"Amanda, sebaiknya kamu selesaikan juga pekerjaan ini hari ini juga!" Titah sang manajer bagaikan petir di telinga Amanda yang sedang bersiap-siap untuk pulang. Jelas, dirinya merasa keberatan jika harus lembur lagi seperti kemarin. Terlebih, nanti malam, keluarga pria yang dijodohkannya akan datang. Bisa-bisa, ibunya mengamuk jika dia telat!"Tapi, hari ini kan hari Jumat, Bu. Saya harus pulang cepat," ucapnya pada akhirnya, "Selain itu, saya juga--""Kamu kan single, siapa yang nungguin di weekend begini?" potong manajernya tak mau tahu, "lebih baik, gunakan waktumu untuk segera menyelesaikan pekerjaanmu. Hitung-hitung nanti kamu bisa segera saya promosikan kamu naik jabatan!"Brak!Tanpa basa-basi, manajer itu pun meninggalkan Amanda dengan tumpukan file di meja. Adilkah ini? Semenjak masuk di perusahaan ini, Amanda selalu menjadi tumbal di divisinya. "Huh, ganti CEO rupanya nasibku tak berubah juga," ujarnya saat melihat deretan pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini.
"Kalau tidak percaya, saya--""Maaf," ucap tim medis itu segera. Amanda lantas merasa lega. Terlebih, kala melihat mereka menangani Ronald dengan cepat setibanya di rumah sakit. Hanya saja, kuatnya aroma obat-obatan dan suara lalu lalang petugas medis membuat Amanda tak nyaman. Sejak tadi, dia hanya bisa merapatkan punggungnya ke dinding IGD yang terasa dingin. Setelah insiden di lift ini, Amanda bersumpah tidak akan mau disuruh lembur apalagi menjelang akhir pekan. Amanda hendak meraih ponselnya untuk menghubungi ibunya. Namun tiba-tiba saja, bos yang sedang ditungguinya itu bergerak. Gadis semampai itu pun berjalan mendekat ke tempat tidur bosnya. "Aku... aku di mana?" Ronald yang baru bangun, tampak sekali tengah bingung dengan apa yang sedang terjadi. "Kita di ICU, Pak" bisik Amanda. Dia menarik nafas dalam-dalam, sebelum kembali berkata, "Dan saya... harus mengikuti Pak Ronald sampai sini karena tidak diperbolehkan pulang." "Mana asistenku?" tanya Ronald sambil melihat
"Jadi, kamu main sama om-om, sampai tidak bisa datang ke acara perjodohanmu?" Ibunya kembali mencecarnya begitu keduanya duduk di sofa. Sindiran tajam itu terdengar sangat menyakitkan di hati. Amanda sendiri hanya bisa menunduk, tak bersuara. Dia masih kebingungan dari mana dia harus menjelaskan yang sebenarnya. Tapi, hal yang paling dia benci di dunia ini adalah fitnah. Dan itu sedang dilakukan ibunya sendiri terhadapnya. "Bu, aku tadi benar-benar menemani bosku di rumah sakit. Kalau tidak percaya, Ibu bisa menelpon pihak rumah sakit atau asisten bosku," ucap Amanda pada akhirnya. Dirinya harus menjelaskan kejadian agar ibunya tak berpendapat yang bukan-bukan. Sayangnya, kali ini ibunya tampak tak memaafkannya. "Alasan saja! Kamu tahu betapa pentingnya acara malam ini tadi. Mereka sudah jauh-jauh datang menyempatkan untuk bertemu kamu,” sindirnya, “Ehhh, kamunya malah pergi entah ke mana." Baginya, Amanda sudah mencoreng nama baik keluarga! "Sudah, kamu lebih baik masuk ke
Jadi di sinilah Amanda--hanya bisa terdiam di mobil mewah yang mulai menjauh dari pusat kota. Hal ini jelas berbeda dengan Ronald terlihat menikmati perjalanannya dengan mendengarkan musik favoritnya. "Pak, kenapa kita harus ke tempat keluarga Pak Ronald? Kan kita cuma pura-pura," ucap Amanda setelah berhasil menenangkan diri. "Siapa bilang? Kita memang berhubungannya pura-pura, tapi tunangannya benar-benar akan dilangsungkan. Tenang, kamu akan mendapakan kompensasi yang cukup untukmu hidup sampai punya anak cucu nanti." Mendengar itu, sontak batin Amanda bergejolak. Fotonya dengan Ronald di lift kemarin sudah membuat ibunya murka, bagaimana jika nanti ibunya menonton konferensi pers dan tahu dia bertunangan tanpa izin? Bisa-bisa dia dicoret dari kartu keluarga! "Pak, tapi saya belum memberitahu keluarga saya soal ini." Amanda menyampaikan secara terus terang. "Lagipula, saya sudah dijodohkan dengan seseorang." Dirinya hanya asal bicara. Hanya saja, Ronald tampak terkejut. "O
Deg!Amanda terdiam. Dia merasa malu dan direndahkan. Apalagi, beberapa orang di sana mulai mengabadikannya lewat handphone pribadi masing-masing. Tanpa basa-basi, Amanda segera berlari keluar ruangan. Sudah cukup baginya Ronald membuatnya tak punya muka! "Amanda, kamu mau ke mana?" Ronald mengejarnya yang berlarian ke area depan. "Pak Ronald, saya sudah tidak kuat lagi. Sudah saatnya kita hentikan sandiwara ini." Amanda menahan tangis. Harga dirinya sudah diinjak-injak. Membayangkan apa yang akan terjadi pada hidupnya bila menikahi Ronald, sungguh menakutkan. "Amanda, kita belum memulai. Jadi, kamu jangan mengada-ada!" Ronald mencengkram lengan asistennya itu sekuat mungkin. “Kenapa kamu menyerah secepat ini?” "Asal Pak Ronald tahu, di keluarga saya, saya sudah tidak punya muka!" ucap Amanda cepat, "Saya sudah bilang kalau perjodohan saya batal. Ibu saya marah dan memboikot tidak mau bicara selama berhari-hari." Amanda terduduk dan menutup mukanya dengan kedua tangan. Seand
Sebuah cincin berlian entah berapa karat itu kini melingkar di jari manisnya! Dipandangnya benda termewah yang dia baru dapatkan sekarang. Seumur-umur, benda paling mahal yang dia punya adalah ponsel yang dibelinya dua tahun lalu. Itu juga hasil jerih payahnya bekerja dan dibeli secara angsuran. “Pak, ini terlalu mewah,” gumamnya. Namun, Ronald hanya mengendikan bahu, santai. “Sekarang, siapapun yang berniat menjodohkan kamu, tunjukkan saja cincinnya!”“Pak Ronald, tapi kenapa harus saya?”Baginya masih banyak gadis-gadis cantik yang lebih cocok jika digunakan sebagai istri-istrian oleh Ronald. Jelas dirinya menilai kalau dia jauh dari standard bosnya. “Why not?” Ronald bertanya balik. “Jangan banyak kata-kata lagi, sekarang kamu boleh pulang.” Ucapan tegas pria itu membuat Amanda seketika sadar.Dia telah masuk ke permainan bosnya dan tak ada lagi jalan kembali...."Aduh, bagaimana cara menjelaskan pada ibu?" batinnya, panik. Bagaimana caranya Amanda mau cerita kalau calon sua
“Jadi, kamu ini dari keluarga Anderson?” Ibu Amanda yang awalnya meragukan, kini seperti terbius. “Keluarga kaya raya pengusaha itu?” Ronald mengangguk tegas. “Hmm… sudah kubilang, Bu. Aku sudah ada calon suami. Jadi ibu tidak perlu mencari-carikan jodoh lagi.” Amanda menjelaskan pada ibunya dengan bangga. Bagi seorang tua yang sudah berpengalaman, ibunya was-was kalau ini hanyalah sebuah permainan. Berharap dia paham dan mengerti keadaan yang sebenarnya. Dipegangnya tangan Amanda lalu dia berbisik, “Apa kamu sungguh-sungguh dan tidak main-main?” Anak perempuannya menganggukkan kepala. “Iya.” Sementara itu, Amanda melirik ke arah Ronald. Bosnya nampak tidak nyaman. Dia masih belum terbiasa dengan ruangan tanpa AC. Dia kepanasan dan keringat mengucur di keningnya. Rumah Amanda memang sederhana dan kecil jika dibandingkan dengan rumah maupun apartemen yang biasa dia tinggali. “Pak Ronald gerah ya?” tanya Amanda. Dia merasa kasihan menyuruh bosnya malam-malam ke sini. “Tidak
Di sisi lain, Ronald mengepalkan kedua tangan. Tak disangkanya rencana ini justru membuat dirinya di posisi yang terpojokkan. “Memangnya kenapa tiba-tiba ibumu meminta pernikahan secepat ini?” kata Ronald sambil menyeruput secangkir kopi di kantornya. “Saya kurang tahu, Pak.” Amanda menggelengkan kepala dengan lemah. “Mungkin Ibu saya tidak ingin kita menikah dan ini agar pernikahan tidak pernah akan bisa terjadi.” Bosnya diam sejenak. Betapa sulitnya berurusan dengan keluarga Middle Class seperti wanita di hadapannya sekarang ini. “Dia masih belum setuju dengan hubungan kita?” Amanda mengangguk. “Atau jangan-jangan ibumu tahu aku kaya raya, jadinya minta dipercepat saja agar segera menikmati kemewahan??” tuduh Ronald pada keluarga Amanda. “Pak, di sini saya tekankan. Ibu saya justru ingin kita tidak jadi menikah. Ibu saya juga bukan orang matre seperti pikiran Bapak!!” “Kamu sendiri, apa kamu siap kalau menikah di akhir pekan nanti?” Giliran sekarang Amanda ditanya oleh CEO
"Amanda?" Ronald menyapanya.Dia yang semula terpejam, perlahan mulai membuka mata."Aku dengar dia laki-laki." Sahutnya lemah. Matanya menerawang ke langit-langit ruangan. Berusaha menyimpan lukanya."Kamu...istirahatlah dulu." Ronald mengelus tangannya."Apa dia sempat menangis saat lahir?" Pertanyaannya mulai ke mana-mana. Ronald menggeleng."Jadi, saat di rahimku, dia sudah tidak bernyawa lagi? Pantas saja dia tidak menendang-nendangku lagi..." Dia meraba perutnya. "Biasanya dia akan menendangku lebih keras saat kamu ada di dekatku. Aneh bukan?"Matanya yang sembab setelah menangis, kini harus dibasahi lagi dengan air mata."Jangan berpikir yang berat-berat dulu. Kamu harus istirahat biar cepat pulih..." Ronald tak kalah terpukul dan sedihnya dari wanita yang kini terbaring lemah itu."Apa Simon di sini juga?" Tanya Amanda ketakutan dan cemas."Tidak. Apa aku perlu memberitahu dia?" Meski dadanya terasa panas, Ronald harus mengontrol diri dan mengalah untuk saat ini.Dia tahu kal
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid