-------- SOHO
"Bekerjalah dengan baik, pelajari apa dan bagian mana yang harus kamu kerjakan lebih dulu. Jika sudah kamu selesaikan semua, kamu bisa langsung pulang tak perlu menunggu saya datang." Sebuah memo tertempet di sebuah papah tulis kecil, hasil tulisan tangan sang pemilik hunian."Tulisannya bagus!" ucap Raya sambil menggengam sebuah kertas memo.
"Anda hanya sarapan teh, ck-ck-ck sudah mapan mengapa tidak sarapan?" Sambil meletakan cangkir teh ke dalam wastafel cuci piring.
Raya berkeliling mengikuti saran sang tuan, ia mulai mengamati tiap inci bangunan. Hunian bersebelahan dengan ruang kerja simpel penuh layar komputer, furniture-furniture minimalis elegan berpadukan warna hitam, putih dan abu-abu membuat hunian terlihat manly dan maskulin.
Tak banyak aksesoris, hanya ada tiga lukisan di ruang berbeda, beberapa guci di atas meja dan tanaman di pot-pot kecil memberi kesan aman dan nyaman ketika berada di dalamnya.
"Kamu boleh masuk, tata pakaian saya di lemari dengan rapih. Pahami isi lemari, sorry jika tampak berantakan." Lagi-lagi sebuah pesan melalui memo dan kini tertempel tepat di depan pintu kamar.
Memasuki kamar pemilik hunian Raya mengedarkan pandangan, ruang tidur nyaman dan simpel, namun tampak sangat berantakan.
Handuk bekas pakai tergeletak begitu saja di atas lantai, seprai tak lagi menempati permukaan seharusnya, beberapa pakaian terlihat tercecer di luar lemari, bantal terlepas dari sarungnya dan belasan pakaian berserakan hampir di tiap jengkal ruangan.
Jendela besar terbuka lebar, membuat gorden yang menutupinya melambai-lambai akibat hembusan angin dari arah balkon.
'Hemh, maklum hidup sendiri. Wajar aja berantakan!' batin Raya.
"Jangan pernah memasuki ruangan ini." Lagi-lagi sebuah memo hinggap di depan pintu.
'Oke, fine. Orang kaya emang selalu punya tempat rahasia'
Jam sudah menunjukan pukul dua belas siang, seluruh pekerjaan telah selesai Raya kerjakan. 'Beres! Bikin memo juga, ah!'
Di sore harinya, masih di SOHO yang sama.
CEKLEK
"Nyaman, oke juga!" Sambil menyentuh meja dengan jemari dan menikmati tiap perubahan dalam hunian barunya.
"Tuan, saya tiba jam 9 dan saya pulang jam 12 siang. Apa itu terlalu cepat? Apakah tuan suka dengan hasil kerja saya? Jika ada keluhan tolong sampaikan, demi perbaikan saya dan kenyamanan tuan seterusnya. Terima kasih."
"Tulisan yang bagus, dan pekerjaan yang cukup baik," ucap Rizal dengan memo di tangannya.
"Saya cukup puas dengan hasil kerjamu, sejauh ini belum ada keluhan."
Hari berganti begitu saja, komunikasi intens keduanya berlalu hanya melalui sebuah memo yang saling membalas.
"Bisakah kamu memasakan saya sesuatu untuk saya makan setiba di rumah? dan saya hanya perlu menghangatkannya."
"Saya tidak terlalu bisa memasak. Hari ini saya hanya memasak, makanan sederhana semoga tuan cocok dan bisa menikmati masakan saya. Jika tuan ingin dimasakan sesuai menu yang tuan inginkan, tuan bisa memintanya pada saya. Emmm ... dan saya tidak tau tuan pulang jam berapa, bisakah tuan memberitahu jam berapa tuan tiba? Tidak ada maksud apapun, sekedar mencocokan menu, khawatir menu yang saya masak menjadi basi dan tak layak dikonsumsi."
"Di hari senin sampai jumat, mungkin saya pulang jam delapan malam. Di hari sabtu, minggu terkadang saya tidak pulang. Saya akan mengabarimu di kedua hari itu, apakah saya pulang atau tidak."
"Baik tuan."
"Pasti malem mingguan sama calon bojo, ya tuan!" Gumam Raya ketika membaca memo balasan dari tuanya.
"Kau bisa gunakan dapur, jika ingin masak sesuatu. Makanlah apa yang ada di dalam kulkas, tak perlu takut! gajimu akan aman tak ada potongan."
"Baik banget, sih!"
"Maaf tuan, emm ... saya memindahkan beberapa barang di tempat berbeda, tidak di tempat semula. Karena menurut saya penempatannya kurang strategis. Seperti chargher, saya pindahkan di laci meja kerja dan di laci nakas tidak lagi di ruang televisi. Beberapa alat dapur, saya masukan dalam lemari kichenset. Handuk, saya letakan di dalam kamar mandi tidak lagi menggantung di depan pintu lemari."
"Selama itu baik untuk rumah saya, tak masalah."
"Siap!" balas Raya melalui memonya.
"Raya, bisakah tiga hari sekali kamu ke laundy bawah? Ambilkan pakaian dalam saya yang selalu mereka cuci."
"Tuan, pakaian dalam anda selalu di laundy? Pantas saja setiap kali saya mencuci, tidak ada pakaian dalam di sana. Eemm ... jika anda tidak keberatan biar saya saja yang mencucinya, terlalu sedikit cucian dan setrikaan yang saya kerjakan."
"Oke, lakukanlah."
"Kasihan, itung-itung doi udah baik banget sama aku," ucap Raya memberi penjelasan pada dirinya sendiri.
"Saya meninggalkan uang di laci meja kerja, gunakanlah untuk membeli beberapa kebutuhan. Isi penuh kulkas saya, perlengkapan pribadi saya, pupuk untuk tanaman, pengharum ruangan, dan apapun yang menurutmu kebutuhan untuk SOHO saya."
Sebulan bekerja komunikasi Raya dan tuannya masih sama, tak pernah bertatap muka hanya melalui goresan memo, mereka saling melengkapi komunikasi.
"Tuan gaji saya sudah masuk, tuan tidak salah menggaji saya dengan nominal sebanyak itu? Sepertinya anda salah mentranfer uang pada saya."
"10 juta, itu nominal yang saya berikan untuk hasil kerjamu selama sebulan ini."
"Oh my God! kalo gini aku bisa melepas satu kerjaanku kemudian daftar kuliah tahun depan. Terima kasih tuaann ..." Bahagia, sudah lama Raya tidak merasakan apa yang saat ini ia rasakan, hingga ia hampir lupa bagaimana cara dan rasanya bahagia.
"Tuan terima kasih banyak, semoga anda panjang umur, rezekinya selalu berlimpah dan cepat mendapatkan jodoh."
Kali ini tak ada balasan dari si tuan. "Tumben tidak ada memo."
Beberapa hari berlalu dan sama sekali tidak ada memo tertempel di papan tulis kecil, Raya merasa sikap tuannya berubah, namun ia tak enak hati bila harus bertanya.
"Tuan uang belanja yang tuan berikan terlalu banyak, sisanya saya letakan di tempat semula. Saya juga sudah menservice seluruh AC, membeli beberapa alat tulis, obat darurat dan saya menambah dua tempat sampah. Tuan, maaf jika saya lancang, hari ini saya menyingkirkan beberapa minuman kaleng hampir kadaluarsa. Jika tuan keberatan, saya akan kembalikan minuman itu ke tempat semula."
"Good job! Raya, buang saja minuman itu, saya tidak suka."
"Baik, tuan."
'Akhirnya dibalas juga. Huft. Aku kira, aku ada salah apa'
"Raya, bisakah mulai besok kamu menyiapkan tiap pakaian yang kubutuhkan? Pakaian casual yang cocok untukku, menurutmu. Terkadang aku terlalu terburu-buru untuk mengambilnya di lemari dan asal memakai pakaian."
"Aku?" ucap Raya, sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah wajah, "ia merubah panggilannya?"
"Eem ... yang mana yaa ...." Berbicara sendiri, mulai memilah-milih pakaian apa yang cocok untuk tuannya. "Dia mah udah ganteng, pake apapun cocok aja. Emmm ... ini aja deh!"
Raya membayangkan tuannya menggunakan pakaian yang ia siapkan. Sebuah jas berwarna navy senada dengan celana, dipadukan kaos putih bersih sebagai baju bagian dalamnya. Tak lupa sebuah sapu tangan, ikat pinggang, sepatu pantofel dan jam tangan, Raya pun menyiapkan.
"Baik, tuan. Jam dan sapu tangan saya letakan di atas nakas, semoga cocok dengan selera berpakaian tuan."
"Aku suka!" balas Rizal di hari berikutnya dengan senang hati.
CEKLEK Raya membuka pintu kediaman tempatnya bekerja, tampak sisa-sisa makanan, minuman kaleng dan lembaran kertas berserakan di lantai dan permukaan meja. 'Mengapa berantakan seperti ini, tumben sekali' "Tuan, apa anda di rumah?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara shower menyala dari arah kamar si tuan. "Sepertinya dia belum berangkat kerja, duh kok aku deg-degan begini ya. Terbiasa sendiri, justru ada yang punya rumah jadi gerogi." Raya berusaha menenangkan diri, melakukan apapun yang bisa ia kerjakan tanpa berinteraksi dengan sang tuan. Cukup lama sang tuan tak keluar dari kamarnya, hingga Raya selesai merapihkan tiap ruangan dan memasak beberapa hidangan, sang tuan belum juga menampakan diri. Hanya tersisa kamar tuannya yang belum dibersihkan. Sambil menunggu, Raya berinisiatif untuk membuat anek cemilan. Hingga anek cemilan beres disajikan dan waktu sudah menunjukan angkah sebelas siang, si tuan tak juga keluar d
"Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan. "Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?" "Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku." "Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?" "Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila." "Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?" "Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belu
'Kasihan.' Gumam Rizal dalam hati, memperhatikan interaksi Raya pada ponakannya. "Mulai besok, bisakah siapkan aku sarapan dan makan siang? Em ... makan malam juga." Tak ingin menaikan gaji Raya cuma-cuma. "Bisa, tuan." "Akan kutaikan gajimu, tak perlu lagi bekerja di kafe." "Eem ... maaf tuan, di ujung gang itu, tuan bisa menepi." Tunjuk Raya dengan jarinya, sopan. "Oh, sudah sampai."Rizal turun dari kendaraan, tersadar kini berada di lingkungan kelamnya empat tahun silam dan berniat kembali pulang, namun hatinya tergerak ketika melihat Raya tampak kesulitan menuruni mobilnya."Tuan, kok ikut turun?" "Biar aku yang menggendongnya," balas Rizal dan langsung merebut Fayed dari tangan Raya. "Tapi tu_ "Aku harus tau rumahmu, jika suatu saat kamu kabur dan membawa barang berharga yang ada di rumah, aku bisa langsung mendatangimu. Tunjukan dimana rumahmu!" terang Rizal mengajak melangkah.
CKLEK "Tu-tuan sudah bangun?" Raya kaget melihat tuannya sudah duduk di ruang makan. "Hem," jawab Rizal singkat, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Mendapat jawaban singkat Raya tak ambil pusing, ia langsung menuju dapur membuat secangkir kopi untuk tuannya. "Silakan tuan." "Hem," jawab Rizal singkat, kedua kalinya. 'Aneh' Raya kembali ke ruang favoritnya bergelut dengan atribut dan aktifitas rutinnya. Tanpa Raya sadari sepasang mata elang laki-laki mengintimindasi dan lagi-lagi pemilik mata itu terpesona pada aktifitas gadis di hadapannya. Pemandangan yang sangat Rizal suka dan kegiatan yang mampu mengalihkan seluruh fokusnya. Senyum Rizal terkembang sempurna, kedua lesung pipit kembali terlihat ditemani binaran mata indah berselimut bahagia terlihat begitu jelas. 'Dia cantik, baik dan penurut. Ra-ya, Ra-ya. Rayana Livina, janda beranak sat_ tunggu-tunggu, anak? Bukankah dulu ...." "Raya, sudah sele
Terdiam, wanita cantik itu terdiam dalam posisinya. Terkesima dengan penampilan si duda tampan yang kini berpenampilan begitu menawan. Ketampanannya meningkat, penampilannya memikat dan pesona sang duda kali ini membuat jantung wanita cantik itu berdebar lebih cepat. 'Zal, kamu berubah! Kok bisa?' Tersadar duda yang ia lamunkan telah jauh melangkah, wanita cantik itu coba mengejar. "RIZAL, TUNGGU!" panggil wanita cantik itu lantang tanpa malu, berharap panggilannya membuat Rizal hentikan langkah. Dan benar saja duda tampan itu terhenti, menoleh malas memperlihatkan ketidaksukaannya. Seketika ketiganya jadi pusat perhatian. "Zal, aku ingin bicara denganmu. Makan siang bareng, yuk!" ucap lembut si wanita cantik. Rizal langsung mengambil paper bag di tangan Raya, mengangkat benda itu sejajar dengan bahunya. "Sorry, saya akan makan siang di kantor," jelas Rizal dan langsung melangkah cepat menuju lift tanpa melepas genggaman tangannya. "Za
"Onty, mengapa tidak sekalian minta antar pada om tadi?" tanya Fayed di dalam sebuah angkutan umum. "Om banyak pekerjaan dan kita tidak boleh merepotkan orang. Selama kita bisa sendiri mengapa harus meminta bantuan orang lain, don't manja!" jelas Raya sambil memperlihatkan telunjuk digerakan. "Tak mesti setiap orang tau kisah kita, tak harus orang lain iba atas apa yang kita derita. Onty harap, Fayed faham." Jawab Fayed dengan anggukan ditemani kedua bibir dirapatkan. Bulan ini lagi-lagi Raya membayarkan pengobatkan sang kakak untuk beberapa bulan kedepan, hal yang selalu Raya lakukan ketika ia gajian semenjak bekerja sebagai asisten rumah tangga seorang duda.Meski sang kakak belum sembuh benar, namun sejak Raya meminta diresepkan obat lebih baik bukan lagi generik, penyembuhan sang kakak mengalami banyak kemajuan. Kak Nara mulai jarang kejang, tak lagi melakukan tindakan bodoh untuk mengakhiri hidupnya, sikap frustasinya berkurang, jarang
Setelah larut malam dan keadaan rumah sakit telah aman, Raya memutuskan untuk pulang. "Onty, aku suka dengan om tadi siang. Andai dia adalah dadyku, aku pasti akan senang sekali." Dengan rasa lelah mendera, Raya menghentikan langkah sejenak, kemudian mensejajarkan tubuh menatap fayed sangat lekat, "Fayed sudah punya onty, jadi tak perlu lagi ada dady," tegas Raya. "Onty jangan marah, maafkan aku. Aku tidak akan pernah lagi mengatakan hal itu, aku tidak mau lagi punya dady." Tampak kornea mata anak itu berkaca-kaca. 'Apa yang mereka lakukan? Apa ia masih bekerja di kafe? Apa gaji yang kuberi masih tetap kurang?' Hasil berkelana Rizal tak tentu arah, berujung perjumpaan kembali dengan gadis yang sempat mengusik hati dan pikirannya akhir-akhir ini. TIN TIN Suara klakson dan sorotan lampu mobil mengalihkan pandangan Raya dan ponakannya. "RAYA, masuklah!" teriak Rizal sambil menurunkan kaca mobil. Melihat Rizal dengan mobilnya, Fayed langsu
"Halo pah, sepertinya aku akan menginap di rumah Rizal. Maagnya kambuh, aku harus menjaganya." Rizal reflek terduduk, kerutkan dahi, "Rosa, berikan ponselmu." Tanpa bantahan, wanita itu langsung menyerahkan ponselnya. "Halo pah, aku baik-baik saja hanya butuh istirahat sebentar." "Rosa cukup lihai mengurusmu, nikahi dia agar kau ada yang menjaga," balas pria yang disapa papah. "Pah ... pernikahan butuh cinta dan setia, tidak ada hubungannya dengan urus-mengurus ataupun jaga-menjaga." "Selalu ada alasan, apa kurangnya Rosa, hem? Adakah sikap Rosa yang harus diperbaiki? Adakah yang bisa menjagamu sebaik dan sepeduli Rosa kepadamu?" timpal suara di sebrang sana, lembut.Mencerna ucapan sang papah angkat, mata elang sang duda reflek menatap Raya, 'Ada pah, gadis itu yang telah menjagaku dengan baik.' Hanya mampu berucap dalam hati karena tak ingin menyakiti pria tua yang telah banyak membantunya. Mendapat tatapan dari tuannya, Raya langsung
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la