"Wah ternyata ikut juga, Mbak," ucap Gendis basa basi."Hai, Evin. Saya bundanya Shaka dan mertua yang sangat menyanyangi menantunya, bisakah kamu bantu tante untuk kemas-kemas makanan. Soalnya bunda ingin Shaka dan istrinya kencan di tepi danau ini," ucap Bunda dengan nada polos. Aku dan Gendis menutup mulut menahan tawa.Wajah Evin tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Aku memegang tangan Gendis untuk berlalu dari hadapan Evin. Cantika digendong Monica secara bergantian dengan abang Brayen. Lucu sekali kulihat mereka berdua. Abang Brayen tetap dengan pesonanya. Diam-diam tidak bisa jauh dari Monica. Adanya Cantika hanya jadi alasan mereka berdua bisa kencan."Kenapa si Evin tidak tertarik dengan abang Brayen saja," ucap Gendis yang terlihat sebal."Mungkin Abangmu ini memesona," balasku."Diih, sok keren, sih, iya," ledek Gendis Kami turut membantu daddy dan bunda. Keluarga Evan juga kompak membuat piknik kecil-kecilan di dekat danau. Kurasa mereka diundang oleh daddy juga ke tempa
“Monica!”“Brayen!”“Apa yang kalian lakukan!”teriak daddy yang begitu marah.Monica langsung melepas pelukan abang Brayen. Sekarang aku yang berdebar melihat mereka yang pasti akan disidang oleh daddy.“Daddy!” mereka kompak spontan memanggil daddy.“Kalian tidak bisa mengelak lagi dari Daddy.” Aku hanya diam melihat kemarahan daddy. “Brayen bisa jelaskan, Dad,”ucap abang Brayen yang memelas" Tidak ada yang perlu kalian jelaskan, ini cukup bagi daddy mengetahui hubungan kalian!" kembali daddy berteriak.Monica hanya bisa menangis mendengar kemarahan daddy. Tak bisa dipungkiri ini juga kesalahan Monica yang terlampau cemburu.“Kembali ke tempat piknik, nanti kita bicarakan di rumah. Kamu juga Monica, hargai Evan calon suamimu!”"Jaga sikapmu, Dik. Terlepas kamu cemburu, jaga perasaan Evan dan keluarganya." Aku ikut membela dokter Evan, karena kurasa Monica kali inj harus diingatkan.Dari jauh bunda berlari, Daddy meminta kami untuk merahasiakan ini semua. Monica terlihat panik melih
POV MonicaLaki-laki tegap bersih itu hadir kembali, laki-laki yang membuat tidurku sekian tahun tidak nyenyak itu terus tersenyum. Dia datang bukan sebagai dokter Rayyandra, tetapi sebagai abangku--Brayen. Abang yang membuat jantungku berdegup kencang jika berada di dekatnya. Abang yang kupandang sebagai laki-laki yang menjadi idolaku. Sejak dulu bahkan rasa ini tak pernah pudsr meski waktu berputar. "Dad, ini aku, Brayen," ucapnya bersujud di kaki daddy. Kami sedang mengalami krisis karena perusahaan Atmadja mengambil alih semua perusahaan Adytama."Maksudmu?" tanya daddy."Ini aku, Brayen, Dad. Putra angkatmu yang telah hilang."Tangis haru menggema di rumah kontrakan yang bunda sewa. Iya, Bunda sewa karena rumah kami juga kena imbasnya."Maafkan aku yang berpura-pura agar bisa dekat dengan kalian," sambungnya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Bunda menangis jerit karena tidak percaya dengan ini semua. "Mengapa baru sekarang, Brayen. Mengapa baru sekarang kamu hadir ketika kami terp
Suasana semakin menegangkan. Kali ini tidak bisa lagi disembunyikan hubungan mereka. Walau abang Brayen terlihat santai. Beda dengan Monica yang sangat tegang. Entah bagaimana ceritanya hubungan mereka setelah ini. Terlepas apakah abang Brayen suka atau tidak dengan Monica. Namun, sangat jelas sekali jika sebenarnya dia pun memiliki rasa yang sama dengan Monica. Hanya tak ingin mengakui.Jujur aku tidak tega melihat Monica hanya menunduk. Air matanya tak henti turun. Apa sesulit itu baginya merasakan cinta, adikku itu bukanlah wanita sembarang. Selain anggun kurasa banyak laki-laki yang menyukainya. Namun, kenapa harus abang Brayen yang dia cintai sejak dulu sampai sekarang.Tak terasa kami sampai ke rumah, suasana begitu tegang. Membuat aku dan Gendis hanya bisa saling berpegang tangan. "Bang, aku ajak Cantika ke kamar, ya," bisik Gendis. Dia tahu dirinya sebagai menantu, tak ingin ikut campur."Bund, aku pamit ke kamar sama Cantika, ya." Gendis izin tlke bunda terlebih dahulu.Sua
"Monica, kamu kenapa?" tanya bunda yang lamgsung masuk. Monica sedang duduk di bawah ranjang."Kepalaku pusing, Bund," jawab Monica. Aku pun ikut masuk, tak ada kulihat abang Brayen. Pintar sekali mereka akting. Kususuri semua ruangan, tak ada jejak abang Brayen. "Monica, Abang pamit. Nanti kita balik lagi setelah acaramu," jelasku. Monica hanya mengangguk.Mataku kesana kemari mencari sosok yang bersembunyi, tapi nihil abang Brayen tidak ada. Bagaimana cara dia keluar, masih membuatku penasaran."Ayo turun, abang Brayen juga mau berangkat," ucap bunda mengajak Monica. Setidaknya kondisinya masih aman. Kami turun bersama, ternyata sudah ada abang Brayen. Bagaimana bisa dia keluar. Apa ada jalan tikus dari kamar Monica ke kamarnya. Dibuat pusing saja oleh mereka berdua."Aku pamit seminggu, ya, Dad. Semoga kalian merindukanku." Abang Brayen pamit, Monica hanya menunduk. Semoga air matanya tidak jatuh ketika pamitan lagi. Dia bahkan membalik badannya menghindari abang Brayen tentuny
POV BrayenAku bukannya tidak mencintaimu, tetapi semesta sepertinya tidak berpihak pada kita. _Brayen AdytamaWanita yang kupuja selain bunda adalah wanita ayu itu, wanita yang membuat siapa saja bisa jatuh cinta padanya. Aku pun merasa jika dimungkinkan aku ingin takdirku bersamanya. Siapa lagi kalau bukan Monica Adytama. Wanita kedua yang membuatku jatuh cinta. Wanita yang ternyata saudara angkatku.Namun, aku sadar diri. Dia adalah adikku yang menjadi tanggung jawabku setelah Shaka menikah. Akan tetapi, entah mengapa perasaan ini terus tumbuh subur. Aku pun heran dengan rasa ini. Hanya memandangnya hati ini terasa damai. Hanya mendengar suaranya yang lebut rasa ini semakin bermekaran."Adikmu itu tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun, pusing bunda. Setiap disodorkan jawabannya sudah ada yang mengisi hatiku. Heran dengan Monica ini." Bunda terus mengomel tak jelas karena Monica sama sekali tak tertarik dengan pria manapun.Aku justru merasa tersipu malu. Berharap laki-laki yan
POV AuthorBerkejaran dengan waktu. Shaka langsung menggendong adik kesayangannya, dengan segera dia membawa Monica masuk ke dalam ambulan. "Monica ... bertahanlah ...." Shaka terus menyemangati adiknya. Memberi transfer semangat agar Monica kuat. Meski tak ada sama sekali pergerakan dari Monica.Reza yang sedang berada di luar, sampai berlari pulang karena Nina menelponnya. Kakinya lemas melihat putri satu-satunya tak sadarkan diri. "Kamu kenapa, Nak?" Nina terus menangis, tak percaya putri kesayangannya melukai dirinya.Tak banyak kata, Shaka langsung meminta sopir ambulan untuk segera ke rumah sakit. Dia bahkan meminta sopir untuk menggunakan kecepatan tinggi khawatirnya Monica tidak bisa diselamatkan."Van, Monica keningnya berdarah dan tak sadarkan diri. Mohon bisa ditangani langsung." Shaka menelpon Evan--calon suaminya Monica.Dokter Evan sampai gemetar mendengar ucapan calon abang iparnya itu. Dia semakin menyadari jika Monica seperti ini karena tidak ingin bertunangan denga
Nina langsung menyemangati Monica, Nina tidak berani bertanya terlalu banyak dengan putrinya. Khawatir akan merusak moodnya lagi. Selain itu, Monica butuh istorahat yang banyak agar kesehatannya kembali pulih.“Kenapa kamu melukai dirimu, Monica?” tanya Shaka, mereka berdua berada di ruang karena Nina dan reza --orang tuanya sedang menemui dokter.Lagi, Monica hanya diam, dia masih tidak ingin banyak bicara. Baginya yang terpenting saat ini bisa melihat Brayen dan tahu isi hatinya. Dia bahkan berjanji jika Brayen mencintainya, tak akan lagi mengganggu abang Brayen. “Apa karena abang Brayen, Monica?” Tanya Shaka kembali. Monica masih diam."Apa kamu kira dengan membenturkan diri, dia akan berubah. Kamu salah Monica!" "Abang, aku pun tak mengerti mengapa bisa melukai diri sendiri seperti ini," jawab Monica.“Sampai kapan kamu begini terus, dimana harga dirimu.” Shaka masih terus mengingatkan adiknya.“Maafkan aku, Bang. Ini diluar kuasaku.” Monica membela diri. Shaka ingin membantah,
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa