“Aku hanya melakukan tugasku, papa sedang sakit dan tidak bisa memimpin perusahaan. Jadi ….”“Apa? Kau akan menggantikan papa?” sergah Rey sambil melangkah mendekati Queen dengan wajah yang merah padam. "Kau tidak berhak. Aku yang lebih pantas memimpin perusahaan ini. Kau hanya muncul ketika semuanya hampir selesai."Queen mengalihkan pandanga ke arah Cyrus, dia merasa enggan untuk berdebat dengan sang kakak yang sedang dikuasai oleh amarah. Pembicaraan mereka pasti tidak akan ada titik temunya. Queen hanya tidak ingin jika akhirnya dia mengeluarkan kata-kata yang akan disesali di kemudian hari.Mungkin seandainya yang dihadapi saat ini adalah orang lain, tentu Queen akan bisa berbicara dengan lebih lepas. Tetapi saat ini yang dia hadapi adalah kakaknya sendiri, sosokyang seharusnya berbagi kasih sayang dalam segala keadaan.Cyrus melangkah maju, mengambil alih situasi. "Maaf Pak Rey, sekali lagi saya tegaskan jika kedatangan Bu Queen ke sini adalah sebagai pemilik perusahaan, dan mu
Laras duduk di bangku taman, matanya terpaku pada bunga-bunga yang bermekaran. Pikirannya melanglang buana, terperangkap antara rasa sesal dan kecewa yang mendalam. Sejak tadi Selo Ardi masih setia berada di hadapannya, menyampaikan hasil penyelidikannya dengan suara tenang."Sampai sebanyak ini dia memberikan uang untuk Rahma?" Laras menggelengkan kepala tidak percaya dengan laporan yang dibacanya."Dan sepertinya tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan," Selo menambahkan, matanya menatap langsung pada Laras, seakan mencari reaksi."Menurutmu mengapa dia sampai melakukan hal selicik ini?" tanya Laras, suaranya mengandung keputusasaan yang ia coba sembunyikan."Jika tujuannya untuk menghancurkan Wardana Group, saya rasa apa yang dia lakukan sangat bertele-tele dan tidak efektif," jawab Selo dengan nada datar.Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. "Jadi, menurutmu dia melakukan ini memang untuk merusak rumah tangga Arum?""Mengingat masa lal
Ageng berdiri di ambang pintu rumah Eddy, wajahnya tak tergoyahkan oleh senyuman atau ramah tamah. Tidak ada rasa keakraban antara dirinya dan keluarga ini, meskipun ia adalah saudara ipar. Pandangannya tajam dan nadanya tegas saat ia berkata, "Aku ingin bertemu dengan papamu."Rani, yang menyambutnya, merasakan gugup menyelinap di balik senyum yang dipaksakannya. Jarang sekali mereka bertemu, dan pesona yang dipancarkan oleh Ageng membuat hatinya bergetar. Ia tak bisa mengabaikan ketampanan dan wibawa pria itu meski sikap dinginnya menakutkan."Waktuku tidak banyak, aku ingin bertemu dengan papamu," ucap Ageng sekali lagi, lebih dingin dan tegas. Rani teringat akan tindakan kekerasan Ageng terhadap Queen yang pernah membuat keluarganya bersedih. Ayahnya jatuh sakit karena kejadian itu, namun Rani tak bisa memalingkan pandangan dari wajah tampan Ageng. Kengerian bercampur dengan rasa kagum yang tak bisa ia tolak."Papa sedang di ruang kerja bersama Kak Rey," kata Rani setelah mampu m
Dengan langkah yang Anggun Arum memasuki sebuah kafe. Istri Danu itu terlihat dengan bangga menunjukkan perutnya yang sudah mulai menyembul.“Selamat siang!” ucap Arum saat menghampiri seorang wanita muda dengan wajah yang sendu. “Sudah lama menunggu?” tanya Arum sambil mendaratkan bobot tubuhnya dengan posisi saling berhadapan.“Mbak Arum hamil?” tanya Rahma, matanya terpaku pada perut Arum. Palung hati terdalam merasakan iri yang sangat dengan segala kelebihan dan keberuntungan yang didapat oleh Arum.Arum yang terlahir dari keluarga kaya, menikah dengan seorang pria yang baik dan setia. Rahma merasakan bagaimana sulitnya merayu dan mendapatkan perhatian dari Danu. Sampai-sampai harus menggunakan Jelita, anaknya yang sepantaran dengan Ardan untuk bisa mendapatkan perhatian dari Danu. Hanya rasa kemanusiaan yang membuat Danu sampai menyempatkan diri untuk bersama dengannya dan juga Jelita.Sementara itu Arum tersenyum menyeringai mendengar pertanyaan retoris yang dilontarkan oleh Rah
Danu berjalan tergesa-gesa menuju ruang kerja Arum, sangat kentara kekhawatiran di wajahnya. Di dalam ruang kerja itu, ia melihat istrinya duduk dengan tenang, memeriksa laporan-laporan yang harus segera ditandatangani. Tanpa mempedulikan sekretaris yang sedang berdiri di hadapan Arum, Danu langsung menghampiri istrinya."Arum, kau tidak apa-apa?" tanyanya cemas.Arum hanya mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sekretarisnya agar meninggalkan ruangan. Sambil menganggukkan kepala dan tanpa banyak bicara sekretaris itu segera keluar, meninggalkan Arum dan Danu, berdua dalam keheningan."Aku tidak apa-apa, Mas," jawab Arum datar, seolah tak ada yang terjadi."Kau menemui Rahma?"Arum mendengus kasar. Pertanyaan itu membuatnya jengah. Sejak kepulangan mereka dari London, Danu memang tidak pernah menemui Rahma lagi, tetapi suaminya itu tidak menunjukkan sikap yang tegas terhadap janda beranak satu itu. Sehingga tampak ada kesan jika Danu masih memberi harapan."Aku hanya ingin masalahm
Ageng melangkah keluar dari gedung Wardana Group, berusaha menyingkirkan rasa kesal kepada sang kakak. Angin sore yang sejuk menyapu wajahnya, memberikan sedikit ketenangan di tengah rasa kesal atas kejahilan yang dilakukan oleh Arum. Ia menuju mobilnya, menghidupkan mesin, dan berkendara menuju pusat kota. Di balik pandangannya yang dingin, ada satu tujuan yang membuatnya bersemangat: bertemu Queen.Sementara itu, Queen sedang disibukkan dengan urusan pada hari pertamanya memimpin perusahaan. Tentu ini bukanlah hal yang mudah bagi Queen yang sama sekali buta masalah bisnis. Dia tidak memiliki dasar ilmu atau pengalaman tentang memimpin perusahaan. Queen berusaha mendengar semua arahan dari orang-orang kepercayaan Ageng yang ditempatkan di perusahaan miliknya.“Hai sayang!”Queen mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Melihat Ageng berdiri di depan pintu membuat Queen merasa seperti menemukan oase yang menyegarkan pikiran. Dengan wajah lelah Queen menghampiri Ageng."Bagaimana ha
Malam panjang itu akhirnya berganti juga, rasanya pagi begitu cepat datang menyapa bagi Ageng yang masih ingin menikmati kebersamaannya dengan Queen. Matahari mulai memancarkan cahayanya ke apartemen Ageng dan Queen. Di kamar tidur yang nyaman, alarm berbunyi pelan, membangunkan Ageng.Enggan rasanya untuk segera meninggalkan tempat tidur, Ageng terdiam menikmati wajah polos Queen yang terlihat begitu cantik. Mengingat rapat yang sudah terjadwal pagi ini membuat Ageng terpaksa bangkit dari tidurnya. Perlahan dia bergerak tidak ingin mengganggu Queen yang masih terlelap tidur karena kelelahan setelah melayaninya tadi malam.Setelah beberapa saat menikmati ketenangan pagi, Ageng bangun dan menuju ke dapur. Tidak ada salahnya jika pagi ini Ageng menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Saat akan mengambil kopi di rak, Ageng menemukan satu toples susu bubuh yang sudah tanpa kemasan aslinya. Ada rasa ragu untuk membuat susu itu, tetapi yang Ageng lihat akhir-akhir ini Queen dia melihat Quee
“Kau yakin Queen mampu menjalankan perusahaan itu?” kedekatan yang terjalin sejak muda membuat Cyrua tanpa basa-basi dan rasa enggan sedikit pun membicarakan masalah yang serius dan sensitive. Bukan bermaksud untuk merendahkan Queen, tetapi Cyrus yang mendampingi hari pertama Queen di perusahaan merasa jika istri sahabatnya itu belum waktunya untuk mengemban tugas berat. Apalagi performa perusahaan miliknya saat ini sedang dalam keadaan yang tidak baik. Bagi Cyrus yang menganggap pentingnya sebuah proses, menganggap jika Queen masih membutuhkan waktu untuk belajar lebih untuk bisa menjalankan tugas memimpin perusahaannya sekarang. Ageng mengangkat pandangannya, mata mereka bertemu. “Yakin,” jawab Ageng dengan pasti, tanpa keraguan sedikitpun. “Tentu aku tidak akan melepas Queen sendiri dalam menjalankan perusahaan papanya yang sekarat. Aku sudah menempatkan orang-orang terbaik untuk mendampingi dan membimbing Queen melalui semua ini.” Ageng menyandarkan punggungnya di kursi keb