Jemari kami masih saling menggenggam, aku tak akan mau melepaskan karena hal ini sudah lama tak kami lakukan. Aku selalu senang jika bertemu banyak orang, dengan begitu kemesraan kami akan kembali, dan aku selalu berharap kemesraan itu terbawa sampai kami di rumah.
"Tadi itu, Lina ngeliatin kamu terus. Ada hubungan apa kamu sama dia?"
"Lina siapa?" tanyaku santai, sambil memesan kendaraan online dengan telepon di tangan kanan.
"Anak psikologi, mantan Teguh. Dulu dia kan sempet gangguin hubungan kita."
"Oh,"
"Oh doang! Kamu tuh kebiasaan sok kegantengan, itu yang membuat cewek-cewek kegeeran kalo di deket kamu! Gak perlulah tebar pesona, kamu tuh sudah nikah! Awas aja kalau sampai macem-macem, aku gak akan segan ngancurin hidup kamu!" ucapnya sambil melepas kasar jemariku.
"Kamu jangan ngaco dan gak perlu juga ngancam-ngancam suami! Tebar pesona bagaimana, kamu gak lihat sepatu aku sudah gak layak? Kamu gak liat kerah baju aku sudah rusak? Bahkan saat ini, aku gak tau sudah berapa lama tidak keramas, demi mengirit! Seharusnya kamu yang berkaca," lanjutku sambil menaik turunkan pandangan melihat penampilannya. "Lihat dirimu, setiap kondangan, baju selalu mau baru. Sepatumu beli belum ada dua minggu. Belum lagi makeup yang berlebihan itu, siapa di sini yang layak disebut tebar pesona?"
Kata-kataku keluar begitu saja, ketika logika kesabaran melewati garis batas maksimalku. Aku paling tak suka dicemburui, dan ia sangat tau itu namun tetap saja melakukannya.
Langkah kami terhenti ketika sebuah lamborgini menghampiri, kaca mobil sang pengengemudi turun perlahan. Tampak seorang wanita cantik berkaca mata hitam menyapa ramah. "Zal, jangan berantem di jalan. Bahaya."
"Siapa yang berantem! Inilah bumbu-bumbu rumah tangga, jika tak ada rumah tangga akan terasa hambar. Cup." Lagi-lagi, Ardila mengeluarkan pertunjukannya. Aku cukup senang dengan sikap sepontannya, karna dengan itu aku mampu mengobati rindu kemesraan kami yang dulu. Ingin sekali aku membalas kecupan itu, namun aku yakin dia akan sangat marah seperti kejadian sebelumnya.
"Zal, aku dengar kau dan papa akan melakukan kerjasama? Aku sudah baca sebagian proposalnya, ide-idemu sangat bagus, trobosan terkeren yang pernah aku pelajari, aku suka!" ucap Rosa semangat, sambil membuka seatbeltnya.
"Sorry, jemputan kita sudah datang. Ngobrolnya dilanjut kapan-kapan, ya ..."
Dan kami langsung menaiki mobil pesananku, mobil online dengan harga fantastis. Dan karena nominalnya, aku harus menggantinya dengan besok berangkat lebih pagi.
"Kalau tadi aku gak stop, sampai kapan kamu akan ngobrol sama dia?"
"Mana aku tau, kan tadi gak sempat terjadi."
"Selalu aja jawabannya begitu. Pokoknya aku gak mau tau! Aku mau, kamu gak usah kontrak kerja dengan orang tuanya Rosa!"
"Kenapa? Ini kesempatan besarku, aku sudah persiapkan semua ini dengan matang."
"Ya pokoknya aku gak mau tau! Kamu kan bisa cari orang lain, gak mesti orang tuanya Rosa!"
"Terus siapa?" tanyaku kesal.
"Ya siapa kek! Kamu usaha dong! Cari yang bener! Jika perlu, cari orang asing. Orang kaya di dunia ini kan banyak, gak mesti ayahnya si Rosa!"
"Gak bisa! Aku akan tetap lanjut. Ini kesempatan besar untukku dan keluarga kecil kita. Kalau kontrak ini lancar aku janji, aku akan langsung belikan kamu berlian." Ia diam sejenak, sepertinya ia sedang mempertimbangkan penawaranku yang menggiurkan.
"Gak usah sok bae. Aku gak mau tau, pokoknya batalin kontraknya! Kalo gak mau batalin, kita cerai!"
DEG
lagi-lagi kalimat itu keluar dari lisannya dengan mudah. Entah sudah berapa kali ia lontarkan kata-kata itu ketika kami ada masalah.
"Aku gak suka dengan suami yang nanti kerjaannya sama wanita lain. Kalau kamu masih melanjutkan kontrak kerja itu, kita cerai! Kali ini aku gak main-main. Besok aku akan ke pengadian dan layangkan gugatan!"
Jahat, jahat sekali ia melakukan itu padaku. Hanya karena rasa cemburunya, ia rela menghancurkan impianku, impian yang di dalamnya selalu ada dirinya.
Aku diam, di dalam kendaraan itu aku terdiam sama sekali tak mengeluarkan suara. Genggaman tangan kami sudah terlepas sejak tadi, aku hanya mampu mengepalkan jemari dengan kuat. Aku kesal dengan cara berfikirnya, aku kesal dengan caranya memandang kehidupan.
Seharusnya dia lebih dewasa, aku melakukan semua ini demi dia. Dia menggantungkan kebahagiaan padaku, aku rela pergi gelap hari dan pulang larut malam demi dia yang sangat kucintai. Tapi lagi-lagi keegoisannya mendominasi dan setiap saat aku harus memahami.
Yang kutau, Ardila istriku tak seperti itu. Dulu ia begitu manis, penurut, baik dan menerimaku apa adanya. Hingga akhirnya, aku memutuskan berhenti kuliah dan lebih fokus bekerja demi menafkahi istriku yang saat itu sedang hamil muda.
Saat itu aku sedang fokus bekerja di salah satu perusahaan games yang sedang naik daun. Istriku menghubungi dan mengabarkan bahwa saat itu ia di rumah sakit mengalami pendarahan hebat. Singkat cerita kami memutuskan untuk melakukan oprasi, karena anak kami tak dapat diselamatkan.
Entah apa yang terjadi pada dirinya, sejak kejadian itu sifatnya benar-benar berubah. Ia bukan lagi Ardila istriku yang dulu, ia mulai menunjukan sifat aslinya. Ia penikmat nikotin berat, dan terkadang ia mengkonsumsi minuman beralkohol dengan pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.
Penyesalan masih hinggap dalam diriku hingga kini. Perubahan drastisnya aku fikir karana kehilangan bayi kami, bayi yang sangat kuharapkan untuk mengisi hari-hari kami berdua, namun hilang karena tuhan lebih menyanginya.
Ribuan bahkan jutaan kata maaf aku ucapakan tiap kali melihatnya bersedih dan kesal sendiri. Aku salah, karena membiarkannya sedirian di rumah. Aku salah seharusnya memberinya fasilitas kehamilan yang lebih baik. Aku salah, seharusnya saat itu kuturuti semua keinginannya. Dan akhirnya akupun berusaha memenuhi segala keinginannya, bahkan terkadang di luar logikaku.
Demi memperbaiki hubungan kami, aku rela menjual rumah peninggalan kedua orang tuaku, hanya untuk membeli kendaraan roda empat demi menutupi gengsinya. Aku pun rela tak kuliah, demi membiayai S1nya. Dan akupun rela berhenti kerja, demi meluangkan banyak waktu bersamanya, hingga akhirnya kuputuskan berprofesi sebagai ojek online.
Aku tak pernah merasa diriku benar sendiri, aku yakin setiap masalah pasti kedua belah pihaklah yang salah. Masing-masing dari kami memiliki andil di dalamnya.
Aku tau salahku, aku belum cukup bisa membahagiakannya. Dan saat ini aku sedang berusaha memberi kebahagiaan untuknya. Dengan cara aku kerja lebih giat dan lebih banyak menghasilkan uang. Namun usahaku disalahgunakan, kepulanganku yang terkadang larut malam membuatnya semakin liar dan tak lagi menghiraukan keberadaanku. Kemiskinan yang kami rasakan saat ini selalu ia jadikan alasan.
Segala cara telah kucoba, dari mengajaknya berbicara, merayunya, mengajak jalan-jalan ke tempat yang ia suka, menginap di hotel meski bukan hotel mewah, hingga melarang dan menguncinya rumah, cara itu pun telah aku lakukan. Namun percuma, tak satupun cara menemukan titik terang. Justru terkadang membuat kami bertengkar hebat dan semakin membuat jarak lebih parah.
Dan kini, aku memutuskan untuk pasrah. Pasrah dengan kami tak pernah lagi melakukan hubungan suami istri. Pasrah dengan apa yang ingin ia lakukan, dan berusaha pasrah atas perlakuannya padaku.
Aku masih teramat mencintainya, dan akupun yakin ia masih merasakan hal yang sama. Dari tatapannya aku masih bisa melihat cintanya, dari rasa bangganya di depan teman-temanku aku masih bisa merasakan kasih sayangnya. Hanya karna kemiskinan dan ketidaksabarannya, ia mampu menutupi hati nuraninya sendiri. Itu yang kutau.
Sudah tiga hari kami tak saling bicara, ia akan berbicara hanya ketika meminta uang dan merasa lapar ketika tak ada makanan di rumah.
"Kapan kamu ada uang lagi?"
"Bonus belum keluar, mungkin tanggal 25," jawabku sambil mencuci piring di wastafel.
"Oh, aku order sesuatu. Mungkin akan sampai tanggal 24, nanti kamu yang bayar, ya," ucapnya santai sambil menikmati sarapan pagi yang kubuat.
"Satu juta yang kemarin, sudah habis?"
"Ya udahlah. Itu kan hanya satu juta, cukup apa uang satu juta jaman sekarang? Mulai deh perhitungan, waktu pacaran kamu gak pernah hitung-hitungan, kenapa sekarang jadi perhitungan? Kalau aku tau kamu begini, ogah banget aku nikah sama kamu!"
"Pokoknya, aku gak mau tau. Barang datang, kamu harus ada uang!"
Hanya cukup diam, untuk meladeninya ketika banyak bicara. Yang kutau wanita dalam sehari harus berbicara 20.000 kata, maka dari itu kubiarkan saja ia puas berbicara. Namun inti dari perkataannya tetap kucerna, dan tentu saja mampu membuatku pusing, "cari uang kemana? Huft."
Hari berlalu begitu cepat, dan sikap istriku Ardila semakin parah. Ia semakin seenaknya, bayangkan saja seluruh aktifitas melelahkan kini aku yang kerjakan. Ia hanya cukup bangun tidur sarapan, membuat kopi sendiri karena katanya kopi buatanku tidak enak, dan menaruh bekas makannya begitu saja. Siang hari menonton televisi sambil menghisap nikotinnya dalam, terkadang ditemani cemilan hasil dagangan penjual lewat depan rumah. Mungkin dengan begitu ia bahagia, dan aku berusaha merasakan kebahagiaan yang sama. Aku berharap ia paham, bahwa aku sedang berusaha membahagiakannya. Aku sedang berjuang untuk memenuhi seluruh kebutuhan, meski usahaku terkadang ia patahkan, termasuk kontrak kerjak yang terpaksa kubatalkan demi menghindari perceraian. Dan satu lagi, seharusnya ia tak pernah lupa, bahwa aku bukanlah orang kaya. Aku hanya anak yatim piatu miskin, dengan kecerdasan cukup baik, yang kedua orang tuanya meninggal dunia tak lama sebelum kam
Melihat penampilan Ardila seperti itu, membuat adrenalin kejantananku lagi-lagi meningkat berkali-kali lipat. Dengan rasa rindu mendalam dan hasrat menggebu, aku berjalan cepat dan langsung memeluknya dari belakang, erat. Kucumbu tengkuk lehernya, kuhirup tiap jengkal aroma tubuhnya, sejenak ia menikmati tiap sentuhan yang kuberi namun selang beberapa menit ketika hasratku semakin menggebu, ia melepas pelukanku dan kembali berjalan melanjutkan langkah. "Aku lelah, aku mau tidur. Tadi banyak kerjaan di kantor." Begitu ringan ucapannya dan aku terdiam membatu, sambil memperhatikan tubuh seksi itu beraktifitas. Tepat di sisi meja rias, tanpa rasa malu dan bersalah ia mulai melepas satu persatu pakaian di tubuhnya. Terlihat jelas di sana belasan tanda merah menempel indah dan aku hanya gelengkan kepala penuh kesedihan, 'tak mungkin Anggi, tak mungkin wanita yang melakukan itu semua.' Amarah dan cemburu tumbuh begit
Panggilku begitu keras dan nyaris membuat orang sekitar ketakutan, namun orang yang kupanggil, sama sekali tak mendengar. Aku tak mungkin salah, aku sangat tau dan sangat mengenali istriku, bahkan pakaian yang ia kenakan sama persis dengan apa yang ia pakai tadi pagi.Berniat mengejar, namun logikaku menolak. Meski lalu lintas padat merayap, kemungkinan kecil bisa mengejarnya dengan keadaan ban motorku yang bermasalah.Hatiku tak tenang, otakku panas, tanganku terkepal sempurna berharap pria berengsek itu ada di hadapanku. Jika itu sampai terjadi, sudah pasti ia akan babak belur bahkan mungkin kehilangan nyawa hasil sadis kedua tanganku.Kakiku masih mundar-mandir di area bengkel kecil, berusaha tenang namun fisik dan pikiran tak bisa kusingkronkan.Motor maticku selesai ditangani, setelah memberikan upah pada tukang tambal ban, aku langsung tancap gas menuju rumah. Fokusku hanya satu, mengetahui siapa seb
"Ya, aku menyerah. Aku sudah lelah dengan kebodohanku. Aku cape, dan sepertinya aku tidak mampu memberikan kebahagiaan yang kau inginkan." "Carilah yang sempurna, jika ingin kehilangan yang terbaik." "Tanda tanganilah, aku sudah lebih dulu menandatanganinya," ucapku sambil memberikan selembar kertas hasil unduhku di web pengadilan negeri. "Kamu menceraikanku?" "Hm," jawabku sesimpel itu. tetapi, entah apa yang terjadi setelah ini. Yang aku tahu dan yang selalu terbayang, hari-hari yang kulalui akan selalu bersamanya, entah seperti apa jadinya nanti, yang pasti setelah ini aku harus nikmati proses sakit ini. Karena bagiku luka paling sakit adalah, ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu. "Kau tidak menyesal menceraikanku?" Kujawab hanya gelengan kepala dan sepertinya ia tau, aku masih sangat mencintainny
'Kita berjumpa lagi.' "Oh, iya. Sorry. Keuntungan apa saja yang saya dapatkan, bila memiliki apartemen di sini?" "Baik tuan, sebelumnya perkenalkan nama saya Rayana Livina, anda bisa memanggil saya Raya." "R-a-y-a" "Disamping berlokasi di kawasan segitiga emas yang menjanjikan, strategis, dan termasuk lokasi yang banyak dicari orang. Apartemen kami pun menjadi hunian yang sangat menguntungkan, baik dijadikan investasi ataupun hunian pribadi." "Dengan pengaplikasian sistem face recognition tiga dimensi, anda akan memiliki hunian yang sangat privasi, nyaman dan aman. Begitupun dengan sistem sterilisasi canggih yang kami miliki, anda dapat melindungi anak dan istri anda dari polusi udara ibu kota yang kini semakin buruk." "Sorry, saya duda." "Oh maaf, tuan." "Tak masalah, lanjutkan." Raya p
-------- SOHO"Bekerjalah dengan baik, pelajari apa dan bagian mana yang harus kamu kerjakan lebih dulu. Jika sudah kamu selesaikan semua, kamu bisa langsung pulang tak perlu menunggu saya datang." Sebuah memo tertempet di sebuah papah tulis kecil, hasil tulisan tangan sang pemilik hunian."Tulisannya bagus!" ucap Raya sambil menggengam sebuah kertas memo."Anda hanya sarapan teh, ck-ck-ck sudah mapan mengapa tidak sarapan?" Sambil meletakan cangkir teh ke dalam wastafel cuci piring.Raya berkeliling mengikuti saran sang tuan, ia mulai mengamati tiap inci bangunan. Hunian bersebelahan dengan ruang kerja simpel penuh layar komputer, furniture-furniture minimalis elegan berpadukan warna hitam, putih dan abu-abu membuat hunian terlihat manly dan maskulin.Tak banyak aksesoris, hanya ada tiga lukisan di ruang berbeda, beberapa guci di atas meja dan tanaman di pot-pot kecil memberi kesan a
CEKLEK Raya membuka pintu kediaman tempatnya bekerja, tampak sisa-sisa makanan, minuman kaleng dan lembaran kertas berserakan di lantai dan permukaan meja. 'Mengapa berantakan seperti ini, tumben sekali' "Tuan, apa anda di rumah?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara shower menyala dari arah kamar si tuan. "Sepertinya dia belum berangkat kerja, duh kok aku deg-degan begini ya. Terbiasa sendiri, justru ada yang punya rumah jadi gerogi." Raya berusaha menenangkan diri, melakukan apapun yang bisa ia kerjakan tanpa berinteraksi dengan sang tuan. Cukup lama sang tuan tak keluar dari kamarnya, hingga Raya selesai merapihkan tiap ruangan dan memasak beberapa hidangan, sang tuan belum juga menampakan diri. Hanya tersisa kamar tuannya yang belum dibersihkan. Sambil menunggu, Raya berinisiatif untuk membuat anek cemilan. Hingga anek cemilan beres disajikan dan waktu sudah menunjukan angkah sebelas siang, si tuan tak juga keluar d
"Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan. "Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?" "Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku." "Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?" "Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila." "Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?" "Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belu
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la