"Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan.
"Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?""Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku.""Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?""Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila.""Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?""Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belum siap berkomitmen. Pah, aku ke kamar, aku lelah." Pamit Rizal meninggalkan kursinya begitu saja."KAPAN SIAPNYA? aku bisa menunggumu," ungkap Rosa lantang agar Rizal mendengar.Rizal tetap melangkah menaiki anak tangga, berfokus ingin cepat singgah di kamarnya."Ah papah sih, Rizal marah 'kan sama aku! Besok-besok papah gak perlu bahas hubungan Rosa dengan Rizal. Rosa yakin kok, Rosa bisa mengambil hatinya.""Selama ini bukannya kamu berusaha mengambil hatinya, tapi mana hasilnya? Papah hanya coba membantumu, siapa tau Rizal sadar ada berlian berkilauan yang menunggunya sejak lama. Lagian papah sudah tua, harus berapa lama lagi papah menunggu melihatmu menikah?""Papah duduk manis aja, gak perlu melakukan apa-apa. Papah cukup doakan Rosa. Rosa akan berusaha mengambil hatinya, Rosa akan membuat Rizal melupakan Ardila untuk selamanya.""Nahhh gitu dong, lebih gigih. Rizal pria yang baik, papah lebih tenang jika kamu bersamanya.""Rosa gak mau menikah kalau bukan sama Rizal.""Terserah, yang penting berlian papah bahagia," ungkap sang papa.Rizal menapaki langkahnya memasuki kamar, kamar mewah yang belum berubah. Ornamen klasik bergaya eropa, dengan warna cream dan coklat mendominasi. Sudut-sudut detail berukir, atap menjulang disanggah pilar-pilar gagah, ditemani dua jendela berukuran besar, membuat kamar terlihat begitu megah. Kamar termewah pertama yang pernah Rizal huni, setelah kehidupan kelamnya bersama Ardila.Rizal melangkah kearah ranjang, membaringkan tubuh gagahnya dalam posisi menyamping di atas kasur. Kasur terempuk pertama yang pernah ia singgahi, pasca statusnya berubah menjadi duda menderita. 'Hari ini akhirnya terjadi. Aku harus mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Rosa, tak seharusnya kau memaksakan diri!''Ardila, kapan aku bisa melupakanmu! Apa salahku, hingga kau melakukan ini padaku?'Pikiran kacau lagi-lagi hadir begitu saja, perasaannya pada Ardila belum juga berkurang. Rasa sakit sekaligus rindu, selalu melekat dalam otak dan hatinya. Selalu mempertanyakan mengapa semua ini terjadi, dan mengapa harus ia dan Ardila yang melalui ini semua. Seolah ia masih tak terima dengan nasib yang digariskan tuhan padanya.Lamunan dan kesedihannya berlanjut, hingga mengantarkan Rizal pada tidur nyenyaknya. Selalu seperti itu, hanya tidur yang mampu membuatnya terlupa akan sakit dan rindunya pada Ardila."Huzzzz ... uzzzzz ...."TOK TOK TOK"Zal, kamu lagi apa? Makan malam sudah siap."TOK TOK"Boleh aku masuk? Tidak ada jawaban." Rosa pun memberanikan diri membuka pintu.CEKLEK"Zaaal," panggil Rosa dengan nada lembut. 'Dia masih tidur'Entah apa yang ada dalam benak wanita itu, dengan yakin dan langkah pelan Rosa memasuki kamar Rizal."Zaaal," panggilnya lagi masih dengan nada dilembutkan.Rosa duduk di atas ranjang tepat di sisi Rizal baring menyamping, mengatur ritme nafas sambil menikmati pahatan maha karya tuhan yang sempurna. Rosa sangat menikmati pemandangan di hadapannya, menatap penuh cinta dan puja seolah pria polos itu adalah miliknya. 