“Kamu memilih keluargamu atau memilih dia?” daddy bertanya dan tidak memakai kata abang lagi pada abang Brayen. Aku hanya diam, aku tak bisa membohongi diriku bahwa aku begitu mencintai abang angkatku. Aku dibuat dilema oleh pilihan yang begitu sulit kurasa.“Jawab Monica?” Tanya daddy. Bunda hanya bisa menangis melihatku dibentak.“Daddy tidak boleh egois masalah ini, aku dan Monica saling mencintai.” Abang Brayen masih tetap berjuang, dia bahkan duduk bersimpuh demi sebuah pengakuan dari daddy.“Silahkan … tapi aku tidak akan membersamai kalian.” Daddy bahkan pergi meninggalkanku. Bunda tak berani membela kami, meski air matanya terus turun.“Bang, jika bisa kita dapat restu dulu dari daddy. Aku ingin hidup tenang bersama daddy dan bunda,” jawabku jujur. Abang Brayen mundur. Dia merasa bahwa aku memilih daddy. Pilihan ini sulit bagiku, mereka berdua adalah orang yang begitu penting bagiku.“Bagaimana ini, Bang?” tanyaku pada abang Shaka. Barangkali dia bisa membantuku.“Abang juga
Mendengar abang Brayen masuk rumah sakit rasanya hatiku nyeri. Apakah ini karena aku yang memilih bersamanya. Semuanya benar-benar menggangguku. Apa keputusanku salah memilih abang Brayen tanpa restu. Pikiran ini semakin meledak rasanya. Aku bahkan tak berselera makan, hanya memikirkan bagaimana kabar abang Brayen yang sampai saat ini aku pun tak tahu.Bahkan rindu ini semakin memuncak di hatiku, wajahnya begitu jelas hingga menusuk relung di hatiku. Aku begitu merindukannya apalagi abang Brayen menghilang tanpa jejak, tak ada satu kabar pun yang memberikan semangat untukku. Aku merasa semua orang seperti melupakanku. Terkurung dalam sepi di sini, berteman dengan rindu tanpa keluarga dan kerabat.“Apa tidak ada kabar operasi dari abang Brayen?” tanyaku. Lagi, mereka hanya membalas dengan gelengan. Semakin hari aku dibuat semakin tidak nyaman di sini. Bagaimana tidak, tak ada satupun dari mereka yang tahu kabar abang Brayen.“Apa kalian tidak merasa aneh, tuan yang membayar kalian unt
“Maafkan aku dokter Monica, begini caraku agar kamu bisa bersamaku. Selain itu aku sudah dapat restu dari daddymu.” Dokter Evan begitu mudah berkata. Dia terlihat berbeda kali ini.“Apa dokter tidak paham yang namanya jatuh cinta?” tanyaku menegaskan.“Karena aku paham makanya aku mengambilmu dari Brayen. Mungkin dia sudah mati saat ini di meja rumah sakit,” ucap dokter Evan begitu mudahnya. Dia berubah menjadi jahat hanya alasan karena jatuh cinta.“Kamu sudah menerimaku, harusnya kamu tidak lepas dariku, Monica. Aku hanya memintamu menjadi istriku, dan aku akan bahagiakan kamu seutuhnya.” Aku semakn takut melihat dokter Evan begitu aneh kurasa. Wajahnya tida sekalem yang dulu. Dia membelai jilbabku yang sudah kusut karena mereka culik. Cinta membuat siapa saja berubah, aku jadi mengingat dokter Ana yang menculik abang Shaka. Mereka sama-sama mengerikan.“Kamu membuatku hampir gila Monica, begitu mudah bagimu meninggalkanku yang begitu menginginkanmu,” sambungnya lagi. Dia langsun
Abang Shaka segera menarikku, dokter Evan langsung mundur. Ada rasa ketakutan dalam dirinya ketika melihat kemarahan abang Shaka terlihat dari tingkahnya yang tidak tenang. “Jadilah laki-laki kstaria, Dok. Jangan paksa orang lain untuk mencintaimu.”“Aku hanya memperjuangkan apa yang sudah kita setujui bersama, daddy Reza juga setuju akan hal ini,” balasnya.Aku terisak dipelukan kak Gendis, dokter Evan dan abang Shaka masih beradu mulut. Abang Shaka juga tidak mau kalah meski dokter Evan selalu menyangkal setiap ucapan abang Shaka.“Aku ragu jika abang Brayen menghilang, ini pasti ulah kalian yang menginginkan abang Brayen pergi,” ucap abang Shaka."Tidak perlu ragu, Bang. Karena pada dasarnya Brayen dan Monica tidak ditakdirkan bersama," jawab dokter Evan tak mau kalah.Kepalaku rasanya pening, aku berharap abang Shaka membawaku lari ke tempat ini. Tempat yang bagiku sangat menyeramkan."Aku akan membawa Monica pergi dari sini." Abang Brayen tak ragu meski wajah dokter Evan terlih
“Lepaskan Monica!” abang Brayen berteriak. Cukup lama kami saling memandang. Kerinduan nampak jelas di matanya. Apalagi aku yang tak bisa menyembunyikan rasa ini. “Aku hanya menjalankan keinginan daddy Reza!”Dokter Evan ikut berteriak.Suasana sangat menegangkan, aku hanya menangis melihat perseteruan mereka. Kembali kak Gendis menarikku agar berada di dekatnya, karena ada abang Brayen yang akan membantu kami. “Harusnya bukan karena siapa pun, dokter Evan!”Aku dibuat bingung, di sisi lain aku tidak ingin daddy berlaku seperti ini. Mengapa aku serapuh ini. Walau bagaimana pun harusnya aku berbakti pada orang tua.“Restu itu segalanya, Bang. Daddy Reza berhak tidak merestui kalian karena Monica adalah anaknya,” sambung dokter Evan.Perang dingin dimulai, yang kutakutkan akhirnya terjadi. Berada ditengah-tengah orang yang memiliki kekuasaan, tentunya itu tidak mudah melawan mereka karena mereka sama-sama kuat dan tentunya ingin menang sendiri.“Atau mungkin kita tidak berhak untuk men
Brayen duduk termenung, banyak hal yang dipikirkannya. Selain itu, yang membuat hatinya semakin bimbang adalah tak ada keluarga yang menemani. Selama ini hanya Reza dan Nina yang selalu memperhatikan segala keperluannya. Orang tua angkat serasa kandung itu membuat Brayen semakin menyadari bahwa dia pun tidak boleh egois untuk hal ini.“Ada pasien, Dok,”ucap salah satu perawat yang mengingatkan dia. “Baik, saya akan ke sana," balas Brayen.Belakangan ini dia bahkan tak banyak bicara. Sejak tiga hari kejadian Monica yang kembali pulang membuat Brayen semakin menyadari bahwa caranya salah. Seharusnya dia tidak mendahulukan perasaannya. “Dokter Evan masih jadi kepala rumah sakit?” tanya Brayen ke Alden yang biasa menjadi asisten dadakannya. Brayen sudah mengajukan agar dokter Evan diturunkan jabatannya karena memiliki sifat yang tidak baik menjadi pemimpin.“Sudah dipindahkan menjadi dokter biasa, Tuan," jawab Alden.“Bagus, harusnya saya pidanakan dia,” balas Brayen. Dokter Evan menuru
Kadang ... semesta pun ikut berpihak ketika kerinduan semakin menyeruak, seperti irama lagu di hatiku yang terus berdendang, walau hanya sekedar melihat wajahnya yang begitu semakin berseri. Kakiku turut gemetar berada di dekatnya. Nyatanya rindu itu memang berat, apalagi hanya bisa memandangnya. Namun, tak bisa menggapainya. Apakah aku salah merindukan abang angkatku ini? Merindukan tanpa batas waktu ditentukan. Ini sungguh berat bagiku yang sudah jelas tidak bisa bersamanya.“Apa kabarmu, Dik?” tanya abang Brayen. Ya Allah, hanya mendengar suaranya hati ini terasa bergetar.“Baik, Bang,” jawabku. Aku bahkan tak berani hanya sekedar memandang wajahnya.“Kenapa kamu kurus?” tanyanya lagi."Diet?" tanyanya lagi.“Karena merindukan abang, puas?“ balasku polos. Astagfirullah kenapa pula aku jujur begini. Abang Brayen nampak tersenyum mendengar ucapanku yang senonoh ini.“Aku juga,” balasnya tersenyum. Aku hanya menunduk tak berani memandang wajahnya. Kami benar-benar canggung atau just
“Abang?!”“Shaka? Dasar ente bikin kaget aja!” abang Brayen ikut berteriak. “Tadinya daddy yang mau jemput, tetapi daddy kutahan ketika daddy bilang Monica konsultasi di rumah sakit ini. Aku langsung yang minta untuk menjemput Monica. Takutnya kalian dilihat seperti tadi,” jawab abang Shaka enteng. Pipiku sudah tak nisa dikondisikan. Merah merona kurasa.Aku menarik napas lalu mengembuskannya pelan, benar-benar seperti uji nyali saja teriakan abang Shaka, kukira kamii ketahuan. Abang Shaka tak henti tertawa melihat ekspresi kami yang seperti anak muda yang pacaran. “Gangguin ajak, kau.” Abang Brayen terlihat kesal melihat Shaka yang masuk tiba-tiba.“Masih berani juga, ya, kalian. Makanya cari restu daddy dulu, kalau mau bersatu.”"Tenang saja, Daddy pasti merestui," jawab Abang Brayen. "Gak caya aku kalau belum lihat langsung," balas abang Shaka dengan nada dibuat-buat.Aku hanya diam mendengar mereka yang seperti adu jotos, mereka terus salih sahut seperti anak kecil, meski begit
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te