"Saya terima nikah dan kawinnya Nina Humaira dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai."
"Sah?"
"Sah!" semua tamu undangan yang hadir ikut bahagia dengan pernikahan kami. Harusnya kami, tapi itu tidak denganku.
Aku Nina Humaira gadis desa yang nikah entah dengan pangeran darimana. Tiba-tiba tanpa basa basi hari ini aku dipersunting menjadi istrinya. Namanya Reza Adytama katanya laki-laki dari kota. Entahlah, tapi dia hanya mampu memberiku mas kawin seperangkat alat salat.
Satu minggu yang lalu seorang laki-laki datang ke rumah katanya ingin mempersuntingku menjadi istrinya. Anehnya, ayah dan ibuku langsung saja setuju.
"Menikahlah, ayah ridho kamu menikah dengannya."
"Aku baru saja pulang, yah. Apa ini alasannya aku dipaksa pulang untuk menikah?"
Aku baru saja pulang dari desa terpencil untuk menjadi sukarelawan. Ini pun aku dipaksa untuk segera sampai rumah, usut punya usut ternyata aku dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak kukenal. Dari segi umur aku masih sangat muda, usiaku baru saja beranjak 25 tahun tentunya banyak hal yang ingin aku lakukan. Seperti cita-citaku menjadi sukarelawan di desa terpencil. Aku mengambil kuliah psikologi, itu pun karena dipaksa oleh ayahku untuk mengambil jurusan itu. Padahal sedari kecil aku ingin ikut sekolah kedinasan. Namun, ditolak oleh ayahku. Katanya nanti aku ditempatkan di lokasi yang jauh. Sebagai anak, aku selalu mengikuti kemauan mereka."Yah, apa sudah dipikirkan dengan matang Nina menikah dengan orang antah berantah?"
"Namanya Reza dari kota bukan dari orang antah berantah."
"Tetap saja, Yah. Nina juga berhak memilih yang sesuai selera Nina."
"Maksudmu Gunawan dokter muda itu. Ayah bukannya tidak setuju, tapi Gunawan pasti akan membawamu kesana kemari untuk tugas."
Ya Sallam pemikiran macam apa ini. Aku menyukai Gunawan bukan karena dia Dokter, tapi kami satu visi dan misi untuk menjadi sukarelawan. Hatiku baru saja bermekaran, kami memang belum saling menyatakan cinta. Namun, sikap dan pengertiannya nampak jelas bahwa dia sebenarnya menyukaiku. Tapi apalah daya sudah dihalangi oleh restu orang tua.
"Ikuti saja mau ayahmu. Ibu juga tidak bisa banyak membantu karena sampai saat ini ibu tidak tahu mengapa ayahmu sangat ngotot ingin kamu menikah dengan Reza."
Dari sebagian hal dalam hidup ini yang diinginkan sebagian orang sebelum menikah adalah menikah dengan orang yang dicintai, berdebar ketika akad nikah dan tentunya ketika dipelaminan merasakan manisnya pengantin baru, tapi sayangnya itu tidak berlaku untuk diriku saat ini.
"Restu orang tua adalah segalanya." Itu kalimat ibu yang bersemayam dihatiku. Meski tak cinta yang terpenting mendapatkan restu orang tua.
***
Jalannya sangat angkuh, raut wajahnya cuek. Ganteng, tapi tak ada cahaya sinar kedamaian di wajahnya. Entah kapan juga kamar tidurku ini dihias, perasaan tadi masih tetap seperti semula. Kalau orang tua sudah merestui hal tak terduga pun terlaksana, seperti kamar ini yang penuh dengan bunga-bunga serta hiasan dinding di setiap sudut kamar.Dilihat dari tampang bisa dipastikan semua yang ada pada dirinya terawat. Wajahnya glowing tanpa ada jerawat sedikit pun. Sepertinya dia menggunakan skin care yang bagus sampai wajahnya mulus tanpa ada bintik-bintik sedikit pun. Dari segi rupa persis kayak pemain korea yang di tivi-tivi. Semoga hati dan wajah seimbang glowingnya.
"Terpesona dengan wajahku?"
Idiih pede amat ini orang. Dipastikan tingkat percaya dirinya sangat tinggi.
"Aku Reza, kamu Nina kan?" Hm, biasa cuma basa basi doang.
Entah mengapa kamar ini terasa panas sekali. Si Reza tatapannya sungguh songong sekali.
"Eh, kamu gak bisa ngomong?" sambungnya lagi, curcol amat ni orang. Malas sekali meladeni laki model beginian.
Duh, Gusti apa bisa aku hidup dengan orang ini.
"Besok kita ke kota. Aku akan kenalkan kamu dengan orang tuaku. Kuharap kamu kagak bisu begini. Jangan terlalu pede aku menikah denganmu, Nina. Anggap aja bonus aku mau."
Ya Sallam benar-benar mau di hih ini orang. Kalau disuruh ngasih bintang dipastikan kukasih bintang lima nih orang, karena pedenya sekebon.
"Oh, iya ini mas kawinmu." Dia menyerahkan seperangkat alat salat dan sepaket kosmetik. Seperti kosmetik yang sering kupakai. Apa dia tukang intip.
"Ini kosmetikmu kan? Semoga aku gak salah," ucapnya lagi. Entah siapa yang memberikan dia informasi kalau brand ini adalah kosmetik yang kugunakan sehari-hari.
"Semoga wajah dan hatimu secerah skin care yang kamu pakai. Karena aku Reza Adytama tidak menyukai gadis yang kusam."
"Astgfirullah ini orang mau di hih kayaknya pede amat." Lagi- lagi hanya berucap dalam hati.
"Aku keluar dulu," ucapnya lagi sambil menepuk wajah usai menggunakan anti acne di wajahnya. Pantas dia glowing dia pakai skin care yang sama denganku. Jarang-jarang laki-laki skin care an.
Entahlah ini pernikahan karena perjodohan atau obsesi orang tuaku. Pusing dan mumet memikirkannya.
Dia keluar sementara aku bersih-bersih rasanya remuk sekali menghadapi banyak tamu undangan. Yang bikin sesak ada dokter Gunawan yang hadir juga di sana. Kasih yang tak sampai mungkin begitu yang kami rasakan.
Tok! Tok! Tok!
"Nina, ini kopi suamimu." Ibuku dengan semangat sekali melayani menantunya.
"Ibu saja yang ngasih, aku malas, bu. Laki songong kek gitu dijadikan menantu."
"Tau darimana Nin, dia songong."
"Dari segi tampang, Bu. Dia terlalu pede untuk ukuran sepertiku. Memangnya dia seperti apa sampai ibu dan ayah tega menikahkanku dengannya?" Rasanya ingin teriak, tapi masih ditahan.
"Tanya ayahmu, itu bukan urusan ibu. Bagi ibu setelah dia menjadi menantu di rumah ini, ibu akan menjadikannya seperti anak."
Enak sekali si Reza, sementara aku entah bagaimana nasib ketemu orang tuanya. Mungkin diusir seperti cerita yang di tivi-tivi. Anehnya lagi satu pun keluarganya tak ada yang datang. Semoga dia benar-benar mahluk dari bumi ini si Reza.
"Nih, kopinya. Kasih suamimu dia ada di teras sama ayahmu."
Ikuti saja maunya orang tua demi bakti terhadap negeri. Ulala pengen nyanyi seketika.
"Misi, nih kopinya."
"Masya Allah bisa ngomong juga istri Abang."
Idiih, istri Abang. Mual deh. Si Ayah senyum-senyum kagak jelas. Aneh semua orang ini."Enak, ternyata istri abang pintar buat kopi." sambil mengedipkan mata.
"Hooh, emak dari istri abang alias mamah mertua idamanku yang bikin kopi."
Dia tersedak.
Puas banget aku. Rasain! Dikira bisa apa lawan anak desa jago silat, hobi naik puncak dan suka manjat pohon kelapa. Berani mah, hantam saja songong kayak begini.
Si Ayah mau marah, tapi menahan tawa melihat ekspresinya si Reza. Puas gaes, puas banget.
"Nina itu sejak kecil memang cerdas meski anaknya sedikit keras. Jadi Nak Reza harus sabar saja menghadapinya." sangat jelas sekali suara ayah yang menjelaskan ke Reza. Aku pura-pura jalan pelan untuk masuk sambil mendengarkan obrolan mereka.
"Meski begitu dia anak baik. Cita-citanya ingin menjadi sukarelawan. Semoga Nak Reza bisa mendampingi Nina yang masih sedikit labil." Kali ini suara ayah terdengar sangat berat bagiku. Entah apa sebenarnya motif ayah pada pernikahanku dengan si songong.
"Sejak pertama bertemu denganmu ayah setuju kamu menikah dengannya karena ayah yakin kamu bisa menjaganya. Ayah percaya sejak pertama kali Nak Reza membantu ayah ketika kecelakaan dua minggu yang lalu. Nak Reza dengan ikhlas membantu ayah disaat kamu juga butuh untuk dikuatkan. Maafkan ayah, nak.." Deg! Maksudnya ayah meminta maaf untuk apa?
Tak berselang lama ponsel si songong bunyi. Sepertinya ada kabar penting. Dia sedikit berbisik. Cukup mencurigakan.
"Nina ... kita akan langsung balik ke kota malam ini," ucapnya.
"Kenapa buru-buru?"
"Darurat," sambungnya lagi.
"Kemasi barang-barangmu Nina, ikuti suamimu." Ayah ikut menimpali. Semua orang sungguh menyebalkan.
Mobil sudah menunggu di depan. Terlihat ada supir pribadinya juga sudah menunggu. Kali ini entah mengapa firasatku tidak baik-baik saja.
Ayah memelukku, ada air yang jatuh dipelupuk matanya.
"Maafkan Ayah, nak. Ini semua salah ayah." Aku hanya diam mendengar kalimat ayah yang sedikit serak. Ini asli misteri bagiku. Siapa Reza dan apa hubungan ayah sebenarnya dengan Reza.
Ibu juga ikut memelukku, tangisnya lebih keras dibanding ayah. Ini sulit bagiku. Reza sudah masuk mobil dan kami masih saling berpelukan, entah mengapa aku seperti pergi ke tempat yang jauh dan sulit untuk kembali.
Apa ayah menjualku? Benar-benar ini semua misteri bagiku.
Masuk mobil ponselnya berdering lagi.
"Iya, tunggu Daddy nak sebentar lagi sampai."
Apa? Maksudnya? Dia sudah menikah dan punya anak? Lalu aku? Apa istri kedua?
Aku menarik nafas lalu memghembuskannya pelan. Apa aku kabur saja, secara malam pertama belum kami lakukan. Itu artinya aku masih seperti gadis alias perawan. Ayah dan ibuku melambaikan tangan, apa mereka tahu jika laki-laki bernama Reza ini sudah menikah. Astagfirullah sudah mahluk tidak jelas, kemungkinan juga aku adalah istri keduanya. Dia masuk dan duduk disebelahku. "Berangkat pak Jum ...." "Siap Den!" Lagi-lagi aku menghembuskan nafas sambil berdo'a semoga keadaanku baik-baik saja. "Bisu lagi? Santai aja, kamu kayak mau perang!" Matanya dikedipkan sok cool banget ini orang. "Kamu sudah punya anak?" tanyaku memberanikan diri, tidak tahan dengan semua rasa penasaran ini. "Iya, memang kenapa?" "Berarti kamu telah menipu keluargaku, Reza. Bukannya kamu mengaku perjaka?" "Siapa bilang?! Nikmati saja kehidupan baru kita. Kamu sudah menjadi istriku dan orang tuamu sudah menyerahkanmu kepadaku jadi tidak perlu komplen," ucapnya penuh penekanan. Lagi, aku dilanda perasaan
"Daddy ngapain di kamar ini ...?" syukur akhirnya aku terselamatkan. Brayen nyelonong ke kamar persis seperti Daddy nya. Anak dan bapak kelakuannya sama saja. Si Reza jadi salah tingkah, emang enak."Ini Daddy mau cek saja. Agar tamu kita nyaman." Bingung kan mau jawab apa. Oke sip, aku dibilang tamu disini."Ayok ke kamar, Brayen ingin cerita." si bocah mengajak Reza untuk menemaninya tidur."Siap, komandan." Akhirnya dia keluar juga. Dan secepat kilat aku langsung kunci pintu jangan sampai kebablasan yang kedua kali. Sudah duda, punya anak, sok keren lagi itu orang. Besok adalah babak baru bagiku. Aku harus menyiapkan amunisi selama disini. Selain itu, sepertinya aku harus buat perjanjian dengan si Reza agar tidak semena-mena denganku. Meski berasal dari desa setidaknya aku harus punya strategi untuk mengalahkan musuh. Semangat, Nina!***Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Bangun tidur aku langsung salat tahajud dilanjutkan tilawah dan salat subuh. Setelah ini aku akan langsung m
Asa-ku seperti menari-nari. Ragaku seakan mati. Melakukan sesuatu yang tidak disenangi sungguh melelahkan. Kali ini aku tidak bertarung dengan hatiku saja. Namun, pikiran dan jiwaku ikut berjuang agar bisa keluar dari zona ini. (Nina Humaira)****Aroma rumah sakit menyeruak dihidungku. Ada Miss Dora yang menungguku. Cukup lama otakku berputar mengingat kejadian yang menimpaku. Aku baru sadar ternyata aku pingsan setelah memeluk ibunya Reza. Kuraba ternyata keningku yang diperban."Syukurlah akhirnya nona sadar juga," ucap miss Dora. Walaupun dia terlihat kaku, tapi dia cukup perhatian. Aku taksir umurnya miss Dora seumuran ibuku. Walau bagaimana pun dia memiliki jiwa keibuan."Lain kali dengar ucapanku nona. Jangan terlalu percaya diri jika dinasehati," sambungnya. Kali ini aku menarik nafas, bukan merasa bersalah. Hanya disalahkan rasanya menyesakkan sekali. Apa salahnya mencoba mengulurkan tangan berbuat baik meski aku sadar itu bisa berakibat fatal karena nyawaku taruhannya."Nyon
Dia melotot dan mendekat."Jangan terlalu pede jadi orang. Nih kertas fansmu, jan nghayal aku cemburu melihat kertas tidak jelas ini." Astagfirullah, benar-benar nguji iman ini orang."Terima kasih tuan Reza. Pastikan kamu tidak terlihat cemburu. Cemburu itu berat, tuan." Aku langsung keluar tanpa permisi. Syukurlah, ini kertas kembali lagi. Mana belum sempat kusimpan nomornya dokter Gunawan. Miss Dora langsung mengejarku. Benar-benar bersama si Reza membuat tekanan darah semakin tinggi."Apa hubungan kalian sebenarnya?" tanya Miss Dora."Seperti halnya miss yang menjaga privasi tuannya. Saya pun demikian. Kalau penasaran tanya sama tuannya," ucapku sambil senyam senyum. Kali aja si Reza mau membuka diri. Dia santai jalan disamping kami seperti biasa dia selalu terlihat pamer.Si Reza berjalan dengan asistennya. Persis seperti adegan di drama korea yang pemeran pangeran dijaga oleh pengawal. Sok cool sekali ini orang. Mau sekeren apa pun nyatanya dia hanya mampu memberi mas kawin sep
"Siapa bilang aku sibuk nona sok manis? Brayen siapkan bola basketnya, Daddy akan melawan nona ini." Dia mengedipkan mata dan Brayen mengangkat dua jempolnya."Ok siap, Daddy." Si bocah semangat sekali mendukung Daddy nya. "Eh, tunggu dulu ....""Apalagi nona sok manis. Ha?" Dia mendekat. Kenapa lama-lama ini orang buat jantung rasanya mau copot."Tuan Reza tidak lihat kalau saya baru pulang dari rumah sakit. Butuh istirahat dulu, bagaimana kalau kita atur waktu." Aduh, kenapa juga aku bilang atur waktu."Kapan?" tanyanya. Jarak kami semakin dekat. Bisa habis oksigen ditubuhku dibuat."Satu minggu lagi. Bagaimana?""Baiklah ...." Dia makin mendekat dan secepat kilat aku masuk ke kamar. Benar-benar itu orang niat banget buat orang mati mendadak.Eh, si bocah sama si Daddy nya malah tertawa melihat tingkahku. Sampai malam aku tidak keluar kamar. Lebih tepatnya mengatur strategi. Satu minggu kedepan aku harus lebih kerja keras agar bisa main basket dan menjadi juaranya.****Bangun pag
Kulihat waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Brayen seperti biasa mengerjai pengasuhnya. Mau dipakaikan seragam sekolah saja pengasuhnya ngos-ngosan. Benar-benar ini bocah menguji iman.Si Reza sok keren sudah siap berangkat ke kantor, asistennya begitu sibuk menyiapkan perlengkapannya. Aku mah cuek saja walau beberapa kali dia memandangku. "Miss Rania memang pas mendampingi tuan Reza kita mah apalah cuma ART biasa, tidak naik-naik pangkat," ucap salah satu ART di rumah ini yang bagian menyapu rumah."Memangnya Miss Rania itu mau sama tuan Reza?" tanyaku. Kenapa pula aku begitu kepo."Sangat mau miss. Kami bahkan takut dekat dengan tuan Reza kalau ada Miss Rania. Dia suka melototin. Namun, sayang, tuan Reza tidak membuka hatinya sedikit pun dengan gadis-gadis di rumah ini.""Oh, begitu. Kok jadi takut.""Sebaiknya nona fokus saja dengan tugas nona disini, jangan dekat -dekat dengan tuan Reza saingannya semua ART di rumah ini. Haha ...." Oala, seketika pengen ngumumin. Woi, aku ini istri
Kumatikan ponsel yang ada ditanganku. Entah kapan si Reza sok cool ini ada disampingku. Benar-benar meresahkan. Semoga dokter Gunawan paham mengapa aku mematikan ponsel dengan sepihak."Setidaknya aku bisa bercerita dengan orang yang menghargaiku, tuan Reza.""Tapi kamu harus ingat aku adalah suamimu," ucapnya lagi."Maksudnya suami diatas kertas?" Kali ini aku harus tegas agar Reza tidak semena-mena."Siapa bilang, Nina? Itu hanya pradugamu saja.""Sudahlah, Tuan. Aku tidak bisa memaksa tuan menjadi suami sungguhan seperti lainnya. Pastikan saja ketika ibumu sudah sembuh pulangkan aku baik-baik ke orang tuaku.""Apa kamu ingin bersama dengan pak doktermu itu.""Setidaknya ada orang yang masih setia menungguku dari dulu sampai sekarang, tuan. Pada akhirnya aku dengan siapa kita lihat saja nanti," ucapku berlalu.Waktu menunjukkan magrib. Kulakukan salat magrib lalu lanjut tilawah. Hal yang kuimpikan ketika masih muda saat menikah adalah bisa menjalankan ibadah berdua. Tadarusan berdu
Aku penasaran dengan Pricilia itu siapa. Sengaja aku berjalan menuju taman depan melihat siapa Pricilia itu. Ternyata memang benar, gadis kalangan atas dan terhormat. Pakaiannya sangat berkelas dan mahal. Apalah aku yang hanya gadis desa yang diberi mahar seperangkat alat salat sama si Reza itu."Hei! Cemburu, Miss?" Apaan bocah kecil ini, ngagetin aja."Eh anak kecil tau saja namanya cemburu!""Tau lah Miss, anak YouTube dan tiktok kayak saya ini sangat tau lah." Ya ampun, seketika aku merinding lihat anak sekecil ini tau yang namanya cemburu."Bocah ganteng, ini jam berapa? Kamu tau gak kalau di desa tempat saya jam segini biasanya dipakai anak-anak mengaji. Setelah itu mereka berkumpul dan bercerita ke orang tuanya kegiatan apa yang dilakukan hari ini." Tiba-tiba si Brayen diam. Waduh, apa aku salah ngomong."Apa kamu mau menjadikanku tempat ceritamu, teman? Kita bisa menjadi teman setiap hari." Brayen diam tidak membalas ucapanku. Apa dia tersinggung dengan ucapanku.Tak lama kemu
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa