"Siapa bilang aku sibuk nona sok manis? Brayen siapkan bola basketnya, Daddy akan melawan nona ini." Dia mengedipkan mata dan Brayen mengangkat dua jempolnya.
"Ok siap, Daddy." Si bocah semangat sekali mendukung Daddy nya.
"Eh, tunggu dulu ...."
"Apalagi nona sok manis. Ha?" Dia mendekat. Kenapa lama-lama ini orang buat jantung rasanya mau copot.
"Tuan Reza tidak lihat kalau saya baru pulang dari rumah sakit. Butuh istirahat dulu, bagaimana kalau kita atur waktu." Aduh, kenapa juga aku bilang atur waktu.
"Kapan?" tanyanya. Jarak kami semakin dekat. Bisa habis oksigen ditubuhku dibuat.
"Satu minggu lagi. Bagaimana?"
"Baiklah ...." Dia makin mendekat dan secepat kilat aku masuk ke kamar. Benar-benar itu orang niat banget buat orang mati mendadak.
Eh, si bocah sama si Daddy nya malah tertawa melihat tingkahku.
Sampai malam aku tidak keluar kamar. Lebih tepatnya mengatur strategi. Satu minggu kedepan aku harus lebih kerja keras agar bisa main basket dan menjadi juaranya.
****
Bangun pagi aku lebih fresh. Bermunajat kepada Rabb-ku menceritakan segala resah gelisah yang kurasa. Beberapa kali kupasrah dengan hidup yang kujalani saat ini. Namun, seketika semuanya pudar ketika mengingat bahwa aku adalah istrinya si Reza.Ponselku berdering. Ada nama ibu di layar ponselku.
"Ibu ...."
"Nina ...."
"Assalamualaikum, Bu. Gimana kabar?"
"Alhamdulillah ibu sehat, bagaimana kabarmu." Inginku cerita sejujurnya, tapi tak mungkin nanti menjadi beban bagi ibu.
"Nina sehat, Bu. Nina kangen dengan ibu."
"Ibu juga, Nin. Baik-baik disana ya, ibu yakin kamu akan bahagia dengan nak Reza."
Suasana tiba-tiba hening. Bahagia? Semoga itu benar menimpaku. Aku menutup telpon dari ibu karena suara azan subuh berkumandang. Jika ibu saja yakin aku bahagia, mengapa aku tidak yakin. Tak terasa hari ini hari Kamis. Sebenarnya ingin berpuasa seperti yang sering kulakukan di desa, tapi aku baru saja sehat. Tidak mungkin memaksakan kehendak.
Setelah selesai mengadu kepada-Nya. Aku langsung membersihkan kamar dan menuju dapur. Pagi ini entah mengapa aku ingin membuatkan Reza secangkir kopi.
"Nona sedang apa, ini masih sangat pagi?" Tanya Miss Dora.
"Sedang buat kopi sekalian untuk tuan Reza."
"Nona tidak tahu kalau tuan Reza tidak suka minum kopi?" Maksudnya? Terus di rumah ibu kemarin bukannya dia begitu semangat minum kopi apa itu palsu?
"Oh, terus dia minum apa, Miss?" Dia nampak bingung karena aku tiba-tiba ingin membuatkan Reza minuman karena dua gelas sudah kusiapkan.
"Nona tidak salah pagi-pagi ...." Dia nampak curiga apa hubunganku dengan tuannya.
"Jangan mikir yang tidak-tidak, Miss. Ini hanya ungkapan terima kasih saja karena dia membantuku di rumah sakit kemarin."
"Itu hal biasa jika Tuan perhatian dan menjaga semua pekerjanya yang sedang sakit termasuk Nona juga yang ada di rumah ini." Tarik nafas, Nin. Aku ini istrinya, Miss. Bukan pembantunya.
"Iya, kenapa juga nona harus repot. Tuan Reza sudah ada asisten khusus di rumah ini. Namanya Miss Rania," ucap salah satu ART yang bertugas di dapur.
