Nina langsung menyemangati Monica, Nina tidak berani bertanya terlalu banyak dengan putrinya. Khawatir akan merusak moodnya lagi. Selain itu, Monica butuh istorahat yang banyak agar kesehatannya kembali pulih.“Kenapa kamu melukai dirimu, Monica?” tanya Shaka, mereka berdua berada di ruang karena Nina dan reza --orang tuanya sedang menemui dokter.Lagi, Monica hanya diam, dia masih tidak ingin banyak bicara. Baginya yang terpenting saat ini bisa melihat Brayen dan tahu isi hatinya. Dia bahkan berjanji jika Brayen mencintainya, tak akan lagi mengganggu abang Brayen. “Apa karena abang Brayen, Monica?” Tanya Shaka kembali. Monica masih diam."Apa kamu kira dengan membenturkan diri, dia akan berubah. Kamu salah Monica!" "Abang, aku pun tak mengerti mengapa bisa melukai diri sendiri seperti ini," jawab Monica.“Sampai kapan kamu begini terus, dimana harga dirimu.” Shaka masih terus mengingatkan adiknya.“Maafkan aku, Bang. Ini diluar kuasaku.” Monica membela diri. Shaka ingin membantah,
Entah mengapa aku diliputi gelisah, putri kesayanganku--Monica kurasa tatapannya berbeda jika bersama abangnya--Brayen. Aku bukan tidak setuju. Sejak bayi, Brayen hidup bersamaku. Menjaganya dengan sepenuh hati seperti putraku sendiri. Namun, mengapa harus ada cinta diantara mereka. Meski mereka bukan sedarah, tetapi tetap saja mereka seperti anakku. Anak kebanggaanku yang kuurus sejak kecil.Bagaimana perasaanmu sebagai orang tua jika anak yang kita asuh sejak kecil menjadi menantu dalam rumah ini. Aku rasa ini benar-benar membuatku seperti orang gila. Shaka pun sepertinya diam-diam mendukung adiknya."Shaka, katakan pada daddy apa ada hubungan spesial adikmu dengan abangmu?""Mereka tetap saudara, Dad. Jangan berpikir yang tidak-tidak," balas Shaka yang kurasa membohongiku.Semakin menguatkan ketika Brayen begitu tulus memeluk Monica. Aku pun belum tahu apakah Monica begitu mencintainya atau hanya sebatas menggemarinya.Putri kecilku itu bahkan sejak kecil tidak pernah ada masalah
“Kamu memilih keluargamu atau memilih dia?” daddy bertanya dan tidak memakai kata abang lagi pada abang Brayen. Aku hanya diam, aku tak bisa membohongi diriku bahwa aku begitu mencintai abang angkatku. Aku dibuat dilema oleh pilihan yang begitu sulit kurasa.“Jawab Monica?” Tanya daddy. Bunda hanya bisa menangis melihatku dibentak.“Daddy tidak boleh egois masalah ini, aku dan Monica saling mencintai.” Abang Brayen masih tetap berjuang, dia bahkan duduk bersimpuh demi sebuah pengakuan dari daddy.“Silahkan … tapi aku tidak akan membersamai kalian.” Daddy bahkan pergi meninggalkanku. Bunda tak berani membela kami, meski air matanya terus turun.“Bang, jika bisa kita dapat restu dulu dari daddy. Aku ingin hidup tenang bersama daddy dan bunda,” jawabku jujur. Abang Brayen mundur. Dia merasa bahwa aku memilih daddy. Pilihan ini sulit bagiku, mereka berdua adalah orang yang begitu penting bagiku.“Bagaimana ini, Bang?” tanyaku pada abang Shaka. Barangkali dia bisa membantuku.“Abang juga
Mendengar abang Brayen masuk rumah sakit rasanya hatiku nyeri. Apakah ini karena aku yang memilih bersamanya. Semuanya benar-benar menggangguku. Apa keputusanku salah memilih abang Brayen tanpa restu. Pikiran ini semakin meledak rasanya. Aku bahkan tak berselera makan, hanya memikirkan bagaimana kabar abang Brayen yang sampai saat ini aku pun tak tahu.Bahkan rindu ini semakin memuncak di hatiku, wajahnya begitu jelas hingga menusuk relung di hatiku. Aku begitu merindukannya apalagi abang Brayen menghilang tanpa jejak, tak ada satu kabar pun yang memberikan semangat untukku. Aku merasa semua orang seperti melupakanku. Terkurung dalam sepi di sini, berteman dengan rindu tanpa keluarga dan kerabat.“Apa tidak ada kabar operasi dari abang Brayen?” tanyaku. Lagi, mereka hanya membalas dengan gelengan. Semakin hari aku dibuat semakin tidak nyaman di sini. Bagaimana tidak, tak ada satupun dari mereka yang tahu kabar abang Brayen.“Apa kalian tidak merasa aneh, tuan yang membayar kalian unt
“Maafkan aku dokter Monica, begini caraku agar kamu bisa bersamaku. Selain itu aku sudah dapat restu dari daddymu.” Dokter Evan begitu mudah berkata. Dia terlihat berbeda kali ini.“Apa dokter tidak paham yang namanya jatuh cinta?” tanyaku menegaskan.“Karena aku paham makanya aku mengambilmu dari Brayen. Mungkin dia sudah mati saat ini di meja rumah sakit,” ucap dokter Evan begitu mudahnya. Dia berubah menjadi jahat hanya alasan karena jatuh cinta.“Kamu sudah menerimaku, harusnya kamu tidak lepas dariku, Monica. Aku hanya memintamu menjadi istriku, dan aku akan bahagiakan kamu seutuhnya.” Aku semakn takut melihat dokter Evan begitu aneh kurasa. Wajahnya tida sekalem yang dulu. Dia membelai jilbabku yang sudah kusut karena mereka culik. Cinta membuat siapa saja berubah, aku jadi mengingat dokter Ana yang menculik abang Shaka. Mereka sama-sama mengerikan.“Kamu membuatku hampir gila Monica, begitu mudah bagimu meninggalkanku yang begitu menginginkanmu,” sambungnya lagi. Dia langsun
Abang Shaka segera menarikku, dokter Evan langsung mundur. Ada rasa ketakutan dalam dirinya ketika melihat kemarahan abang Shaka terlihat dari tingkahnya yang tidak tenang. “Jadilah laki-laki kstaria, Dok. Jangan paksa orang lain untuk mencintaimu.”“Aku hanya memperjuangkan apa yang sudah kita setujui bersama, daddy Reza juga setuju akan hal ini,” balasnya.Aku terisak dipelukan kak Gendis, dokter Evan dan abang Shaka masih beradu mulut. Abang Shaka juga tidak mau kalah meski dokter Evan selalu menyangkal setiap ucapan abang Shaka.“Aku ragu jika abang Brayen menghilang, ini pasti ulah kalian yang menginginkan abang Brayen pergi,” ucap abang Shaka."Tidak perlu ragu, Bang. Karena pada dasarnya Brayen dan Monica tidak ditakdirkan bersama," jawab dokter Evan tak mau kalah.Kepalaku rasanya pening, aku berharap abang Shaka membawaku lari ke tempat ini. Tempat yang bagiku sangat menyeramkan."Aku akan membawa Monica pergi dari sini." Abang Brayen tak ragu meski wajah dokter Evan terlih
“Lepaskan Monica!” abang Brayen berteriak. Cukup lama kami saling memandang. Kerinduan nampak jelas di matanya. Apalagi aku yang tak bisa menyembunyikan rasa ini. “Aku hanya menjalankan keinginan daddy Reza!”Dokter Evan ikut berteriak.Suasana sangat menegangkan, aku hanya menangis melihat perseteruan mereka. Kembali kak Gendis menarikku agar berada di dekatnya, karena ada abang Brayen yang akan membantu kami. “Harusnya bukan karena siapa pun, dokter Evan!”Aku dibuat bingung, di sisi lain aku tidak ingin daddy berlaku seperti ini. Mengapa aku serapuh ini. Walau bagaimana pun harusnya aku berbakti pada orang tua.“Restu itu segalanya, Bang. Daddy Reza berhak tidak merestui kalian karena Monica adalah anaknya,” sambung dokter Evan.Perang dingin dimulai, yang kutakutkan akhirnya terjadi. Berada ditengah-tengah orang yang memiliki kekuasaan, tentunya itu tidak mudah melawan mereka karena mereka sama-sama kuat dan tentunya ingin menang sendiri.“Atau mungkin kita tidak berhak untuk men
Brayen duduk termenung, banyak hal yang dipikirkannya. Selain itu, yang membuat hatinya semakin bimbang adalah tak ada keluarga yang menemani. Selama ini hanya Reza dan Nina yang selalu memperhatikan segala keperluannya. Orang tua angkat serasa kandung itu membuat Brayen semakin menyadari bahwa dia pun tidak boleh egois untuk hal ini.“Ada pasien, Dok,”ucap salah satu perawat yang mengingatkan dia. “Baik, saya akan ke sana," balas Brayen.Belakangan ini dia bahkan tak banyak bicara. Sejak tiga hari kejadian Monica yang kembali pulang membuat Brayen semakin menyadari bahwa caranya salah. Seharusnya dia tidak mendahulukan perasaannya. “Dokter Evan masih jadi kepala rumah sakit?” tanya Brayen ke Alden yang biasa menjadi asisten dadakannya. Brayen sudah mengajukan agar dokter Evan diturunkan jabatannya karena memiliki sifat yang tidak baik menjadi pemimpin.“Sudah dipindahkan menjadi dokter biasa, Tuan," jawab Alden.“Bagus, harusnya saya pidanakan dia,” balas Brayen. Dokter Evan menuru