Jangan lupa komentarnya ya, makasih banyak
Aksa menatap Alina yang menunduk diam. Dia mengapit dagu Alina lalu mengarahkan pandangan mata istrinya itu padanya.Aksa melihat tatapan mata Alina yang teduh, sendu, dan berbalut kecemasan. “Obat trauma ada pada dirimu sendiri. Percayalah dan itu akan sembuh. Kamu tidak perlu merasa trauma, apalagi hanya karena dua manusia brengsek seperti mereka.” Suara Aksa begitu lembut terdengar di telinga Alina, meskipun pria itu mengumpat.“Kamu terlalu baik untuk merasakan sakit itu.”Alina diam. Dia merasa jantungnya semakin berdegup cepat ketika mendengar semua ucapan suaminya ini.“Biarkan aku membantumu mengobati trauma itu.” Aksa hanya mengikuti nalurinya untuk menyelipkan rambut Alina di belakang telinga wanita itu.“Aku tidak bisa melihatmu terluka hanya karena mereka. Aku ingin kamu bahagia, Alina.” Aksa menelisik wajah lembut Alina, lalu menatap dua bola mata Alina secara bergantian seolah ingin ikut masuk ke pikiran Alina agar bisa memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan Alina.Sek
Alina memandang langit-langit kamar dengan rasa tak percaya. Dia menarik selimut semakin tinggi ketika mengingat apa yang baru saja terjadi. Dia menutup setengah wajah hingga hanya terlihat kedua matanya saja, dia benar-benar malu, rasanya kenapa semua terjadi begitu tiba-tiba.Meskipun awalnya dia tegang dan masih terbayang traumanya, tetapi Aksa benar-benar membuatnya melupakan semua itu. Sentuhan pria itu benar-benar melekat di dalam kepalanya, membuat Alina sampai memejamkan mata lagi dan kedua pipinya merona sangat merah.Aksa baru saja dari kamar mandi. Dia melihat Alina yang menutup wajah dengan selimut dan terlihat tegang. Aksa mendekat, lalu duduk di tepian ranjang sambil menatap istrinya itu.“Kenapa?” tanya Aksa.Alina melirik pada Aksa, lalu menutup seluruh wajahnya menggunakan selimut.“Aku malu,” ucap Alina dari dalam selimut.Aksa menahan tawa. Dia merasa sangat lucu dengan tingkah Alina saat ini.“Jangan menatapku,” ucap Alina dari balik selimut lagi.“Aku tidak menata
Hari berikutnya. Alina pergi ke mall karena ada janji dengan toko yang akan mengirimkan barang-barang pesanannya. Dia sudah ada di sana, menerima barang dan menyusun rak juga perabot lain agar bisa segera membuka tokonya itu.“Ini sudah semua, Bu. Kami permisi,” kata pegawai toko yang baru saja mengirim barang.“Iya, terima kasih,” balas Alina.Alina merapikan sendiri barang-barangnya. Dia juga sudah membuka info lowongan kerja untuk shift malam karena sayang jika buka hanya sampai sore.Alina merapikan semuanya sendiri. Dia berharap bisa lebih baik di sana karena tidak ingin mengecewakan Aksa.Saat jam makan siang. Kaira datang membawa makan siang.“Duh, rajinnya. Aku bawa makanan, ayo makan dulu!” ajak Kaira sambil memperlihatkan paper bag di tangan.Alina sedang memasang hiasan di dinding ketika melihat Kaira datang. Dia tersenyum lalu menghampiri Kaira yang sudah duduk di sofa.“Kenapa tidak mempekerjakan orang untuk membantumu?” tanya Kaira karena melihat Alina sendirian.“Tadi a
Di perusahaan Aksa. Ilham baru saja melihat berita gosip tentang Karissa yang sedang hangat diperbincangkan. Dia segera pergi ke ruangan Aksa untuk memberitahukan berita itu.“Pak, Anda harus melihat ini,” kata Ilham sambil memberikan ponselnya pada Aksa.Aksa mengerutkan alis melihat Ilham seperti panik. Dia menerima ponsel asistennya itu, lalu melihat video apa yang hendak diperlihatkan Ilham.Ekspresi wajah Aksa begitu datar melihat Karissa diwawancara. Dia melihat klarifikasi Karissa yang malah seperti memancing agar semua orang semakin penasaran.“Pak, siluet foto agak blur itu bukankah Anda?” tanya Ilham memastikan kalau dia tidak salah lihat.Aksa menatap dingin. Ya, itu memang dia, tetapi kenapa ada yang memberitakannya seperti ini? Mungkinkah Karissa sengaja?“Selama dia tidak menyebut namaku, aku tidak akan bertindak gegabah,” ucap Aksa sambil memberikan ponsel Ilham.Ilham mengerutkan alis. Apa Aksa akan membiarkan masalah ini?“Bisa saja dia sengaja memancing agar aku angk
“Janji kamu jangan pernah menyakiti apalagi meninggalkannya, ya.” Nenek Agni menatap penuh harap.Aksa mengangguk. Dia melihat Nenek Agni tersenyum penuh kelegaan. Setelah bicara dengan Nenek Agni, Aksa pamit pergi.Nenek Agni begitu senang, apalagi Aksa terlihat berbeda. Cara bicara dan sikap Aksa tidak seperti saat sebelum menikah dengan Alina. Ini membuat Nenek Agni senang karena dia tidak sia-sia menikahkan Aksa dengan Alina.“Semoga semua berjalan sesuai harapan,” gumam Nenek Agni sambil memulas senyum penuh kelegaan.Aksa keluar dari kamar Nenek Agni karena harus kembali ke perusahaan. Saat baru saja akan pergi, Aksa bertemu dengan Sasmita yang baru turun dari lantai atas.“Aksa! Tunggu!” Sasmita memanggil.Aksa menghentikan langkah. Dia menatap Sasmita yang berjalan ke arahnya.“Mama mau tanya, apa benar kamu sekarang bersama Karissa?” tanya Sasmita terlihat begitu antusias.Aksa menatap datar. “Tidak.”“Kenapa? Di berita Karissa disebut kencan dengan pria kaya dan mama yakin
Alina sangat tidak menyukai ucapan Karissa. Dia tidak mengerti, apa yang sebenarnya diinginkan Karissa dan kenapa sepertinya Karissa ingin sekali mengganggunya.“Sebaiknya kamu tidak usah mencampuri urusan hubunganku dengan Aksa. Lagi pula, bukankah kamu sudah punya pasangan. Untuk apa kamu mengejarnya lagi?”Alina tidak langsung jujur kalau dia istri Aksa, lagi pula dia merasa Karissa tidak penting.Karissa tersenyum miring. Dia memakai kembali kacamata hitamnya, lalu berkata, “Kamu memang tidak tahu apa-apa soal Kak Aksa.”Karissa pergi setelah mengatakan itu.Alina terkejut. Apa maksud Karissa? Dia menatap wanita itu pergi, Alina tidak paham kenapa Karissa terus mengatakan padanya kalau dia tak tahu apa-apa.Alina kesal, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak pernah tahu sejauh mana hubungan Aksa dan Karissa, memang sebelumnya dia tidak peduli tetapi sekarang berbeda.Entahlah, Alina mendadak tidak senang. Kenapa juga dia harus bertemu dengan wanita itu.Alina mencoba men
Alina keheranan. Dia menatap curiga pada suaminya yang bereaksi berlebihan. Ini aneh, kan? Padahal Alina menanyakan sesuatu yang biasa dan sudah diketahui oleh publik.“Sebenarnya, sejauh mana hubunganmu dengan Karissa itu?” tanya Alina akhirnya terpancing untuk mengulik informas itu.Aksa baru saja minum. Dia menatap pada Alina yang memasang wajah tak senang. “Hanya sebagai kenalan saja,” jawab Aksa bersikap tenang.“Hanya kenal? Hanya itu?” Dahi Alina berkerut halus, tentu saja jawaban Aksa yang bertolak-belakang dengan Karissa semakin membuat Alina curiga.“Sebenarnya agak aneh, meski kamu pernah bilang kalau kalian kenal karena Karissa itu anak salah satu rekan bisnis perusahaan tempatmu bekerja, tetapi bagiku ini aneh. Kenapa harus kamu yang mengenalnya? Kenapa bukan staff lain?”Alina mencecar, mencoba mencari informasi akurat karena dia terganggu dengan ucapan Karissa.“Karena kami sering bertemu saja. Mungkin karena itu Karissa lebih dekat denganku daripada staff lain,” jawab
Bima diam. Dia menatap pada Karissa yang menunggu balasan darinya. Bima masih tidak paham, kenapa wanita di depannya ini tiba-tiba membahas soal hubungannya dengan Alina.“Sepertinya tidak usah dijawab pun, ekspresi wajahmu cukup memperlihatkan kalau kamu memang sangat mencintainya? Apa Alina cinta pertamamu?” tanya Karissa mencoba memprovokasi.“Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Bukankah hubungan kami tidak ada sangkut-pautnya denganmu, apa manfaat untukmu?” tanya Bima dengan tatapan curiga.“Manfaat? Tidak ada, aku hanya bersimpati pada mantan kekasihmu saja,” jawab Karissa sambil memasang wajah sedih seolah dia benar-benar berempati.Bima menaikkan satu sudut alis melihat perubahan ekspresi wajah Karissa.“Bersimpati? Untuk apa?” tanya Bima. Dia tidak akan percaya begitu saja, apalagi tidak mengenal sama sekali siapa wanita di depannya ini.“Apa kamu berpikir Alina bahagia setelah menikah?” Karissa bicara sambil menatap serius pada Bima.Bima diam.“Aku hanya kasihan. Dia menikah,
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.