Dokter menatap simpati pada semua orang yang sudah menunggu kabar darinya. Dalam sekali helaan napas dokter itu berucap, “Kami sudah berusaha sebisa kami, tapi maaf Bu Alina tidak selamat karena kehilangan banyak darah.”Dani mundur saat mendengar penjelasan dokter.Aksa begitu syok, sampai mencengkram baju dokter yang baru saja memberikan informasi tentang Alina.“Jangan membohongi kami. Dia tidak mungkin meninggal!” Aksa tidak bisa menerima begitu saja.Dani geram dengan sikap Aksa. Dia menarik lengan Aksa sampai melepas cengkraman dari dokter, lalu dalam sekali ayunan dia memukul wajah Aksa.Aksa terhuyung karena mendapat pukulan cukup keras dari Dani.“Semua salahmu! Kakakku pergi karenamu!” amuk Dani.Bams langsung menengahi agar tidak terjadi perkelahian di sana.Nenek Agni pingsan saat mendengar Alina meninggal. Mirza sampai menopang tubuh sang mama lalu mencoba membaringkan ke kursi selasar di sana.Semua orang di sana benar-benar terkejut dan terpukul, termasuk Sasmita yang m
Hari itu langit tampak gelap dan terlihat begitu suram. Kabar meninggalnya Alina langsung diketahui banyak orang, sehingga beberapa rekan bisnis dan klien datang ke pemakaman untuk ikut berbela sungkawa. Jenazah itu langsung dimakamkan atas permintaan Dani, tanpa disemayamkan lebih dulu di rumah untuk menghindari perdebatan antara Aksa dan Dani.Aksa diam selama prosesi pemakaman berlangsung. Dia terus memandang pada liang-lahat yang menjadi pembaringan terakhir istrinya. Sampai detik ini, Aksa masih tidak percaya kalau istrinya sudah tiada, hatinya menolak itu.“Aku turut berduka cita,” ucap Restu menemui Aksa setelah prosesi pemakaman selesai. Dia menatap wajah pucat Aksa yang tidak kentara jika tak diperhatikan dengan seksama.Aksa mengangguk, tidak ada yang tahu bagaimana tatapan matanya sekarang karena tertutup kacamata hitam.“Bagaimana dengan bayimu?” tanya Restu.“Masih di rumah sakit karena masih mendapat perawatan intensif. Terima kasih Anda berkenan datang kemari,” jawab Ak
Dani memasukkan semua barangnya ke bagasi mobil dibantu Rizki. “Apa semuanya sudah kamu bawa?” tanya Restu memastikan saat Rizki menutup bagasi mobil.“Sudah, Paman. Aku hanya membawa barang-barang pentingku, selebihnya biar diurus pihak kebersihan. Kunci apartemen juga sudah aku titipkan pada Bams,” jawab Dani.Restu menepuk-nepuk punggung Dani, lalu berkata, “Semua akan baik-baik saja setelah ini. Ingatlah namamu sekarang sebagai Daniel Januarta.”Dani mengangguk-angguk.“Ayo!” ajak Restu agar mereka segera masuk mobil.Dani masuk mobil bersama Restu. Dia tidak menyangka pada akhirnya akan meninggalkan kota tempatnya tumbuh dengan susah dan senang bersama sang kakak.“Semua sudah aku atur, kamu tidak perlu mencemaskan apa pun lagi,” ucap Restu saat melihat Dani hanya diam.Dani menoleh pada Restu, lalu mengangguk. “Terima kasih, meski Paman datang terlambat. Tapi aku bersyukur memiliki Paman.”“Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah terlambat tujuh belas tahun menemukan kalian
Aksa masih di rumah sakit menunggu bayinya. Saat dia masih menunggu di luar karena jam jenguk bayi sudah habis, seorang perawat datang menghampiri Aksa.“Sore, Pak.”Aksa mengangguk membalas sapaan perawat.“Dokter sudah memberikan informasi kalau besok bayi Anda sudah diperbolehkan pulang. Karena ibunya meninggal, mungkin Anda harus mencari ibu susu, tidak harus menyusui langsung, tapi Anda bisa meminta stok ASI berlebih dari si ibu menyusui untuk putra Anda demi kesehatannya,” ujar perawat menjelaskan.“Apa itu baik? Kita tidak tahu apakah ASI yang dihasilkan bagus,” ujar Aksa ragu.“Sebenarnya kami punya usulan. Wanita ini baru saja melahirkan bayi laki-laki juga, jadi sepertinya tidak masalah jika Anda memakai ASI wanita itu untuk bayi Anda. Soal gizinya, Anda boleh ikut memantau asupan gizi wanita itu agar yakin, tentu dengan kesepakatan bersama juga,” ujar perawat memberi usul.Aksa mengangguk-angguk paham, lalu bertanya, “Apa rumah sakit bisa membantu menjadi perantara?”“Tentu
Waktu cepat berlalu, tanpa terasa semua terlewati begitu saja. Hidup memang harus tetap berjalan dan di sinilah mereka pada akhirnya harus menjalani hari dengan kurangnya kasih sayang.Aksa masih tertidur pulas karena semalam harus begadang mengecek beberapa berkas. Dia masih hanyut dalam mimpi indah ketika mendengar suara bising dari luar.“Tuan kecil, jangan lari-larian!”“Mandiin bibi saja, ya.”“Nggak mau!”Terdengar suara pintu ditutup keras, langkah kaki kecil itu terdengar mendekat, sampai akhirnya ada pergerakan di ranjang yang membuat Aksa mengerutkan kening.Arlo Radjasa, bocah berumur tiga tahun itu naik ke ranjang lalu duduk di atas perut sang papa setelah berhasil menghindari kejaran pelayan yang ingin memandikannya. Arlo duduk diam sambil menunggu ayahnya membuka mata.Aksa menghela napas berat. Dia membuka mata dan melihat sang putra sudah duduk di atas perutnya.“Kenapa belum mandi?” tanya Aksa.Arlo hanya menggeleng sambil memasang wajah cemberut.Aksa menghela napas
Aksa pulang agak larut. Dia menaiki anak tangga dengan rasa lelah yang begitu kentara di wajah. Saat masuk kamar sambil melonggarkan dasi, Aksa terkejut melihat Arlo belum tidur.Putranya duduk di atas ranjang menunggu Aksa pulang sambil melipat kedua tangan di depan dada, Arlo memasang wajah masam.“Ini sudah malam, kenapa belum tidur?” tanya Aksa sambil menghampiri Arlo.“Papa bohong,” amuk Arlo lalu memanyunkan bibir.Aksa menghela napas panjang. Dia tahu putranya merajuk sehingga Aksa segera mengangkat tubuh Arlo lalu memangkunya.“Katanya mau pulang cepat, kok malam?” Arlo semakin bersidekap dan memanyunkan bibir.“Maaf, kerjaan papa sangat banyak jadi harus lembur,” jawab Aksa sambil memeluk erat Arlo. Dia mencium kepala putranya itu sebagai tanda sayangnya.Meski Arlo sering merajuk kalau Aksa pulang larut, tetapi hal ini malah tidak membuat Aksa kesal. Dia malah merasa kalau seperti sedang diposesifin oleh putra sendiri sebagai ganti istrinya.“Besok, Alo mau ikut kelja, Alo ng
Aksa kembali ke kamar setelah cukup lama berada di luar. Sesampainya di sana, ternyata Arlo duduk di atas ranjang sambil menangis.“Arlo.” Aksa mendekat lalu menggendong putranya itu sambil menenangkan..“Papa dali mana?” Arlo bertanya sambil menangis.“Dari luar bersama Paman Bams,” jawab Aksa sambil mengusap punggung Arlo.“Alo mimpi buluk,” rengek Arlo sambil memeluk papanya dengan erat.“Itu hanya mimpi. Sekarang bobok lagi, papa tidak akan pergi dari kamar lagi,” ujar Aksa terus mengusap punggung untuk menenangkan.“Kalau Alo punya mama ‘kan, Alo nggak usah nyali Papa kalau bangun malam-malam,” ucap Arlo sambil sesenggukan.Mendengar apa yang dikatakan Arlo, membuat Aksa memeluk erat putranya dengan rasa bersalah begitu dalam menusuk dada.**Di kota Paris. Karissa baru saja melakukan pemotretan. Mood wanita itu sedang sangat buruk sampai harus melakukan take beberapa kali.“Sepertinya kamu sedang kesal, huh? Istirahatlah dulu, kita lakukan lagi nanti,” ujar fotografer itu menggu
Hari itu Aksa bersiap-siap untuk pergi ke perusahaan. Dia sedang mengikat dasi, lalu di sebelahnya ada Arlo yang juga sedang bersiap untuk ikut ke perusahaan.Arlo memakai jas dan dasi kupu-kupu, tetapi celananya pendek, sehingga dia terlihat lucu dan menggemaskan.“Sudah Papa.” Arlo berdiri menghadap sang papa yang sedang mengikat dasi.Aksa menoleh sekilas pada Arlo yang sudah berpakaian rapi. Dia berjongkok lalu membetulkan letak dasi kupu-kupu Arlo.“Oke,” balas Aksa.Mereka berangkat ke kantor. Arlo berjalan di samping Aksa sambil menggandeng tangan ayahnya itu.Para staff yang melihat Aksa datang langsung menunduk, tetapi begitu melihat Arlo yang menggemaskan, beberapa staff wanita melambai kecil meski tidak dibalas oleh Arlo.“Duduk di sofa jangan berlarian, paham?” Aksa mengingatkan lebih dulu sebelum Arlo duduk.Arlo mengangguk. Dengan langkah kecilnya dia berjalan menuju sofa lalu duduk sambil membuka tas kecilnya. Dia membawa mainannya.Ilham masuk ke ruangan Aksa lalu mela
Saat sore hari. Bams langsung melapor soal kamera yang ditemukannya ketika Aksa dan Alina baru saja pulang.“Datanya langsung tersinkron dengan alat yang mereka bawa. Jadi semua kegiatan yang terekam oleh kamera ini, sudah dipegang mereka,” ujar Bams menjelaskan setelah meletakkan kamera pengawas yang didapatnya.Aksa diam dengan tatapan dingin. Jadi benar kalau Edwin berani memantau rumahnya.“Edwin memasang itu karena ingin memastikan apakah Jia di sini atau tidak?” Alina menebak.“Dugaan saya seperti itu. Tapi, karena Jia dan anaknya tidak di sini, mungkin mereka hanya mendapatkan rekaman Arlo atau pelayan lain ketika beraktivitas,” ujar Bams.Ekspresi wajah Alina berubah cemas. Dia langsung menatap pada Aksa.“Apa ada kemungkinan Edwin akan menargetkan Arlo?” tanya Alina dengan ekspresi wajah panik.Aksa diam berpikir, lalu menjawab, “Jika dia memang bajingan, Edwin akan melakukan segala cara untuk menghancurkan siapa saja yang berani membantu Jia. Namun, meski begitu aku tidak ak
Bams segera keluar kamar saat mendengar teriakan Naya. Dia melihat Naya yang sudah menggendong Arlo.“Ada apa?” tanya Bams sampai hanya keluar menggunakan celana pendek dan kaus polos hitam. Sangat jauh dari style yang biasa dipakainya.Naya melipat bibir melihat Bams hanya memakai celana pendek. Dia lalu menunjuk ke tembok di samping rumah.Bams memperhatikan apa yang ditunjuk Naya. Akhirnya dia memanggil salah satu penjaga, kemudian keduanya mengecek apa yang dilihat Naya. Saat Bams naik menggunakan tangga. Dia mendapati sebuah kamera pengawas di sana. Ekspresi wajah Bams berubah suram mengetahui ada yang berani memantau rumah Aksa.Dengan tatapan tajam, tanpa mematikan kamera, Bams berkata di depan kamera itu. “Aku akan memburu kalian.”Setelah mengucapkan itu. Bams mematikan alat itu.Naya masih menggendong Arlo. Dia cemas kalau ada yang memantau Arlo.“Biar saya bawa Tuan kecil masuk,” kata pelayan.Naya mengangguk. Dia memberikan Arlo ke pelayan dan meminta agar menjaga Arlo te
Alina dan yang lain pulang ke rumah Daniel, mereka semua lega karena orang tua Edwin percaya dengan bukti dan kesaksian Jia.“Kalau sudah begini, aku berani meminta pengacara untuk membantu proses perceraian kami. Setidaknya orang tua Edwin tidak akan menghalangi,” ujar Jia.“Iya,” balas Alina, “untung saja kamu punya banyak bukti,” imbuh Alina.Jia tersenyum getir, lalu membalas, “Aku punya semua bukti, hanya saja tidak berani bicara karena Papa ditahan Edwin. Tapi, karena kalian membantuku membebaskan Papa, membuatku lebih berani untuk segera bertindak. Terima kasih.”Jia menatap Daniel, Alina, dan Restu bergantian.“Kami lega bisa membantumu. Tapi selama Edwin belum diatasi, tetaplah tinggal di sini,” ucap Alina seraya menggenggam tangan Jia.Jia mengangguk dengan senyum penuh kelegaan di wajah. Dia kemudian menoleh pada Daniel. Jika tidak ada Daniel yang menolongnya waktu itu, Jia tidak akan pernah berada di posisi ini sekarang, dan mungkin dia masih akan terjebak dalam pernikahan
Ibu Edwin keluar dari mobil dengan amarah yang membuncah. Dia pergi ke rumah yang dia hadiahkan untuk pernikahan Edwin dan Jia, tetapi beraninya putranya malah menjadikan rumah itu tempat menyembunyikan selingkuhan.Wanita itu berjalan cepat menuju pintu lalu masuk rumah begitu saja. Sampai di sana, tidak ada satu pelayan pun di sana, tetapi pintu tidak terkunci, sudah jelas jika berpenghuni, kan?Ibu Edwin pergi ke kamar utama, sampai di sana dia langsung masuk dan melihat Sonia yang sedang berbaring seraya menonton siaran televisi.“Oh, ternyata benar!” Tatapan wanita paruh baya itu penuh dengan kilatan amarah.Sonia sangat terkejut. Dia langsung turun dari ranjang seraya merapikan lingerie yang dipakainya. Dia gelagapan dan panik karena ibu Edwin ada di sana.Wanita paruh baya itu mendekat. Sekali ayun, tamparan mendarat sempurna di pipi Sonia.Sonia sangat terkejut. Dia sampai memalingkan muka karena tamparan yang begitu keras. Sonia memegangi pipi yang begitu panas.“Beraninya ka
Kedua orang tua Edwin terkejut mendengar ucapan Jia. Namun, mereka memasang wajah tak senang setelahnya.“Memiliki wanita lain? Apa tidak kebalikannya?” tanya ibu Edwin.Jia sangat terkejut. Apa maksudnya ini?“Bukankah kamu yang kabur bersama pria lain? Kamu pikir kami tidak tahu.” Ibu Edwin kembali bicara.Jia sangat syok. Dia sampai menoleh pada Alina lalu menggeleng, takut kalau Alina percaya dengan ucapan orang tua Edwin.“Sepertinya ada kesalahan di sini,” ucap Alina akhirnya angkat suara.“Kesalahan? Kesalahan bagaimana maksudmu? Kamu orang luar tahu apa?” Ibu Edwin tampak tak senang karena Alina ikut campur.Alina terkejut, tetapi berusaha tenang.“Pria itu selingkuhanmu, kan?” Ayah Edwin bicara seraya menunjuk pada Daniel.Tentu saja Alina dan Jia terkejut mendengar tuduhan itu. Mereka sampai menoleh bersamaan.Daniel terlihat tenang. Dia tetap berdiri tegap dengan tatapan tajam meski dituduh menjadi selingkuhan Jia. Dia sudah memprediksi hal ini, mengingat dirinya beberapa k
Jia berada di mobil yang berhenti di bahu jalan bersama Daniel dan dua pengawal lain. Mereka sedang menunggu, sampai beberapa saat kemudian ada mobil lain yang berhenti di belakang mobil mereka.Alina turun dari mobil yang baru saja berhenti lalu segera masuk mobil milik Daniel.“Ada apa?” tanya Alina saat sudah berada di mobil, duduk di samping Jia.“Jia tidak bisa menunggu lama untuk mengakhiri hubungannya dengan Edwin, karena itu Jia ingin meminta bantuan untuk ditemani menemui mertuanya,” ujar Daniel menjelaskan lalu menatap pada Jia.Alina menatap pada Jia.“Aku yakin Edwin akan terus bergerak untuk mendapatkanku. Jika dia menemukanku, entah apa yang akan dilakukannya. Jadi sebelum dia menemukanku, aku harus bertemu orang tuanya lebih dulu,” ucap Jia.“Apa kamu yakin? Ini akan sangat beresiko,” ujar Alina tidak yakin dan cemas.“Hanya ini cara satu-satunya. Beberapa teman mediaku tidak berani mengangkat berita perselingkuhan Edwin karena takut menerima konsekuensi yang didapat ji
Edwin berada di ruang kerjanya, menunggu informasi dari anak buahnya yang diminta memantau rumah Aksa juga rumah yang diduga milik Daniel. Dia benar-benar tak sabar, merasa anak buahnya semuanya lelet.Saat Edwin ingin menghubungi salah satu anak buahnya, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Edwin langsung menjawab panggilan itu.“Bagaimana?” tanya Edwin.“Rumah milik Daniel terlihat sepi. Tapi saya curiga, Tuan. Bagian dalam rumah itu terang, lalu di sekitar rumah itu sangat ramai dari malam sampai pagi. Saya merasa kalau memang pria itu di sana dan ada penjagaan. Namun, saya tidak tahu pasti, apakah Nyonya Jia di sana atau tidak.”Edwin mengepalkan erat telapak tangan. Bisa saja Daniel menyembunyikan Jia, terlihat sepi agar tidak diketahui.“Pantau terus, bagaimanapun caranya kalian harus mendapat informasi yang akurat!” perintah Edwin lalu mengakhiri panggilan itu.Edwin begitu geram. Bagaimanapun caranya dia harus mendapatkan Jia kembali. Saat Edwin sedang berpikir, dia mendapat
Aksa dan yang lain sarapan bersama di ruang makan. Naya ada di sana membantu Alina mengurus Arlo.“Bams tidak kelihatan?” tanya Alina seraya mengambil lauk untuk Aksa.“Mungkin masih sibuk,” jawab Aksa.Naya terdiam mendengar nama Bams. Mungkinkah Bams tidak keluar sarapan karena ada Naya di sana? Bukankah semalam Bams kesal padanya?Mereka sarapan bersama, lalu setelahnya Aksa pamit pergi ke perusahaan.“Tidak usah mengantarku keluar. Tetaplah di dalam rumah, ingat?” Aksa mengingatkan lagi demi keamanan Alina dan Arlo.Alina mengangguk.Aksa lantas berjongkok di depan Arlo yang berdiri di samping Alina. Dia mengusap rambut putranya itu, kemudian mendaratkan kecupan di kening.“Arlo harus nurut sama, Mama. Jangan keluar rumah dulu untuk sementara, ya.”Arlo mengangguk-angguk. “Iya, Papa jangan cemas.” Aksa memulas senyum, lalu kembali berdiri.“Aku pergi dulu,” kata Aksa.Aksa keluar dari rumah lalu segera masuk mobil yang sudah terparkir di depan teras. Dia diantar sopir dan satu pe
“Terima kasih karena Ibu mau membantu,” ucap Jhony.“Tidak apa-apa. Lagian, aku ini sama Dani juga sudah kenal lama. Dia itu anaknya baik sekali, makanya aku yakin dia begini bukan karena sedang berbuat jahat,” ujar wanita itu.Jhony tersenyum seraya mengangguk pelan.“Tapi, omong-omong, yang di rumah Dani itu, apa itu calon istrinya?” tanya ibu itu penasaran tetapi juga merasa agak aneh.Jhony tersenyum dengan ekspresi bingung, tetapi kemudian mengangguk dan menjawab, “Iya.”Jhony mengiyakan saja tidak dianggap aneh karena menyembunyikan wanita di sana.“Wah, begitu ternyata. Untung tadi aku membantu, ya. Jadi orang jahatnya nggak bisa nemuin wanita itu. Ya sudah, semoga Dani langgeng sama yang kedua, yang pertama udah bener dibuang, nggak bener soalnya.”Setelah mengatakan itu, wanita itu kembali ke rumah.Jhony menghela napas lega. Tidak apa berbohong selagi demi kebaikan.Di rumah. Jia pergi ke dapur untuk mengambil air hangat, ternyata di sana dia melihat Daniel yang sedang memas