Malam panjang itu akhirnya berganti juga, rasanya pagi begitu cepat datang menyapa bagi Ageng yang masih ingin menikmati kebersamaannya dengan Queen. Matahari mulai memancarkan cahayanya ke apartemen Ageng dan Queen. Di kamar tidur yang nyaman, alarm berbunyi pelan, membangunkan Ageng.Enggan rasanya untuk segera meninggalkan tempat tidur, Ageng terdiam menikmati wajah polos Queen yang terlihat begitu cantik. Mengingat rapat yang sudah terjadwal pagi ini membuat Ageng terpaksa bangkit dari tidurnya. Perlahan dia bergerak tidak ingin mengganggu Queen yang masih terlelap tidur karena kelelahan setelah melayaninya tadi malam.Setelah beberapa saat menikmati ketenangan pagi, Ageng bangun dan menuju ke dapur. Tidak ada salahnya jika pagi ini Ageng menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Saat akan mengambil kopi di rak, Ageng menemukan satu toples susu bubuh yang sudah tanpa kemasan aslinya. Ada rasa ragu untuk membuat susu itu, tetapi yang Ageng lihat akhir-akhir ini Queen dia melihat Quee
“Kau yakin Queen mampu menjalankan perusahaan itu?” kedekatan yang terjalin sejak muda membuat Cyrua tanpa basa-basi dan rasa enggan sedikit pun membicarakan masalah yang serius dan sensitive. Bukan bermaksud untuk merendahkan Queen, tetapi Cyrus yang mendampingi hari pertama Queen di perusahaan merasa jika istri sahabatnya itu belum waktunya untuk mengemban tugas berat. Apalagi performa perusahaan miliknya saat ini sedang dalam keadaan yang tidak baik. Bagi Cyrus yang menganggap pentingnya sebuah proses, menganggap jika Queen masih membutuhkan waktu untuk belajar lebih untuk bisa menjalankan tugas memimpin perusahaannya sekarang. Ageng mengangkat pandangannya, mata mereka bertemu. “Yakin,” jawab Ageng dengan pasti, tanpa keraguan sedikitpun. “Tentu aku tidak akan melepas Queen sendiri dalam menjalankan perusahaan papanya yang sekarat. Aku sudah menempatkan orang-orang terbaik untuk mendampingi dan membimbing Queen melalui semua ini.” Ageng menyandarkan punggungnya di kursi keb
Rey duduk di kursi kayu yang keras, menatap Zachary dengan sorot mata yang tajam. Tidak ada keakraban atau juga kebencian, hanya saja terasa adanya jurang tak kasat mata yang memisahkan."Sebagai saudara, ya … meskipun hanya saudara sambung saya siap untuk membantumu.”Zachary mencoba untuk meyakinkan Rey agar bersedia untuk bekerja sama dengannya. Dendamnya kepada Surya Wijaya sepertinya mulai menjalar tanpa arah. Tanpa alasan yang jelas dia ingin menghancurkan semua orang. Sebuah meja kayu yang sederhana tetapi tetap terlihat elegan memisahkan Rey dan Zachary. Di tengahnya, sebuah vas kecil berisi bunga liar yang segar mempercantik tampilan meja. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar memberikan kesan alami yang menghangatkan. Rey menghela napas panjang, berusaha untuk tetap terlihat tenang, meskipun hatinya sudah dipenuhi amarah.Pelayan datang dengan senyum ramah, membawakan menu. Rey memesan kopi hitam tanpa gula, sementara Zachary lebih memilih teh hijau. Saat pelayan
Zachary menyandarkan tubuh sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, mata liciknya menyapu wajah Rey. "Sebelum menikahi Queen, Ageng memiliki seorang kekasih, dan sampai saat ini hubungan itu masih terjalin. Bahkan beberapa waktu yang lalu Ageng mendatangi kekasihnya itu di London.”Rey mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi tersebut. "Bagaimana kau tahu semua ini?""Saya mendapatkannya dari sumber yang bisa dipercaya. Ada banyak foto yang bisa dijadikan sebagai bukti berada di tangan saya, dan ini bisa digunakan untuk menghancurkan Ageng." Zachary menjelaskan sambil menunjukkan kilatan kemenangan di matanya. “Kita hanya perlu membayar orang untuk memviralkan foto-foto ini, dan kita lihat apa yang akan terjadi.”Rey menganggukkan kepala sambil tersenyum menyeringai. Bersekutu dengan Zachary membuat semua terasa mudah bagi Rey. Dia tidak perlu turun tangan langsung untuk mencapai tujuannya, bahkan dalam bayangannya dia bisa cuci tangan saat semua tidak berjalan sesuai ren
