, dia merasa enggan untuk berdebat dengan sang kakak yang sedang dikuasai oleh amarah. Pembicaraan mereka pasti tidak akan ada titik temunya. Queen hanya tidak ingin jika akhirnya dia mengeluarkan kata-kata yang akan disesali di kemudian hari.Mungkin seandainya yang dihadapi saat ini adalah orang lain, tentu Queen akan bisa berbicara dengan lebih lepas. Tetapi saat ini yang dia hadapi adalah kakaknya sendiri, sosokyang seharusnya berbagi kasih sayang dalam segala keadaan.Cyrus melangkah maju, mengambil alih situasi. "Maaf Pak Rey, sekali lagi saya tegaskan jika kedatangan Bu Queen ke sini adalah sebagai pemilik perusahaan, dan mu
Laras duduk di bangku taman, matanya terpaku pada bunga-bunga yang bermekaran. Pikirannya melanglang buana, terperangkap antara rasa sesal dan kecewa yang mendalam. Sejak tadi Selo Ardi masih setia berada di hadapannya, menyampaikan hasil penyelidikannya dengan suara tenang."Sampai sebanyak ini dia memberikan uang untuk Rahma?" Laras menggelengkan kepala tidak percaya dengan laporan yang dibacanya."Dan sepertinya tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan," Selo menambahkan, matanya menatap langsung pada Laras, seakan mencari reaksi."Menurutmu mengapa dia sampai melakukan hal selicik ini?" tanya Laras, suaranya mengandung keputusasaan yang ia coba sembunyikan."Jika tujuannya untuk menghancurkan Wardana Group, saya rasa apa yang dia lakukan sangat bertele-tele dan tidak efektif," jawab Selo dengan nada datar.Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. "Jadi, menurutmu dia melakukan ini memang untuk merusak rumah tangga Arum?""Mengingat masa lal
Ageng berdiri di ambang pintu rumah Eddy, wajahnya tak tergoyahkan oleh senyuman atau ramah tamah. Tidak ada rasa keakraban antara dirinya dan keluarga ini, meskipun ia adalah saudara ipar. Pandangannya tajam dan nadanya tegas saat ia berkata, "Aku ingin bertemu dengan papamu."Rani, yang menyambutnya, merasakan gugup menyelinap di balik senyum yang dipaksakannya. Jarang sekali mereka bertemu, dan pesona yang dipancarkan oleh Ageng membuat hatinya bergetar. Ia tak bisa mengabaikan ketampanan dan wibawa pria itu meski sikap dinginnya menakutkan."Waktuku tidak banyak, aku ingin bertemu dengan papamu," ucap Ageng sekali lagi, lebih dingin dan tegas. Rani teringat akan tindakan kekerasan Ageng terhadap Queen yang pernah membuat keluarganya bersedih. Ayahnya jatuh sakit karena kejadian itu, namun Rani tak bisa memalingkan pandangan dari wajah tampan Ageng. Kengerian bercampur dengan rasa kagum yang tak bisa ia tolak."Papa sedang di ruang kerja bersama Kak Rey," kata Rani setelah mampu m
Dengan langkah yang Anggun Arum memasuki sebuah kafe. Istri Danu itu terlihat dengan bangga menunjukkan perutnya yang sudah mulai menyembul.“Selamat siang!” ucap Arum saat menghampiri seorang wanita muda dengan wajah yang sendu. “Sudah lama menunggu?” tanya Arum sambil mendaratkan bobot tubuhnya dengan posisi saling berhadapan.“Mbak Arum hamil?” tanya Rahma, matanya terpaku pada perut Arum. Palung hati terdalam merasakan iri yang sangat dengan segala kelebihan dan keberuntungan yang didapat oleh Arum.Arum yang terlahir dari keluarga kaya, menikah dengan seorang pria yang baik dan setia. Rahma merasakan bagaimana sulitnya merayu dan mendapatkan perhatian dari Danu. Sampai-sampai harus menggunakan Jelita, anaknya yang sepantaran dengan Ardan untuk bisa mendapatkan perhatian dari Danu. Hanya rasa kemanusiaan yang membuat Danu sampai menyempatkan diri untuk bersama dengannya dan juga Jelita.Sementara itu Arum tersenyum menyeringai mendengar pertanyaan retoris yang dilontarkan oleh Rah
Danu berjalan tergesa-gesa menuju ruang kerja Arum, sangat kentara kekhawatiran di wajahnya. Di dalam ruang kerja itu, ia melihat istrinya duduk dengan tenang, memeriksa laporan-laporan yang harus segera ditandatangani. Tanpa mempedulikan sekretaris yang sedang berdiri di hadapan Arum, Danu langsung menghampiri istrinya."Arum, kau tidak apa-apa?" tanyanya cemas.Arum hanya mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sekretarisnya agar meninggalkan ruangan. Sambil menganggukkan kepala dan tanpa banyak bicara sekretaris itu segera keluar, meninggalkan Arum dan Danu, berdua dalam keheningan."Aku tidak apa-apa, Mas," jawab Arum datar, seolah tak ada yang terjadi."Kau menemui Rahma?"Arum mendengus kasar. Pertanyaan itu membuatnya jengah. Sejak kepulangan mereka dari London, Danu memang tidak pernah menemui Rahma lagi, tetapi suaminya itu tidak menunjukkan sikap yang tegas terhadap janda beranak satu itu. Sehingga tampak ada kesan jika Danu masih memberi harapan."Aku hanya ingin masalahm
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l