Entah apa yang sedang Ahem pikirkan, yang jelas keadaan membuatnya harus menikahi Tiffara. Sekalipun hatinya tak pernah bisa berpaling dari Diva. Selain itu dia sedang memikirkan bayi kembar yang sedang dalam kandungan Tiffara. Dia tidak ingin bayinya lahir tanpa status yang jelas.
Berbeda dengan Abidin yang menginginkan Ahem menikah dengan Dania, anak dari Handoko sahabat bisnisnya. Seolah rencana itu tak akan pernah padam sebelum kesampaian. Dania anak tunggal dan perusahaan papanya hampir menyebar ke seluruh Indonesia. Ujung-ujungnya tetap karena harta dan tahta membuat Abidin kekeh dengan perjodohannya.
Bagas sebagai kakak sekaligus orangtua buat Tiffara selalu menginginkan yang terbaik. Ternyata Tiffara sendiri berubah pikiran, dia bersedia menikah dan menunda kuliahnya demi kelahiran sang buah hatinya.
Sebenarnya Bagas ragu dengan keputusan Tiffara, tapi apa boleh buat dia sendiri berubah pikiran saat melihat foto USG dan videonya. Ternyata dia merindukan suara tangis bayi di rumahnya yang sepi. Selama ini Bagas menunda pernikahannya karena dia ingin agar Tiffara menikah duluan baru dia bisa berumah tangga. Padahal usianya sudah 30 tahun.
Persiapan pernikahan sudah sembilan puluh persen. Malam ini adalah akad nikah dan besuk acara resepsi. Akad nikah diadakan di rumah Tiffara.
Ahem berserta papa dan mamanya serta seorang paman dari adiknya Abidin sudah datang di rumah Tiffara. Dengan setelan jas hitam yang rapi, sexi sehingga tampak tampan sekali. Para kaum hawa takjub menatapnya.
Tiffara sudah siap, seorang perias sudah keluar dari kamarnya. Tanpa sengaja dia menyibak korden dan melihat Ahem sedang berdua dengan Diva. Dia terbelalak kaget, dia tahu Diva adalah mantan pacarnya. Tapi sekarang Diva sedang berpacaran dengan Bagas kakaknya. "Terus kenapa mereka berduaan disana? Apa yang mereka berdua bicarakan?" batin Tiffara penasaran.
Akhirnya Tiffara berniat mendekatinya. Dia berada di balkon yang kebetulan tidak jauh dari kamarnya. Tiffara memandang ke lantai bawah. Tampak kakaknya sibuk menyambut dan menemani tamu yang berdatangan.
Dengan perasaan yang campur aduk tak menentu, dia perlahan mendekati mereka berdua. Dia penasaran apa yang sedang mereka bicarakan.
'Tolong batalkan pernikahan ini, Ahem! Aku tidak bisa kehilangan kamu. Kamu selamanya milik ku...kamu tidak boleh menikah dengan siapapun! pekik Diva memohon.
Tiffara terbelalak kaget, matanya membulat penuh dan kedua tangannya menutup mulutnya serasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Sudah terlambat Diva, kamulah penyebab semua ini terjadi. Aku juga tidak menginginkan ini terjadi, tapi keadaan yang mendesak ku, aku harus menikahinya. Dia hamil anakku, darah dagingku yang sedang dirindukan keluargaku." Kata Ahem sedih.
"Kamu yakin dia anakmu?" tanya Diva menggoyahkan keyakinannya.
"Iya, dia masih suci...aku bersalah, aku harus bertanggungjawab." jawabnya yakin.
"Tapi kamu tidak mencintainya, kamu hanya mencintai aku seorang. Kamu tidak boleh melakukan ini Ahem. Aku masih mencintaimu...sangat mencintaimu!" pekiknya menangis.
"Kalau kamu mencintai aku, kenapa kamu meninggalkan aku dan berpacaran dengan Bagas?" bentak Ahem kesal.
"Karena aku ingin mengukur seberapa dalamnya cintamu padaku. Aku ingin kamu mau berjuang untuk mendapatkan kembali cintamu. Aku ingin kamu dewasa, bukan lembek kayak anak manja!" pekik Diva menangis.
"Semua sudah terlambat Diva, sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa aku harus menikah dengan wanita lain." Jawab Ahem sambil memegang dan menekan pundak Diva seolah memberi kekuatan.
"Tidak...!" teriaknya sambil memeluk tubuh Ahem dengan eratnya seolah tidak mau melepasnya. "Aku tidak akan melepaskan kamu untuk wanita lain. Kamu hanya milikku, Ahem! Aku akan mati bila kamu nekat meninggalkan aku." Pekik Diva meronta menangis.
Tiffara tercengang melihat kenyataan yang ada di depan matanya. Dengan air matanya yang meleleh membasahi pipinya, dia beranjak mundur sebuah vas bunga tak sengaja tersenggol tangannya dan,
Pyaar!
Ahem segera mendorong tubuh Diva dan berlari memeriksa siapa yang menguping pembicaraanya.
"Tiffa?" pekiknya.
"Maaf aku tidak sengaja mendengar semuanya. Aku...aku..." Kata Tiffara gugup dan air matanya terus mengucur deras.
'Maafkan aku, bila kamu harus mendengar semua ini, Tiffa! Aku akan tetap menikahimu. Apa yang kamu dengar semua tadi tidak benar, Tiffa!" ungkap Ahem menghibur.
"Mana yang tidak benar? Apa yang kamu dengar semuanya benar, Tiffa. Kami berdua masih saling mencintai, Tiffa. Aku cuma pura-pura mencintai kakakmu untuk memancing cemburunya. Aku tidak pernah mencintai kakakmu! Aku mencintai Ahem dan kamu tahu kan kalau Ahem sangat mencintai aku." Kata Diva mengompori.
"Diva, cukup!" hardik Ahem.
"Tidak Ahem, dia harus tahu...dia harus tahu semuanya." Jawab Diva ketus.
Ahem teringat betapa dia memohon Tiffara untuk bersedia menikah dengannya, demi status bayinya. Semula Tiffa kekeh tidak ingin menikah tapi akhirnya dia bisa meyakinkannya. "Haruskah aku ragu menikahinya disaat dia mulai mantap melangkah?" batinnya.
Tanpa berpikir lagi tangan kekarnya meraih tubuh Tiffa ke dalam pelukannya. Ini untuk pertama kalinya Ahem menyentuh dan memeluknya, setelah malam terkutuk itu, yang dia tidak bisa mengingatnya.
Tiffa menumpahkan tangisnya ke dalam dada bidang Ahem.
"Ya ampun ....kalian semua kumpul di sini pada ngapain? Aku mencari kalian kemana-mana." Ujar Bagas yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
Seketika Tiffa menghapus air matanya, dan dengan erat mendekap tubuh Ahem sambil berbisik,
"Jangan sampai kakakku melihat aku menangis," pinta Tiffara.
"Iya sayang, jangan khawatir." Jawab Ahem.
"Kenapa lengket kayak perangko aja, nanti dilanjutin! Ayo kita turun akad nikah segera dimulai. Manja banget sih adikku hari ini," gumam Bagas heran.
"Ayo sayang jangan ganggu dia! Kita turun dan bantu aku menerima tamu!" ajak Bagas sambil menarik tangan Diva dan menggandeng turun ke lantai bawah.
"Aku antar ke kamar ya, kita rapikan kembali riasan kamu, bagaimana?" tanya Ahem penuh perhatian.
Tiffara hanya mengangguk pelan, dan Ahem menggandengnya menuju kamar Tiffara. Mereka berdua menghadap cermin, menatap tajam wajah mereka berdua di cermin.
"Coba kita lihat bersama, betapa serasinya kita sebenarnya. Anak kita pasti bangga pada kita. Kamu tidak usah terpengaruh dengan apa yang dikatakan Diva! Tatap mataku!" pintanya sambil menggeser tubuh Tiffara agar berhadapan dengannya. "Kita jalani saja hidup ini dengan hati yang ikhlas, demi anak-anak kita." Titah Ahem sambil menatap tajam Tiffara. Padahal dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia sendiri ragu, mampukah dia menjadi ayah dan suami yang baik? Sementara hatinya sudah dihuni orang lain?
Tiffara hanya mengangguk pelan, kemudian menunduk malu. Dia ternyata tidak kuat menerima tatapan mata Ahem.
Ahem membantu Tiffara membenahi riasannya yang tidak terlalu berantakan. Setelah semua siap akhirnya Ahem mengajaknya turun ke tempat akad nikah.
Ahem memang tampak sangat tampan, demikian juga Tiffara dengan gaun putih bak ratu Inggris. Ahem tiba-tiba membopong Tiffara turun tangga.
"Apa yang kamu lakukan?" pekik Tiffara terkejut.
"Udah diam!" hardik Ahem.
Akhirnya Tiffara menikmatinya, dia memandang intens pria yang sedang membopong tubuhnya. Dipandangnya dengan lekat, di dekatkanya wajahnya ke wajah Ahem. Sampai dia bisa menikmati hembusan nafas hangat Ahem.
"Dia sebentar lagi menjadi suamiku. Lelaki yang sangat tampan, dia ayah dari anak-anakku." Katanya dalam hati seolah tidak percaya.
Ahem dengan gagah berjalan menuju altar akad nikah. Seluruh undangan dibuat terkesima dengan ketampanan dan kecantikan sepasang calon pengantin. Semua bertepuk tangan melihat kemesraannya, apalagi Bagas sangat bahagia melihat adiknya mendapat perlakuan bak putri raja dari calon suaminya.
Kini mereka sudah berada di hadapan penghulu, dan Bagas sebagai wali yang akan menikahkan adiknya. Tepat di hadapan Ahem sedang duduk sambil menangis Diva. Dia ingin menggoyahkan konsentrasi Ahem. Sesaat Ahem dan Diva saling berpandangan penuh perasaan. Diva terus meneteskan air matanya sambil menatap tajam Ahem, seolah tidak rela pernikahan ini terjadi.
Ahem sebentar sempat goyah, tapi dia mengingat sebentar lagi akan menjadi ayah, membuatnya menjadi kuat kembali. Tampak Titin mendekati Diva, dia duduk pas di sampingnya.
"Tolong, jangan ganggu pernikahan anak saya. Selama ini kamu sudah menghancurkan hidupnya. Jauhi dia...biarkan dia bahagia dengan istri dan anaknya!" pinta Titin dengan tegas.
"Tante yakin dia akan bahagia? Ahem tidak akan pernah bisa melupakan aku Tante. Dia hanya bahagia bila bersamaku!" ujarnya terlalu percaya diri.
"Pemeriksaan surat-surat sudah selesai, wali dan saksi sudah siap, sekarang kita mulai....!" ujar penghulu.
"Ahem!" pekik Diva.
"Stop!" bentak Titin lirih.
"Saya terima nikah dan kawinnnya Tiffara Melodia Binti Herlambang dengan mas kawin emas seberat seratus gram dan alat sholat dibayar tunai." Ucap Ahem dengan tegas dan benar.
Sehingga serempak para undangan menjawab "Sah" dan Ahem dengan gemetar menangis diiringi tangis Bagas dan Titin. Keharuan menyeruak didalam ruangan itu. Yang paling mengejutkan tangis Tiffara hingga dia terjatuh pingsan. Bagas tahu, ini pasti karena tekanan perasaan kangennya sama papa dan mamanya. Dia bersedih, karena orangtuanya tidak bisa menemaninya saat pernikahannya. Ahem segera membopong kembali ke atas menuju kamarnya.
Semua tamu turut terharu, mereka tahu anak yatim piatu itu sedang bersedih meratapi nasibnya, harusnya pada saat berbahagia seperti ini papa dan mamanya ada di sampingnya.
