Aksa mengemudikan mobil menuju restoran. Sesampainya di sana dia melihat Ilham yang sudah menunggu.“Kamu yakin itu Alina?” tanya Aksa ketika bertemu Ilham.“Yakin, Pak. Mana mungkin saya salah lihat,” jawab Ilham, “memang awalnya tidak yakin, apalagi penampilan Bu Alina sangat … norak.” Ilham bicara agak lirih di akhir kata karena takut diamuk atasannya.Aksa langsung melotot. Apa benar Alina berpenampilan norak? Rasanya aneh, jangan-jangan Ilham salah melihat.“Coba, Anda lihat sendiri saja,” kata Ilham saat melihat Aksa ragu.Aksa benar-benar penasaran. Dia masuk restoran lalu menuju ke meja yang sudah disiapkan. Saat sampai di meja itu, Aksa sangat terkejut melihat penampilan Alina. Apa benar wanita itu istrinya?“Aksa?” Alina terkejut sampai langsung berdiri saat melihat Aksa di sini. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Alina dengan ekspresi wajah panik.“Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan di sini dengan penampilan ….” Aksa malu sendiri sampai tak bisa melanjutkan ucapannya.
Aksa dan Alina duduk berdua di ruang televisi, keduanya diam dan larut dalam pikiran masing-masing.“Sebenarnya Kaira itu kasihan. Dia dituntut harus menikah dengan pria kaya yang setara dengan keluarganya. Sekarang kamu tahu, kan? Kenapa aku juga tidak mau kalau menikah dengan pria kaya, karena keluarganya pasti menuntut hal sama, sama-sama kaya.”Aksa diam. Dia tidak berani menanggapi ucapan Alina yang bisa menimbulkan kecurigaan.“Aku sangat kasihan pada Kaira, karena itu tidak sungkan membantunya. Dia hanya mau mencari pasangan yang benar-benar sesuai dengan pilihannya, tapi papanya tidak mau tahu,” ujar Alina lagi.Di saat Alina begitu bersimpati pada Kaira, Aksa malah panik karena hampir saja Kaira tahu kalau dia kaya. Jika Aksa datang begitu saja tadi, mungkin bukan Kaira tetapi Alina yang langsung mengetahui status dia yang sebenarnya.“Kalau memang Kaira menyukai Ilham dan tak ingin dijodohkan, lebih baik Kaira jujur saja pada ayahnya,” ucap Aksa memberi solusi.Alina menoleh
Aksa baru saja rapat dengan para staff. Dia memberi instruksi pada Ilham agar segera melaksanakan perencanaan yang tadi dilaporkan.“Pastikan semua berjalan dengan baik,” perintah Aksa.“Baik, Pak” balas Ilham.Saat Aksa dan Ilham akan masuk lift. Ponsel Aksa berdering dan langsung dijawab oleh pria itu.“Halo, ada apa?” tanya Aksa saat menjawab panggilan dari Alina.“Aksa!”Bola mata Aksa membulat sempurna mendengar Alina berteriak dengan suara sesenggukan.“Ada apa, Al?” tanya Aksa panik.Ilham yang melihat Aksa terkejut ikut pen
Keesokan harinya. Aksa sudah bersiap ke kantor dan sekarang sedang menemui Alina di kamar.“Aku harus ke kantor. Kamu jangan ke mana-mana dan tetap di apartemen. Jika kamu membutuhkan sesuatu, hubungi aku.”Aksa tidak mau terjadi sesuatu pada Alina, sehingga dia memastikan Alina tetap di apartemen karena hanya di sana Alina akan aman.Alina mengangguk-angguk. Kedua matanya masih terlihat bengkak karena semalam kebanyakan menangis.Aksa pergi ke perusahaan. Saat sampai di sana, Ilham langsung menghadap seperti biasa.“Cek slot toko di Radja Mall, apa ada toko kosong di sana!” perintah Aksa.Ilham terkejut. “Toko kosong?”