"Itu, Miss Rania." Miss Dora menunjuk gadis cantik yang setiap hari melayani Reza. Gaya sekali si Reza ini punya asisten khusus untuk melayani semua kebutuhannya.
"Miss, sarapan Tuan Reza apakah sudah ready. Jangan lupa makanannya harus fresh pagi ini." Hm, seketika aku mundur apalah daya aku yang hanya bisa membuat pisang goreng dan kopi sebagai cemilan pagi.
"Jangan lupa takarannya harus pas, karena Tuan akan berkunjung ke luar negeri Minggu depan untuk Mega proyeknya. Pastikan makanan yang dikonsumsi harus sehat dan bergizi." Ya sudahlah, memang aku ini hanya istri diatas kertas saja.
Bisa dikatakan Reza ini orang kalangan atas yang semua kebutuhannya sudah ada yang membantu. Asisten di rumah dan di kantor bahkan berbeda. Lalu, untuk apa cari istri? Dan lucunya lagi istrinya dari Desa. Seketika aku insecure dengan si Reza.
"Morning ...." Si Reza menyambut semua pelayannya. Kesambet kali bangun pagi-pagi.
Seperti biasa dia dengan gaya coolnya keluar. Daripada melihat tingkah si Reza yang banyak gaya lebih baik aku ke taman belakang saja sambil melihat bagaimana keadaan ibu mertua saat ini.
"Mau kemana? Kenapa ada dua gelas kopi ditanganmu?" Tanyanya menghalangiku.
"Awalnya mau buatkan tuan kopi, tapi sepertinya saya salah besar, ternyata tuan tidak suka dengan kopi. Jadi kopi ini saya kasih pak Jum saja," jawabku sambil mengedipkan mata. Tidak sabar melihat reaksinya.
"Eh, tunggu. Sini kopinya, enak sekali pak Jum dibuatkan." Seperti biasa dia langsung mengambil satu gelas ditanganku. Dasar orang aneh.
Rania dan Miss Dora salin berpandangan
"Tuan ...." Ah, biarkan saja dengan mereka yang akan ceramah melihat tuannya minum kopi, lebih baik kunikmati secangkir kopi ini di taman belakang. Hidup sudah berat jangan makin berat hanya gara-gara secangkir kopi untuk tuan yang sok cool itu.Rumah ini sungguh besar bak istana. Di belakang ada taman tempat bersantai ria. Ah, seketika aku berkhayal bisa duduk dengan ibu mertua, dimana kami bercerita ini itu sebagai seorang anak dan orang tua.
"Jadi wanita itu jangan sering minum kopi, tidak baik bagi kesehatan." Siapa lagi kalau bukan Tuan Reza yang terhormat punya suara.
Yah, mau gimana lagi desa kami yang berada di bawah kaki gunung dengan udara yang dingin membuat kami menyukai minuman yang satu ini. Rasanya hangat dan menyegarkan di pagi hari.
"Jangan lupa seminggu lagi kita bertanding, siapkan diri karena aku bisa mengalahkanmu," ucapnya sambil berlalu. Memang sudah menjadi kebiasaannya mungkin datang sesuka hati dan pergi begitu saja.
