Aksa menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Dia terus menatap ke pintu ruang operasi karena pikirannya sangat tidak tenang dan takut jika terjadi sesuatu pada Alina.“Bu Alina pasti baik-baik saja, Pak.” Bams mencoba menenangkan karena wajah Aksa begitu pucat.Aksa tak membalas ucapan Bams. Pikirannya terasa begitu kosong karena kecemasan yang sedang melandanya.Nenek Agni, Sasmita, dan Mirza datang begitu mendapat kabar soal Alina. Nenek Agni terlihat sangat panik saat melihat Aksa berdiri di depan ruang operasi.“Bagaimana kondisi Alina?” tanya Nenek Agni.Nenek Agni melihat Aksa yang hanya diam. Dia akhirnya menoleh pada Bams.“Apa sudah ada kabar dari dokter?” tanya Mirza pada Bams.“Bu Alina mengalami kontraksi dan ada pembukaan meski kehamilannya baru tujuh bulan. Dia juga mengalami beberapa masalah kesehatan, sehingga dokter mengambil keputusan untuk dilakukan cesar demi keselamatan bayi dan ibunya,” ujar Bams yang menjelaskan.Nenek Agni sangat terkejut. Dia ingin memar
Dokter menatap simpati pada semua orang yang sudah menunggu kabar darinya. Dalam sekali helaan napas dokter itu berucap, “Kami sudah berusaha sebisa kami, tapi maaf Bu Alina tidak selamat karena kehilangan banyak darah.”Dani mundur saat mendengar penjelasan dokter.Aksa begitu syok, sampai mencengkram baju dokter yang baru saja memberikan informasi tentang Alina.“Jangan membohongi kami. Dia tidak mungkin meninggal!” Aksa tidak bisa menerima begitu saja.Dani geram dengan sikap Aksa. Dia menarik lengan Aksa sampai melepas cengkraman dari dokter, lalu dalam sekali ayunan dia memukul wajah Aksa.Aksa terhuyung karena mendapat pukulan cukup keras dari Dani.“Semua salahmu! Kakakku pergi karenamu!” amuk Dani.Bams langsung menengahi agar tidak terjadi perkelahian di sana.Nenek Agni pingsan saat mendengar Alina meninggal. Mirza sampai menopang tubuh sang mama lalu mencoba membaringkan ke kursi selasar di sana.Semua orang di sana benar-benar terkejut dan terpukul, termasuk Sasmita yang m
Hari itu langit tampak gelap dan terlihat begitu suram. Kabar meninggalnya Alina langsung diketahui banyak orang, sehingga beberapa rekan bisnis dan klien datang ke pemakaman untuk ikut berbela sungkawa. Jenazah itu langsung dimakamkan atas permintaan Dani, tanpa disemayamkan lebih dulu di rumah untuk menghindari perdebatan antara Aksa dan Dani.Aksa diam selama prosesi pemakaman berlangsung. Dia terus memandang pada liang-lahat yang menjadi pembaringan terakhir istrinya. Sampai detik ini, Aksa masih tidak percaya kalau istrinya sudah tiada, hatinya menolak itu.“Aku turut berduka cita,” ucap Restu menemui Aksa setelah prosesi pemakaman selesai. Dia menatap wajah pucat Aksa yang tidak kentara jika tak diperhatikan dengan seksama.Aksa mengangguk, tidak ada yang tahu bagaimana tatapan matanya sekarang karena tertutup kacamata hitam.“Bagaimana dengan bayimu?” tanya Restu.“Masih di rumah sakit karena masih mendapat perawatan intensif. Terima kasih Anda berkenan datang kemari,” jawab Ak
