Jangan lupa komentarnya, ya. Terima kasih
Hari berikutnya. Alina sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan seperti biasa. Dia terlihat bahagia karena harinya berjalan dengan lancar.“Aku tidak tahu sesibuk apa kamu di perusahaan dan apa kamu makan dengan teratur di sana. Jadi, apa kamu mau aku buatkan bekal? Jadi kalau kamu lapar tapi tidak sempat makan di luar, kamu bisa makan bekalnya?” tanya Alina tanpa menatap pada Aksa yang baru saja masuk dapur.Aksa agak terkejut. Akan tetapi tetap tenang. “Ya, buatkan saja.” Aksa tidak mau mengecewakan Alina, jadi dia menuruti apa yang dikatakan oleh istrinya itu.Alina menoleh pada Aksa. Dia tersenyum lebar karena senang.**Aksa pergi ke perusahaan membawa bekal yang disiapkan Alina. Aneh memang, seumur-umur baru kali ini dia membawa kotak bekal makanan. Bahkan saat sekolah, dia tidak pernah membawa bekal karena ada yang akan mengantarnya sendiri.Aksa menenteng tas bekal menuju ruang kerjanya, meski dia menyadari kalau para staff menatapnya aneh. Akan tetapi, apa mereka berani meneg
Aksa mengemudikan mobil menuju restoran. Sesampainya di sana dia melihat Ilham yang sudah menunggu.“Kamu yakin itu Alina?” tanya Aksa ketika bertemu Ilham.“Yakin, Pak. Mana mungkin saya salah lihat,” jawab Ilham, “memang awalnya tidak yakin, apalagi penampilan Bu Alina sangat … norak.” Ilham bicara agak lirih di akhir kata karena takut diamuk atasannya.Aksa langsung melotot. Apa benar Alina berpenampilan norak? Rasanya aneh, jangan-jangan Ilham salah melihat.“Coba, Anda lihat sendiri saja,” kata Ilham saat melihat Aksa ragu.Aksa benar-benar penasaran. Dia masuk restoran lalu menuju ke meja yang sudah disiapkan. Saat sampai di meja itu, Aksa sangat terkejut melihat penampilan Alina. Apa benar wanita itu istrinya?“Aksa?” Alina terkejut sampai langsung berdiri saat melihat Aksa di sini. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Alina dengan ekspresi wajah panik.“Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan di sini dengan penampilan ….” Aksa malu sendiri sampai tak bisa melanjutkan ucapannya.
Aksa dan Alina duduk berdua di ruang televisi, keduanya diam dan larut dalam pikiran masing-masing.“Sebenarnya Kaira itu kasihan. Dia dituntut harus menikah dengan pria kaya yang setara dengan keluarganya. Sekarang kamu tahu, kan? Kenapa aku juga tidak mau kalau menikah dengan pria kaya, karena keluarganya pasti menuntut hal sama, sama-sama kaya.”Aksa diam. Dia tidak berani menanggapi ucapan Alina yang bisa menimbulkan kecurigaan.“Aku sangat kasihan pada Kaira, karena itu tidak sungkan membantunya. Dia hanya mau mencari pasangan yang benar-benar sesuai dengan pilihannya, tapi papanya tidak mau tahu,” ujar Alina lagi.Di saat Alina begitu bersimpati pada Kaira, Aksa malah panik karena hampir saja Kaira tahu kalau dia kaya. Jika Aksa datang begitu saja tadi, mungkin bukan Kaira tetapi Alina yang langsung mengetahui status dia yang sebenarnya.“Kalau memang Kaira menyukai Ilham dan tak ingin dijodohkan, lebih baik Kaira jujur saja pada ayahnya,” ucap Aksa memberi solusi.Alina menoleh
Aksa baru saja rapat dengan para staff. Dia memberi instruksi pada Ilham agar segera melaksanakan perencanaan yang tadi dilaporkan.“Pastikan semua berjalan dengan baik,” perintah Aksa.“Baik, Pak” balas Ilham.Saat Aksa dan Ilham akan masuk lift. Ponsel Aksa berdering dan langsung dijawab oleh pria itu.“Halo, ada apa?” tanya Aksa saat menjawab panggilan dari Alina.“Aksa!”Bola mata Aksa membulat sempurna mendengar Alina berteriak dengan suara sesenggukan.“Ada apa, Al?” tanya Aksa panik.Ilham yang melihat Aksa terkejut ikut pen
Keesokan harinya. Aksa sudah bersiap ke kantor dan sekarang sedang menemui Alina di kamar.“Aku harus ke kantor. Kamu jangan ke mana-mana dan tetap di apartemen. Jika kamu membutuhkan sesuatu, hubungi aku.”Aksa tidak mau terjadi sesuatu pada Alina, sehingga dia memastikan Alina tetap di apartemen karena hanya di sana Alina akan aman.Alina mengangguk-angguk. Kedua matanya masih terlihat bengkak karena semalam kebanyakan menangis.Aksa pergi ke perusahaan. Saat sampai di sana, Ilham langsung menghadap seperti biasa.“Cek slot toko di Radja Mall, apa ada toko kosong di sana!” perintah Aksa.Ilham terkejut. “Toko kosong?”
Aksa kembali ke ruang kerjanya setelah Karissa pergi. Saat baru saja masuk, ponsel Aksa berdering dan nama Bams terpampang di layar.Aksa berhenti di samping meja, lantas menjawab panggilan itu.“Bagaimana?” tanya Aksa.“Saya sudah menangkap semua preman itu, Pak.”Tatapan Aksa berubah tajam mendengar ucapan Bams. “Lalu, sudah kamu interogasi?” tanya Aksa.“Sudah. Salah satu dari mereka berkata kalau dendam karena Bu Alina sombong dan yang lainnya mengatakan kalau mereka hanya ikut merusak saja.”Satu sudut alis Aksa tertarik ke atas mendengar ucapan Bams. Tentu saja dia tidak akan memercayai pengakuan para preman itu.“Apa mereka pikir aku akan percaya?” Aksa benar-benar tidak terima.“Tekan mereka sampai mengaku, jangan biarkan mereka lepas begitu saja sampai mereka jujur dan memberitahu alasan kenapa merusak butik milik Alina!” perintah Aksa sangat geram.“Baik, Pak.”Setelah mengakhiri panggilan itu, Aksa duduk dengan kasar di kursinya. Dia benar-benar tidak habis pikir, bagaiman
Aksa pulang lebih awal karena mencemaskan Alina. Dia bergegas masuk apartemen dan mendapat Alina yang sedang sibuk di dapur.“Kamu sudah pulang, awal sekali?’Aksa menatap pada Alina yang sedang menyajikan makanan di meja. Istrinya itu masak lumayan banyak dan semuanya sudah tersaji di meja.“Kok bengong? Sana mandi, lalu kita makan malam bersama,” ucap Alina dengan wajah semringah.Aksa lega melihat Alina sudah ceria seperti biasanya. Dia mengangguk lalu segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Alina menunggu Aksa selesai mandi. Dia mencoba bersikap biasa karena tidak ingin membuat Aksa mencemaskan dirinya.Setelah Aksa mandi, mereka duduk di meja makan dan siap makan malam.“Aku menyewakan toko di Radja Mall untukmu. Jadi, selama butikmu direnovasi, kamu bisa berjualan di sana. Kalau sudah selesai pun, kamu bisa berjualan di dua tempat dan memperkerjakan karyawan,” kata Aksa di sela makan.Alina terkejut. Dia langsung menatap pada Aksa.“Radja Mall? Kenapa kamu menyewa tempat
Setelah dari psikolog. Alina pergi ke Radja Mall untuk melihat toko yang Aksa maksud. Aksa sudah mengirim foto surat sewa yang membuat Alina percaya jika toko itu tidak disewa dengan harga mahal.“Sudah konsultasi ke psikolog, dokternya juga berkata kalau kamu akan baik-baik saja dengan mau terbuka pada orang lain, terutama pasanganmu. Jadi mulai sekarang, berhenti berpikir kalau kamu bisa segalanya sendiri, Al. Kamu butuh orang-orang yang menyayangimu,” ucap Kaira saat dia dan Alina sedang berjalan masuk ke mall.“Iya, kamu ini ternyata cerewet sekali,” balas Alina gemas tetapi juga sayang karena Kaira selalu ada buatnya.“Cerewet buat kebaikan juga tidak ada salahnya, Al,” ucap Kaira.Alina tersenyum lebar sambil merangkul lengan Kaira.Saat mereka sudah masuk mall. Alina tiba-tiba ingat dengan kencan buat Kaira yang tempo hari gagal. Dia mendadak merasa lucu sendiri.“Kai, kalau kemarin aku jadi bertemu dengan pria itu, mungkin sekarang aku akan sangat malu karena suamiku malah men
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.