Kulihat waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Brayen seperti biasa mengerjai pengasuhnya. Mau dipakaikan seragam sekolah saja pengasuhnya ngos-ngosan. Benar-benar ini bocah menguji iman.Si Reza sok keren sudah siap berangkat ke kantor, asistennya begitu sibuk menyiapkan perlengkapannya. Aku mah cuek saja walau beberapa kali dia memandangku. "Miss Rania memang pas mendampingi tuan Reza kita mah apalah cuma ART biasa, tidak naik-naik pangkat," ucap salah satu ART di rumah ini yang bagian menyapu rumah."Memangnya Miss Rania itu mau sama tuan Reza?" tanyaku. Kenapa pula aku begitu kepo."Sangat mau miss. Kami bahkan takut dekat dengan tuan Reza kalau ada Miss Rania. Dia suka melototin. Namun, sayang, tuan Reza tidak membuka hatinya sedikit pun dengan gadis-gadis di rumah ini.""Oh, begitu. Kok jadi takut.""Sebaiknya nona fokus saja dengan tugas nona disini, jangan dekat -dekat dengan tuan Reza saingannya semua ART di rumah ini. Haha ...." Oala, seketika pengen ngumumin. Woi, aku ini istri
Kumatikan ponsel yang ada ditanganku. Entah kapan si Reza sok cool ini ada disampingku. Benar-benar meresahkan. Semoga dokter Gunawan paham mengapa aku mematikan ponsel dengan sepihak."Setidaknya aku bisa bercerita dengan orang yang menghargaiku, tuan Reza.""Tapi kamu harus ingat aku adalah suamimu," ucapnya lagi."Maksudnya suami diatas kertas?" Kali ini aku harus tegas agar Reza tidak semena-mena."Siapa bilang, Nina? Itu hanya pradugamu saja.""Sudahlah, Tuan. Aku tidak bisa memaksa tuan menjadi suami sungguhan seperti lainnya. Pastikan saja ketika ibumu sudah sembuh pulangkan aku baik-baik ke orang tuaku.""Apa kamu ingin bersama dengan pak doktermu itu.""Setidaknya ada orang yang masih setia menungguku dari dulu sampai sekarang, tuan. Pada akhirnya aku dengan siapa kita lihat saja nanti," ucapku berlalu.Waktu menunjukkan magrib. Kulakukan salat magrib lalu lanjut tilawah. Hal yang kuimpikan ketika masih muda saat menikah adalah bisa menjalankan ibadah berdua. Tadarusan berdu
Aku penasaran dengan Pricilia itu siapa. Sengaja aku berjalan menuju taman depan melihat siapa Pricilia itu. Ternyata memang benar, gadis kalangan atas dan terhormat. Pakaiannya sangat berkelas dan mahal. Apalah aku yang hanya gadis desa yang diberi mahar seperangkat alat salat sama si Reza itu."Hei! Cemburu, Miss?" Apaan bocah kecil ini, ngagetin aja."Eh anak kecil tau saja namanya cemburu!""Tau lah Miss, anak YouTube dan tiktok kayak saya ini sangat tau lah." Ya ampun, seketika aku merinding lihat anak sekecil ini tau yang namanya cemburu."Bocah ganteng, ini jam berapa? Kamu tau gak kalau di desa tempat saya jam segini biasanya dipakai anak-anak mengaji. Setelah itu mereka berkumpul dan bercerita ke orang tuanya kegiatan apa yang dilakukan hari ini." Tiba-tiba si Brayen diam. Waduh, apa aku salah ngomong."Apa kamu mau menjadikanku tempat ceritamu, teman? Kita bisa menjadi teman setiap hari." Brayen diam tidak membalas ucapanku. Apa dia tersinggung dengan ucapanku.Tak lama kemu
"Ngapain ngintip nona sok manis? Apa kamu cemburu?!" Gayanya sungguh sok sekali ini orang. Siapa lagi kalau bukan Reza Adytama."Wah sepertinya anda harus benar-benar diperiksa, selain sok keren anda juga begitu percaya dirii," jawabku sambil berlalu. Mana udah keringetan lagi mau diajak gulat itu orang.Kubersihkan diriku terlebih dahulu. Setelah bersih aku langsung rebahan. Disini aku tidak lelah bekerja. Namun, lelah berfikir. Kenapa si Reza itu tidak jujur dengan semua orang tentang statusku dengan dirinya.Ting, notifikasi dari dokter Gunawan.[Assalamualaikum, dek Nina ini komposisi obat yang Dek Nina minta. Maaf agak telat. Obat ini terbilang berbahaya dan bisa membuat ketagihan penggunanya. Sebaiknya tidak dikonsumsi karena bisa mengak
"Simpan nomorku," ucapnya lagi. Aku masih seperti patung melihat adegan romantisnya tiba-tiba. Heran saja dengan ini orang.Dia tiba-tiba merebut ponselku lalu menulis namanya dengan 'SayangQ'. Astagfirullah ini orang benar-benar bikin elus dada kelakuannya."Aku berangkat ...." Entah mengapa aku mengangguk dia pamit. Semua seperti bisu melihat adegan kami yang nampak seperti pasangan suami istri.Ada rasa yang tidak biasa, terasa hangat dia mengacak-acak rambutku. Ah, mikir apaan aku ini."Nona Pricilia sudah sampai bandara, tuan. Apa kamar hotel tuan dan nona sama?" Asistenya menjelaskan, ada rasa yang aneh menyergap dihatiku. Bukan cemburu hanya saja sedih melihat dia masih bebas dengan wanita yang pernah dicintai. Walau bagaimana pun dia sudah berjanji dihadapan Tuhan dan orang tuaku. Menjadi istri yang menemaninya. Namun, sampai saat ini tak satu pun keluar dari mulutnya mengakui bahwa aku ini istrinya.Aku berpaling dan me
Pov Dokter GunawanAku Gunawan Atmadja. Lahir dari keluarga Atmadja yang cukup dipandang di kota ini. Saingan berat dari bisnis papaku adalah keluarga Adytama. Entah mengapa papaku menganggap Adytama saingan bisnisnya. Baginya Adytama musuh terbesarnya dan ingin dikalahkan.Lahir dari kalangan atas tidak membuatku tergiur, aku justru lebih menyukai hal yang berbau medis dan lebih senang membantu menjadi sukarelawan. Akhirnya aku memutuskan menjadi seorang dokter. Dokter spesialis bagian syaraf karena aku memang merasa tertantang dengan hal itu.Memiliki keluarga keras dan ambisius membuatku tidak betah di rumah. Sudah berapa kali aku keluar dari rumah yang penuh ambisi ini. Bagiku saat ini adalah memiliki seseorang yang tepat dihatiku. Memiliki wanita sekaligus istri yang akan membantuku setiap hari terutama hobiku menjadi sukarelawan. Dan yang mampu membuatku selalu t
Masih dikisah Dokter Gunawan.Untuk pertama kalinya aku bertemu lagi dengan Nina. Gadis yang kurindukan beberapa hari ini. Gadis yang membuat tidurku tidak nyenyak. Pertemuan yang tidak semanis dulu kali ini kulihat keningnya berdarah dan terluka sehingga butuh jahitan. Aku gemetar tidak kuasa menahan rasa sesak didadaku antara marah dan rindu. Marah karena Nina diperlakukan tidak baik di kota ini. Di kota yang kudengar dia sebatang kara. Kasihan sekali kamu, Nin."Aku yakin kamu pasti kuat!" Suaminya terlihat cemas, meski dia nampak cuek didepan pelayannya. Apa Nina tidak bahagia dengan suaminya. Aku merasa ada sesuatu diantara mereka berdua.Kubiarkan ruangan ini hanya aku dan perawat yang mengobati lukanya Nina. Agar aku bisa melihat wajah yang menjadi candu bagiku, meski jujur aku panik dan cemas melihat dia belum siuman.Setelah lukanya dijahit dan tekanan darahnya normal aku langsung balik meski perawat yang mendampingiku ter
Lagi. Aku merasakan berada di tempat yang sama rumah sakit yang merawatku dua hari yang lalu. Miss Dora tetap setia menungguku. Namun, Kali ini terasa sangat beda, aku seperti berharap yang menjagaku adalah suamiku, Reza."Aku sudah katakan untuk nona istirahat kenapa tidak nurut," ucapnya. Ada yang beda dari serak suaranya. Nampak jelas diwajah miss Dora ada yang ingin dikatakan, tapi tak ingin aku bertanya lagi."Maafkan aku, Miss," jawabku.Hening, kali ini rasanya lebih sakit. Kepalaku rasanya seperti berputar-putar. Sungguh beda dari sebelumnya. Bahkan untuk duduk pun aku masih tidak kuat. Jujur aku sangat membutuhkan Reza, walau bagaimana pun dia suamiku yang harusnya menjagaku."Miss, apa tuan Reza ada disini?""Dia lagi di luar daerah, nona. Bukannya tadi pagi tuan sudah pamit
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa