Sepertinya gaya hidup bebas Evin beda dengan kakaknya. Aku langsung mengamit Gendis untuk meninggalkan Evin. Rasanya hanya sia-sia jika berurusan dengan adiknya dokter Evan itu."Belum jadi besan saja sudah berulah," ucap Gendis mengomel."Sabar, Sayang. Mungkin pengaruh gaya hidup orang barat," jawabku menenangkannya."Aku juga kuliah dulu di luar negeri, tapi tidak seberani itu. Dia bisikkan apa di telinga abang!" Gendis mulai curiga. Wajar, karena Evin langsung to the poin menantang di depan istri orang. Dia memang niat sekali untuk menghancurkan rumah tangga orang lain.Jika aku tidak jujur, maka itu babak baru aku menyembunyikan rahasia dengannya. Lebih baik aku jujur saja, walau sekecil apa pun."Dia bilang, aku suka sama laki-laki beristri.""Apa?! Itu sih bibit pelakor." Gendis ingin berteriak, tapi dia tahan karena banyak orang."Sayang, jaga emosimu. Abang sudah jujur, jadi kita pasti bisa melewatinya. Di sini ramai orang, nanti mereka berfikir kita sedang berkelahi," ucapku
"Wah ternyata ikut juga, Mbak," ucap Gendis basa basi."Hai, Evin. Saya bundanya Shaka dan mertua yang sangat menyanyangi menantunya, bisakah kamu bantu tante untuk kemas-kemas makanan. Soalnya bunda ingin Shaka dan istrinya kencan di tepi danau ini," ucap Bunda dengan nada polos. Aku dan Gendis menutup mulut menahan tawa.Wajah Evin tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Aku memegang tangan Gendis untuk berlalu dari hadapan Evin. Cantika digendong Monica secara bergantian dengan abang Brayen. Lucu sekali kulihat mereka berdua. Abang Brayen tetap dengan pesonanya. Diam-diam tidak bisa jauh dari Monica. Adanya Cantika hanya jadi alasan mereka berdua bisa kencan."Kenapa si Evin tidak tertarik dengan abang Brayen saja," ucap Gendis yang terlihat sebal."Mungkin Abangmu ini memesona," balasku."Diih, sok keren, sih, iya," ledek Gendis Kami turut membantu daddy dan bunda. Keluarga Evan juga kompak membuat piknik kecil-kecilan di dekat danau. Kurasa mereka diundang oleh daddy juga ke tempa
“Monica!”“Brayen!”“Apa yang kalian lakukan!”teriak daddy yang begitu marah.Monica langsung melepas pelukan abang Brayen. Sekarang aku yang berdebar melihat mereka yang pasti akan disidang oleh daddy.“Daddy!” mereka kompak spontan memanggil daddy.“Kalian tidak bisa mengelak lagi dari Daddy.” Aku hanya diam melihat kemarahan daddy. “Brayen bisa jelaskan, Dad,”ucap abang Brayen yang memelas" Tidak ada yang perlu kalian jelaskan, ini cukup bagi daddy mengetahui hubungan kalian!" kembali daddy berteriak.Monica hanya bisa menangis mendengar kemarahan daddy. Tak bisa dipungkiri ini juga kesalahan Monica yang terlampau cemburu.“Kembali ke tempat piknik, nanti kita bicarakan di rumah. Kamu juga Monica, hargai Evan calon suamimu!”"Jaga sikapmu, Dik. Terlepas kamu cemburu, jaga perasaan Evan dan keluarganya." Aku ikut membela dokter Evan, karena kurasa Monica kali inj harus diingatkan.Dari jauh bunda berlari, Daddy meminta kami untuk merahasiakan ini semua. Monica terlihat panik melih
POV MonicaLaki-laki tegap bersih itu hadir kembali, laki-laki yang membuat tidurku sekian tahun tidak nyenyak itu terus tersenyum. Dia datang bukan sebagai dokter Rayyandra, tetapi sebagai abangku--Brayen. Abang yang membuat jantungku berdegup kencang jika berada di dekatnya. Abang yang kupandang sebagai laki-laki yang menjadi idolaku. Sejak dulu bahkan rasa ini tak pernah pudsr meski waktu berputar. "Dad, ini aku, Brayen," ucapnya bersujud di kaki daddy. Kami sedang mengalami krisis karena perusahaan Atmadja mengambil alih semua perusahaan Adytama."Maksudmu?" tanya daddy."Ini aku, Brayen, Dad. Putra angkatmu yang telah hilang."Tangis haru menggema di rumah kontrakan yang bunda sewa. Iya, Bunda sewa karena rumah kami juga kena imbasnya."Maafkan aku yang berpura-pura agar bisa dekat dengan kalian," sambungnya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Bunda menangis jerit karena tidak percaya dengan ini semua. "Mengapa baru sekarang, Brayen. Mengapa baru sekarang kamu hadir ketika kami terp
Suasana semakin menegangkan. Kali ini tidak bisa lagi disembunyikan hubungan mereka. Walau abang Brayen terlihat santai. Beda dengan Monica yang sangat tegang. Entah bagaimana ceritanya hubungan mereka setelah ini. Terlepas apakah abang Brayen suka atau tidak dengan Monica. Namun, sangat jelas sekali jika sebenarnya dia pun memiliki rasa yang sama dengan Monica. Hanya tak ingin mengakui.Jujur aku tidak tega melihat Monica hanya menunduk. Air matanya tak henti turun. Apa sesulit itu baginya merasakan cinta, adikku itu bukanlah wanita sembarang. Selain anggun kurasa banyak laki-laki yang menyukainya. Namun, kenapa harus abang Brayen yang dia cintai sejak dulu sampai sekarang.Tak terasa kami sampai ke rumah, suasana begitu tegang. Membuat aku dan Gendis hanya bisa saling berpegang tangan. "Bang, aku ajak Cantika ke kamar, ya," bisik Gendis. Dia tahu dirinya sebagai menantu, tak ingin ikut campur."Bund, aku pamit ke kamar sama Cantika, ya." Gendis izin tlke bunda terlebih dahulu.Sua
"Monica, kamu kenapa?" tanya bunda yang lamgsung masuk. Monica sedang duduk di bawah ranjang."Kepalaku pusing, Bund," jawab Monica. Aku pun ikut masuk, tak ada kulihat abang Brayen. Pintar sekali mereka akting. Kususuri semua ruangan, tak ada jejak abang Brayen. "Monica, Abang pamit. Nanti kita balik lagi setelah acaramu," jelasku. Monica hanya mengangguk.Mataku kesana kemari mencari sosok yang bersembunyi, tapi nihil abang Brayen tidak ada. Bagaimana cara dia keluar, masih membuatku penasaran."Ayo turun, abang Brayen juga mau berangkat," ucap bunda mengajak Monica. Setidaknya kondisinya masih aman. Kami turun bersama, ternyata sudah ada abang Brayen. Bagaimana bisa dia keluar. Apa ada jalan tikus dari kamar Monica ke kamarnya. Dibuat pusing saja oleh mereka berdua."Aku pamit seminggu, ya, Dad. Semoga kalian merindukanku." Abang Brayen pamit, Monica hanya menunduk. Semoga air matanya tidak jatuh ketika pamitan lagi. Dia bahkan membalik badannya menghindari abang Brayen tentuny
POV BrayenAku bukannya tidak mencintaimu, tetapi semesta sepertinya tidak berpihak pada kita. _Brayen AdytamaWanita yang kupuja selain bunda adalah wanita ayu itu, wanita yang membuat siapa saja bisa jatuh cinta padanya. Aku pun merasa jika dimungkinkan aku ingin takdirku bersamanya. Siapa lagi kalau bukan Monica Adytama. Wanita kedua yang membuatku jatuh cinta. Wanita yang ternyata saudara angkatku.Namun, aku sadar diri. Dia adalah adikku yang menjadi tanggung jawabku setelah Shaka menikah. Akan tetapi, entah mengapa perasaan ini terus tumbuh subur. Aku pun heran dengan rasa ini. Hanya memandangnya hati ini terasa damai. Hanya mendengar suaranya yang lebut rasa ini semakin bermekaran."Adikmu itu tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun, pusing bunda. Setiap disodorkan jawabannya sudah ada yang mengisi hatiku. Heran dengan Monica ini." Bunda terus mengomel tak jelas karena Monica sama sekali tak tertarik dengan pria manapun.Aku justru merasa tersipu malu. Berharap laki-laki yan
POV AuthorBerkejaran dengan waktu. Shaka langsung menggendong adik kesayangannya, dengan segera dia membawa Monica masuk ke dalam ambulan. "Monica ... bertahanlah ...." Shaka terus menyemangati adiknya. Memberi transfer semangat agar Monica kuat. Meski tak ada sama sekali pergerakan dari Monica.Reza yang sedang berada di luar, sampai berlari pulang karena Nina menelponnya. Kakinya lemas melihat putri satu-satunya tak sadarkan diri. "Kamu kenapa, Nak?" Nina terus menangis, tak percaya putri kesayangannya melukai dirinya.Tak banyak kata, Shaka langsung meminta sopir ambulan untuk segera ke rumah sakit. Dia bahkan meminta sopir untuk menggunakan kecepatan tinggi khawatirnya Monica tidak bisa diselamatkan."Van, Monica keningnya berdarah dan tak sadarkan diri. Mohon bisa ditangani langsung." Shaka menelpon Evan--calon suaminya Monica.Dokter Evan sampai gemetar mendengar ucapan calon abang iparnya itu. Dia semakin menyadari jika Monica seperti ini karena tidak ingin bertunangan denga