'Suatu saat, aku akan menemanimu di tiap tidur lelapmu, Zal.'Cukup lama Rosa dalam posisinya, sunggu ia tak ingin berajak namun waktu akan terus berjalan, ia tak ingin Rizal terbangun dan menangkap basah sikapnya. "Zal, bangun yuk. Makan malam sudah siap, kamu 'kan paling suka makan bersama. Kita makan bareng, aku yang masak loo ..." ucapnya begitu lembut sedikit menggoda."Zal ..." Kali ini, panggilan lembut itu dibumbui sentuhan hangat di bahu Rizal. "Zal, Rizal ... bangun, yuuk ...""Eemm ... iya!" Rizal sedikit kaget dan buru-buru mendudukan tubuhnya. "Jam berapa sekarang?""Sudah jam tujuh. Bangun yu, kita makan malam.""Kamu turun duluan, aku cuci muka dulu.""Aku tunggu aja.""Terserah," balas Rizal kemudian langsung menuju kamar mandi."Waahh ... papah senang melihat kalian seperti ini, benar-benar serasi. Papah merasa tuhan begitu baik pada papah, hingga mengabulkan setiap doa yang papah pinta," ucap papah Rosa, saat melihat kedua anaknya menuruni anak tangga."Kita akan selalu menjadi keluarga, pah."'Keluarga dalam artian kamu sebagai suamiku' gumam Rosa dalm hati, sambil menarik kursi tepat di samping Rizal."Biar aku yang ambilkan." Larang Rosa ketika Rizal ingin menyendokan nasi dan lauk di atas piringnya."Capcay ini aku yang buat, cobain. Semoga kamu suka.""Emm ... kamu mau pakai apa lagi? Mau udang? Cumi? Atau ... ini ya, dendeng balado, bakwan jagung, eemmm dan ..."Sudah, Sa. Sudah cukup, jika kurang aku ambil sendiri.""Baiklah." Sambil meletakan piring tepat di hadapan Rizal."Eemm ... enak sekali!" Sambil melahap hidangan. "Anak papah semakin pintar masak, beruntung sekali laki-laki yang akan mendapatkanmu!" Sambil melirik Rizal."Papah, apaan sih. Papah makan yang banyak, jangan bicara yang dibanyakin." Sambil menambahkan beberapa lauk di piring sang papah.Berbincang sambil menikmati hidangan hal yang sangat biasa mereka lakukan, tanpa membahas hubungan asmaranya, Rizal tampak menikmati dan merasa nyaman dengan suasana kali ini. Namun nalurinya tetap mengajak untuk pulang, tak mau pembicaraan mereka lebih lama dan melebar kemana-mana. "Pah, aku pulang ya.""Papah kira kamu akan menginap? Sejak pulang dari Jerman, kamu belum pernah menginap lagi!""Next time, pah. Aku ingin menikmati SOHO baruku. Meski ukurannya tak begitu besar, aku merasa nyaman di sana. Banyak hal yang bisa kupikirkan bila berada di dalamnya," tolak Rizal."Pikirkan masa depanmu dan papah harap, kamu bisa lebih bijak terhadap dirimu sendiri.""Iya pah. Aku pamit, jaga kesehatan. Esih, Mia, jaga papahku dengan baik. Sa, aku pulang," ucap Rizal, pada semua orang di ruangan itu.Rizal langsung menuju pintu utama dimana mobil gagahnya terparkir, tampak Rosa berlari pelan meyusulnya, "Zal, tunggu! Besok, apakah aku boleh ke tempatmu?""Hem," balas Rizal singkat kemudian langsung menutup pintu mobil.Di dalam mobil, lagi-lagi pria tampan itu meratapi kesedihannya. Teringat kembali akan kisah bahagianya yang berujung tragis.Menaiki motor, dengan Ardila memeluk erat dari belakang kemudian memasukan jemari ke dalam saku di jaketnya. Mengenang hari pernikahan dengan begitu meriah, lengkap dengan senyum bahagia dari wajah keduanya. Bermodalkan uang pemberian tamu undangan, mereka putuskan berbulan madu ke negri dewata, Bali. Bermalam di hotel bintang lima, menikmati malam panjang berkesan. Meski itu bukan yang pertama mereka lakukan, namun bagi Rizal saat itu adalah puncak kebahagiaannya. Dan setelahnya adalah mimpi-mimpi buruk berkepanjangan yang tak pernah bisa ia lupakan.
Kilatan masa suramnya terekam kembali, rekaman-rekaman hasil peretasannya masih tergambar jelas di otak cerdasnya.Bermalam di apartemen mewah dengan sang manajer, sedang Rizal di rumah seorang diri berteman sepi dan dingin malam. Membeli berbagai macam pakaian brand ternama kemudian dititipkan di rumah sahabatnya, sedang Rizal berteman dengan kelaparan dan kecemasan, berharap tuhan cepat memberikannya uang banyak. Berpesta pora ditemani minuman mahal, di sebuah klab malam sedang Rizal dalam keadaan berbaring menggigil, hampir mati, karena lelahnya mencari uang siang malam.CHIIIITTTTTRizal ngerem mendadak, terlalu asik dalam lamunan tak sadar bahwa rambu lalu lintas sudah memberi instruksi untuk berhenti.Para pejalan kaki mulai menyebrang, melanjutkan perjalanan."Raya?" Tampak gadis dikenalnya berlari sambil menggendong anak laki-laki. Ia berlari menyusul para pejalan kaki, berharap rambu-rambu masih memberikan kesempatan padanya untuk melangkah."Huuuuf ... huufff ..." Raya berhenti sejenak di tepi, mengatur ritme nafasnya. Mengusap kepala sang ponakan kemudian membenarkan posisi gendongannya dan siap melangkah, "tidur nyenyak yaa, sebentar lagi kita sampai."Hingga gadis itu hampir menghilang dari pandangan, Rizal masih terdiam menikmati aktifitas gadis yang dikenalnya.Dengan rasa iba dan simpati, Rizal langsung membelokan setir, menginjak gas mobil dan menyusul gadis pekerja di SOHO-nya.Hanya beberapa detik mobil gagah itu sudah berada persisi di sisi jalan, tepat di mana gadis itu melangkah. "RAYA!" Panggil Rizal, sambil membuka kaca mobil.Merasa mengenali mobil itu, Raya mendekat. Berinisiatif berbicara pelan, takut sang ponakan terbangun. "Tuan Rizal? Baru pulang, tuan?""Naiklah.""Tidak tuan, terima kasih. Sudah dekat.""Tak ada pengulangan. Naik!"'Idih, galak bener', "Maaf tuan merepotkan.""Aku yang repot jika besok kamu tidak bekerja, karena kecapean menggendong anak itu. Nanti siapa yang mengurusku?" ucap Rizal spontan."Ya enggalah, tuan. Tiap hari saya seperti ini dan besoknya saya ke rumah, tuan. Sehat dan tetap semangat!" Sambil membenarkan posisi duduknya yang kini sudah di dalam mobil.'Tiap hari? Emang dia ngapain pulang selarut ini?'. "Kamu sudah makan?""Sudah tuan, di kafe.""Kamu bekerja di kafe juga?""Iya tuan, kafe-kafe jika malam pengunjungnya lebih banyak. Jadi mereka menambah pekerja hanya untuk sore samapi malam hari. Lumayan tuan untuk tanbahan.""Gaji dari saya masih kurang? Pakai seatbeltmu!" Ucap Rizal sambil melajukan kendaraannya pelan."Oh iya tuan. Maaf," sambil memakai seatbelt. "Em ... gaji dari tuan sangat cukup tetapi kebutuhan saya agak banyak, jadi masih perlu mencari tambahan.""Jika cukup mengapa harus bekerja lagi? Wanita jangan terlalu ambisius dalam beker_"Mom, momy ... mom ..." ucap Fayed memotong."Iya sayangg, ini momy. Cep-cep-cep, tenang yaaa ... bobo lagi, bobo lagi." Kata-kata lembut dan penuh kasih sayang, Raya mengusap punggung Fayed, hingga anak itu tertidur kembali dan memeluk Raya lebih erat.'Kasihan.' Gumam Rizal dalam hati, memperhatikan interaksi Raya pada ponakannya. "Mulai besok, bisakah siapkan aku sarapan dan makan siang? Em ... makan malam juga." Tak ingin menaikan gaji Raya cuma-cuma. "Bisa, tuan." "Akan kutaikan gajimu, tak perlu lagi bekerja di kafe." "Eem ... maaf tuan, di ujung gang itu, tuan bisa menepi." Tunjuk Raya dengan jarinya, sopan. "Oh, sudah sampai."Rizal turun dari kendaraan, tersadar kini berada di lingkungan kelamnya empat tahun silam dan berniat kembali pulang, namun hatinya tergerak ketika melihat Raya tampak kesulitan menuruni mobilnya."Tuan, kok ikut turun?" "Biar aku yang menggendongnya," balas Rizal dan langsung merebut Fayed dari tangan Raya. "Tapi tu_ "Aku harus tau rumahmu, jika suatu saat kamu kabur dan membawa barang berharga yang ada di rumah, aku bisa langsung mendatangimu. Tunjukan dimana rumahmu!" terang Rizal mengajak melangkah.
CKLEK "Tu-tuan sudah bangun?" Raya kaget melihat tuannya sudah duduk di ruang makan. "Hem," jawab Rizal singkat, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Mendapat jawaban singkat Raya tak ambil pusing, ia langsung menuju dapur membuat secangkir kopi untuk tuannya. "Silakan tuan." "Hem," jawab Rizal singkat, kedua kalinya. 'Aneh' Raya kembali ke ruang favoritnya bergelut dengan atribut dan aktifitas rutinnya. Tanpa Raya sadari sepasang mata elang laki-laki mengintimindasi dan lagi-lagi pemilik mata itu terpesona pada aktifitas gadis di hadapannya. Pemandangan yang sangat Rizal suka dan kegiatan yang mampu mengalihkan seluruh fokusnya. Senyum Rizal terkembang sempurna, kedua lesung pipit kembali terlihat ditemani binaran mata indah berselimut bahagia terlihat begitu jelas. 'Dia cantik, baik dan penurut. Ra-ya, Ra-ya. Rayana Livina, janda beranak sat_ tunggu-tunggu, anak? Bukankah dulu ...." "Raya, sudah sele
Terdiam, wanita cantik itu terdiam dalam posisinya. Terkesima dengan penampilan si duda tampan yang kini berpenampilan begitu menawan. Ketampanannya meningkat, penampilannya memikat dan pesona sang duda kali ini membuat jantung wanita cantik itu berdebar lebih cepat. 'Zal, kamu berubah! Kok bisa?' Tersadar duda yang ia lamunkan telah jauh melangkah, wanita cantik itu coba mengejar. "RIZAL, TUNGGU!" panggil wanita cantik itu lantang tanpa malu, berharap panggilannya membuat Rizal hentikan langkah. Dan benar saja duda tampan itu terhenti, menoleh malas memperlihatkan ketidaksukaannya. Seketika ketiganya jadi pusat perhatian. "Zal, aku ingin bicara denganmu. Makan siang bareng, yuk!" ucap lembut si wanita cantik. Rizal langsung mengambil paper bag di tangan Raya, mengangkat benda itu sejajar dengan bahunya. "Sorry, saya akan makan siang di kantor," jelas Rizal dan langsung melangkah cepat menuju lift tanpa melepas genggaman tangannya. "Za
"Onty, mengapa tidak sekalian minta antar pada om tadi?" tanya Fayed di dalam sebuah angkutan umum. "Om banyak pekerjaan dan kita tidak boleh merepotkan orang. Selama kita bisa sendiri mengapa harus meminta bantuan orang lain, don't manja!" jelas Raya sambil memperlihatkan telunjuk digerakan. "Tak mesti setiap orang tau kisah kita, tak harus orang lain iba atas apa yang kita derita. Onty harap, Fayed faham." Jawab Fayed dengan anggukan ditemani kedua bibir dirapatkan. Bulan ini lagi-lagi Raya membayarkan pengobatkan sang kakak untuk beberapa bulan kedepan, hal yang selalu Raya lakukan ketika ia gajian semenjak bekerja sebagai asisten rumah tangga seorang duda.Meski sang kakak belum sembuh benar, namun sejak Raya meminta diresepkan obat lebih baik bukan lagi generik, penyembuhan sang kakak mengalami banyak kemajuan. Kak Nara mulai jarang kejang, tak lagi melakukan tindakan bodoh untuk mengakhiri hidupnya, sikap frustasinya berkurang, jarang
Setelah larut malam dan keadaan rumah sakit telah aman, Raya memutuskan untuk pulang. "Onty, aku suka dengan om tadi siang. Andai dia adalah dadyku, aku pasti akan senang sekali." Dengan rasa lelah mendera, Raya menghentikan langkah sejenak, kemudian mensejajarkan tubuh menatap fayed sangat lekat, "Fayed sudah punya onty, jadi tak perlu lagi ada dady," tegas Raya. "Onty jangan marah, maafkan aku. Aku tidak akan pernah lagi mengatakan hal itu, aku tidak mau lagi punya dady." Tampak kornea mata anak itu berkaca-kaca. 'Apa yang mereka lakukan? Apa ia masih bekerja di kafe? Apa gaji yang kuberi masih tetap kurang?' Hasil berkelana Rizal tak tentu arah, berujung perjumpaan kembali dengan gadis yang sempat mengusik hati dan pikirannya akhir-akhir ini. TIN TIN Suara klakson dan sorotan lampu mobil mengalihkan pandangan Raya dan ponakannya. "RAYA, masuklah!" teriak Rizal sambil menurunkan kaca mobil. Melihat Rizal dengan mobilnya, Fayed langsu
"Halo pah, sepertinya aku akan menginap di rumah Rizal. Maagnya kambuh, aku harus menjaganya." Rizal reflek terduduk, kerutkan dahi, "Rosa, berikan ponselmu." Tanpa bantahan, wanita itu langsung menyerahkan ponselnya. "Halo pah, aku baik-baik saja hanya butuh istirahat sebentar." "Rosa cukup lihai mengurusmu, nikahi dia agar kau ada yang menjaga," balas pria yang disapa papah. "Pah ... pernikahan butuh cinta dan setia, tidak ada hubungannya dengan urus-mengurus ataupun jaga-menjaga." "Selalu ada alasan, apa kurangnya Rosa, hem? Adakah sikap Rosa yang harus diperbaiki? Adakah yang bisa menjagamu sebaik dan sepeduli Rosa kepadamu?" timpal suara di sebrang sana, lembut.Mencerna ucapan sang papah angkat, mata elang sang duda reflek menatap Raya, 'Ada pah, gadis itu yang telah menjagaku dengan baik.' Hanya mampu berucap dalam hati karena tak ingin menyakiti pria tua yang telah banyak membantunya. Mendapat tatapan dari tuannya, Raya langsung
Z&T Corporate, lobi utama. "Permisi, mba. Saya ingin bertemu dengan Rizaldi Takki, bisa?" "Maaf, sudah buat janji?" "Saya Ardila Parameswari, saya man_ "ARDILA!" Andika yang sedang melangkah menuju lift, kaget, mendapati wanita yang sangat ia benci ada di kantornya. Tanpa ragu dan terganggu dengan pandangan orang, Dika langsung menarik kasar lengan Ardila. "Aw! sakit, Dik," keluh wanita itu. "Hati temen gue lebih sakit, gara-gara loe! Ngapain loe di sini? Gak punya malu!" omel Andika ketika tiba di sudut lobi yang sepi. "Dika, loe juga di sini?" Meremas pergelangan tangan yang terasa nyeri. "Rizal jadi bawahan loe? Apa jabatan dia di sini? Kok gak pernah info kalian kerja di kantor yang sama? Dik, Rizal mana, gue mau ketemu dong sama dia." "Ngapain loe nyari Rizal lagi? Jangan cari gara-gara loe ya!" "Gue cuman mau pastiin sesuatu dan mau ngucapin terima atas uang yang kenarin dia kasih. Gaji di sini gede ya
Hanya karena Raya tidak menuruti keinginan konyolnya, Rizal masih mendiamkan gadis itu. Hingga makan malam tiba duda itu masih saja diam tanpa bicara, merasa niat baiknya tidak dihargai dan seolah gadis itu menolak pesonanya mentah-mentah. Namun anehnya, meski pria itu marah dan kesal, duda itu tetap saja bersikap manja. "A ..." Rizal membuka rahangnya lebar, ketika hidangan dalam mulutnya mulai melangkah menuju lambung. Rasa menggelitik hinggap di hati Raya, sang tuan mendiamkannya namun tetap saja mencari perhatian dan bikin geregetan. 'Apa setiap duda kelakuannya begini, ya? Aneh dan seenak jidadnya! Dia gak mikir, yang tadi pagi aja masih berasa, sekarang udah nyuruh nginep-nginep! Kelamaan di barat, begini nih!' Melayani Rizal makan malam, memberikan obat, mengajak berbicara, hingga menunggu sang tuan terpejam, sudah Raya lakukan, namun duda itu masih saja mendiaminya. Raya pun bergegas meninggalkan Rizal ketika nafas pria itu mulai bersuara 'Huft, akhirnya tidu
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la