Hari itu langit tampak gelap dan terlihat begitu suram. Kabar meninggalnya Alina langsung diketahui banyak orang, sehingga beberapa rekan bisnis dan klien datang ke pemakaman untuk ikut berbela sungkawa. Jenazah itu langsung dimakamkan atas permintaan Dani, tanpa disemayamkan lebih dulu di rumah untuk menghindari perdebatan antara Aksa dan Dani.Aksa diam selama prosesi pemakaman berlangsung. Dia terus memandang pada liang-lahat yang menjadi pembaringan terakhir istrinya. Sampai detik ini, Aksa masih tidak percaya kalau istrinya sudah tiada, hatinya menolak itu.“Aku turut berduka cita,” ucap Restu menemui Aksa setelah prosesi pemakaman selesai. Dia menatap wajah pucat Aksa yang tidak kentara jika tak diperhatikan dengan seksama.Aksa mengangguk, tidak ada yang tahu bagaimana tatapan matanya sekarang karena tertutup kacamata hitam.“Bagaimana dengan bayimu?” tanya Restu.“Masih di rumah sakit karena masih mendapat perawatan intensif. Terima kasih Anda berkenan datang kemari,” jawab Ak
Dani memasukkan semua barangnya ke bagasi mobil dibantu Rizki. “Apa semuanya sudah kamu bawa?” tanya Restu memastikan saat Rizki menutup bagasi mobil.“Sudah, Paman. Aku hanya membawa barang-barang pentingku, selebihnya biar diurus pihak kebersihan. Kunci apartemen juga sudah aku titipkan pada Bams,” jawab Dani.Restu menepuk-nepuk punggung Dani, lalu berkata, “Semua akan baik-baik saja setelah ini. Ingatlah namamu sekarang sebagai Daniel Januarta.”Dani mengangguk-angguk.“Ayo!” ajak Restu agar mereka segera masuk mobil.Dani masuk mobil bersama Restu. Dia tidak menyangka pada akhirnya akan meninggalkan kota tempatnya tumbuh dengan susah dan senang bersama sang kakak.“Semua sudah aku atur, kamu tidak perlu mencemaskan apa pun lagi,” ucap Restu saat melihat Dani hanya diam.Dani menoleh pada Restu, lalu mengangguk. “Terima kasih, meski Paman datang terlambat. Tapi aku bersyukur memiliki Paman.”“Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah terlambat tujuh belas tahun menemukan kalian
Aksa masih di rumah sakit menunggu bayinya. Saat dia masih menunggu di luar karena jam jenguk bayi sudah habis, seorang perawat datang menghampiri Aksa.“Sore, Pak.”Aksa mengangguk membalas sapaan perawat.“Dokter sudah memberikan informasi kalau besok bayi Anda sudah diperbolehkan pulang. Karena ibunya meninggal, mungkin Anda harus mencari ibu susu, tidak harus menyusui langsung, tapi Anda bisa meminta stok ASI berlebih dari si ibu menyusui untuk putra Anda demi kesehatannya,” ujar perawat menjelaskan.“Apa itu baik? Kita tidak tahu apakah ASI yang dihasilkan bagus,” ujar Aksa ragu.“Sebenarnya kami punya usulan. Wanita ini baru saja melahirkan bayi laki-laki juga, jadi sepertinya tidak masalah jika Anda memakai ASI wanita itu untuk bayi Anda. Soal gizinya, Anda boleh ikut memantau asupan gizi wanita itu agar yakin, tentu dengan kesepakatan bersama juga,” ujar perawat memberi usul.Aksa mengangguk-angguk paham, lalu bertanya, “Apa rumah sakit bisa membantu menjadi perantara?”“Tentu
Waktu cepat berlalu, tanpa terasa semua terlewati begitu saja. Hidup memang harus tetap berjalan dan di sinilah mereka pada akhirnya harus menjalani hari dengan kurangnya kasih sayang.Aksa masih tertidur pulas karena semalam harus begadang mengecek beberapa berkas. Dia masih hanyut dalam mimpi indah ketika mendengar suara bising dari luar.“Tuan kecil, jangan lari-larian!”“Mandiin bibi saja, ya.”“Nggak mau!”Terdengar suara pintu ditutup keras, langkah kaki kecil itu terdengar mendekat, sampai akhirnya ada pergerakan di ranjang yang membuat Aksa mengerutkan kening.Arlo Radjasa, bocah berumur tiga tahun itu naik ke ranjang lalu duduk di atas perut sang papa setelah berhasil menghindari kejaran pelayan yang ingin memandikannya. Arlo duduk diam sambil menunggu ayahnya membuka mata.Aksa menghela napas berat. Dia membuka mata dan melihat sang putra sudah duduk di atas perutnya.“Kenapa belum mandi?” tanya Aksa.Arlo hanya menggeleng sambil memasang wajah cemberut.Aksa menghela napas
Aksa pulang agak larut. Dia menaiki anak tangga dengan rasa lelah yang begitu kentara di wajah. Saat masuk kamar sambil melonggarkan dasi, Aksa terkejut melihat Arlo belum tidur.Putranya duduk di atas ranjang menunggu Aksa pulang sambil melipat kedua tangan di depan dada, Arlo memasang wajah masam.“Ini sudah malam, kenapa belum tidur?” tanya Aksa sambil menghampiri Arlo.“Papa bohong,” amuk Arlo lalu memanyunkan bibir.Aksa menghela napas panjang. Dia tahu putranya merajuk sehingga Aksa segera mengangkat tubuh Arlo lalu memangkunya.“Katanya mau pulang cepat, kok malam?” Arlo semakin bersidekap dan memanyunkan bibir.“Maaf, kerjaan papa sangat banyak jadi harus lembur,” jawab Aksa sambil memeluk erat Arlo. Dia mencium kepala putranya itu sebagai tanda sayangnya.Meski Arlo sering merajuk kalau Aksa pulang larut, tetapi hal ini malah tidak membuat Aksa kesal. Dia malah merasa kalau seperti sedang diposesifin oleh putra sendiri sebagai ganti istrinya.“Besok, Alo mau ikut kelja, Alo ng
Aksa kembali ke kamar setelah cukup lama berada di luar. Sesampainya di sana, ternyata Arlo duduk di atas ranjang sambil menangis.“Arlo.” Aksa mendekat lalu menggendong putranya itu sambil menenangkan..“Papa dali mana?” Arlo bertanya sambil menangis.“Dari luar bersama Paman Bams,” jawab Aksa sambil mengusap punggung Arlo.“Alo mimpi buluk,” rengek Arlo sambil memeluk papanya dengan erat.“Itu hanya mimpi. Sekarang bobok lagi, papa tidak akan pergi dari kamar lagi,” ujar Aksa terus mengusap punggung untuk menenangkan.“Kalau Alo punya mama ‘kan, Alo nggak usah nyali Papa kalau bangun malam-malam,” ucap Arlo sambil sesenggukan.Mendengar apa yang dikatakan Arlo, membuat Aksa memeluk erat putranya dengan rasa bersalah begitu dalam menusuk dada.**Di kota Paris. Karissa baru saja melakukan pemotretan. Mood wanita itu sedang sangat buruk sampai harus melakukan take beberapa kali.“Sepertinya kamu sedang kesal, huh? Istirahatlah dulu, kita lakukan lagi nanti,” ujar fotografer itu menggu
Hari itu Aksa bersiap-siap untuk pergi ke perusahaan. Dia sedang mengikat dasi, lalu di sebelahnya ada Arlo yang juga sedang bersiap untuk ikut ke perusahaan.Arlo memakai jas dan dasi kupu-kupu, tetapi celananya pendek, sehingga dia terlihat lucu dan menggemaskan.“Sudah Papa.” Arlo berdiri menghadap sang papa yang sedang mengikat dasi.Aksa menoleh sekilas pada Arlo yang sudah berpakaian rapi. Dia berjongkok lalu membetulkan letak dasi kupu-kupu Arlo.“Oke,” balas Aksa.Mereka berangkat ke kantor. Arlo berjalan di samping Aksa sambil menggandeng tangan ayahnya itu.Para staff yang melihat Aksa datang langsung menunduk, tetapi begitu melihat Arlo yang menggemaskan, beberapa staff wanita melambai kecil meski tidak dibalas oleh Arlo.“Duduk di sofa jangan berlarian, paham?” Aksa mengingatkan lebih dulu sebelum Arlo duduk.Arlo mengangguk. Dengan langkah kecilnya dia berjalan menuju sofa lalu duduk sambil membuka tas kecilnya. Dia membawa mainannya.Ilham masuk ke ruangan Aksa lalu mela
Hari itu. Aksa dan Arlo bersiap pergi ke Singapore untuk pertemuan bisnis dengan klien penting dari beberapa negara. Ilham dan sekretaris Aksa juga akan menemani Aksa karena pertemuan itu termasuk dalam urusan pekerjaan.“Apa Arlo tidak bisa ditinggal saja? Biarkan dia di sini bersamaku,” ucap Kaira sambil menatap Arlo seperti tidak mau ditinggal Arlo.“Tidak, Bibi. Alo mau naik pesawat lalu lihat singa yang keluar airnya,” balas Arlo.Kaira terlihat sedih. Dia menoleh suaminya untuk mengiba, lalu menoleh Aksa dengan ekspresi datar seperti biasa.Kaira akhirnya memeluk Arlo, lalu berkata, “Bibi akan sangat rindu kamu. Jangan lupa nanti telepon, ya.”“Iya, Alo nggak lama kok.” Arlo menepuk-nepuk punggung Kaira.Mereka akhirnya berangkat. Arlo melambai pada Kaira saat mobil yang mereka tumpangi mulai melaju meninggalkan rumah.Sesampainya di bandara. Arlo berdiri di dinding kaca besar yang ada di ruang tunggu. Dia melihat pesawat yang akan membawa mereka ke Singapore.“Pesawatnya besal
Sasmita tersenyum getir, lalu membalas, “Iya, sangat fatal.”Mira masih mendengarkan.“Dulu aku sangat jahat sama Alina, pernah membencinya hanya karena dia bukan dari keluarga kaya. Saat aku menyadari jika dulu pernah membuat kesalahan pada keluarganya, aku mencoba memperbaiki sikap dan hubungan, tapi terlambat. Aku salah,” ujar Sasmita lalu menceritakan soal kecelakaan Aksa saat remaja dan masalah darah yang membuatnya sangat merasa bersalah.Mira sangat syok mendengar cerita Sasmita. Dia merasa kalau Sasmita egois, tetapi kemudian berpikir, setiap orang tua apalagi seorang ibu, pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, meski pada akhirnya malah menyakiti orang lain.“Tidak perlu kasihan. Mungkin perginya Alina termasuk sebagai hukuman untukku karena aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk meminta maaf dan menebus semuanya,” ujar Sasmita dengan senyum getir di wajah.“Jika Bibi berniat berubah, aku yakin Tuhan akan membantu memaafkan dengan cara lain,” balas Mira.Sasmita menatap p
Nenek Agni menggenggam tangan Mira begitu erat. Dia takut kalau Aksa membawa pergi Alina dan menjauhkannya lagi darinya.“Alina sudah memaafkan nenek, Aksa. Apa kamu tidak bisa membiarkan dia tetap di sini sebentar?” Nenek Agni bicara dengan tatapan sendu.Mira menatap Nenek Agni yang menatap penuh harap pada Aksa, lalu menoleh pada pria itu.“Aku mau bicara dengannya sebentar,” kata Aksa.Nenek Agni masih enggan melepas, sampai akhirnya Mira yang membujuk.“Aku nanti balik lagi ke sini, Nek. Nenek tunggu, ya.”Setelah meyakinkan Nenek Agni, akhirnya Mira ikut Aksa. Pria itu masih menggenggam tangan Mira, membuat Mira pasrah karena jika langsung dilepas, Nenek Agni akan curiga.“Ada apa?” tanya Mira setelah Aksa melepas tangannya saat mereka sampai di ruang tamu.“Aku hanya mau bilang, jika keluargaku membahas soal Alina, jangan terlalu ditanggapi,” jawab Aksa. Dia cemas jika Mira memikirkan semua ucapan keluarganya.Mira agak bingung dengan sikap Aksa. Pria itu menggandeng tangan dan
Mira terkejut. Dia panik mendengar pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawabnya. Dia melirik pada Sasmita, meminta bantuan untuk bisa mengatasi pertanyaan Nenek Agni.“Alina selama ini di luar negeri, Ma. Apa pun penjelasannya, yang penting dia sudah mau pulang. Lagi pula, Mama tahu betul alasannya, kan?” Sasmita bicara, mencoba meyakinkan Nenek Agni.Nenek Agni diam sejenak, lalu kembali menatap pada Mira.“Alo ketemu Mama di Singapole waktu ikut Papa. Makanya, Alo ajak Mama pulang,” celoteh Arlo menyelamatkan kepanikan Sasmita dan Mira.Mira tersenyum canggung sambil mengangguk.Nenek Agni merasa sedikit aneh, tetapi dia mengabaikannya karena yang terpenting Alina ada di sini.“Kamu benar-benar sudah memaafkan kami?” tanya Nenek Agni seraya menatap penuh harap pada Mira.Mira menganggukkan kepala sambil memulas senyum.Nenek Agni begitu lega. Dia kembali memeluk Mira sambil berulang kali mengucap rasa syukur.Di luar kamar. Bams dan Naya menunggu di ruang keluarga. “Sepertinya maman
Mira akhirnya setuju pergi ke rumah Sasmita. Dia sebenarnya takut jika diminta berbohong, tetapi juga tidak tega melihat Sasmita yang sampai berlutut, sedangkan dia tidak mengenal wanita.“Apa kamu ada pertanyaan dari apa yang aku jelaskan tadi?” tanya Sasmita saat mereka masih di mobil dalam perjalanan menuju rumah.“Tidak ada,” jawab Mira.Sasmita tersenyum, lalu kembali berkata, “Terima kasih mau membantuku. Ya, aku tahu ini salah, tapi hanya ini satu-satunya cara agar dia bisa bangun dari ranjang.”Mobil mereka akhirnya sampai di rumah Sasmita.Mira dan yang lainnya turun. Arlo langsung menggandeng Mira saat akan masuk ke rumah.Semua pelayan dan pekerja di sana terkejut. Mereka gelagapan dan keheranan, sama seperti pelayan di rumah Aksa. Sepertinya Mira harus mulai terbiasa dengan situasi seperti ini, bisa saja di luar sana nanti, akan banyak yang terkejut seperti orang-orang di sini.“Beliau di kamar. Kita masuk sekarang,” ajak Sasmita.Mira mengangguk. Dia masuk ditemani Arlo d
Aksa berjalan di koridor perusahaan dengan kedua tangan terkepal. Sorot matanya menunjukkan rasa gelisah dan penasaran yang membuncah, tetapi ekspresi wajahnya terlihat tenang.“Silakan, Pak. Pak Restu sudah menunggu Anda di dalam,” kata Rizki saat menyambut kedatangan Aksa.Aksa mengangguk. Rizki membuka pintu ruangan Restu, lalu mempersilakan Aksa untuk masuk.“Apa yang membawamu datang ke sini?” tanya Restu seraya berdiri untuk menyambut kedatangan Aksa.Aksa tersenyum kecil, dia tidak membalas tetapi langsung duduk bersama Restu.Mereka duduk tanpa kata, sampai Rizki masuk menyajikan kopi, lalu kembali meninggalkan mereka berdua di ruangan itu.“Pak Restu, Anda tahu kalau saya sangat menghormati Anda, bukan?” Aksa bicara sambil menatap pada Restu.Restu diam sejenak, lalu mengangguk.“Tentu saja. Kamu adalah pengusaha muda sukses yang paling menghargaiku,” balas Restu.“Jadi, saya punya pertanyaan, Anda tidak akan berbohong ketika menjawabnya, kan?” Aksa bicara sambil menatap begi
“Alina.”Mira berdiri saat wanita yang dihampiri Arlo memanggilnya dengan nama Alina. Ya, seperti orang lainnya yang salah mengira dan menganggap Mira adalah Alina.Bams dan Nara baru saja sampai di sana, lalu Bams terkejut ketika melihat Sasmita yang tiba-tiba memeluk Mira.Mira terkesiap. Wanita ini tiba-tiba memeluknya erat.“Maafkan mama, Alina. Mama benar-benar tidak pernah bermaksud jahat padamu.” Sasmita bicara sambil memeluk Alina.“Ini neneknya Alo, Mama.” Mendengar Arlo menyebut kata ‘mama’, membuat Sasmita yakin jika yang dipeluknya adalah Alina.Awalnya Mira memang bingung, tetapi akhirnya dia paham kenapa wanita paruh baya ini langsung memeluk dirinya.“Maaf, saya bukan Alina.”Sasmita terkejut. Dia melepas pelukan, lalu menatap pada wanita yang baru saja dia peluk. Jelas-jelas dia tidak salah lihat, lalu bagaimana bisa bukan Alina?“Nyonya, dia ini Nona Mira, tapi memang sangat mirip dengan Bu Alina.” Bams menjelaskan.“Bukan, ini mamanya Alo. Paman salah!” Arlo langsun
“Ini sudah malam. Aku balik ke kamar dulu, takutnya Arlo bangun dan mencari,” ucap Mira lalu berdiri dari posisi duduknya.Aksa mengangguk. Saat Mira akan melangkah pergi, Aksa memanggil.“Mira.”Mira menoleh dengan senyum manis di wajahnya.“Ya.”“Terima kasih karena mau menjaga Arlo dan menjaga perasaannya.”Mira terkejut Aksa sampai berterima kasih. Dia tersenyum sambil mengangguk lalu segera pergi meninggalkan dapur.Aksa masih ada di dapur, sampai beberapa saat kemudian Bams menghampiri dan duduk di kursi yang tadi Mira duduki.“Pak, apa Anda tidak berniat menemui dan bertanya pada Pak Restu soal Mira?” tanya Bams karena penasaran.Aksa hanya menatap tanpa menjawab, lalu Aksa berkata, “Cari informasi pasti ada hubungan apa antara Pak Restu dan Mira sampai Mira memiliki nama belakang Januarta, semisal memang Alina memalsukan kematiannya, tidak mungkin Pak Restu membantu begitu saja, kan? Pasti ada alasan yang masuk akal” ujar Aksa.Bams mengangguk-angguk mengerti.“Juga bantu seli
Mira baru saja selesai memandikan dan memakaikan baju Arlo. Naya di sana membantu Mira mengurus Arlo. “Arlo sudah tampan sekarang,” ucap Mira sambil menyisir rambut Arlo. “Alo tampan kayak Papa, tapi kayak Mama juga,” balas Arlo. Mira hanya tersenyum menanggapi ucapan Arlo. “Karena Papa sudah pulang, jadi aku harus pulang. Besok lagi kita mainnya, ya.” Ekspresi wajah Arlo langsung berubah. “Nggak mau! Mama nggak boleh pulang.” Arlo memeluk lengan Mira, takkan membiarkan Mira pergi dari rumah itu. Mira terkejut. Dia berusaha untuk membujuk. “Arlo, nggak boleh gitu, ya. Aku harus pulang, kan barang-barangnya ada di hotel, jadi harus pulang ke hotel,” ujar Mira. “Kalau begitu balang-balangnya dibawa ke sini!” Arlo tetap memeluk lengan Mira, takkan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Mira sampai menatap pada Naya dengan ekspresi bingung. “Mama nggak boleh pelgi!” Arlo melepas pelukan di tangan Mira, lalu mulai berguling di lantai. Mira dan Naya terkejut, apalagi Arlo terus
“Papa!” Arlo melihat sang papa berdiri termangu di kamarnya, membuat Arlo berteriak memanggil. Dia bahkan melambaikan tangan sambil melebarkan senyum dengan begitu ceria.Mira menoleh dan melihat Aksa yang ternyata sudah pulang.“Kamu sudah pulang, kupikir masih lama,” ucap Mira.Aksa sempat terdiam karena keterkejutannya melihat tahi lalat di leher belakang Mira, tetapi dia mencoba bersikap biasa dengan mengangguk menanggapi ucapan Mira.“Bams tadi bilang kalau kamu mungkin akan terlambat, jadi kupikir untuk mengurus Arlo sebelum kamu pulang,” ucap Mira agak canggung.“Ya, tadi ada beberapa pekerjaan yang memang harus diselesaikan, tapi semua sudah diselesaikan,” balas Aksa.Mira mengangguk-angguk.“Aku minta izin mandiin Arlo, dia berkeringat banyak karena seharian terus main,” ucap Mira begitu sopan.“Iya,” balas Aksa dengan anggukan kecil.“Ayo!” Mira menggandeng Arlo menuju kamar mandi.Arlo berjalan bersama Mira sambil melambaikan tangan pada Aksa.Aksa memandang Arlo yang begit