CEKLEK
Raya membuka pintu kediaman tempatnya bekerja, tampak sisa-sisa makanan, minuman kaleng dan lembaran kertas berserakan di lantai dan permukaan meja. 'Mengapa berantakan seperti ini, tumben sekali'"Tuan, apa anda di rumah?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara shower menyala dari arah kamar si tuan."Sepertinya dia belum berangkat kerja, duh kok aku deg-degan begini ya. Terbiasa sendiri, justru ada yang punya rumah jadi gerogi." Raya berusaha menenangkan diri, melakukan apapun yang bisa ia kerjakan tanpa berinteraksi dengan sang tuan.Cukup lama sang tuan tak keluar dari kamarnya, hingga Raya selesai merapihkan tiap ruangan dan memasak beberapa hidangan, sang tuan belum juga menampakan diri.Hanya tersisa kamar tuannya yang belum dibersihkan. Sambil menunggu, Raya berinisiatif untuk membuat anek cemilan. Hingga anek cemilan beres disajikan dan waktu sudah menunjukan angkah sebelas siang, si tuan tak juga keluar dari kamarnya.Dengan perasaan bingung dan tak nyaman Raya mulai membuat secangkir kopi, berharap rasa tak nyaman, gelisah, dan bingungnya hilang setelah meneguk secangkir kopi hangat, yang ia buat. "Ahhh ... nikmat ... sedikit lebih releks," ucap Raya setelah meneguk kopinya.CEKLEK"Raya! Kamu sudah datang? Aku tak mendengar kedatanganmu," ucap Rizal berjalan ke arah Raya, sambil mengeringkan rambut dengan handuk di tangan kirinya."Tu_GLEK GLEK GLEK'Itu kopi saya tu-an ...'"Kopi buatanmu enak! Mulai besok buatkan aku kopi seperti ini, aku suka." Pinta Rizal setelah menghabiskan seluruh kopi dalam cangkir.'AKU? Dia merubah panggilan dirinya, em ... terdengar lebih akrab, sih!'"Baik tuan.""Hampir dua bulan, baru kali ini kita bertemu kembali." Sambil menarik kursi."Iya tuan. Silakan tuan, saya telah menyiapkan makan siang dan saya akan merapihkan kamar tuan.""Itu nanti saja, bisakah kau menemaniku sarapan?"'Sarapan? Tuan ini sudah siang, mana bisa disebut sarapan!'"Saya sudah makan tuan.""Tidak bisakah kamu menemaniku?""Baik tuan," balas Raya pasrah, sambil menarik kursinya.Kini mereka duduk berhadapan. Entah naluri apa dalam diri Raya, ia mulai menawarkan beberapa lauk pada sang tuan, melayani pria itu dengan sangat baik dan sopan."Silakan tuan."'Kok aku aneh gini, sih! Pake ambilin lauk segala! Jadi malu. Si kakak sih dulu begitu, aku kan jadi niru! Bodo amat, ah! anggap aja pengabdian pembokat sama tuannya''Mengapa aku sebahagia ini dengan perlakuannya!' giliran si tuan bergumam dalam hati."Terima kasih, kamu sudah menemaniku makan." ucap Rizal, dibumbui senyuman yang menawan. "Aku suka dengan masakanmu" Rizal mengungkapkan isi hati, sambil melahap suapan terakhirnya. 'aku berharap kamu tidak akan pernah resign' lanjutnya dalam hati."Terima kasih tuan. Tuan apa saya sudah bisa membersihkan kamar?" Sambil meletakan piring ke dalam wastafer."Lakukanlah."Sudah lama kamar itu tak seperti hari ini, pakaian bekas pakai berserakan, celana boxer, sepatu, handuk, atribut kantor dan beberapa berkas menemapi lantai tak lagi di tempat semula.
Raya mulai membereskan kamar itu, 'abis pesta apa abis gempa sih, neh rumah!'"Kenapa? Berantakan, ya?" Tanya Rizal yang sejak tadi sudah berdiri di sisi pintu."Hehehe ... iya tuan, tapi tidak apa-apa.""Sorry teman dekatku datang, hari ini kami menang tender dan sepertinya aku akan tinggal lama di Indonesia.""Saya ikut bahagia mendengarnya, semoga tuan semakin sukses.""Terima kasih. O ya, Raya tolong siapkan pakaianku, aku ada keperluan, kita keluar bersama sekalian kuantar kau pulang.""Tidak perlu tuan, saya bisa pulang sendiri. tuan duluan saja, pekerjaan saya belum selesai semua." Sambil memunguti beberapa barang yang berserakan di lantai."Tinggalkan saja, itu bisa dilanjutkan besok. Menurut padaku, tak ada bantahan!""Baik tuan." Tak menunggu lama, titah tuannya segera Raya laksanakan. Seluruh pekerjaan yang belum ia selesaikan, saat itu juga langsung ia tinggalkan begitu saja. "Tuan, ini saya tidak apa-apa duduk di depan bersama tuan seperti ini?""Terus kamu mau duduk di belakang? Seolah saya supirmu?""Bukan seperti itu maksud saya, saya agak tidak enak saja. Saya takut ada yang melihat dan jadi salah faham.""Salah faham bagaimana maksudmu?""Ma-maksud saya, saya takut pacar atau wanitanya tuan, melihat.""Jangan berlebihan. Siapun bisa duduk di situ! biarkan saja mereka berpikir seperti itu! Tugasmu bekerja saja yang baik! ikuti setiap perintahku!" jawab Rizal bernada seperti marah.'Pusing sekali memikirkan penilaian orang!'Hening tak ada lagi percakapan antara keduanya, hanya sesekali Raya mengeluarkan suaranya demi menunjukan arah dan Rizal hanya menjawab dengan deheman.Alamatnya sudah berubah, sepertinya dia pindah rumah'"Nanti di depan warung itu tuan bisa menepi, rumah saya masuk gang di sebrangnya.""Biar kuantar sampai depan rumahmu.""Mobil tuan tidak bisa masuk, gangnya sempit hanya bisa dilalui motor dan sepeda.""Oo ...""Terima kasih tuan. Maaf jika mereporkan." Ucap Raya langsung turun dari mobil sang tuan.-------Di teras sebuah kediaman mewah, tampak seorang wanita berkelas nan cantik duduk di kursinya sambil membulak-balik lembaran majalah terlihat malas.Setelah lama duduk dan bosan, tampak mercedes benz yang ia tunggu kini menampakan diri. Kebahagiaan terlihat jelas di wajah dan gerak fisiknya. Wanita itu mulai merapihkan pakain yang sedikit berkerut, kemudian berlari kecil dilengkapi senyuman indah. "Hai Zal, aku sudah menunggu sejak tadi, papah di dalam." Sapa wanita cantik itu semangat. Berjalan berdampingan, terlihat begitu serasi."Sorry, bangun kesiangan," balas Rizal santai."Siang pah! Bagaimana kesehatan papah, sudah lebih baik?" Tanya Rizal menyapa pria tua yang sedang asik mendengarkan asistennya berbicara.Melihat Rizal berjalan kearahnya, pria tua itu menampakan barisan gigi rapihnya, "Semakin pulih, setelah mendapat perawatan dokter yang kamu rekomendasikan. Kau sudah di Indonesia, tinggalkah kembali di rumah ini. Rosa sama sekali tak bisa diajak berdiskusi." "Papa selalu meremehkanku di depan Rizal, seolah anak kandung papa itu Rizal bukan aku," ungkap wanita cantik yang dipanggil Rosa sambil memeluk sang papa dari belakang."Lihat Zal, dia cemburu padamu. HAHAHA ...""Seorang adik emang seperti itu pah, selalu cemburu dengan kesuksesan kakaknya. aku lapar, aku mau makan," Ucap Rizal sambil mengambil secentong nasi.'Lapar, tapi mengambil nasi hanya sedikit!', "Aku bukan adikmu, ya!" Omel Rosa, tak terima.Canda tawa di ruang makan berlanjut sampai menjelang sore hari. Pria yang disapa papah itu terlihat begitu bahagia ketika si putra angkat menjenguk dan menemaninya bertukar pikiran.Membicarakan masalah pekerjaan, beberapa kontrak-kontrak kerja, bahkan politik dan hubungan asmarapun dibahas oleh mereka."Lupakan masa lalumu, buka lembaran baru dan menikahlah. Akan selalu cape, jika apa yang kau lakukan demi dendam dan kemarahan kau jadikan jalan pijakan. Hidupmu tak akan tenang, pencapaianmu saat ini tak akan menghasilkan kebahagiaan.""Terlalu lama kau meratapi masa lalumu. Binalah rumah tangga baru, yang lebih baik dan carilah wanita baik-baik," nasehat sang papah angkat untuk kesekian kalinya.Yang diajak bicara hanya diam ketika hubungan asmaranya, menjadi topik utama. Rasa cinta yang masih terpendam pada sang mantan istri belum sepenuhnya hilang dan belum sepenuhnya mampu ia lepaskan, hingga tiap kisah asmaranya dibahas, Rizal diam tak bergeming.Bagi Rizaldi Takki, membicarakan sang mantan istri tak akan pernah ada habisnya, kebahagiaan dan kesedihan terasa datang bersamaan hingga mampu membuatnya trauma tak mau lagi mengenal cinta dan dekat dengan para wanita.Duda itu masih menikmati rasa sakitnya, menikmati dengan cara mengingat segala kesedihan, mengingat penghianatan dan mengingat tiap sikap yang ia terima dari sang mantan istri."Aku butuh proses pah, suatu saat aku pasti bisa melupakannya dan menjalankan hidupku dengan normal." Akhirnya si duda mengeluarkan suara setelah terdiam cukup lama."Logikamu ajak berproses, berproses untuk melupakan. Bukan masih merindu atau menyimpan rasa sakit. Jika perlu, nikahi Rosa untuk membantumu melupakan wanita itu."DEGApa yang ditakutkan Rizal benar terjadi, hutang budinya harus dibayar dengan sebuah pernikahan. Sebuah pernikahan tanpa dasar cinta dan perasaan, sebuah jalinan kasih terjadi karena rasa kasihan dan tak enak melakukan penolakan."Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan. "Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?" "Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku." "Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?" "Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila." "Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?" "Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belu
'Kasihan.' Gumam Rizal dalam hati, memperhatikan interaksi Raya pada ponakannya. "Mulai besok, bisakah siapkan aku sarapan dan makan siang? Em ... makan malam juga." Tak ingin menaikan gaji Raya cuma-cuma. "Bisa, tuan." "Akan kutaikan gajimu, tak perlu lagi bekerja di kafe." "Eem ... maaf tuan, di ujung gang itu, tuan bisa menepi." Tunjuk Raya dengan jarinya, sopan. "Oh, sudah sampai."Rizal turun dari kendaraan, tersadar kini berada di lingkungan kelamnya empat tahun silam dan berniat kembali pulang, namun hatinya tergerak ketika melihat Raya tampak kesulitan menuruni mobilnya."Tuan, kok ikut turun?" "Biar aku yang menggendongnya," balas Rizal dan langsung merebut Fayed dari tangan Raya. "Tapi tu_ "Aku harus tau rumahmu, jika suatu saat kamu kabur dan membawa barang berharga yang ada di rumah, aku bisa langsung mendatangimu. Tunjukan dimana rumahmu!" terang Rizal mengajak melangkah.
CKLEK "Tu-tuan sudah bangun?" Raya kaget melihat tuannya sudah duduk di ruang makan. "Hem," jawab Rizal singkat, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Mendapat jawaban singkat Raya tak ambil pusing, ia langsung menuju dapur membuat secangkir kopi untuk tuannya. "Silakan tuan." "Hem," jawab Rizal singkat, kedua kalinya. 'Aneh' Raya kembali ke ruang favoritnya bergelut dengan atribut dan aktifitas rutinnya. Tanpa Raya sadari sepasang mata elang laki-laki mengintimindasi dan lagi-lagi pemilik mata itu terpesona pada aktifitas gadis di hadapannya. Pemandangan yang sangat Rizal suka dan kegiatan yang mampu mengalihkan seluruh fokusnya. Senyum Rizal terkembang sempurna, kedua lesung pipit kembali terlihat ditemani binaran mata indah berselimut bahagia terlihat begitu jelas. 'Dia cantik, baik dan penurut. Ra-ya, Ra-ya. Rayana Livina, janda beranak sat_ tunggu-tunggu, anak? Bukankah dulu ...." "Raya, sudah sele
Terdiam, wanita cantik itu terdiam dalam posisinya. Terkesima dengan penampilan si duda tampan yang kini berpenampilan begitu menawan. Ketampanannya meningkat, penampilannya memikat dan pesona sang duda kali ini membuat jantung wanita cantik itu berdebar lebih cepat. 'Zal, kamu berubah! Kok bisa?' Tersadar duda yang ia lamunkan telah jauh melangkah, wanita cantik itu coba mengejar. "RIZAL, TUNGGU!" panggil wanita cantik itu lantang tanpa malu, berharap panggilannya membuat Rizal hentikan langkah. Dan benar saja duda tampan itu terhenti, menoleh malas memperlihatkan ketidaksukaannya. Seketika ketiganya jadi pusat perhatian. "Zal, aku ingin bicara denganmu. Makan siang bareng, yuk!" ucap lembut si wanita cantik. Rizal langsung mengambil paper bag di tangan Raya, mengangkat benda itu sejajar dengan bahunya. "Sorry, saya akan makan siang di kantor," jelas Rizal dan langsung melangkah cepat menuju lift tanpa melepas genggaman tangannya. "Za
"Onty, mengapa tidak sekalian minta antar pada om tadi?" tanya Fayed di dalam sebuah angkutan umum. "Om banyak pekerjaan dan kita tidak boleh merepotkan orang. Selama kita bisa sendiri mengapa harus meminta bantuan orang lain, don't manja!" jelas Raya sambil memperlihatkan telunjuk digerakan. "Tak mesti setiap orang tau kisah kita, tak harus orang lain iba atas apa yang kita derita. Onty harap, Fayed faham." Jawab Fayed dengan anggukan ditemani kedua bibir dirapatkan. Bulan ini lagi-lagi Raya membayarkan pengobatkan sang kakak untuk beberapa bulan kedepan, hal yang selalu Raya lakukan ketika ia gajian semenjak bekerja sebagai asisten rumah tangga seorang duda.Meski sang kakak belum sembuh benar, namun sejak Raya meminta diresepkan obat lebih baik bukan lagi generik, penyembuhan sang kakak mengalami banyak kemajuan. Kak Nara mulai jarang kejang, tak lagi melakukan tindakan bodoh untuk mengakhiri hidupnya, sikap frustasinya berkurang, jarang
Setelah larut malam dan keadaan rumah sakit telah aman, Raya memutuskan untuk pulang. "Onty, aku suka dengan om tadi siang. Andai dia adalah dadyku, aku pasti akan senang sekali." Dengan rasa lelah mendera, Raya menghentikan langkah sejenak, kemudian mensejajarkan tubuh menatap fayed sangat lekat, "Fayed sudah punya onty, jadi tak perlu lagi ada dady," tegas Raya. "Onty jangan marah, maafkan aku. Aku tidak akan pernah lagi mengatakan hal itu, aku tidak mau lagi punya dady." Tampak kornea mata anak itu berkaca-kaca. 'Apa yang mereka lakukan? Apa ia masih bekerja di kafe? Apa gaji yang kuberi masih tetap kurang?' Hasil berkelana Rizal tak tentu arah, berujung perjumpaan kembali dengan gadis yang sempat mengusik hati dan pikirannya akhir-akhir ini. TIN TIN Suara klakson dan sorotan lampu mobil mengalihkan pandangan Raya dan ponakannya. "RAYA, masuklah!" teriak Rizal sambil menurunkan kaca mobil. Melihat Rizal dengan mobilnya, Fayed langsu
"Halo pah, sepertinya aku akan menginap di rumah Rizal. Maagnya kambuh, aku harus menjaganya." Rizal reflek terduduk, kerutkan dahi, "Rosa, berikan ponselmu." Tanpa bantahan, wanita itu langsung menyerahkan ponselnya. "Halo pah, aku baik-baik saja hanya butuh istirahat sebentar." "Rosa cukup lihai mengurusmu, nikahi dia agar kau ada yang menjaga," balas pria yang disapa papah. "Pah ... pernikahan butuh cinta dan setia, tidak ada hubungannya dengan urus-mengurus ataupun jaga-menjaga." "Selalu ada alasan, apa kurangnya Rosa, hem? Adakah sikap Rosa yang harus diperbaiki? Adakah yang bisa menjagamu sebaik dan sepeduli Rosa kepadamu?" timpal suara di sebrang sana, lembut.Mencerna ucapan sang papah angkat, mata elang sang duda reflek menatap Raya, 'Ada pah, gadis itu yang telah menjagaku dengan baik.' Hanya mampu berucap dalam hati karena tak ingin menyakiti pria tua yang telah banyak membantunya. Mendapat tatapan dari tuannya, Raya langsung
Z&T Corporate, lobi utama. "Permisi, mba. Saya ingin bertemu dengan Rizaldi Takki, bisa?" "Maaf, sudah buat janji?" "Saya Ardila Parameswari, saya man_ "ARDILA!" Andika yang sedang melangkah menuju lift, kaget, mendapati wanita yang sangat ia benci ada di kantornya. Tanpa ragu dan terganggu dengan pandangan orang, Dika langsung menarik kasar lengan Ardila. "Aw! sakit, Dik," keluh wanita itu. "Hati temen gue lebih sakit, gara-gara loe! Ngapain loe di sini? Gak punya malu!" omel Andika ketika tiba di sudut lobi yang sepi. "Dika, loe juga di sini?" Meremas pergelangan tangan yang terasa nyeri. "Rizal jadi bawahan loe? Apa jabatan dia di sini? Kok gak pernah info kalian kerja di kantor yang sama? Dik, Rizal mana, gue mau ketemu dong sama dia." "Ngapain loe nyari Rizal lagi? Jangan cari gara-gara loe ya!" "Gue cuman mau pastiin sesuatu dan mau ngucapin terima atas uang yang kenarin dia kasih. Gaji di sini gede ya
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la