Sebuah cincin berlian entah berapa karat itu kini melingkar di jari manisnya!
Dipandangnya benda termewah yang dia baru dapatkan sekarang. Seumur-umur, benda paling mahal yang dia punya adalah ponsel yang dibelinya dua tahun lalu.
Itu juga hasil jerih payahnya bekerja dan dibeli secara angsuran.
“Pak, ini terlalu mewah,” gumamnya.
Namun, Ronald hanya mengendikan bahu, santai. “Sekarang, siapapun yang berniat menjodohkan kamu, tunjukkan saja cincinnya!”
“Pak Ronald, tapi kenapa harus saya?”
Baginya masih banyak gadis-gadis cantik yang lebih cocok jika digunakan sebagai istri-istrian oleh Ronald. Jelas dirinya menilai kalau dia jauh dari standard bosnya.
“Why not?” Ronald bertanya balik. “Jangan banyak kata-kata lagi, sekarang kamu boleh pulang.”
Ucapan tegas pria itu membuat Amanda seketika sadar.
Dia telah masuk ke permainan bosnya dan tak ada lagi jalan kembali...."Aduh, bagaimana cara menjelaskan pada ibu?" batinnya, panik. Bagaimana caranya Amanda mau cerita kalau calon suaminya itu CEO di Perusahaannya?
***
“Sudah, jangan buat-buat alasan lagi.”
Benar saja. Begitu tiba di rumah, Ibunya menatap Amanda tajam.
Tampaknya, wanita paruh baya itu masih sakit hati setelah kejadian perjodohan yang gagal itu.
“Keluarga Sumitro bukan orang sembarangan. Dan kamu sudah melepas kesempatan emas begitu saja,” tambah sang ibu lagi.
Amanda menarik napas. Dia harus memulai rencananya dan sang bos.
“Bu, aku sudah katakan sebelumnya. Kalau bosku sakit dan aku harus ikut menemani dia,” ucapnya sembari pura-pura meletakkan tasnya di meja.
Tangannya dibuatnya seperlahan mungkin menata barang-barang dan tas.
Sengaja Amanda lakukan itu agar ibunya melihat sebuah cincin berlian mewah yang melingkar di jari manisnya.
“Hey, dari mana kamu mendapatkan cincin ini?”
Benar saja, ibunya seketika memegang jari Amanda yang tampak mencolok.
Dia mengamatinya dengan heran.
“Bu, aku sudah bilang kan kalau aku sudah punya calon. Ini buktinya!” Dengan rasa bangga, Amanda menaikkan tangannya ke atas sejajar dengan wajahnya. “Lihatlah!”
“Ibu tidak percaya kamu sudah punya calon. Cincin seperti itu bisa saja kamu membelinya dari pasar loak atau barang KW,” ucap ibunya, tak percaya.
Bahkan, raut wajahnya menampakkan keraguan.
Kini Amanda yang bingung. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Dikasih cincin, masih belum juga percaya.
Terlebih, Amanda sudah paham watak ibunya. Saat gagal dengan satu calon, maka ibunya sudah menyiapkan puluhan atau bahkan ratusan calon lain!
“Jangan buat alasan yang tidak-tidak. Kalau kamu tidak suka dengan Anjas yang pekerjaannya sebagai guru honorer, bilang saja,” ucap sang ibu tiba-tiba.
Lirikan mata tajam dari wanita yang telah membesarkannya itu, membuat Amanda semakin salah tingkah.
Kan....
Siapa lagi si Anjas ini?
“Bu, aku tidak membuat-buat alasan.” Dia kembali ke kamarnya untuk mengambil sesuatu dan menunjukkannya pada sang ibu.
Duh, kapan ibunya percaya pada apa yang dikatakan anaknya ini?
Kenapa selalu berpikiran negative sejak tadi.
“Amanda, ibu membesarkanmu sejak kecil. Dan kamu dari dulu sangat tidak pandai berbohong. Sekarang, hentikan sandiwaramu atau aku akan mengusirmu dari rumah! Keluarga Anjas akan datang nanti, bersiaplah!”
Karena ibunya tak juga mau percaya, mau tidak mau Amanda harus mencari taktik agar ide memalukan ini berhenti.
“Baiklah. Aku akan buktikan kalau aku tidak bohong!”
Gadis manis bertubuh berisi itu kini berbalik ke kamarnya dan menghubungi nomor seseorang yang bisa menyelamatkannya.
'Maafkan saya, Pak. Tapi ini demi kelancaran dan kemulusan rencanamu juga!'
“Halo?”
Mendengar suara seksi Ronald saja, sudah membuat Amanda gemetar.
Untuk menghilangkan rasa gugup yang sudah sampai di ubun-ubun, Amanda sengaja batuk terlebih dahulu.
“Uhuk, uhuk. Pak Ronald, ini saya.”
“Amanda?” Ronald asal menebak karena sebenarnya nomor itu belum disimpan.
“Betul, syukurlah Pak Ronald masih ingat saya,” sindirnya.
“Mau apa?” tanya pria itu langsung, typical CEO yang selalu maunya to the point.
“Saya butuh bantuan, Pak. Secepatnya…”
Ronald menebak asal, “Butuh uang? Sebutkan nominal dan aku harus transfer ke mana?”
Amanda hanya geleng-geleng. Mudah sekali hidup orang super rich. Apa-apa bisa diselesaikan dengan uang!
“Pak, saya butuh bantuan Pak Ronald untuk datang ke rumah menemui ibu saya. Itu saja.”
Well, ini adalah hal yang di luar ekspektasinya.
Dalam benak Ronald, ketika Amanda menghubunginya, secara otomatis dia langsung terpikir bahwa tunangannya mau minta uang!
“Untuk apa?”
Amanda gemas. Tunangan bukan hal yang main-main.
“Ibu saya tidak percaya kalau saya sudah punya calon dan nanti malam orang yang mau dijodohkan dengan saya mau datang ke rumah. Apa kurang jelas Pak informasi dari saya?”
Kalimat itu meluncur seperti mobil melaju di jalan tol dengan kecepatan penuh.
Terdengar helaan napas dari seberang telepon, sebelum Ronald kembali berbicara, “Share loc segera alamatmu!”Mendengar itu, entah mengapa Amanda merinding...?
**
Kini, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat delapan menit.
Suara mobil di depan pintu membuat Amanda terbangun. Dia memang menunggu sejak jam tujuh malam sampai tertidur di ruang tamu. Takut-takut Ronald tiba-tiba datang padahal keluarga Anjas mendadak batal datang.
Sayangnya, Arnold justru tak bisa dihubungi.
“Selamat malam. Maaf saya datang terlambat.”
Terdengar seseorang datang di depan pintu.
Ibu Amanda-lah yang membuka pintu dan mendapati sosok yang rupawan bak malaikat berdiri dengan gagah.
Wanita itu bahkan sampai terperangah. “Selamat malam. Ananda mencari siapa ke sini?” tanyanya, sopan.Jujur, ini adalah kalimat paling sopan yang pernah didengar oleh Amanda sendiri. Biasanya ibunya jutek dan tanpa filter.
Siapa tamu di depan sana?“Oh, saya mau menemui Amanda.”
Deg!
Mendengar namanya disebut, Amanda seketika sadar.
“Pak Ronald?” Dia tak menyangka bosnya akan benar-benar datang, meski tengah malam begini.
Ditambah lagi, pria itu hanya tersenyum dan justru berkata penuh hormat pada ibu Amanda. “Saya calon suaminya Amanda, Ibu.”
Sementara itu, Ibu Amanda terdiam. Dia tidak langsung menyuruhnya masuk karena khawatir akan timbul fitnah dan dugaan yang bukan-bukan dari tetangga.
Terlebih, dia merasa bahwa ini adalah akal-akalannya Amanda saja.
'Apa anak itu sudah bisa menyewa model tampan untuk dijadikan pacar bayaran?' batinnya, ragu.
Merasa itu adalah hal yang paling masuk akal, wajah ibu Amanda berubah menjadi tak suka.
“Oh begitu ya?”sinisnya.
Ronald mengangguk. “Iya, maaf sekali Ibu, saya datang larut malam. Tadi saya baru saja selesai meeting dan datang ke sini langsung.”
Suara CEO muda itu sedikit agak parau.
Dia memang kelelahan karena seharian belum beristirahat. Tapi, telepon Amanda tadi jelas mengganggu pikirannya.
“Meeting? Memangnya kamu kerja apa?”
Ibu Amanda tampak bersungut-sungut, siap melabrak.
Pastinya dia kerja yang tidak-tidak kalau meetingnya selesai sampai malam begini, kan?
Sayangnya, ucapan Ronald kemudian membuatnya terperanjat!
“Saya bekerja sebagai CEO di perusahaan tempat Amanda bekerja!” Tangannya menjabat erat Ibu Amanda. “Nama saya Ronald Anderson.”
"A--anderson?"“Jadi, kamu ini dari keluarga Anderson?” Ibu Amanda yang awalnya meragukan, kini seperti terbius. “Keluarga kaya raya pengusaha itu?” Ronald mengangguk tegas. “Hmm… sudah kubilang, Bu. Aku sudah ada calon suami. Jadi ibu tidak perlu mencari-carikan jodoh lagi.” Amanda menjelaskan pada ibunya dengan bangga. Bagi seorang tua yang sudah berpengalaman, ibunya was-was kalau ini hanyalah sebuah permainan. Berharap dia paham dan mengerti keadaan yang sebenarnya. Dipegangnya tangan Amanda lalu dia berbisik, “Apa kamu sungguh-sungguh dan tidak main-main?” Anak perempuannya menganggukkan kepala. “Iya.” Sementara itu, Amanda melirik ke arah Ronald. Bosnya nampak tidak nyaman. Dia masih belum terbiasa dengan ruangan tanpa AC. Dia kepanasan dan keringat mengucur di keningnya. Rumah Amanda memang sederhana dan kecil jika dibandingkan dengan rumah maupun apartemen yang biasa dia tinggali. “Pak Ronald gerah ya?” tanya Amanda. Dia merasa kasihan menyuruh bosnya malam-malam ke sini. “Tidak
Di sisi lain, Ronald mengepalkan kedua tangan. Tak disangkanya rencana ini justru membuat dirinya di posisi yang terpojokkan. “Memangnya kenapa tiba-tiba ibumu meminta pernikahan secepat ini?” kata Ronald sambil menyeruput secangkir kopi di kantornya. “Saya kurang tahu, Pak.” Amanda menggelengkan kepala dengan lemah. “Mungkin Ibu saya tidak ingin kita menikah dan ini agar pernikahan tidak pernah akan bisa terjadi.” Bosnya diam sejenak. Betapa sulitnya berurusan dengan keluarga Middle Class seperti wanita di hadapannya sekarang ini. “Dia masih belum setuju dengan hubungan kita?” Amanda mengangguk. “Atau jangan-jangan ibumu tahu aku kaya raya, jadinya minta dipercepat saja agar segera menikmati kemewahan??” tuduh Ronald pada keluarga Amanda. “Pak, di sini saya tekankan. Ibu saya justru ingin kita tidak jadi menikah. Ibu saya juga bukan orang matre seperti pikiran Bapak!!” “Kamu sendiri, apa kamu siap kalau menikah di akhir pekan nanti?” Giliran sekarang Amanda ditanya oleh CEO
“Menghabiskan malam bagaimana, Pak?” Membayangkan bosnya menginap membuat bulu kuduk Amanda merinding dan berdiri. Kemarin saja saat dicium Ronald, tekanan darahnya sudah naik turun tak menentu. Apalagi bila menghabiskan malam dengannya, itu akan menjadi hal di luar imajinasinya. “Ya aku tidur di sini untuk malam ini saja.” “Bapak tahu kan, kalau di sini banyak nyamuk dan tidak ada AC? Cuaca juga sedang tidak bersahabat, Pak. Saat malam bisa saja nanti berubah menjadi tiba-tiba dingin atau tiba-tiba panas…” Ronald tak mempedulikan kata-kata istrinya dan terus melepas kancing baju yang ia kenakan satu per satu. “Pak, Pak…” Amanda menutup matanya dengan satu tangan. “Percuma saja kamu mau mengusirku. Semua mobil sudah tidak ada lagi di sini. Kecuali kalau kamu mau jadi istri durhaka karena mengusir suami tidur di luar kamar saat malam pengantin.” Gadis yang belum pernah disentuh siapapun itu masih tak terbiasa dengan keberadaan lelaki di kamarnya. Mau berganti baju dengan pakaia
Ibunya tak habis pikir, bagaimana bisa mendapatkan menantu kaya raya dan pintar memasak dalam satu paket! Melihat Amanda yang bersiap-siap mengepak beberapa pakaian dan peralatan pribadinya, barulah ibu tersadar kalau sebentar lagi dia akan sendirian di rumah. Anak kesayangan itu benar-benar akan pergi. “Bu, apa aku boleh membawa cardigan ini?” Amanda menunjukkan sebuah cardigan rajut buatan tangan ibunya. “Bo-boleh saja, tapi kamu tahu itu kancingnya sudah hilang satu.” Tak tahan menahan air mata, akhirnya mata itu berembun. “Makasih, Bu.” Baru pertama kali ini Amanda mengatakan ucapan terima kasih pada ibu. “Bawa juga baju ini…” ibunya menunjukkan sebuah baju tanpa lengan dengan bahan transparan. Amanda mengedip-ngedipkan mata. Apa dia tak salah lihat? “Untuk apa ini, Bu?” Seperti anak SD yang tak tahu apa-apa, dia bertanya sambil melongo. “Ini punya kakak iparmu tapi belum pernah dipakai. Ibu pikir ini akan berguna buat kamu. Bawalah.” Sekali lagi Amanda terbengong meliha
Apa? Hamil? Yang benar saja Papa mertuanya ini. Dia sudah menuduh yang bukan-bukan! “Itu… itu tidak benar, Pa.” terang saja Amanda mengklarifikasi. “Saya… masih perawan.” Bagaimana mungkin dirinya yang selama ini menjaga diri dengan sebaik-baiknya dituduh hamil di luar nikah! Papa mertuanya tertawa. “Hahaha. Rupanya kamu membawa barang antik ke rumah kita, Ronald. Aku sempat khawatir kamu membawa model-model tipikal gold digger seperti dulu.” Ronald bermaksud untuk mendiamkan istrinya agar tidak lanjut mengatakan hal yang membuatnya malu. “Cepatlah kalian ke meja makan, keluarga kita sudah menunggu!” Papanya berjalan ke meja makan. “Good evening, everyone!” Ronald menyapa anggota keluarganya yang lain dengan ramah. Semua pandangan mengarah padanya. “Anakku!” Mamanya meninggalkan kursinya lalu memeluk Ronald yang jauh lebih tinggi darinya. “Akhirnya kamu sampai juga.” Mata mamanya tak percaya ketika melihat seora
Amanda tak bisa tidur dengan pulas. Dia khawatir kalau-kalau sewaktu-waktu nanti Ronald mendatanginya di malam hari. Syukurlah, hal itu tidak pernah terjadi. Meski semalaman dia memasang betul telinganya untuk berjaga-jaga siapa tahu pintu kamarnya terbuka. Begitu juga dengan beberapa malam sesudahnya. Dia memiliki rutinitas baru yaitu menyuapi Mila saat makan pagi dan makan malam. Siangnya, gadis mungil berusia sekitar lima tahun akan makan siang di sekolahnya. “Tumben pulang cepat, Pak!” seru Amanda saat selesai bermain di kolam renang belakang rumah. Kolam seluas itu hanya dianggurkan oleh penghuni. Sekitar seminggu di sini, tak seorangpun memakainya. Ronald tak menjawab dan hanya langsung menuju ke meja makan. Amanda mengangkat kedua kakinya dari dalam air dan mendekati suaminya. “Perlu saya siapkan sesuatu?” tanya Amanda. “Tidak. Aku hanya ingin meneliti file-file yang aku butuhkan. Kembalilah ke kolam renang.” Ronald duduk dan posisinya tepat berhadapan dengan letak kol
“Poin ini dan ini, saya mau diubah!” Ronald melingkari nomor pasal perjanjian pra nikah yang di benaknya harus segera diperbaiki. Secepatnya. “Tapi, Pak. Ini kan sebelumnya kita sudah sama-sama sepakat. Bahwa kita tidak akan sekamar dan tidak ada kontak fisik seperti hubungan badan dan…” Selalu saja, Amanda sering keceplosan dan tak bisa menahan ucapannya walau sebentar. “Amanda, berapa kali harus saya ingatkan jangan asal ngomong. Mulut kalau mau bersuara tolong dipikirkan dulu.” Bentak Ronald saat mereka berdua berada di kamarnya. Ronald yang duduk di kursi sementara Amanda berdiri di depan mejanya. “Maaf…” dia menunduk dan mengaku bersalah. Duuh. “Saya ingin kita memperlihatkan pada, ehem, setidaknya keluargaku kalau kita benar-benar menikah. Mereka pasti curiga kita tidur di kamar yang berbeda. Apalagi kita pengantin baru!” ucap Ronald dengan tegas. “Pak, tapi kita tidak harus tidur seranjang, kan?” tanya Amanda sambil ketakutan. “Itu gampang diatur. Yang jelas, saya mau
Ini tidaklah semudah adegan di film-film romantis atau drama televisi. Bersanding dengan lelaki tampan yang terlarang, bukanlah ujian yang ringan. Ketika tangan ini ingin menyentuh, harga diri dan profesionalisme adalah taruhannya! “Kenapa kamu berisik sekali, Amanda? Apa sebaiknya kamu tidur di bathtub saja biar aku bisa tenang tidur di bed ini?” bisik Ronald dengan suara yang sama sekali tak terdengar mengantuk. “Ma-maafkan saya, Pak.” Itu saja yang sekarang bisa diucapkan. Amanda khawatir kalau terlalu banyak bicara justru berakibat fatal. “Apa sepertinya aku perlu mendisiplinkan mulutmu dengan caraku?” Duh, nada bicaranya yang cukup mengintimidasi ini terdengar seperti sebuah tantangan panas di telinga gadis itu. Di malam seperti ini, yang terbersit di benaknya adalah perlakuan Ronald setiap kali dirinya melakukan kesalahan. Itu semua akan berujung pada ciuman ganas khas Ronald yang sekarang berhasil membuat pipi Amanda bersemu mer
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di
"Papamu tega! Dia sudah keterlaluan... Ini bukan kali pertamanya dia melakukan ini, dia sudah berkali-kali selingkuh..huhhuhuuuuu..."Tangisan Mamanya sudah tak terbendung lagi. Pecah!Anak lelakinya tak kuasa melihat sang Mama menangis."Ma, tenangkan diri dulu. Bisa jadi ini salah sangka dan sebagainya kan?" Ronald berusaha menenangkan dan mengelus rambut Mamanya."Lihat saja sendiri..." Mamanya mengambil kembali handphone dan menyerahkan bukti beberapa video rekaman yang menunjukkan Papanya mengantarkan pemeriksaan ke sebuah dokter kandungan lalu dia pergi meninggalkan wanita itu.Sebelum pamit, terlihat jelas di video itu Papanya memeluk dan mencium kening wanita muda yang diduga selingkuhannya."Apa artinya ini... aku kena karma?" Mamanya terucap sebuah kalimat yang membuat anaknya bingung.Karma?Apa maksudnya..."Ma, jangan berpikiran yang buruk dulu seperti itu. Kita belum tahu kebenarannya.""Kamu ini buta ya Ronald? Jelas-jelas itu Papamu sama wanita lain. Kalau masih belum
"Siapa yang tahu kalau ternyata Papa bisa telat datang saat meeting, apa Mama tidak membangunkan Papa semalam?" Simon tertawa saat melihat Papanya datang dengan mengendap-endap dari belakang.Salah seorang staff-nya sedang presentasi soal project baru yang mereka tangani. Untung saja ruangan sedikit gelap di bagian belakang karena semua orang sedang fokus pada layar di depan."Hush!"Papanya menyenggol bahu anaknya. Tak lupa ia meletakkan telunjuk di depan bibir agar semakin menekankan perintah."Haha, aku tahu Pa. Semalaman Papa pasti dibuat tidak bisa beranjak dari tempat tidur ya sama Mama? Haha, kalian ini sudah tua tapi masih saja tetap hot!" Tukas Simon.Seandainya saja anaknya tahu dengan siapa semalam dia bergulat di ranjang!"Sudah, berikan aku hand out dari materi presentasi Alessandro itu. Biar aku pelajari!" Papanya mencoba mengalihkan perhatian sang anak."Baca saja punyaku ini, Pa!" Rupanya Ronald sudah ada di meja meeting juga. Tapi sejak tadi sengaja hanya diam.Dia se