Queen sudah mengambil keputusan untuk memperbaiki rumah tangganya dengan Ageng. Itu artinya dia tidak hanya menerima Ageng sebagai pendamping hidupnya, tetapi juga menerima semua anggota keluarganya, termasuk Laras yang selama ini menunjukkan sikap tidak suka terhadap dirinya.Queen sadar, dia memiliki andil atas kerenggangan hubungannya dengan sang ibu mertua. Meskipun memiliki alasan yang kuat, tetapi Queen tidak bisa mengungkapkan semua itu di hadapan Laras. Queen akan berusaha meluluhkan hati Laras dengan perlahan dan penuh kesabaran. Meski harus meredam semua rasa tidak nyaman yang sering timbul saat mereka berdekatan.Selama ini Ageng melarang Queen menemui Laras sendiri karena tidak ingin dua perempuan yang dia sayangi sampai terlibat masalah yang akan mempengaruhi hubungan dalam keluarga. Tetapi tampaknya kali ini Queen tidak mengindahkan peringatan suaminya tersebut, dia memberanikan diri untuk menemui ibu mertuanya sendiri di rumah keluarga Wardana.Undangan dari Laras tidak
Hari yang begitu berat bagi Queen, pertemuan dengan Laras sungguh menguras seluruh energi dan konsentrasinya. Hingga membuatnya tidak kembali ke kantor dan memilih untuk kembali ke apartemen untuk istirahat.Setelah tiba di apartemen, dengan langkah yang tertatih dan tergesa-gesa. Queen menuju ke wastafel. Karena perutnya terasa mual, Queen langsung mengeluarkan seluruh isi perutnya. Tiba-tiba tubuhnya lemah tak berdaya.Ada dorongan untuk menghubungi Ageng, tetapi Queen tidak ingin mengganggu pekerjaan Ageng. Setelah membersihkan mulutnya, Queen melangkah dengan perlahan menuju ke kamar.Di kamar, Queen hanya melepas sepatu sebelum akhirnya merebahkan tubuh di atas ranjang. Matanya terasa berat. Dia ingin terlelap barang sejenak dan berharap ketika bangun nanti, tubuhnya sudah sehat kembali.Sementara itu di tempat yang berbeda, di ruang kerjanya, Ageng terus terbayang akan keadaan Queen, hingga membuatnya tidak bisa fokus dalam bekerja. Berkas menumpuk yang seharusnya sudah dia tand
Dengan telaten dan penuh kasih sayang Ageng merawat Queen. Setelah minum obat dan kompres air hangat suhu tubuh Queen berangsur menurun. Tetapi Ageng belum bisa merasa tenang, benak Ageng dipenuhi dengan pertanyaan tentang pertemuan Queen dan Laras.Tatap mata Ageng tidak absen Queen, sementara tangannya memainkan ponsel. Ada keinginan di dalam hati untuk menghubungi sang mama, untuk mengetahui pembicaraan yang terjadi saat pertemuan Queen dengan sang mama.Akal sehat masih membimbing Ageng untuk tetap bersabar. Dia tahu jika dia menghubungi sang mama saat ini juga, bisa menimbulkan salah paham yang akan memperburuk hubungan antara Queen dengan sang mama.Ageng memutuskan untuk menghubungi Arum. Untuk saat ini Ageng merasa membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, dia berharap sang kakak akan memberi saran yang akan meringankan beban pikirannya.Tidak butuh waktu yang lama, panggilan dari Ageng mendapat jawaban dari sang kakak.“Halo Geng! Bagaimana keadaan Queen?” Dari seberang, ter
Kehangatan dan perhatian yang diberikan oleh Ageng mampu membuat Queen tertidur dengan pulas. Malam ini, Ageng tetap berjaga di sisi Queen, hingga dia memastikan jika istrinya mendapatkan istirahat yang cukup. Tetapi, tampaknya setelah hari berganti dan pagi menjelang segala upaya itu terasa sia-sia.Queen terbangun dengan perasaan mual yang tak tertahankan. Dia menggeliat di tempat tidur, merasakan perutnya yang bergejolak, sebelum akhirnya terbangun dan bergegas ke wastafel. Di sana, dia memuntahkan seluruh isi perutnya.Suara yang ditimbulkan memecah keheningan pagi, mengganggu tidur Ageng yang baru beberapa jam lalu terlelap. Ageng terbangun, merasakan dorongan kuat untuk segera membantu istrinya. Dia bergerak cepat dari tempat tidur, langkahnya mantap menuju sumber suara."Queen!" panggil Ageng dengan nada cemas, mendekati istrinya yang sedang berdiri lemah di depan wastafel. Dia mengumpulkan rambut Queen ke belakang agar tidak terkena muntahan, lalu penuh perhatian Ageng memijat
“Queen, ini ….”“Ya Om,” sahut Queen, setelah beberapa saat dan Surya Wijaya tidak segera melanjutkan ucapannya."Queen, saat ini kami sedang berada di rumah sakit ....” Terdengar hembusan napas secara kasar, tampaknya Surya Wijaya merasa kesulitan untuk menyampaikan kabar kepada Queen. “Hasil kemoterapi mamamu tidak seperti yang kita harapkan. Mereka mengatakan bahwa tidak ada banyak perbaikan."Kata-kata itu menghantam Queen seperti pukulan keras. Dia terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Kemoterapi adalah harapan bagi sang mama untuk bisa sembuh dari kanker yang dideritanya. Lalu langkah apa lagi yang harus mereka tempuh untuk penyembuhan Rania?"Bisakah kau datang hari ini?" Terdengar keraguan dari nada bicara Surya Wijaya yang harus kembali memohon kepada Queen. "Mamamu sangat ingin bertemu denganmu."Queen tahu dia tidak bisa menunda. Meskipun tubuhnya masih lemah dan mual, hatinya dipenuhi dengan rasa tanggung jawab dan kasih sayang yang mendesak. Tanpa berp
Bryan berdiri di tepi tempat tidur, merapikan jasnya dengan teliti. Ponsel di meja samping ranjang terus berdering, namun Victoria hanya menggeliatkan badan, enggan bangun dan menjawabnya."Sejak tadi ponselmu berdering," ucap Bryan sambil memeriksa dirinya di cermin besar di sudut ruangan. "Tampaknya sangat penting sampai-sampai cinta pertamamu menghubungimu berulang-ulang."Victoria hanya tersenyum malas, menutupi wajahnya dengan bantal, seolah tidak peduli dengan panggilan itu.Bryan mendekat, senyum menggoda terukir di wajahnya. "Hubungi balik pacarmu. Nanti aku antar kau pulang. Aku tidak ingin ada salah paham."Victoria membuka mata dan menatap Bryan, bibirnya membentuk senyuman menantang. "Kamu cemburu?"Bryan menatap gadis itu dengan senyum menyeringai, lalu duduk di tepi ranjang. Dengan lembut, ia merapikan rambut Victoria yang acak-acakan.Bryan memang terkenal seorang playboy yang sering gonta ganti pasangan, tetapi dia selalu memilih perempuan dewasa yang sudah bisa bertan
Queen tertegun, tak menyangka akan bertemu dengan Laras dan Arya Suta di saat seperti ini. Mereka berdiri di depan pintu keluar rumah sakit, wajah mereka menampilkan campuran kekecewaan dan kemarahan. Perut Queen terasa bergejolak lebih dari sebelumnya, tetapi bukan karena mual, melainkan karena kecemasan yang tiba-tiba menyeruak.“Ma! Pa!” Queen terlihat gugup, tidak tahu harus bagaimana menghadapi kedua mertuanya tersebut.Laras menatapnya dengan tajam, tidak ada belas kasihan di matanya. “Jadi ini yang kamu lakukan di belakang Ageng?”“Ma!” Queen menggelengkan kepala, air mata mulai menetes. “Bukan seperti itu, Ma.”Laras tidak memperdulikan tangisannya. “Aku selalu tahu kamu tidak bisa dipercaya. Ageng telah mengorbankan banyak hal untukmu, dan ini balasanmu?”Queen merasakan darahnya mendidih. Dia tahu Laras tidak pernah sepenuhnya menerimanya sebagai menantu, dan sekarang dia harus menghadapi tuduhan yang tidak berdasar. Dia ingin membela diri, tetapi kata-kata seakan tersangkut
Dengan tangan yang gemetar, Ageng menyalakan mesin mobilnya dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Jalanan terasa seperti labirin yang tak berujung, tetapi dia memaksa dirinya tetap fokus.Pikiran Ageng dipenuhi bayangan Queen yang pingsan, sendirian di rumah sakit. Apakah ini akibat dari penyakitnya? Apakah dia terlalu lelah atau stres? Perasaan bersalah mulai merayap masuk, menyadari bahwa dia tidak ada di sana untuk mendukungnya.Setiap lampu merah terasa seperti penghalang yang kejam. Setiap detik berlalu terlalu lambat. Ageng berusaha keras menahan emosinya, tetapi cemas dan khawatir semakin mengguncang hatinya.Akhirnya, rumah sakit terlihat di kejauhan. Ageng mempercepat laju mobilnya, mencari tempat parkir terdekat. Setelah menemukan tempat parkir, dia berlari masuk ke dalam gedung, melewati lorong-lorong yang terasa begitu panjang.“Pa! Ma!” Ageng segera menghampiri Arya Suta dan Laras berdiri di luar ruang gawat darurat.Wajah mereka terlihat serius dan penuh kekha
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l