Dani memasukkan semua barangnya ke bagasi mobil dibantu Rizki. “Apa semuanya sudah kamu bawa?” tanya Restu memastikan saat Rizki menutup bagasi mobil.“Sudah, Paman. Aku hanya membawa barang-barang pentingku, selebihnya biar diurus pihak kebersihan. Kunci apartemen juga sudah aku titipkan pada Bams,” jawab Dani.Restu menepuk-nepuk punggung Dani, lalu berkata, “Semua akan baik-baik saja setelah ini. Ingatlah namamu sekarang sebagai Daniel Januarta.”Dani mengangguk-angguk.“Ayo!” ajak Restu agar mereka segera masuk mobil.Dani masuk mobil bersama Restu. Dia tidak menyangka pada akhirnya akan meninggalkan kota tempatnya tumbuh dengan susah dan senang bersama sang kakak.“Semua sudah aku atur, kamu tidak perlu mencemaskan apa pun lagi,” ucap Restu saat melihat Dani hanya diam.Dani menoleh pada Restu, lalu mengangguk. “Terima kasih, meski Paman datang terlambat. Tapi aku bersyukur memiliki Paman.”“Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah terlambat tujuh belas tahun menemukan kalian
Aksa masih di rumah sakit menunggu bayinya. Saat dia masih menunggu di luar karena jam jenguk bayi sudah habis, seorang perawat datang menghampiri Aksa.“Sore, Pak.”Aksa mengangguk membalas sapaan perawat.“Dokter sudah memberikan informasi kalau besok bayi Anda sudah diperbolehkan pulang. Karena ibunya meninggal, mungkin Anda harus mencari ibu susu, tidak harus menyusui langsung, tapi Anda bisa meminta stok ASI berlebih dari si ibu menyusui untuk putra Anda demi kesehatannya,” ujar perawat menjelaskan.“Apa itu baik? Kita tidak tahu apakah ASI yang dihasilkan bagus,” ujar Aksa ragu.“Sebenarnya kami punya usulan. Wanita ini baru saja melahirkan bayi laki-laki juga, jadi sepertinya tidak masalah jika Anda memakai ASI wanita itu untuk bayi Anda. Soal gizinya, Anda boleh ikut memantau asupan gizi wanita itu agar yakin, tentu dengan kesepakatan bersama juga,” ujar perawat memberi usul.Aksa mengangguk-angguk paham, lalu bertanya, “Apa rumah sakit bisa membantu menjadi perantara?”“Tentu
Waktu cepat berlalu, tanpa terasa semua terlewati begitu saja. Hidup memang harus tetap berjalan dan di sinilah mereka pada akhirnya harus menjalani hari dengan kurangnya kasih sayang.Aksa masih tertidur pulas karena semalam harus begadang mengecek beberapa berkas. Dia masih hanyut dalam mimpi indah ketika mendengar suara bising dari luar.“Tuan kecil, jangan lari-larian!”“Mandiin bibi saja, ya.”“Nggak mau!”Terdengar suara pintu ditutup keras, langkah kaki kecil itu terdengar mendekat, sampai akhirnya ada pergerakan di ranjang yang membuat Aksa mengerutkan kening.Arlo Radjasa, bocah berumur tiga tahun itu naik ke ranjang lalu duduk di atas perut sang papa setelah berhasil menghindari kejaran pelayan yang ingin memandikannya. Arlo duduk diam sambil menunggu ayahnya membuka mata.Aksa menghela napas berat. Dia membuka mata dan melihat sang putra sudah duduk di atas perutnya.“Kenapa belum mandi?” tanya Aksa.Arlo hanya menggeleng sambil memasang wajah cemberut.Aksa menghela napas
Aksa pulang agak larut. Dia menaiki anak tangga dengan rasa lelah yang begitu kentara di wajah. Saat masuk kamar sambil melonggarkan dasi, Aksa terkejut melihat Arlo belum tidur.Putranya duduk di atas ranjang menunggu Aksa pulang sambil melipat kedua tangan di depan dada, Arlo memasang wajah masam.“Ini sudah malam, kenapa belum tidur?” tanya Aksa sambil menghampiri Arlo.“Papa bohong,” amuk Arlo lalu memanyunkan bibir.Aksa menghela napas panjang. Dia tahu putranya merajuk sehingga Aksa segera mengangkat tubuh Arlo lalu memangkunya.“Katanya mau pulang cepat, kok malam?” Arlo semakin bersidekap dan memanyunkan bibir.“Maaf, kerjaan papa sangat banyak jadi harus lembur,” jawab Aksa sambil memeluk erat Arlo. Dia mencium kepala putranya itu sebagai tanda sayangnya.Meski Arlo sering merajuk kalau Aksa pulang larut, tetapi hal ini malah tidak membuat Aksa kesal. Dia malah merasa kalau seperti sedang diposesifin oleh putra sendiri sebagai ganti istrinya.“Besok, Alo mau ikut kelja, Alo ng
Aksa kembali ke kamar setelah cukup lama berada di luar. Sesampainya di sana, ternyata Arlo duduk di atas ranjang sambil menangis.“Arlo.” Aksa mendekat lalu menggendong putranya itu sambil menenangkan..“Papa dali mana?” Arlo bertanya sambil menangis.“Dari luar bersama Paman Bams,” jawab Aksa sambil mengusap punggung Arlo.“Alo mimpi buluk,” rengek Arlo sambil memeluk papanya dengan erat.“Itu hanya mimpi. Sekarang bobok lagi, papa tidak akan pergi dari kamar lagi,” ujar Aksa terus mengusap punggung untuk menenangkan.“Kalau Alo punya mama ‘kan, Alo nggak usah nyali Papa kalau bangun malam-malam,” ucap Arlo sambil sesenggukan.Mendengar apa yang dikatakan Arlo, membuat Aksa memeluk erat putranya dengan rasa bersalah begitu dalam menusuk dada.**Di kota Paris. Karissa baru saja melakukan pemotretan. Mood wanita itu sedang sangat buruk sampai harus melakukan take beberapa kali.“Sepertinya kamu sedang kesal, huh? Istirahatlah dulu, kita lakukan lagi nanti,” ujar fotografer itu menggu
Aksa berjalan di koridor perusahaan dengan kedua tangan terkepal. Sorot matanya menunjukkan rasa gelisah dan penasaran yang membuncah, tetapi ekspresi wajahnya terlihat tenang.“Silakan, Pak. Pak Restu sudah menunggu Anda di dalam,” kata Rizki saat menyambut kedatangan Aksa.Aksa mengangguk. Rizki membuka pintu ruangan Restu, lalu mempersilakan Aksa untuk masuk.“Apa yang membawamu datang ke sini?” tanya Restu seraya berdiri untuk menyambut kedatangan Aksa.Aksa tersenyum kecil, dia tidak membalas tetapi langsung duduk bersama Restu.Mereka duduk tanpa kata, sampai Rizki masuk menyajikan kopi, lalu kembali meninggalkan mereka berdua di ruangan itu.“Pak Restu, Anda tahu kalau saya sangat menghormati Anda, bukan?” Aksa bicara sambil menatap pada Restu.Restu diam sejenak, lalu mengangguk.“Tentu saja. Kamu adalah pengusaha muda sukses yang paling menghargaiku,” balas Restu.“Jadi, saya punya pertanyaan, Anda tidak akan berbohong ketika menjawabnya, kan?” Aksa bicara sambil menatap begi
“Alina.”Mira berdiri saat wanita yang dihampiri Arlo memanggilnya dengan nama Alina. Ya, seperti orang lainnya yang salah mengira dan menganggap Mira adalah Alina.Bams dan Nara baru saja sampai di sana, lalu Bams terkejut ketika melihat Sasmita yang tiba-tiba memeluk Mira.Mira terkesiap. Wanita ini tiba-tiba memeluknya erat.“Maafkan mama, Alina. Mama benar-benar tidak pernah bermaksud jahat padamu.” Sasmita bicara sambil memeluk Alina.“Ini neneknya Alo, Mama.” Mendengar Arlo menyebut kata ‘mama’, membuat Sasmita yakin jika yang dipeluknya adalah Alina.Awalnya Mira memang bingung, tetapi akhirnya dia paham kenapa wanita paruh baya ini langsung memeluk dirinya.“Maaf, saya bukan Alina.”Sasmita terkejut. Dia melepas pelukan, lalu menatap pada wanita yang baru saja dia peluk. Jelas-jelas dia tidak salah lihat, lalu bagaimana bisa bukan Alina?“Nyonya, dia ini Nona Mira, tapi memang sangat mirip dengan Bu Alina.” Bams menjelaskan.“Bukan, ini mamanya Alo. Paman salah!” Arlo langsun