Awalnya Queen hanya ingin menjalankan perusahaan seperti apa yang diinginkan oleh Ageng. Memperbaiki kinerjanya hingga bisa kembali menjalankan roda bisnis dengan baik. Tetapi tampaknya ada yang mengusik pikirannya, dia ingin tahu alasan sang papa dan juga kakaknya yang terkesan begitu barbar mengeruk uang perusahaan.Padahal itu adalah perusahaan mereka sendiri, tempat mereka mengais rejeki untuk menghidupi keluarga. Sungguh tidak masuk akal, mereka seakan begitu kompak menghancurkannya.Setelah semua urusan di perusahaan, Queen menyempatkan diri untuk mendatangi Eddy. Selain untuk melihat keadaan kesehatan sang papa, Queen juga ingin menanyakan alasan dari perbuatan yang merugikan dirinya sendiri.“Kak Queen, sendiri?” Rani menyambut kedatangan Queen, gadis yang sebentar lagi akan memasuki perkuliahan mengerakkan kepalanya ke kiri dan kanan seolah sedang mencari sesuatu. “Mas Ageng nggak ikut?” tanya Rani menyembunyikan rasa kecewa.“Di mana papa?” tanya balik Queen mengabaikan pert
Queen berdiri di tepi ranjang Eddy, wajahnya tirus dan matanya sayu. "Maaf," ucapnya dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar. Dia benar-benar merasa bersalah melihat keadaan sang papa yang lemah terbaring di sana.Pembicaraan sebelumnya membuat Eddy benar-benar hancur. Ingin rasanya mengabaikan semua pertanyaan Queen, tetapi saat mengetahui kerusakan yang dia buat pada perusahaannya membuat Eddy merasa tidak berguna. Dia yang seharusnya mampu mewariskan perusahaan yang mampu menjadi sumber penghasilan bagi anak-anaknya ternyata harus hancur di generasi pertama. Sungguh seorang ayah yang tidak berguna.Sementara itu, Miranti yang sedang duduk di sisi ranjang, mengatur selimut dengan hati-hati menutupi tubuh tidak berdaya Eddy."Seharusnya kami yang minta maaf," katanya pelan. Dia mencoba menyembunyikan kesedihannya, tapi air mata tetap mengalir pelan di pipinya. Dia menunduk, menghindari tatapan Queen.Rasa bersalah dan penyesalan memenuhi hati Miranti. Dahulu, demi kepentingan
Bersama waktu, Queen mulai terbiasa dengan segala rutinitas mengurus perusahaan. Dia tahu, Ageng sudah mengorbankan banyak asetnya untuk membuat perusahaan yang dahulu milik papanya untuk tetap bisa beroperasi dan tidak mengamali kebangkrutan. Queen akan menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Ageng dengan berusaha melakukan yang terbaik yang dia bisa, dia tidak akan mengecewakan Ageng.Pagi itu, tubuh Queen terasa lebih lelah dari biasanya. Demam yang sejak semalam mulai mengganggu, kini semakin terasa. Meski berat, Queen tetap berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya. Tidak ingin bersikap manja di hadapan Ageng."Kau demam, sebaiknya istirahat dulu," ucap Ageng, suaranya penuh perhatian.Queen tersenyum tipis. "Hari ini ada meeting dengan klien baru, aku harus bersikap profesional. Ini kesempatan yang bagus untuk perusahaan kita."Ageng menggeleng pelan, matanya menyiratkan kekhawatiran. "Kesehatanmu lebih penting."Queen menghela napas panjang. "Semua penting, Geng. Makanya kita
Queen sudah mengambil keputusan untuk memperbaiki rumah tangganya dengan Ageng. Itu artinya dia tidak hanya menerima Ageng sebagai pendamping hidupnya, tetapi juga menerima semua anggota keluarganya, termasuk Laras yang selama ini menunjukkan sikap tidak suka terhadap dirinya.Queen sadar, dia memiliki andil atas kerenggangan hubungannya dengan sang ibu mertua. Meskipun memiliki alasan yang kuat, tetapi Queen tidak bisa mengungkapkan semua itu di hadapan Laras. Queen akan berusaha meluluhkan hati Laras dengan perlahan dan penuh kesabaran. Meski harus meredam semua rasa tidak nyaman yang sering timbul saat mereka berdekatan.Selama ini Ageng melarang Queen menemui Laras sendiri karena tidak ingin dua perempuan yang dia sayangi sampai terlibat masalah yang akan mempengaruhi hubungan dalam keluarga. Tetapi tampaknya kali ini Queen tidak mengindahkan peringatan suaminya tersebut, dia memberanikan diri untuk menemui ibu mertuanya sendiri di rumah keluarga Wardana.Undangan dari Laras tidak
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l