"Ya, aku menyerah. Aku sudah lelah dengan kebodohanku. Aku cape, dan sepertinya aku tidak mampu memberikan kebahagiaan yang kau inginkan."
"Carilah yang sempurna, jika ingin kehilangan yang terbaik."
"Tanda tanganilah, aku sudah lebih dulu menandatanganinya," ucapku sambil memberikan selembar kertas hasil unduhku di web pengadilan negeri.
"Kamu menceraikanku?"
"Hm," jawabku sesimpel itu. tetapi, entah apa yang terjadi setelah ini.
Yang aku tahu dan yang selalu terbayang, hari-hari yang kulalui akan selalu bersamanya, entah seperti apa jadinya nanti, yang pasti setelah ini aku harus nikmati proses sakit ini. Karena bagiku luka paling sakit adalah, ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu.
"Kau tidak menyesal menceraikanku?"
Kujawab hanya gelengan kepala dan sepertinya ia tau, aku masih sangat mencintainnya, menceraikannya adalah sebuah keterpaksaan. Dan ia tau persis bahwa aku sangat terluka karna ulahnya.
"Baiklah kita bercerai saja. Andai kau bisa kaya atau lebih logis dalam berpikir, mungkin aku akan selalu disampingmu," ucapnya sambil menandatangani surat perceraian kami.
"Kau yang tak logis dan tak bisa sabar!"
"Oh ya, kita sudah lama menikah, aku mau pembagian harta gono-gini. Jadi aku berharap kamu tidak membawa apapun dari rumah ini. Biar seluruh barang di sini kuuangkan, aku jadikan harta gono-gini hasil pernikahan kita."
"Ch, harta gono-gini. Bergaya bagai orang kaya, seolah memiliki banyak harta bersama."
"Terserah."
"Oh ya, satu lagi. Komputer-komputermu, tidak perlu kamu bawa. Jika diuangkan pasti harganya lumayan."
Lagi-lagi aku tak faham dengan jalan pikirannya, sejahat itukah dia? Apa hanya uang yang ada dalam pikirannya? Apa hanya uang yang mampu merubahnya?
"Inikah sifat aslimu?"
"Apakah kamu aslinya seperti ini? Ternyata selama ini, aku menikahi seekor rubah," ucapku sinis.
"Kau saja yang terlalu menutup mata, kau terlalu terpesona dengan kecantikanku."
"Sombong!"
Satu-persatu pakaianku aku masukan ke dalam ransel dan Ardila masih mengamati tiap gerak-gerikku, entah setelah ini aku akan ke mana dan entah kedepannya aku akan seperti apa.
Saat ini aku hanya fokus, secepat mungkin keluar dari kontrakan ini. Ingin cepat melupakannya dan tak pernah lagi bertemu dengannya.
Tas ransel sudah di punggung, sejenak kusinggahi ruang kerjaku dan ia masih saja mengikuti langkahku dari belakang. Kuambil sebuah hardisk di atas meja. Aku tak akan bisa meninggalkan benda ini, karna jutaan hasil pemikiranku ada di dalamnya.
"Aku berbaik hati padamu, bawalah benda kotak itu. Semoga benda itu mampu mengobati sakit hatimu."
Kuacuhkan ucapnya seolah aku tak mendengar. Menatap kembali tiap sudut rumah berharap ia menahan kepergianku, namun lagi-lagi aku lupa bahwa hal itu tak akan pernah terjadi.
Kakiku mulai melangkah menuju teras rumah, terasa berat namun harus kulakukan.
"Kamu langsung ke pengadilan, kan?" dia bertanya dengan santai sambil menyandarkan tubuh di kusen pintu.
"Tenang saja, aku ingin cepat-cepat jadi duda," kubalas pertanyaannya dengan jawaban lebih santai. Terlihat di wajahnya rasa kecewa namun kualihkan dan kutepis, aku yakin itu hanya perasaanku saja.
Aku melangkah kearah motor maticku, sambil mencari kunci motor di saku celana.
"Oh ya, aku juga berharap motor itu tak perlu kau bawa. Anggap juga sebagai kompensasi perceraian kita."
Kutelan saliva kuat-kuat, sama sekali ia tak punya perasaan dan tak punya hati nurani. Ia benar-benar mempu membuatku sangat membencinya. Ia benar-benar mampu memiskinkanku.
"Bu, pak, maafkan Rizal yang tak hiraukan ucapan kalian. Maafkan Rizal telah menjual rumah, ibu dan bapak. Rizal menyesal. Yang ibu bilang benar, Ardila tidak baik untuk Rizal."
"Ambillah. Harusnya, semua yang berkaitan denganmu tak perlu kubawa." Sambil melempar kunci motor dan dengan cepat ia menangkapnya.
Langkah kakiku pasti dan tak akan mungkin kembali lagi. Hidupku hancur, bahkan seluruh kontrak kerjaku gagal, karena selama tiga hari ini aku sama sekali tak keluar dari rumah. Salahku sendiri terlalu larut dalam kesedihan dan keterpurukan, hingga tak mampu memisahkan pekerjaan dan masalah pribadi. Untung saja mereka masih berbaik hati, aku tak dituntut, didenda ataupun diblacklist dari seluruh perusahaan IT di negeri ini. Jika itu sampai terjadi, entah dengan apa aku membayar dan harus ke mana aku mencari pekerjaan.
"AAAAAAAAAA ... siaall ..." wanita itu berteriak.
Dan aku tau persis apa penyebab ia berteriak seperti itu setelah menerima panggilan teleponnya. Ya, lagi-lagi itu karena ulahku san lagi-lagi aku tak ingin menderita sendiri.
Perpisahan paling sakit adalah di mana hanya aku yang merasa kehilangan. Dan sampai pada akhirnya nanti, aku harus mengerti bahwa melepasmu adalah cara unik dari tuhan untuk menjadikanku pemenang.
Kulangkahkan kaki menuju tempat yang selama ini kutakuti. Ya, pengadilan negeri. Langkahku saat ini menuju ketempat itu, tempat sakral bagi mereka yang saling mencintai, tempat sakral bagi pasangan yang berkomitmen dan menjunjung tinggi keharmonisan.
Berkas sudah kumasukan dan dalam beberapa hari kedepan aku harus kembali ke tempat ini, proses yang cukup melelahkan. Tak lama lagi predikatku berubah, bukan lagi pria beristri, namun seorang duda muda, miskin, sama sekali tak punya apa-apa.
Aku melangkah menuruni anak tangga, entah harus ke mana lagi kaki ini melangkah, lelah dan terpuruk itulah kondisiku saat ini. Tak ingin menyusahkan dan tak ingin menjadi beban orang lain, hanya itu yang ada dalam benakku.
Sambil memikirkan tempat untukku berteduh, tampak seorang gadis yang kukenal berjalan kearahku sedikit berlari dengan uraian air mata, kesedihan dan kegelisahan jelas sekali terlihat di wajahnya.
"HA ... ii." Ingin sekali aku menyapanya namun kuurungkan, karena baru tersadar jika ia sama sekali tak mengenalku.
"Apa dia akan bercerai? Ternyata bukan hanya aku yang bersedih, gadis itu pun mengalami hal yang sama."
"Semoga kamu bahagia."
------- Empat tahun kemudian, lobby apartemen.
Mercedes benz berjenis AMG G 63, berhenti tepat di muka pintu lobby utama. Tampak pria tampan berpenampilan casual keluar dari kendaraannya, ditemani kacamata hitam bertengger di hidung. Tampak berkelas, terlihat mewah.Memasuki pintu utama sebuah hunian mewah, disambut ramah mereka yang telah menyapa dan langsung bertanya, perihal tujuannya.
"Selamat siang, tuan ad_
"Siang, saya ingin kebagian pemasaran."
"Silakan tuan."
Si pria tampan langsung mengikuti. Kedua lengan ia masukan kedalam saku celana, berjalan dengan penuh wibawa tanpa rasa sombong dan jumawa, sungguh menambah ketampanan dan karismanya.
"Raya,"
"E. Iya, ka!" ucap seorang gadis cantik langsung mengalihkan pandangan dari lembaran kertas di mejanya.
"Layani tuan ini dengan baik."
"Siap, ka!"
Pria yang dipanggil kakak itu pun pergi begitu saja, setelah mengalihkan tugasnya pada sang junior.
"Gadis ini?"
"Selamat datang tuan, silakan duduk. Ada yang bisa saya bantu, tuan?"
HENING
"Tuan, maaf. Ada yang bisa saya bantu?" ucap gadis itu untuk kedua kali, sambil pelan melambaikan tangan.
'Kita berjumpa lagi.' "Oh, iya. Sorry. Keuntungan apa saja yang saya dapatkan, bila memiliki apartemen di sini?" "Baik tuan, sebelumnya perkenalkan nama saya Rayana Livina, anda bisa memanggil saya Raya." "R-a-y-a" "Disamping berlokasi di kawasan segitiga emas yang menjanjikan, strategis, dan termasuk lokasi yang banyak dicari orang. Apartemen kami pun menjadi hunian yang sangat menguntungkan, baik dijadikan investasi ataupun hunian pribadi." "Dengan pengaplikasian sistem face recognition tiga dimensi, anda akan memiliki hunian yang sangat privasi, nyaman dan aman. Begitupun dengan sistem sterilisasi canggih yang kami miliki, anda dapat melindungi anak dan istri anda dari polusi udara ibu kota yang kini semakin buruk." "Sorry, saya duda." "Oh maaf, tuan." "Tak masalah, lanjutkan." Raya p
-------- SOHO"Bekerjalah dengan baik, pelajari apa dan bagian mana yang harus kamu kerjakan lebih dulu. Jika sudah kamu selesaikan semua, kamu bisa langsung pulang tak perlu menunggu saya datang." Sebuah memo tertempet di sebuah papah tulis kecil, hasil tulisan tangan sang pemilik hunian."Tulisannya bagus!" ucap Raya sambil menggengam sebuah kertas memo."Anda hanya sarapan teh, ck-ck-ck sudah mapan mengapa tidak sarapan?" Sambil meletakan cangkir teh ke dalam wastafel cuci piring.Raya berkeliling mengikuti saran sang tuan, ia mulai mengamati tiap inci bangunan. Hunian bersebelahan dengan ruang kerja simpel penuh layar komputer, furniture-furniture minimalis elegan berpadukan warna hitam, putih dan abu-abu membuat hunian terlihat manly dan maskulin.Tak banyak aksesoris, hanya ada tiga lukisan di ruang berbeda, beberapa guci di atas meja dan tanaman di pot-pot kecil memberi kesan a
CEKLEK Raya membuka pintu kediaman tempatnya bekerja, tampak sisa-sisa makanan, minuman kaleng dan lembaran kertas berserakan di lantai dan permukaan meja. 'Mengapa berantakan seperti ini, tumben sekali' "Tuan, apa anda di rumah?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara shower menyala dari arah kamar si tuan. "Sepertinya dia belum berangkat kerja, duh kok aku deg-degan begini ya. Terbiasa sendiri, justru ada yang punya rumah jadi gerogi." Raya berusaha menenangkan diri, melakukan apapun yang bisa ia kerjakan tanpa berinteraksi dengan sang tuan. Cukup lama sang tuan tak keluar dari kamarnya, hingga Raya selesai merapihkan tiap ruangan dan memasak beberapa hidangan, sang tuan belum juga menampakan diri. Hanya tersisa kamar tuannya yang belum dibersihkan. Sambil menunggu, Raya berinisiatif untuk membuat anek cemilan. Hingga anek cemilan beres disajikan dan waktu sudah menunjukan angkah sebelas siang, si tuan tak juga keluar d
"Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan. "Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?" "Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku." "Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?" "Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila." "Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?" "Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belu
'Kasihan.' Gumam Rizal dalam hati, memperhatikan interaksi Raya pada ponakannya. "Mulai besok, bisakah siapkan aku sarapan dan makan siang? Em ... makan malam juga." Tak ingin menaikan gaji Raya cuma-cuma. "Bisa, tuan." "Akan kutaikan gajimu, tak perlu lagi bekerja di kafe." "Eem ... maaf tuan, di ujung gang itu, tuan bisa menepi." Tunjuk Raya dengan jarinya, sopan. "Oh, sudah sampai."Rizal turun dari kendaraan, tersadar kini berada di lingkungan kelamnya empat tahun silam dan berniat kembali pulang, namun hatinya tergerak ketika melihat Raya tampak kesulitan menuruni mobilnya."Tuan, kok ikut turun?" "Biar aku yang menggendongnya," balas Rizal dan langsung merebut Fayed dari tangan Raya. "Tapi tu_ "Aku harus tau rumahmu, jika suatu saat kamu kabur dan membawa barang berharga yang ada di rumah, aku bisa langsung mendatangimu. Tunjukan dimana rumahmu!" terang Rizal mengajak melangkah.
CKLEK "Tu-tuan sudah bangun?" Raya kaget melihat tuannya sudah duduk di ruang makan. "Hem," jawab Rizal singkat, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Mendapat jawaban singkat Raya tak ambil pusing, ia langsung menuju dapur membuat secangkir kopi untuk tuannya. "Silakan tuan." "Hem," jawab Rizal singkat, kedua kalinya. 'Aneh' Raya kembali ke ruang favoritnya bergelut dengan atribut dan aktifitas rutinnya. Tanpa Raya sadari sepasang mata elang laki-laki mengintimindasi dan lagi-lagi pemilik mata itu terpesona pada aktifitas gadis di hadapannya. Pemandangan yang sangat Rizal suka dan kegiatan yang mampu mengalihkan seluruh fokusnya. Senyum Rizal terkembang sempurna, kedua lesung pipit kembali terlihat ditemani binaran mata indah berselimut bahagia terlihat begitu jelas. 'Dia cantik, baik dan penurut. Ra-ya, Ra-ya. Rayana Livina, janda beranak sat_ tunggu-tunggu, anak? Bukankah dulu ...." "Raya, sudah sele
Terdiam, wanita cantik itu terdiam dalam posisinya. Terkesima dengan penampilan si duda tampan yang kini berpenampilan begitu menawan. Ketampanannya meningkat, penampilannya memikat dan pesona sang duda kali ini membuat jantung wanita cantik itu berdebar lebih cepat. 'Zal, kamu berubah! Kok bisa?' Tersadar duda yang ia lamunkan telah jauh melangkah, wanita cantik itu coba mengejar. "RIZAL, TUNGGU!" panggil wanita cantik itu lantang tanpa malu, berharap panggilannya membuat Rizal hentikan langkah. Dan benar saja duda tampan itu terhenti, menoleh malas memperlihatkan ketidaksukaannya. Seketika ketiganya jadi pusat perhatian. "Zal, aku ingin bicara denganmu. Makan siang bareng, yuk!" ucap lembut si wanita cantik. Rizal langsung mengambil paper bag di tangan Raya, mengangkat benda itu sejajar dengan bahunya. "Sorry, saya akan makan siang di kantor," jelas Rizal dan langsung melangkah cepat menuju lift tanpa melepas genggaman tangannya. "Za
"Onty, mengapa tidak sekalian minta antar pada om tadi?" tanya Fayed di dalam sebuah angkutan umum. "Om banyak pekerjaan dan kita tidak boleh merepotkan orang. Selama kita bisa sendiri mengapa harus meminta bantuan orang lain, don't manja!" jelas Raya sambil memperlihatkan telunjuk digerakan. "Tak mesti setiap orang tau kisah kita, tak harus orang lain iba atas apa yang kita derita. Onty harap, Fayed faham." Jawab Fayed dengan anggukan ditemani kedua bibir dirapatkan. Bulan ini lagi-lagi Raya membayarkan pengobatkan sang kakak untuk beberapa bulan kedepan, hal yang selalu Raya lakukan ketika ia gajian semenjak bekerja sebagai asisten rumah tangga seorang duda.Meski sang kakak belum sembuh benar, namun sejak Raya meminta diresepkan obat lebih baik bukan lagi generik, penyembuhan sang kakak mengalami banyak kemajuan. Kak Nara mulai jarang kejang, tak lagi melakukan tindakan bodoh untuk mengakhiri hidupnya, sikap frustasinya berkurang, jarang
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la