“Ini sudah malam. Aku balik ke kamar dulu, takutnya Arlo bangun dan mencari,” ucap Mira lalu berdiri dari posisi duduknya.Aksa mengangguk. Saat Mira akan melangkah pergi, Aksa memanggil.“Mira.”Mira menoleh dengan senyum manis di wajahnya.“Ya.”“Terima kasih karena mau menjaga Arlo dan menjaga perasaannya.”Mira terkejut Aksa sampai berterima kasih. Dia tersenyum sambil mengangguk lalu segera pergi meninggalkan dapur.Aksa masih ada di dapur, sampai beberapa saat kemudian Bams menghampiri dan duduk di kursi yang tadi Mira duduki.“Pak, apa Anda tidak berniat menemui dan bertanya pada Pak Restu soal Mira?” tanya Bams karena penasaran.Aksa hanya menatap tanpa menjawab, lalu Aksa berkata, “Cari informasi pasti ada hubungan apa antara Pak Restu dan Mira sampai Mira memiliki nama belakang Januarta, semisal memang Alina memalsukan kematiannya, tidak mungkin Pak Restu membantu begitu saja, kan? Pasti ada alasan yang masuk akal” ujar Aksa.Bams mengangguk-angguk mengerti.“Juga bantu seli
Mira baru saja selesai memandikan dan memakaikan baju Arlo. Naya di sana membantu Mira mengurus Arlo. “Arlo sudah tampan sekarang,” ucap Mira sambil menyisir rambut Arlo. “Alo tampan kayak Papa, tapi kayak Mama juga,” balas Arlo. Mira hanya tersenyum menanggapi ucapan Arlo. “Karena Papa sudah pulang, jadi aku harus pulang. Besok lagi kita mainnya, ya.” Ekspresi wajah Arlo langsung berubah. “Nggak mau! Mama nggak boleh pulang.” Arlo memeluk lengan Mira, takkan membiarkan Mira pergi dari rumah itu. Mira terkejut. Dia berusaha untuk membujuk. “Arlo, nggak boleh gitu, ya. Aku harus pulang, kan barang-barangnya ada di hotel, jadi harus pulang ke hotel,” ujar Mira. “Kalau begitu balang-balangnya dibawa ke sini!” Arlo tetap memeluk lengan Mira, takkan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Mira sampai menatap pada Naya dengan ekspresi bingung. “Mama nggak boleh pelgi!” Arlo melepas pelukan di tangan Mira, lalu mulai berguling di lantai. Mira dan Naya terkejut, apalagi Arlo terus
“Papa!” Arlo melihat sang papa berdiri termangu di kamarnya, membuat Arlo berteriak memanggil. Dia bahkan melambaikan tangan sambil melebarkan senyum dengan begitu ceria.Mira menoleh dan melihat Aksa yang ternyata sudah pulang.“Kamu sudah pulang, kupikir masih lama,” ucap Mira.Aksa sempat terdiam karena keterkejutannya melihat tahi lalat di leher belakang Mira, tetapi dia mencoba bersikap biasa dengan mengangguk menanggapi ucapan Mira.“Bams tadi bilang kalau kamu mungkin akan terlambat, jadi kupikir untuk mengurus Arlo sebelum kamu pulang,” ucap Mira agak canggung.“Ya, tadi ada beberapa pekerjaan yang memang harus diselesaikan, tapi semua sudah diselesaikan,” balas Aksa.Mira mengangguk-angguk.“Aku minta izin mandiin Arlo, dia berkeringat banyak karena seharian terus main,” ucap Mira begitu sopan.“Iya,” balas Aksa dengan anggukan kecil.“Ayo!” Mira menggandeng Arlo menuju kamar mandi.Arlo berjalan bersama Mira sambil melambaikan tangan pada Aksa.Aksa memandang Arlo yang begit
Bams datang menghampiri Mira dan Naya yang ada di ruang keluarga sedang menemani Arlo menonton kartun.“Pak Aksa baru saja menghubungi, beliau berkata jika pulang sedikit terlambat karena masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan,” ujar Bams pada Mira.Mira menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Ini sudah sore, seharusnya dia pulang ke hotel tetapi juga tidak bisa meninggalkan Arlo tanpa Aksa, Mira yakin Arlo tidak akan mau ditinggal.“Sepertinya kita harus menunggu sampai Aksa pulang,” ucap Mira pada Naya, “apa kamu bisa ambilkan baju ganti di hotel?” tanya Mira selanjutnya. Dia tidak mungkin memakai pakaian yang sudah dipakainya seharian sampai malam, kan?Naya mengangguk. Dia lalu berdiri untuk kembali ke hotel.Bams mendengar percakapan Mira dan Naya, lalu berkata, “Apa Anda mau pinjam baju Bu Alina. Pakaian beliau masih disimpan rapi di rumah ini.”Mira terkejut mendengar tawaran Bams. Dia menggeleng.“Jangan, itu tidak akan sopan,” jawab Mira, “biar
“Arlo, sarapan dulu. Papa setelah ini harus ke kantor. Arlo di rumah dulu bersama Paman Bams karena masih belum sembuh,” kata Aksa yang bicara sambil mengikat dasi.Aksa tidak mendapat balasan dari Arlo, membuat pria itu menoleh dan melihat putranya duduk di sofa sambil bersidekap.“Arlo, kenapa malah diam begitu?” tanya Aksa.Pagi itu, Aksa sengaja meminta pelayan membawa sarapan Arlo ke kamar agar dia bisa mengawasi sambil bersiap-siap ke kantor.“Alo nggak mau makan. Maunya disuapi Mama.” Arlo memasang wajah cemberut. Bibirnya mengerucut panjang.Aksa menghela napas kasar. Dia bingung karena Arlo merajuk lagi padahal dia ada rapat penting. Aksa juga tidak mungkin menghubungi dan meminta Mira datang lalu dianggap merepotkan.Aksa mendekat, lalu duduk di samping Arlo.“Arlo makan, ya. Janji setelah rapatnya selesai, papa akan segera pulang,” ujar Aksa membujuk.“Nggak mau. Alo maunya disuapi Mama.” Arlo kekeh tidak mau mendengar bujukan Aksa, bahkan dia sampai memalingkan muka.Aksa
Naya terkejut melihat Mira jatuh ke lantai. Dia segera membantu Mira berdiri lalu membantu ke ranjang agar bisa beristirahat.Naya juga segera mengambil obat Mira, lalu memberikan sebutir untuk Mira agar kondisinya membaik.“Anda memikirkan apa sampai kambuh, Nona?” tanya Naya sambil menatap cemas pada Mira.Mira baru saja menelan obatnya. Dia mengembuskan napas kasar sambil memejamkan mata.“Entahlah.” Mira menekan kuat kepalanya.“Nona, Anda ingat pesan Pak Restu, kan? Anda tidak boleh memikirkan sesuatu yang berlebih, apalagi jika diminta mengingat sesuatu yang Anda lupakan. Mengingat di mana kunci mobil Anda letakkan saja sudah membuat Anda pusing, apalagi yang lain?” Naya cemas karena tahu betul bagaimana kondisi Mira. Bagaimanapun dia sudah ikut Mira dua tahun terakhir ini.Mira menghembuskan napas kasar, lalu mengangguk.“Anda mau makan apa? Akan saya pesankan dulu,” kata Naya.“Apa saja boleh,” balas Mira.Naya mengangguk. Dia pergi untuk memesan makanan dari layanan restoran
“Baringkan di sini saja,” kata Aksa mengajak Mira ke kamar Arlo untuk menidurkan bocah itu.Aksa tidak tega melihat Mira yang sejak tadi memangku Arlo sampai tangannya kesemutan.Mira ingin membaringkan Arlo di ranjang, tetapi ternyata anak itu bangun dan langsung memeluk erat Mira.“Mama jangan pelgi.” Arlo tidak mau turun dari gendongan.Mira terkejut. Dia memeluk Arlo lalu duduk di tepian ranjang sambil memangku bocah itu.“Tidak, aku tidak pergi,” ucap Mira sambil mengusap punggung Arlo.“Mama bohong, kemalin bilang mau datang, tidak datang-datang.” Arlo memeluk erat karena takut ditinggal.Mira memandang pada Aksa, seperti ingin meminta bantuan.Aksa akhirnya mendekat, lalu mencoba menenangkan.“Arlo turun dulu, kasihan Bibi tangannya kesemutan,” ucap Aksa membujuk. Dia tidak memanggil dengan sebutan ‘Mama’ takut Mira salah paham.“Bukan Bibi! Ini mamanya Alo!” protes Arlo kesal.Aksa dan Mira saling tatap, keduanya tidak tahu harus bagaimana.“Iya, mamanya Arlo. Tapi turun dulu,