Ageng mengemudikan mobilnya perlahan, mata terfokus pada jalanan yang sepi. Di sampingnya, Queen duduk diam, dengan tatap mata yang nanar mengarah keluar jendela. Ageng merasa ada yang sedang mengganggu pikiran istrinya itu, dan sepertinya dia enggan untuk berbagi masalah dengannya.“Ada masalah?” tanya Ageng di sela-sela mengemudikan mobilnya.Queen tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Tidak, hanya ngantuk saja," jawab Queen dengan seulas senyum di bibirnya, berharap mampu menyembunyikan masalah yang mengganggu pikirannya saat ini.Ageng tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya, tapi dia memilih untuk tidak mendesak, takut membuat Queen merasa semakin tidak nyaman. Mungkin nanti, atau di lain hari, Ageng bisa menanyakan hal ini lagi. Ageng meraih tangan Queen dan menggenggamnya, berharap mampu memberikan rasa hangat yang mungkin bisa menenangkan hatinya.Ageng tidak ingin jika ternyata ada salah satu dari sahabatnya yang masih tidak bisa menerima hubungan mereka dan me
Sebuah kebahagiaan yang tidak bisa Ageng gambarkan saat membuka mata, orang yang dia cintai masih berada di sampingnya. Dipandanginya sejenak wajah polos sang istri yang masih terlelap, Ageng melabuhkan kecupan singkat di kening lalu memeluk tubuh sang istri lebih erat.“Geng!” Suara serak Queen yang merasa terganggu tidurnya oleh ulah Ageng.“Hmm?” Ageng mengusap punggung mulus Queen, seperti menidurkan anak bayi. Dia merasa bersalah karena telah mengganggu tidur Queen yang terlihat masih kelelahan.“Berangkat jam berapa?”Sebagai seorang istri, sebisa mungkin Queen ingin memberikan pelayanan terbaik untuk suaminya. Bukan hanya di atas ranjang, tetapi juga dalam urusan sehari-hari, meskipun Ageng tidak pernah menuntut hal itu.“Pagi, ada meeting dengan klien.” Terasa berat Ageng memberi jawaban, karena menyadarkannya jika kemesraan pagi ini hari segera berakhir.“OK!” Queen meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku, juga tulang-tulangnya yang rasanya pegal semua.Mungkin Queen
Mendapat laporan jika putrinya baru pulang saat dini hari, membuat Surya Wijaya merasakan kepalanya berdenyut nyeri. Surya Wijaya mengetuk pintu kamar putrinya sebelum masuk, meskipun belum dipersilahkan. Kamar remaja putri yang dihiasi beberapa poster-poster boy band asal Korea dan foto-foto bersama teman-temannya yang menempel di dinding. Tampak kosmetik dan parfum memenuhi meja riasnya. sementara itu di atas tempat tidur dihiasi bantal-bantal berwarna-warni dan beberapa boneka lucu.Victoria terlihat sedang rebahan dan asik memainkan ponselnya. Akhir pekan ini dia bermalas-malasan, menghabiskan waktu dengan mengscroll media sosialnya. Surya Wijaya melangkah menghampiri putri bungsunya, lalu duduk di tepian ranjang di dekat Victoria.“Dari mana semalam? Mengapa sampai larut baru pulang?” tanya Surya Wijaya berusaha tetap lembut di hadapan putri bungsunya meski sebenarnya sedang menahan amarah.“Main sama teman, Pa,” jawab Victoria sekenanya. Bukan hanya takut kalau ketahuan keluar b
Setelah bertemu secara tidak sengaja di super market, kini Queen dan Miranti sedang berada di salah satu kafe yang masih berada dalam satu gedung. Meski pernah beberapa tahun hidup di bawah atap yang sama, tetapi sejak dahulu memang keduanya tidak pernah akrab, bahkan perbincangan di antara mereka hanya akan berlangsung begitu singkat.Sejak awal Queen menunjukkan penolakan akan kehadiran Miranti dalam keluarganya. Dia menganggap perempuan yang saat ini di hadapannya adalah penyebab perpisahaan kedua orang tuanya. Sementara itu, Miranti menunjukkan sikap tidak peduli, yang penting dia bisa menikah dengan Eddy dan mendapatkan kehidupan yang layak.“Maaf, tante tidak sempat menjengukmu saat di rumah sakit.” Lirih Miranti berucap terdengar penuh penyesalan.Queen hanya mengangguk pelan, merasa tidak perlu menanggapi serius basa-basi dari Miranti. Toh kejadian itu sudah berlangsung lama. Bukan hanya dirinya sudah sembuh, tetapi dia juga sudah kembali bersama dengan Ageng.“Queen, kapan-ka
“Sudah hampir tiga bulan papamu tidak datang lagi ke perusahaan.” Seingat Ageng tidak lama setelah dia mendatangi Eddy untuk mencari informasi keberadaan Queen, setelahnya Eddy tidak pernah lagi kembali perusahaan.Hati Queen mencelos saat mendengar kata ‘papamu’ dari mulut Ageng. Queen berusaha untuk menganggap wajar, karena dia sendiri pun tidak bisa dekat papa kandungnya sendiri, apalagi Ageng yang yang berstatus hanya menantu. Namun rasanya seperti tidak adil karena selama ini Queen selalu menganggap kedua orang tua dan juga saudara Ageng sebagai keluarganya sendiri, dan juga sangat menghormati mereka.“Apa yang terjadi? Papa sakit?” Bibir Queen bergetar seolah tidak siap untuk mendengar kabar buruk tentang papanya.Ageng menghela napas panjang, memilah dan milih kata untuk memberi jawaban yang paling tepat atas pertanyaan istrinya."Papamu ... dia mengalami stroke. Dia tidak bisa memimpin perusahaan lagi."Dunia Queen seakan runtuh. "Apa? Kenapa kau tidak memberitahuku?" Queen be
Queen mencium kening sang papa. Entah, kapan terakhir kalinya mereka bisa sedekat ini, Queen sudah lupa."Selamat malam, Papa," bisik Queen sebelum beranjak pergi. Miranti mengikutinya keluar kamar, menutup pintu perlahan.Seharusnya Queen mendengarkan ucapan Ageng. Kedatangannya malam ini terasa sia-sia dan hanya menyisakan luka. Dia tetap tidak bisa berbicara dengan sang papa yang saat ini sedang istirahat. Bahkan Queen tidak melihat adanya lelehan air mata dari sudut mata Eddy saat dia tinggalkan tadi.Di ruang tamu, Ageng menunggu dengan sabar. Queen berjalan menghampirinya, matanya masih merah dan basah. Tanpa berkata-kata, Ageng merangkul Queen, memberikan kekuatan dalam diam. Mereka meninggalkan rumah itu, membawa beban perasaan yang begitu berat.Selama perjalanan Queen hanya diam dengan tatap mata nanar keluar. Belum pernah Ageng melihat Queen sesedih ini. Ageng sama sekali tidak menduga jika dalam diamnya selama ini, ternyata Queen sangat menyayangi sang papa, atau mungkin l
Eddy duduk di kursi roda, sinar matahari pagi menyinari wajahnya yang terlihat lebih tua dan penuh lelah. Semilir angin membawa aroma bunga dari taman di sekitar mereka. Di sampingnya, Queen duduk dengan tatapan penuh kekhawatiran.“Papa kehabisan modal lagi,” ucap Eddy dengan kepala yang tertunduk begitu dalam karena mau. Kata demi kata yang lirih terdengar hampir tertelan oleh suara burung yang berkicau dan gemericik air terjun buatan.Queen menatap ayahnya dengan prihatin. “Aku ingat, Kak Rey pernah mengajukan pinjaman ke aku.”Queen mengingat beberapa peristiwa yang telah berlalu. Mencoba merangkai benang merah kejadian demi kejadian.Eddy menggelengkan kepala, matanya nanar mengingat Rey. “Anak itu… yang ada dipikirannya hanya uang saja.”Eddy menghela napas panjang, terlihat jelas rasa putus asa di wajahnya. Rey, putra sulung yang dia harapkan mampu melanjutkan dan membesarkan perusahaan yang dia rintis sejak muda, justru menjadi orang yang perlahan-lahan menghancurkan impiannya
Ageng tertegun. Dia tidak menyangka Queen akan bertanya hal itu kepadanya. "Queen, itu bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin membantu keluargamu. Perusahaan itu hampir bangkrut, dan ….""Tidak, Ageng," potong Queen. "Papa bilang kamu mengancamnya. Dia dipaksa menyerahkan perusahaan itu. Apa benar begitu?"Ageng menelan ludah, wajahnya berubah serius. Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Queen layaknya tusukan dari belakang yang dilakukan oleh Eddy. Setelah semua bantuan yang dia berikan, lelaki yang tidak lain adalah mertuanya sendiri justru memfitnahnya dengan begitu keji.“Untung cinta pada anaknya, kalau tidak … sudah aku tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan,” gumam Ageng dalam hati, menahan amarah kepada Eddy. “Sudah dalam keadaan sakit, masih belum sadar juga kesalahannya,” sambungnya sambil menggelengkan kepala.Di tatapnya wajah tegas Queen yang bercampur dengan semburat amarah, justru tampak sangat menggemaskan bagi Ageng. Tetapi bukan berarti
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l