Aksa kembali ke ruang kerjanya setelah Karissa pergi. Saat baru saja masuk, ponsel Aksa berdering dan nama Bams terpampang di layar.Aksa berhenti di samping meja, lantas menjawab panggilan itu.“Bagaimana?” tanya Aksa.“Saya sudah menangkap semua preman itu, Pak.”Tatapan Aksa berubah tajam mendengar ucapan Bams. “Lalu, sudah kamu interogasi?” tanya Aksa.“Sudah. Salah satu dari mereka berkata kalau dendam karena Bu Alina sombong dan yang lainnya mengatakan kalau mereka hanya ikut merusak saja.”Satu sudut alis Aksa tertarik ke atas mendengar ucapan Bams. Tentu saja dia tidak akan memercayai pengakuan para preman itu.“Apa mereka pikir aku akan percaya?” Aksa benar-benar tidak terima.“Tekan mereka sampai mengaku, jangan biarkan mereka lepas begitu saja sampai mereka jujur dan memberitahu alasan kenapa merusak butik milik Alina!” perintah Aksa sangat geram.“Baik, Pak.”Setelah mengakhiri panggilan itu, Aksa duduk dengan kasar di kursinya. Dia benar-benar tidak habis pikir, bagaiman
Aksa pulang lebih awal karena mencemaskan Alina. Dia bergegas masuk apartemen dan mendapat Alina yang sedang sibuk di dapur.“Kamu sudah pulang, awal sekali?’Aksa menatap pada Alina yang sedang menyajikan makanan di meja. Istrinya itu masak lumayan banyak dan semuanya sudah tersaji di meja.“Kok bengong? Sana mandi, lalu kita makan malam bersama,” ucap Alina dengan wajah semringah.Aksa lega melihat Alina sudah ceria seperti biasanya. Dia mengangguk lalu segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Alina menunggu Aksa selesai mandi. Dia mencoba bersikap biasa karena tidak ingin membuat Aksa mencemaskan dirinya.Setelah Aksa mandi, mereka duduk di meja makan dan siap makan malam.“Aku menyewakan toko di Radja Mall untukmu. Jadi, selama butikmu direnovasi, kamu bisa berjualan di sana. Kalau sudah selesai pun, kamu bisa berjualan di dua tempat dan memperkerjakan karyawan,” kata Aksa di sela makan.Alina terkejut. Dia langsung menatap pada Aksa.“Radja Mall? Kenapa kamu menyewa tempat
Setelah dari psikolog. Alina pergi ke Radja Mall untuk melihat toko yang Aksa maksud. Aksa sudah mengirim foto surat sewa yang membuat Alina percaya jika toko itu tidak disewa dengan harga mahal.“Sudah konsultasi ke psikolog, dokternya juga berkata kalau kamu akan baik-baik saja dengan mau terbuka pada orang lain, terutama pasanganmu. Jadi mulai sekarang, berhenti berpikir kalau kamu bisa segalanya sendiri, Al. Kamu butuh orang-orang yang menyayangimu,” ucap Kaira saat dia dan Alina sedang berjalan masuk ke mall.“Iya, kamu ini ternyata cerewet sekali,” balas Alina gemas tetapi juga sayang karena Kaira selalu ada buatnya.“Cerewet buat kebaikan juga tidak ada salahnya, Al,” ucap Kaira.Alina tersenyum lebar sambil merangkul lengan Kaira.Saat mereka sudah masuk mall. Alina tiba-tiba ingat dengan kencan buat Kaira yang tempo hari gagal. Dia mendadak merasa lucu sendiri.“Kai, kalau kemarin aku jadi bertemu dengan pria itu, mungkin sekarang aku akan sangat malu karena suamiku malah men
Aksa terkesiap mendengar pertanyaan Alina. Tidak menyangka kalau Alina masih bertanya dengan apa yang dilihat tadi.“Tidak tahu, tiba-tiba wanita itu membungkuk dan menyapa. Mungkin bagian dari pelayanan,” balas Aksa mengelak.Alina membentuk huruf O dengan bibir sambil mengangguk-angguk, percaya.“Kita pulang!” ajak Aksa.Alina mengiyakan. Dia berjalan bersama Aksa keluar dari mall.“Bagaimana menurutmu toko itu?” tanya Aksa ketika mereka sudah berada di mobil.“Sangat luas. Tinggal menambah beberapa perabot, pasti akan sangat cantik,” jawab Alina sambil memperlihatkan senyum manisnya. Dia berusaha membuat Aksa senang dengan memperlihatkan kalau dia menyukai pemberian suaminya itu.“Aku akan meminta orang untuk membeli beberapa perabot yang kamu butuhkan,” ujar Aksa sambil fokus menyetir.Alina terkejut.“Tidak usah. Aku tidak mau merepotkanmu lagi. Kamu sudah mengeluarkan uang banyak untuk menyewa tempat itu, jadi biarkan aku yang membeli perabot yang dibutuhkan,” tolak Alina. Dia ti
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser