Jadi di sinilah Amanda--hanya bisa terdiam di mobil mewah yang mulai menjauh dari pusat kota.
Hal ini jelas berbeda dengan Ronald terlihat menikmati perjalanannya dengan mendengarkan musik favoritnya.
"Pak, kenapa kita harus ke tempat keluarga Pak Ronald? Kan kita cuma pura-pura," ucap Amanda setelah berhasil menenangkan diri.
"Siapa bilang? Kita memang berhubungannya pura-pura, tapi tunangannya benar-benar akan dilangsungkan. Tenang, kamu akan mendapakan kompensasi yang cukup untukmu hidup sampai punya anak cucu nanti."
Mendengar itu, sontak batin Amanda bergejolak.
Fotonya dengan Ronald di lift kemarin sudah membuat ibunya murka, bagaimana jika nanti ibunya menonton konferensi pers dan tahu dia bertunangan tanpa izin?
Bisa-bisa dia dicoret dari kartu keluarga!
"Pak, tapi saya belum memberitahu keluarga saya soal ini." Amanda menyampaikan secara terus terang. "Lagipula, saya sudah dijodohkan dengan seseorang."
Dirinya hanya asal bicara.
Hanya saja, Ronald tampak terkejut. "Oh, ya?"
"Iya, sebentar lagi kami akan menikah," ucap Amanda sedikit takut karena dia terpaksa harus berbohong. Tapi, itu lebih baik dibanding menikah dengan bos arogannya itu.
"Hmm..."
Ronald tampak berpikir. Baginya, rencananya sudah tak bisa diundur lagi.
"Amanda, sepertinya aku tak bisa menuruti permintaanmu. Kita harus menikah secepatnya setelah bertunangan. Itu adalah adat keluarga besarku," putusnya sembari menatap Amanda dengan serius.
"Tapi, Pak..."
“Amanda, aku berjanji kita akan menikah hanya dalam kurun waktu satu tahun. Setelah itu, kamu bebas kelakukan apapun yang kamu mau!"
"Ba-baiklah, Bos..." Seperti terkena mantra sihir, Amanda pun setuju.
Melihat itu, Ronald tampak lega.
Akhirnya perempuan keras kepala ini menurut juga. Langkah selanjutnya akan semakin mudah.
"Bagus! Kamu memang bisa aku andalkan, aku tahu kamu memang pantas disebut sebagai karyawan teladan!" serunya.
Tanpa sadar, keduanya pun telah tiba di rumah Eyang Ronald.
***
"Selamat datang!"Seorang pria tua membentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan Ronald dan Amanda. "Akhirnya aku bertemu kamu juga tahun ini! Ronald, kamu–"
"Terima kasih, Paman," potong Ronald, tak nyaman. "Oh, iya. Mana yang lain?"
"Semua sudah menunggumu di meja makan..." Sang Paman menuntun mereka masuk ke dalam. "Ngomong-ngomong, kamu belum memperkenalkan wanita cantik ini padaku. Siapa dia?"
Amanda tersipu malu saat dikatakan sebagai wanita cantik.
Dia tak terbiasa dengan pujian. Selama ini dia dihargai karena prestasi yang dia peroleh, bukan karena kelebihan fisik.
"Oh, dia adalah Amanda." jawab Ronald sambil memberhentikan langkah. "Ehm, dia asistenku!"
Pamannya terkejut bukan main. "What? Lalu, bagaimana dengan Sheila, Ivon, Maria dan yang lainnya?"
Ronald menyikutnya, cepat. "Mereka tidak bisa bekerja sesuai dengan schedule yang aku mau."
Hal ini jelas membuat Amanda penuh tanda tanya.
Terlebih, dia menyadari Ronald memasang wajah yang pura-pura innocent.
Jangan-jangan, Ronald ini typical playboy!
"Amanda, senang bertemu dengan kamu!" Paman pria itu tiba-tiba mengulurkan tangan dan menjabat tangan halus gadis cantik itu.
"Sama-sama, Tuan ..." Karena takut salah, dia memanggil 'tuan' tanpa izin terlebih dulu.
"Haha, panggil saja aku Jack," ralat pria tua itu cepat.
"Tapi, saya tidak bisa."
Jujur, Amanda merasa kurang sopan kalau memanggil seseorang tanpa ada sapaan atau gelar terlebih dahulu.
Itu tidak masuk ke tatanan tata krama yang telah diajarkan keluarganya.
Namun, paman dari Ronald itu justru tertawa.
"Oke, oke! Panggil aku 'om' kalau gitu ..." Lelaki itu tertawa melihat teman perempuan ponakannya yang masih lugu dan polos.
"Masuk sini... ayo, semua sudah menunggu!"
Amanda sontak mengikuti kedua lelaki itu dan berjalan menuju ke ruang pertemuan besar yang ternyata sudah dipenuhi dengan makanan serta keluarga yang lain.
"Ronald? Is that you?" Seorang wanita paruh baya memeluk Ronald saat menyadarinya. "Oh my goodness, is it your fiance?"
Ronald hanya nyengir dan mengangguk. Dia sedikit kaku saat harus memperkenalkan “kekasihnya” dalam acara formal begini.
"So, you are really fulfilling your promises!" serunya lagi bahagia setelah mendapati Ronald benar-benar datang ke acara keluarganya.
"Pak, apa maksud wanita itu?"
"Ssst... kamu jangan banyak tanya dulu. Yang jelas, sekarang tugas kamu hanya senyum dan perkenalkan diri sebagai asistenku," ucap Ronald tanpa menoleh ke arah Amanda.
"Ba-baik, Pak." Amanda masih sedikit canggung saat harus berhadapan dengan keluarga papan atas yang jauh dari status sosialnya.
Selama ini, dia hanya melihat keberadaan keluarga sekaya ini dalam drama atau film-film Hollywood, keluarga Kardashian!
"Hey... it's good to see you!" Kini seorang gadis muda dengan pakaian serba mini menyapa Ronald dan mencium pipi kirinya. "Long time no see, Ronald!"
Tak cukup demikian, sebuah pelukan hangat juga ditambahkan setelah cium pipi tadi.
Amanda sendiri merasa risih.
Apalagi, seorang lelaki juga muncul dari belakangnya, ikut-ikutan melakukan hal yang sama pada Amanda.
Namun cepat-cepat dia menolak dan menyalaminya saja.
"Sorry..." Amanda meminta maaf karena membuat lelaki itu kecewa.
"No, it's okay. It's okay!" Dia paham dan berlalu.
Amanda terdiam.
Lebih baik, dia menjauh saja daripada terjadi hal yang semakin tidak nyaman di sini.
Sengaja, dia ke tempat disajikannya makanan yang sudah menggodanya sejak dia datang.
Hanya saja, saat dia memilih mana makanan yang akan disantap, seorang wanita paruh baya mendekatinya.
"Coba makan ini!" ucapnya. "Ini adalah kue khas yang selalu ada di acara keluarga Anderson."
Diletakkannya semacam kue khas Eropa ke atas piring kecil milik Amanda.
"Oh, terima kasih," kata Amanda seraya mengambil dua kue kecil lain.
"Kamu orang baru ya?" tanyanya lagi.
Wanita itu tampak elegan khas majalah-majalah fashion itu kini berada tepat di hadapan Amanda.
Hanya saja, Amanda sadar bahwa dirinya diamati dari ujung kepala hingga ujung kaki sejak tadi yang hanya memakai setelan kantor.
Tapi, apa mau dikata?
Toh, Ronald tak pernah bicara kalau dirinya akan diajak ke acara mewah perkumpulan keluarganya.
"Hm, saya menemani bos saya ke sini," jawab Amanda, cepat.
"Tidak apa-apa. Kamu sudah cukup bisa membawa diri."
Meski terdengar lembut, entah mengapa kalimatnya terdengar sedikit menyinggung Amanda yang memang tidak memakai barang branded dan mewah seperti tamu lain.
Amanda mulai tak nyaman semakin lama berada di dekatnya.
"Terima kasih atas perbincangannya. Saya harus pergi dulu." pamitnya, lalu pergi.
"Lho, ke mana kok buru-buru? Aku belum tanya siapa nama kamu? Kok kamu mau pergi." Dia mulai sedikit tersenyum licik saat tahu Amanda merasa terintimidasi.
Wanita itu terus mendekati dan membuntutinya.
"Maaf, saya harus pergi dulu."
Tanpa disadari, Amanda berjalan cepat, hingga menabrak seorang lelaki.
Prang!
"Aaaawww.... aduh..."
Dia pun terjatuh sementara makanan yang ada di piringnya berlarian ke lantai.
"Makanya, gadis yang di bawah standar keluarga Anderson tidak seharusnya berada di sini," maki wanita tadi tampak lega setelah bisa mempermalukan Amanda di hadapan banyak orang.
Amanda tertegun. Dia merasa malu dan ketakutan kala menjadi sumber perhatian semua orang di sana.
Untungnya, sepasang tangan kekar terulur untuk membantunya.
Tanpa basa-basi, Ronald membuatnya berdiri lagi dan membersihkan beberapa kotoran yang menempel di tubuhya.
"Tante, kumohon bersikap sopanlah dengan Amanda. Dia datang bersamaku," tegas pria itu.
"Apa? Bagaimana bisa kamu dengannya?" protes wanita itu.
"Tentu saja, bisa. Amanda adalah tunanganku!" jawab Ronald dengan nada mengancam.
"APAAA?"
Mereka benar-benar tak percaya dengan apa yang mereka dengar dari mulut Ronald.
Sesekali mereka melihat ke arah Ronald lalu beralih ke arah Amanda.
"Jadi gosip mesum kalian di lift itu benar?"
Deg!Amanda terdiam. Dia merasa malu dan direndahkan. Apalagi, beberapa orang di sana mulai mengabadikannya lewat handphone pribadi masing-masing. Tanpa basa-basi, Amanda segera berlari keluar ruangan. Sudah cukup baginya Ronald membuatnya tak punya muka! "Amanda, kamu mau ke mana?" Ronald mengejarnya yang berlarian ke area depan. "Pak Ronald, saya sudah tidak kuat lagi. Sudah saatnya kita hentikan sandiwara ini." Amanda menahan tangis. Harga dirinya sudah diinjak-injak. Membayangkan apa yang akan terjadi pada hidupnya bila menikahi Ronald, sungguh menakutkan. "Amanda, kita belum memulai. Jadi, kamu jangan mengada-ada!" Ronald mencengkram lengan asistennya itu sekuat mungkin. “Kenapa kamu menyerah secepat ini?” "Asal Pak Ronald tahu, di keluarga saya, saya sudah tidak punya muka!" ucap Amanda cepat, "Saya sudah bilang kalau perjodohan saya batal. Ibu saya marah dan memboikot tidak mau bicara selama berhari-hari." Amanda terduduk dan menutup mukanya dengan kedua tangan. Seand
Sebuah cincin berlian entah berapa karat itu kini melingkar di jari manisnya! Dipandangnya benda termewah yang dia baru dapatkan sekarang. Seumur-umur, benda paling mahal yang dia punya adalah ponsel yang dibelinya dua tahun lalu. Itu juga hasil jerih payahnya bekerja dan dibeli secara angsuran. “Pak, ini terlalu mewah,” gumamnya. Namun, Ronald hanya mengendikan bahu, santai. “Sekarang, siapapun yang berniat menjodohkan kamu, tunjukkan saja cincinnya!”“Pak Ronald, tapi kenapa harus saya?”Baginya masih banyak gadis-gadis cantik yang lebih cocok jika digunakan sebagai istri-istrian oleh Ronald. Jelas dirinya menilai kalau dia jauh dari standard bosnya. “Why not?” Ronald bertanya balik. “Jangan banyak kata-kata lagi, sekarang kamu boleh pulang.” Ucapan tegas pria itu membuat Amanda seketika sadar.Dia telah masuk ke permainan bosnya dan tak ada lagi jalan kembali...."Aduh, bagaimana cara menjelaskan pada ibu?" batinnya, panik. Bagaimana caranya Amanda mau cerita kalau calon sua
“Jadi, kamu ini dari keluarga Anderson?” Ibu Amanda yang awalnya meragukan, kini seperti terbius. “Keluarga kaya raya pengusaha itu?” Ronald mengangguk tegas. “Hmm… sudah kubilang, Bu. Aku sudah ada calon suami. Jadi ibu tidak perlu mencari-carikan jodoh lagi.” Amanda menjelaskan pada ibunya dengan bangga. Bagi seorang tua yang sudah berpengalaman, ibunya was-was kalau ini hanyalah sebuah permainan. Berharap dia paham dan mengerti keadaan yang sebenarnya. Dipegangnya tangan Amanda lalu dia berbisik, “Apa kamu sungguh-sungguh dan tidak main-main?” Anak perempuannya menganggukkan kepala. “Iya.” Sementara itu, Amanda melirik ke arah Ronald. Bosnya nampak tidak nyaman. Dia masih belum terbiasa dengan ruangan tanpa AC. Dia kepanasan dan keringat mengucur di keningnya. Rumah Amanda memang sederhana dan kecil jika dibandingkan dengan rumah maupun apartemen yang biasa dia tinggali. “Pak Ronald gerah ya?” tanya Amanda. Dia merasa kasihan menyuruh bosnya malam-malam ke sini. “Tidak
Di sisi lain, Ronald mengepalkan kedua tangan. Tak disangkanya rencana ini justru membuat dirinya di posisi yang terpojokkan. “Memangnya kenapa tiba-tiba ibumu meminta pernikahan secepat ini?” kata Ronald sambil menyeruput secangkir kopi di kantornya. “Saya kurang tahu, Pak.” Amanda menggelengkan kepala dengan lemah. “Mungkin Ibu saya tidak ingin kita menikah dan ini agar pernikahan tidak pernah akan bisa terjadi.” Bosnya diam sejenak. Betapa sulitnya berurusan dengan keluarga Middle Class seperti wanita di hadapannya sekarang ini. “Dia masih belum setuju dengan hubungan kita?” Amanda mengangguk. “Atau jangan-jangan ibumu tahu aku kaya raya, jadinya minta dipercepat saja agar segera menikmati kemewahan??” tuduh Ronald pada keluarga Amanda. “Pak, di sini saya tekankan. Ibu saya justru ingin kita tidak jadi menikah. Ibu saya juga bukan orang matre seperti pikiran Bapak!!” “Kamu sendiri, apa kamu siap kalau menikah di akhir pekan nanti?” Giliran sekarang Amanda ditanya oleh CEO
“Menghabiskan malam bagaimana, Pak?” Membayangkan bosnya menginap membuat bulu kuduk Amanda merinding dan berdiri. Kemarin saja saat dicium Ronald, tekanan darahnya sudah naik turun tak menentu. Apalagi bila menghabiskan malam dengannya, itu akan menjadi hal di luar imajinasinya. “Ya aku tidur di sini untuk malam ini saja.” “Bapak tahu kan, kalau di sini banyak nyamuk dan tidak ada AC? Cuaca juga sedang tidak bersahabat, Pak. Saat malam bisa saja nanti berubah menjadi tiba-tiba dingin atau tiba-tiba panas…” Ronald tak mempedulikan kata-kata istrinya dan terus melepas kancing baju yang ia kenakan satu per satu. “Pak, Pak…” Amanda menutup matanya dengan satu tangan. “Percuma saja kamu mau mengusirku. Semua mobil sudah tidak ada lagi di sini. Kecuali kalau kamu mau jadi istri durhaka karena mengusir suami tidur di luar kamar saat malam pengantin.” Gadis yang belum pernah disentuh siapapun itu masih tak terbiasa dengan keberadaan lelaki di kamarnya. Mau berganti baju dengan pakaia
Ibunya tak habis pikir, bagaimana bisa mendapatkan menantu kaya raya dan pintar memasak dalam satu paket! Melihat Amanda yang bersiap-siap mengepak beberapa pakaian dan peralatan pribadinya, barulah ibu tersadar kalau sebentar lagi dia akan sendirian di rumah. Anak kesayangan itu benar-benar akan pergi. “Bu, apa aku boleh membawa cardigan ini?” Amanda menunjukkan sebuah cardigan rajut buatan tangan ibunya. “Bo-boleh saja, tapi kamu tahu itu kancingnya sudah hilang satu.” Tak tahan menahan air mata, akhirnya mata itu berembun. “Makasih, Bu.” Baru pertama kali ini Amanda mengatakan ucapan terima kasih pada ibu. “Bawa juga baju ini…” ibunya menunjukkan sebuah baju tanpa lengan dengan bahan transparan. Amanda mengedip-ngedipkan mata. Apa dia tak salah lihat? “Untuk apa ini, Bu?” Seperti anak SD yang tak tahu apa-apa, dia bertanya sambil melongo. “Ini punya kakak iparmu tapi belum pernah dipakai. Ibu pikir ini akan berguna buat kamu. Bawalah.” Sekali lagi Amanda terbengong meliha
Apa? Hamil? Yang benar saja Papa mertuanya ini. Dia sudah menuduh yang bukan-bukan! “Itu… itu tidak benar, Pa.” terang saja Amanda mengklarifikasi. “Saya… masih perawan.” Bagaimana mungkin dirinya yang selama ini menjaga diri dengan sebaik-baiknya dituduh hamil di luar nikah! Papa mertuanya tertawa. “Hahaha. Rupanya kamu membawa barang antik ke rumah kita, Ronald. Aku sempat khawatir kamu membawa model-model tipikal gold digger seperti dulu.” Ronald bermaksud untuk mendiamkan istrinya agar tidak lanjut mengatakan hal yang membuatnya malu. “Cepatlah kalian ke meja makan, keluarga kita sudah menunggu!” Papanya berjalan ke meja makan. “Good evening, everyone!” Ronald menyapa anggota keluarganya yang lain dengan ramah. Semua pandangan mengarah padanya. “Anakku!” Mamanya meninggalkan kursinya lalu memeluk Ronald yang jauh lebih tinggi darinya. “Akhirnya kamu sampai juga.” Mata mamanya tak percaya ketika melihat seora
Amanda tak bisa tidur dengan pulas. Dia khawatir kalau-kalau sewaktu-waktu nanti Ronald mendatanginya di malam hari. Syukurlah, hal itu tidak pernah terjadi. Meski semalaman dia memasang betul telinganya untuk berjaga-jaga siapa tahu pintu kamarnya terbuka. Begitu juga dengan beberapa malam sesudahnya. Dia memiliki rutinitas baru yaitu menyuapi Mila saat makan pagi dan makan malam. Siangnya, gadis mungil berusia sekitar lima tahun akan makan siang di sekolahnya. “Tumben pulang cepat, Pak!” seru Amanda saat selesai bermain di kolam renang belakang rumah. Kolam seluas itu hanya dianggurkan oleh penghuni. Sekitar seminggu di sini, tak seorangpun memakainya. Ronald tak menjawab dan hanya langsung menuju ke meja makan. Amanda mengangkat kedua kakinya dari dalam air dan mendekati suaminya. “Perlu saya siapkan sesuatu?” tanya Amanda. “Tidak. Aku hanya ingin meneliti file-file yang aku butuhkan. Kembalilah ke kolam renang.” Ronald duduk dan posisinya tepat berhadapan dengan letak kol
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di
"Papamu tega! Dia sudah keterlaluan... Ini bukan kali pertamanya dia melakukan ini, dia sudah berkali-kali selingkuh..huhhuhuuuuu..."Tangisan Mamanya sudah tak terbendung lagi. Pecah!Anak lelakinya tak kuasa melihat sang Mama menangis."Ma, tenangkan diri dulu. Bisa jadi ini salah sangka dan sebagainya kan?" Ronald berusaha menenangkan dan mengelus rambut Mamanya."Lihat saja sendiri..." Mamanya mengambil kembali handphone dan menyerahkan bukti beberapa video rekaman yang menunjukkan Papanya mengantarkan pemeriksaan ke sebuah dokter kandungan lalu dia pergi meninggalkan wanita itu.Sebelum pamit, terlihat jelas di video itu Papanya memeluk dan mencium kening wanita muda yang diduga selingkuhannya."Apa artinya ini... aku kena karma?" Mamanya terucap sebuah kalimat yang membuat anaknya bingung.Karma?Apa maksudnya..."Ma, jangan berpikiran yang buruk dulu seperti itu. Kita belum tahu kebenarannya.""Kamu ini buta ya Ronald? Jelas-jelas itu Papamu sama wanita lain. Kalau masih belum
"Siapa yang tahu kalau ternyata Papa bisa telat datang saat meeting, apa Mama tidak membangunkan Papa semalam?" Simon tertawa saat melihat Papanya datang dengan mengendap-endap dari belakang.Salah seorang staff-nya sedang presentasi soal project baru yang mereka tangani. Untung saja ruangan sedikit gelap di bagian belakang karena semua orang sedang fokus pada layar di depan."Hush!"Papanya menyenggol bahu anaknya. Tak lupa ia meletakkan telunjuk di depan bibir agar semakin menekankan perintah."Haha, aku tahu Pa. Semalaman Papa pasti dibuat tidak bisa beranjak dari tempat tidur ya sama Mama? Haha, kalian ini sudah tua tapi masih saja tetap hot!" Tukas Simon.Seandainya saja anaknya tahu dengan siapa semalam dia bergulat di ranjang!"Sudah, berikan aku hand out dari materi presentasi Alessandro itu. Biar aku pelajari!" Papanya mencoba mengalihkan perhatian sang anak."Baca saja punyaku ini, Pa!" Rupanya Ronald sudah ada di meja meeting juga. Tapi sejak tadi sengaja hanya diam.Dia se