Melihat penampilan Ardila seperti itu, membuat adrenalin kejantananku lagi-lagi meningkat berkali-kali lipat. Dengan rasa rindu mendalam dan hasrat menggebu, aku berjalan cepat dan langsung memeluknya dari belakang, erat. Kucumbu tengkuk lehernya, kuhirup tiap jengkal aroma tubuhnya, sejenak ia menikmati tiap sentuhan yang kuberi namun selang beberapa menit ketika hasratku semakin menggebu, ia melepas pelukanku dan kembali berjalan melanjutkan langkah.
"Aku lelah, aku mau tidur. Tadi banyak kerjaan di kantor." Begitu ringan ucapannya dan aku terdiam membatu, sambil memperhatikan tubuh seksi itu beraktifitas.
Tepat di sisi meja rias, tanpa rasa malu dan bersalah ia mulai melepas satu persatu pakaian di tubuhnya. Terlihat jelas di sana belasan tanda merah menempel indah dan aku hanya gelengkan kepala penuh kesedihan, 'tak mungkin Anggi, tak mungkin wanita yang melakukan itu semua.'
Amarah dan cemburu tumbuh begitu saja dalam diri. Hampir dua tahun aku tak melakuakan itu pada tubuhnya tapi kini, tanda-tanda itu ia dapatkan dari orang selain aku. Tak ingin mencari masalah, akupun bergegas keluar rumah untuk sekedar mengalihkan pikiran.
TRING
Benar saja, sebuah orderan masuk setelah mengaktifkan aplikasi profesiku.
"Pakai dulu helmnya, ka."
"Oh, iya lupa. Makasih ya, bang." Sambil merapihkan rambut panjangnya kemudian memakai helm.
"Mau pulang, ka? Ponakannya, perempuan atau laki-laki?"
"Loh! Abang yang waktu itu, ya? Laki-laki, bang."
"Wah, bakal jadi jagoan dong," balasku santai, sambil mulai melajukan motor.
"Tentu saja, hehehe."
Aku antar gadis cantik itu sampai di depan pagar rumahnya, rumah minimalis indah lengkap dengan tanaman menghiasi pekarangan.
Sejak gelap tadi, kusibukan diri dengan pekerjan membawa para penumpang ke tempat tujuan mereka, hingga akhirnya sebuah panggilan mengalihkan perhatianku dari kesibukan.
"Iya, Dik!"
......"Lagi narik, habis ini mau balik terus jalan ke Kominfo. Kenapa?"......."Loe pasti salah liat, Ardila pulang kerja gak ke mana-mana."......"Si Anggi sama temennya yang lain kali, temen dia kan banyak. Udah dulu ya, gue mau balik neh."Entah penilaian apa yang Dika sematkan padaku tapi satu hal yang kuyakin, ia pasti tahu bahwa aku sedang melindungi Ardila. Andika tahu seluruh kisahku, seluruh jalan hidup yang kulalui baik suka maupun duka, baik manis, pahit ataupun bahagia. Sahabat sejati, akan selalu ada sampai mati. Itulah selogan kami.
Setibaku di rumah, Ardila masih tertidur nyenyak. Hingga aku pulang lagi, setelah menyelesaikan kontrak kerja, ia masih tertidur dengan posisi yang sama. "Dia gak kerja?"
Profesi ibu rumah tangga yang seharusnya menjadi tugas Ardila sudah lama aku yang gantikan. Waktu sudah sore, berniat membangunkan tidur panjangnya namun niat itu langsung kutepis. Aku tak ingin mengulang kejadian yang sudah-sudah, amarah tak terkendali, kata-kata kasar, ucapan perpisahan, aku berusaha tak mau lagi mendengar semua itu.
"Aku gak mau hamil! Apalagi itu anak kamu! Kalau sampai lahir, mau kamu kasih makan apa dia nanti? Kasih makan aku aja gak mampu!"
"Aku menyesal nikah sama kamu. Seharusnya aku menerimamu ketika kau sudah bekerja. Modal popularitas, cerdas dan tampang saja gak cukup untuk berumah tangga!"
"Rumah kecil, bocor pula! Kapan sih, kamu mapannya? Bisa gila aku, kalau selamanya tinggal di rumah kecil begini!"
"Aku tuh nikah sama kamu, biar aku gak susah. Tapi ternyata setelah nikah malah makin susah!"
"Jangan terlalu percaya diri dengan kecerdasan yang kamu miliki, sekali-kali gunakan ketampanan untuk kamu jadikan pekerjaan!"
"Percuma kontrak kerja dengan siapapun! Pendidikan kamu di bawah standar, aku saja yang cantik dan S1 susah cari kerja, apa lagi kamu!"
"Jangan mimpi setiap kontrak yang kamu tandatangani lancar seperti hembusan nafas. Tetap saja kamu akan kalah dengan mereka yang bertitel banyak!"
"Program-program yang kamu buat dan kamu kembangkan, terhempas dengan kehebatan mereka yang bertitle keren dan lulusan luar negeri. Lebih baik kamu menjadi TKI, ke Arab sana seperti orang-orang di kampung. Pulang sudah mampu bangun rumah, membuka usaha dan mereka sukses!"
"Selama kamu belum punya apa-apa, jangan pernah berharap bisa menyentuhku. Terlalu mudah kamu mendapatkanku! Di luar sana, mereka harus mengeluarkan banyak rupiah, untuk sekedar menyentuh tubuh indah seperti milikku ini! Kamu paham, tidak?"
Entah karna kecerdasan otakku, atau karna aku terlalu mencintainya, tiap kata yang keluar dari lisannya dan tingkah yang ia lakukan, aku tak akan lupa dan aku tak lagi membantahnya.
Bakhan ia pernah melempar piring bekas makan malamnya, ke arahku. Hanya karena aku mengangkat panggilan telepon yang terus berdering. Dan ia berkata, "jangan sekali-kali menyentuh barang-barangku yang bukan dari hasil keringatmu!"
Deg! Kata-kata itu terekam hingga kini, dan sampai saat ini aku tak pernah lagi menyentuh barang-barang miliknya.
Entah dimana dan sebagai apa ia bekerja, yang jelas etika berbicara dan sikapnya berubah. Sopan santunya berkurang dan gaya bahasanya semakin parah.
"Jangan sok seksi dan gak usah pamer," sapanya mengagetkan, ketika aku menuju lemari kapaian dengan handuk di pinggang.
"Dulu kamu suka sekali dengan tubuhku ini, bilang saja jika kau merindukannya. Dengan senang hati aku akan melayani." Aku coba menggodanya.
"Yang ada, aku sekarang jijik!"
"Kasar!"
"Iya, aku kasar. Kenapa? Masalah? Bercerai saja!" ucapnya keras, sambil melangkah menuju kamar mandi dan mengambil handuk yang ada di pinggangku.
BRAK!
Pintu kamar mandi terhempas sempurna menempati bingkainya dengan suara menggelegar keras.
'Jahat!'
Indah mentari menyapa pagi kami, genap satu tahun Ardila menjadi wanita karir. Dan genap satu tahun pula, kami berangkat kerja dengan cara berbeda. Ia ditemani sebuah jemputan beroda empat, sedang aku masih tetap dengan kendaranku beroda dua.
Meskipun aku sempat, ia tak pernah mau kuantar berangkat kerja. Berkata malu, dan takut wajahnya terkena debu. Aku berusaha maklum namun selama kami berpacaran, ia ke mana saja? Dulu ia sangat menikmati duduk di jok motorku, bahkan ia tak pernah mau jika disuruh memakai helmku. Katanya, pakai helm itu tak bisa menikmati perjalanan. perubahan yang aneh, pikirku.
"Nanti gak perlu masak dan gak perlu nunggu aku. Aku meeting di luar kota, bos ngajak aku," terangnya baik-baik.
"Ooo."
'Sudah langganan.'"Bagaimana seluruh kontrak kerjamu? Ada perkembangan apa?" Sambil melahap sarapan yang kubuat.
'Tumben sekali ia bertanya. Apa aku mimpi? Atau, semalam ia makan sesuatu yang salah!'
"Emm ... masih dalam proses belum ada perkembangan, belum ada yang mampu mendanai sistem yang aku buat. Perihal kontrak kerja, saat ini hanya ada satu itu pun kontraknya akan berakhir 3 bula_
"Sudah kukatakan, kecerdasan otakmu tak akan ada pengaruh. Laki-laki lulusan STM mana bisa bersaing di dunia kerja. Dengarkan perkataanku, jadilah TKI. Hanya profesi itu yang cocok untukmu. Kamu akan punya uang banyak, tak perlu mutar otak."
'Aku tak mau berpisah denganmu, aku mau tetap di sampingmu.' aku membatin sambil menatap penuh kerinduan.
"Buang semua barang rongsokmu, semua itu tak akan membuatmu kaya! Jangan sampai usiamu terbuang sia-sia, hanya untuk pemograman yang tidak penting!"
"Lihat teman-temanmu, sudah menjadi apa? Seharusnya kamu berusaha seperti mereka, jangan egois pada dirimu sendiri. Kebutuhan semakin meningkat, masa kamu hanya gitu-gitu aja!"
"Andika, sudah jadi manager. Alex sudah jadi kepala cabang. Mario sudah jadi pengusaha, dikelilingi banyak wanita. Lah, kamu jadi apa? Tukang ojek yang sibuk ngutak-atik barang rongsok! Kerjaan gak jelas!"
"Buang aja semuanya! Gak ada guna!"
Lagi-lagi aku hanya mampu menelan ludah, tak ingin membantah dan tak ingin merubah suasana pagi ini, yang indah.
Ia pergi begitu saja, menuju mobil yang sudah menunggunya di depan gang. Maklum saja, rumah ini bergang sempit hanya mampu dilalui dua sepeda motor berdampingan.
Ingin sekali aku mengantar jemputnya ketika ia bekerja, ingin sekali aku dikenalkan pada teman-temannya dan ingin sekali aku mendengar cerita tentang aktifitasnya. Jika aku mau, sangat mudah bagiku untuk sekedar tahu dia bekerja dimana dan apa yang sedang ia lakukan. Aku lumayan mampu meretas informasi apapun di dunia maya, hanya menggunakan layar komputer dan keyboard andalanku tak butuh waktu lama, aku bisa mendapatkan infomasi apapun yang aku inginkan.
Namun, cintaku yang dalam ini, melarangku untuk mencari tau. Karena yang aku tahu, cinta adalah kepercayaan. Ketika kau mulai mencurigainya, bertanda kau sudah tak lagi mecintainya. Pikirku.
Saat ini aku sudah di kendaraanku menuju Kementerian Komunimasi dan Informasi. Sebenarnya dengan kontrak kerjaku saat ini, aku sudah mampu membiayai kehidupan kami yang dulu. Namun, berapapun uang yang kuberikan selalu saja kurang di matanya dan tak akan pernah mampu membiayai gaya hidupnya saat ini.
Peeesssssss ... bekeberkeberkeberrrrr ...
'Huft, kempes lagi!'Menepi, dan tak jauh di depan sana ada bengkel kecil khusus menangani ban motor yang bocor.
"Bocor bang, tubles ya."
Aku duduk di pelataran tambal ban pinggir jalan. Menikmati udara panas menyengat sambil mengedarkan pandangan pada jutaan mobil berjalan merayap.
Gambaran wajah yang sangat kukenal tampak di balik kaca sebuah mobil.
"Ardila!" Aku sontak berdiri. Tampak jelas di sana dia istirku, Ardila dalam mobil pajero sport putih bersama seorang laki-laki.
Aku menelan salivaku, dalam. 'Oh tidak! Ia bermesraan. Ia manja, istriku membelai rambut pria itu! Please bukan dia.' Mengusap wajahku mencoba meyakini bahwa itu bukanlah istriku, 'please tuhan ... jangan ... cukup. Tuhan ... aku mohon ... cukup ... jangan .... Oh tidak! me- mereka, mereka berciuman lama_
TES TES TES TES
Butiran bening keluar tanpa kuminta. Terakhir, cairan ini keluar ketika orang tuaku meninggal dunia, saat itu begitu menyakitkan. Dan kali ini, rasa sakit itu kembali kurasakan.
"ARDILA ... ARDILAA PRAMESWARI ..." panggilku berteriak.
Panggilku begitu keras dan nyaris membuat orang sekitar ketakutan, namun orang yang kupanggil, sama sekali tak mendengar. Aku tak mungkin salah, aku sangat tau dan sangat mengenali istriku, bahkan pakaian yang ia kenakan sama persis dengan apa yang ia pakai tadi pagi.Berniat mengejar, namun logikaku menolak. Meski lalu lintas padat merayap, kemungkinan kecil bisa mengejarnya dengan keadaan ban motorku yang bermasalah.Hatiku tak tenang, otakku panas, tanganku terkepal sempurna berharap pria berengsek itu ada di hadapanku. Jika itu sampai terjadi, sudah pasti ia akan babak belur bahkan mungkin kehilangan nyawa hasil sadis kedua tanganku.Kakiku masih mundar-mandir di area bengkel kecil, berusaha tenang namun fisik dan pikiran tak bisa kusingkronkan.Motor maticku selesai ditangani, setelah memberikan upah pada tukang tambal ban, aku langsung tancap gas menuju rumah. Fokusku hanya satu, mengetahui siapa seb
"Ya, aku menyerah. Aku sudah lelah dengan kebodohanku. Aku cape, dan sepertinya aku tidak mampu memberikan kebahagiaan yang kau inginkan." "Carilah yang sempurna, jika ingin kehilangan yang terbaik." "Tanda tanganilah, aku sudah lebih dulu menandatanganinya," ucapku sambil memberikan selembar kertas hasil unduhku di web pengadilan negeri. "Kamu menceraikanku?" "Hm," jawabku sesimpel itu. tetapi, entah apa yang terjadi setelah ini. Yang aku tahu dan yang selalu terbayang, hari-hari yang kulalui akan selalu bersamanya, entah seperti apa jadinya nanti, yang pasti setelah ini aku harus nikmati proses sakit ini. Karena bagiku luka paling sakit adalah, ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu. "Kau tidak menyesal menceraikanku?" Kujawab hanya gelengan kepala dan sepertinya ia tau, aku masih sangat mencintainny
'Kita berjumpa lagi.' "Oh, iya. Sorry. Keuntungan apa saja yang saya dapatkan, bila memiliki apartemen di sini?" "Baik tuan, sebelumnya perkenalkan nama saya Rayana Livina, anda bisa memanggil saya Raya." "R-a-y-a" "Disamping berlokasi di kawasan segitiga emas yang menjanjikan, strategis, dan termasuk lokasi yang banyak dicari orang. Apartemen kami pun menjadi hunian yang sangat menguntungkan, baik dijadikan investasi ataupun hunian pribadi." "Dengan pengaplikasian sistem face recognition tiga dimensi, anda akan memiliki hunian yang sangat privasi, nyaman dan aman. Begitupun dengan sistem sterilisasi canggih yang kami miliki, anda dapat melindungi anak dan istri anda dari polusi udara ibu kota yang kini semakin buruk." "Sorry, saya duda." "Oh maaf, tuan." "Tak masalah, lanjutkan." Raya p
-------- SOHO"Bekerjalah dengan baik, pelajari apa dan bagian mana yang harus kamu kerjakan lebih dulu. Jika sudah kamu selesaikan semua, kamu bisa langsung pulang tak perlu menunggu saya datang." Sebuah memo tertempet di sebuah papah tulis kecil, hasil tulisan tangan sang pemilik hunian."Tulisannya bagus!" ucap Raya sambil menggengam sebuah kertas memo."Anda hanya sarapan teh, ck-ck-ck sudah mapan mengapa tidak sarapan?" Sambil meletakan cangkir teh ke dalam wastafel cuci piring.Raya berkeliling mengikuti saran sang tuan, ia mulai mengamati tiap inci bangunan. Hunian bersebelahan dengan ruang kerja simpel penuh layar komputer, furniture-furniture minimalis elegan berpadukan warna hitam, putih dan abu-abu membuat hunian terlihat manly dan maskulin.Tak banyak aksesoris, hanya ada tiga lukisan di ruang berbeda, beberapa guci di atas meja dan tanaman di pot-pot kecil memberi kesan a
CEKLEK Raya membuka pintu kediaman tempatnya bekerja, tampak sisa-sisa makanan, minuman kaleng dan lembaran kertas berserakan di lantai dan permukaan meja. 'Mengapa berantakan seperti ini, tumben sekali' "Tuan, apa anda di rumah?" Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara shower menyala dari arah kamar si tuan. "Sepertinya dia belum berangkat kerja, duh kok aku deg-degan begini ya. Terbiasa sendiri, justru ada yang punya rumah jadi gerogi." Raya berusaha menenangkan diri, melakukan apapun yang bisa ia kerjakan tanpa berinteraksi dengan sang tuan. Cukup lama sang tuan tak keluar dari kamarnya, hingga Raya selesai merapihkan tiap ruangan dan memasak beberapa hidangan, sang tuan belum juga menampakan diri. Hanya tersisa kamar tuannya yang belum dibersihkan. Sambil menunggu, Raya berinisiatif untuk membuat anek cemilan. Hingga anek cemilan beres disajikan dan waktu sudah menunjukan angkah sebelas siang, si tuan tak juga keluar d
"Itu gak akan mungkin, Pah. Aku anggap Rosa seperti adikku sendiri. Aku sudah nyaman dengan hubungan kami seperti ini," terang Rizal beralasan. "Terus siapa yang bisa membantumu melupakannya?" "Aku butuh proses. Aku yakin suatu saat aku bisa melupakannya, jadi papa tenang saja. Lebih baik, papah fokus penyembuhan dan carikan Rosa calon suami yang baik, jangan aku." "Kalau menurut papah kamu yang terbaik, bagaimana?" "Itu tidak mungkin, di luar sana masih banyak pria yang benar-benar baik dan dari keluarga baik-baik. Aku tidak cukup baik untuk Rosa dan sepertinya aku butuh waktu lama untuk melupakan Ardila." "Papah nih ya, selalu memaksakan kehendak. Rosa tuh gak cukup baik untuk Rizal, jadi papah jangan memaksa. Lagian Rizal masih sangat menikmati status dudanya, dikejar banyak wanita, dipuja dan bahkan digoda mereka. Pasti enak begitu, 'kan Zal?" "Bukan itu maksudku, intinya aku tidak cukup baik untukmu. Aku harap kamu paham, aku belu
'Kasihan.' Gumam Rizal dalam hati, memperhatikan interaksi Raya pada ponakannya. "Mulai besok, bisakah siapkan aku sarapan dan makan siang? Em ... makan malam juga." Tak ingin menaikan gaji Raya cuma-cuma. "Bisa, tuan." "Akan kutaikan gajimu, tak perlu lagi bekerja di kafe." "Eem ... maaf tuan, di ujung gang itu, tuan bisa menepi." Tunjuk Raya dengan jarinya, sopan. "Oh, sudah sampai."Rizal turun dari kendaraan, tersadar kini berada di lingkungan kelamnya empat tahun silam dan berniat kembali pulang, namun hatinya tergerak ketika melihat Raya tampak kesulitan menuruni mobilnya."Tuan, kok ikut turun?" "Biar aku yang menggendongnya," balas Rizal dan langsung merebut Fayed dari tangan Raya. "Tapi tu_ "Aku harus tau rumahmu, jika suatu saat kamu kabur dan membawa barang berharga yang ada di rumah, aku bisa langsung mendatangimu. Tunjukan dimana rumahmu!" terang Rizal mengajak melangkah.
CKLEK "Tu-tuan sudah bangun?" Raya kaget melihat tuannya sudah duduk di ruang makan. "Hem," jawab Rizal singkat, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Mendapat jawaban singkat Raya tak ambil pusing, ia langsung menuju dapur membuat secangkir kopi untuk tuannya. "Silakan tuan." "Hem," jawab Rizal singkat, kedua kalinya. 'Aneh' Raya kembali ke ruang favoritnya bergelut dengan atribut dan aktifitas rutinnya. Tanpa Raya sadari sepasang mata elang laki-laki mengintimindasi dan lagi-lagi pemilik mata itu terpesona pada aktifitas gadis di hadapannya. Pemandangan yang sangat Rizal suka dan kegiatan yang mampu mengalihkan seluruh fokusnya. Senyum Rizal terkembang sempurna, kedua lesung pipit kembali terlihat ditemani binaran mata indah berselimut bahagia terlihat begitu jelas. 'Dia cantik, baik dan penurut. Ra-ya, Ra-ya. Rayana Livina, janda beranak sat_ tunggu-tunggu, anak? Bukankah dulu ...." "Raya, sudah sele
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la