Berbeda dengan apa yang sedang dipikirkan Diva. Dia mengira bahwa Tiffara pingsan setelah mengetahui bahwa dia dan Ahem masih saling mencintainya.
"Sayang, kamu ganti bajunya biar dia longgar bernafas!" ujar Titin sambil menyerahkan piyama tidur buat Tiffara.
"Biar saya bantu, Tante!" tawar Diva.
"Tidak perlu kan ada suaminya, ayo Ahem cepat ganti bajunya!" perintah Titin.
"Ayo kita semua keluar, biarkan mereka ganti baju dan istirahat sebentar!" ujar Titin mengajak semua menjauh dari pasangan pengantin.
Akhirnya mereka meninggalkan pasutri itu sendirian. Ahem menatap tajam wajah polos wanita lemah yang tanpa dosa. Perlahan dibukanya baju pengantin yang melekat di tubuhnya. Tangannya bergetar, ini untuk pertama kalinya dengan kesadarannya membuka baju seorang wanita. Dia seorang perjaka tulen saat melakukan tanpa sadar dengan Tiffara, demikian juga dengan Tiffara. Malam terkutuk itu merenggut perjaka dan keperawanannya tanpa bisa menikmatinya. Mereka kehilangan dengan sia-sia tanpa berkesan.
Apakah malam kedua akan terjadi lagi?
Bersambung......
Ahem dengan gugup dan malu menanggalkan gaun penganten dengan hati-hati. Takut kalau-kalau tiba-tiba Tiffara tersadar dan berontak, maka dia akan mendapat malu. Setelah gaun itu berhasil dilepasnya, kini dia mendapati baju korset yang sangat banyak dan berbaris kancingnya. Dia semakin gugup, bagaimana dia harus dengan hati-hati dan membutuhkan waktu yang lama untuk membukanya. "Apaan ini? Bagaimana aku terjebak dengan keadaan seperti ini? Mama, aku benci situasi ini!" pekiknya dalam hati. Ahem terpaksa dengan telaten membuka satu persatu kancing korsetnya. "Ini harus dilepas dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas ya? Kalau dari atas nanti bukit kembarnya nampak duluan." Pikirnya sambil cengar-cengir sendirian. "Atau dari bawah aja duluan ya. Duh rumit juga sih baju wanita, kenapa aku harus malu, dia kan udah halal." Pikirnya dalam hati. "Ah tidak meskipun dia istriku aku tidak mu
Ahem masih menunggu jawaban dari Tiffara, dia memandang penuh selidik. Karena Tiffara masih diam, Ahem merasa kalau dia keberatan kalau Ahem mengantar Diva pulang. Membayangkan wanita sedang mabuk di Club malam sendirian khawatir juga. Takut lelaki iseng akan mejebaknya dan memperkosanya. Akhirnya dengan berat hati Ahem menutup pintu kamar begitu mereka berdua sudah masuk. "Pergilah, kasihan Mbak Diva dalam bahaya, malam-malam seperti ini berada di luar sendirian!" Tiffara memberi izin. "Kamu yakin?" tanya Ahem ragu. "Cepat antar dia pulang! Aku menunggumu disini!" ujarnya pelan dan berat. Ternyata rasa kemanusiaannya mengalahkan egonya. Itu semua karena kebaikan hati nurani Tiffara. "Aku berjanji secepatnya kembali!" janji Ahem. Akhirnya Ahem ganti baju, mengambil jaket dan pergi keluar.
Ahem mencoba meyakinkan pada Tiffara lewat balik pintu kamarnya. Hati yang luas bak samudra itu pun begitu mudah memaafkannya. Dia membukakan pintu kamarnya. Ahem melirik jam di atas meja yang menunjukkan hampir pukul 04.00. Dia tak menyangka waktu begitu cepat berlalu. Ahem sadar, Tiffara pasti sedang menunggunya, hingga dia belum tidur. Ahem merasa kesal pada hati dan pikirannya yang tidak pernah mau sejalan. Bila dia berada di dekat Tiffara, yang ada hanya rasa kasihan dan rasa berdosa. Berbeda bila dekat dengan Diva, yang ada rasa cinta dan nafsu yang selalu bergelora. Tapi kekuatan pikirannya selalu bisa mengendalikan dirinya. Seperti dalam moto hidupnya, "Sebelum malam pertama aku tak akan melepas perjakaku dan tak akan mengambil keperwananmu." Meskipun motto itu akhirnya telah dihancurkan pada sore terkutuk itu. Cinta dan nafsu yang bergelora selalu runtuh hanya de
Kesedihan Bagas bukan karena Diva yang berkhianat, tapi lebih ke perasaan Tiffara. Adik kesayangannya itu sudah seolah menjadi jiwanya. Dia selalu dalam diam menahan kesedihannya. Bagas membayangkan dengan senyum tulusnya, dia menelan segala kesedihannya sendiri. "Aku tidak bersedih wanita jalang macam kamu mengkhianati ku, aku justru bersukur mengetahuimu lebih awal. Tapi Tiffa ku, dia nafasku...aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku akan membawa adikku pulang, itu kalau memang kamu tidak bisa membuatnya bahagia!" gumam Bagas sedih dengan air matanya yang bergulir. "Jangan Bagas! Jangan bawa dia pergi, aku akan pulang sekarang juga!" janji Ahem. Bagas tanpa menghiraukannya lagi dia melangkah pergi. Dengan tegap tanpa berpaling lagi dia berjalan menuju mobilnya, dan melajukan mobilnya pergi. "Tidak Ahem! Kamu tidak boleh pergi! Berani selangkah kamu meninggalkan aku, aku
Sehabis sarapan pagi, Ahem bersiap mengantar Tiffara pergi periksa dokter. Titin senang sekali saat-saat dia melihat calon cucunya di layar monetor. Detak jantungnya sangat kuat, dokter bilang bayi sangat sehat. "Hanya saja ada masalah pada mamanya. Dia mengandung bayi kembar dan beresiko di usia yang masih muda. Kandungannya lemah, dia harus badrest untuk beberapa bulan ke depan dan yang terpenting lagi, dia tidak boleh stres." Dokter memaparkan kesehatan Tiffa yang sangat beresiko. "Jadi ini berbahaya bila istri saya stres, dokter?" Ahem bertanya dengan hati-hati. "Ini berbahaya buat keduanya, bisa mengakibatkan terburuknya pendarahan bahkan keguguran." Dokter menjelaskan kembali dengan hati-hati juga. "Sudah jangan khawatir, Oma akan menjaga keduanya sayang...mamanya juga cucu-cucu Oma." Titin menghibur Ahem. "Cucuku sayang, sekarang papa ngantar kalian periksa, tap
Seperti disambar petir rasanya, menyaksikan istri sedang berada dalam dekapan kakaknya. Terlihat jelas wajah Tiffa yang tenang dan nyaman menikmatinya. "Ini malam terakhir bagi kita, Kak Ahem. Aku ingin kita menghabiskannya bersama anak-anak kita. Terima kasih kamu menepati janjimu untuk bertemu Diva hanya sebentar." Kata Tiffa dengan lembut dan manja. "Sekalipun kita tidak saling mencintai tidak ada salahnya kita bersahabat demi anak-anak kita." Lanjutnya. "Kita hanya bersahabat?" sahut Vigo pelan. Tiffa sontak menarik tubuhnya dengan kuat dan setengah mendorong Virgo, sehingga dia terpental dua langkah ke belakang. Tiffa menatap tajam dan takut, untuk kedua kalinya dia melakukan hal yang sama. Dia menyesal begitu ceroboh tanpa melihat dengan seksama siapa orang yang mengetuk pintu. Dia asal memeluk begitu saja. Ahem berdiri terpaku menahan sakit hatinya. Bu
Ahem memandang dalam wajah Tiffara yang ketakutan dengan air matanya yang bergulir di pipinya yang putih. Ahem jadi merasa bersalah seolah menorehkan rasa trauma yang dalam pada gadis itu. "Apa yang aku lakukan pada malam itu sehingga dia sedemikian terlukanya?" tanya Ahem pada dirinya sendiri. "Tiffa tatap mataku!" bisik Ahem. Mata itu terpejam kuat, dengan keringat dingin dan gemetar. Ahem menatap dengan perasaan bersalah yang sangat dalam. "Bagaimana cara aku menyembuhkan lukamu, Tiffa?" "Please Tiffa, tatap mataku ... aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji tidak akan menyentuhmu tanpa kamu yang menginginkannya," lanjutnya. Tiffa perlahan membuka matanya, dia memandang Ahem merasa bersalah. Tiffa ingin membuat Ahem bahagia tapi kenapa dia tidak bisa melayani Ahem sebagai suaminya? "M
Ahem terpaku menatap Tiffara dalam dekapan Virgo dan dibawa menuju mobil. Titin berlari kecil mengikuti Virgo karena langkah Virgo yang cepat dan panjang sebagai lelaki perkasa. Ahem menatapnya dari belakang dengan perasaan bersalah dan menyesal. "Tiffa ...," desahnya. Ahem hendak berlari mengejar mereka, tapi Diva menghentikannya sambil menarik tangannya. "Apa yang akan kamu lakukan, Ahem? Kamu sadar sebentar lagi kamu harus terbang! Tiffa sudah diurus oleh kakak kesayanmu itu sama mamamu. Kamu jangan hancurkan masa depan kamu! Dia tidak apa-apa Ahem, kamu jangan berlebihan!" hardik Diva marah. "Dia tidak boleh stres, dia terlalu lemah! Bagaimana aku bisa berpikir jernih?" keluh Ahem panik. "Ahem, dengarkan aku ... sekarang juga kamu masuk sebentar lagi pesawat take off, cepat!" desak Diva. Bagai kerbau dicocok
"Ikut aku!" ajak Ahem tiba-tiba."Kemana?" tanya Tiffara penasaran.Ahem tidak menjawab, dia berjalan menuju mobilnya. Tiffara terpaksa mengikuti tanpa banyak bertanya. Para mahasiswa tertegun menatapnya."Masuk!" perintah Ahem singkat."Apa dia yang terpilih?" teriak seorang mahasiswi."Apa benar?" yang lain menimpali.Ahem membukakan pintu dan meminta Tiffara masuk. Tak lama kemudian mobil pun melaju kencang.Dret ... dret ... dret! Ponsel Tiffara berdering, Virgo yang menelepon. Ini saatnya Tiffara membalas Ahem, dia telah membuat hati Tiffara tercekam cemburu karena biro jodoh yang dia buka."Kak Virgo?" sapanya manja."Tiffara, lagi dimana nih?" tanyanya lembut."Lagi jalan, Kak Virgo. Kakak sendiri lagi ngapain?" "Aku lagi suntuk, aku butuh teman ngobrol, Tiffa," kata Virgo sedih."Lagi mikirin apa? Boleh berbagi sama aku, udah makan belum? Apa kita ketemu makan malam saja," Tiffara dengan lembut menawarkannya.Ciiiit!Spontan Ahem menginjak rem dan berhenti. Ternyata sikap gen
"Akulah yang pertama jatuh cinta padamu, Tiffa. Dan kamu malah menikah dengan Ahem adikku yang belum kamu kenal sebelumnya. Dan selama menikah pun kamu tidak pernah bahagia, tapi anehnya aku tidak bisa masuk diantara kalian," kata Virgo sedih."Maafkan aku Kak Virgo, yang belum bisa membalas cintamu," jawab Tiffara sedih."Aku tidak akan pernah memaksa perasaanmu, tapi setidaknya kamu mau percaya padaku bahwa aku sangat mencintaimu," Virgo meyakinkan."Duh, kok malah curhat di depanku sih," gerutu Ahem dalam hati.Dret ... dret ... dret! Ponsel Virgo berdering, Diva yang sedang menelepon."Aku keluar dulu, Tiffa!" pamit Virgo."Papa Virgo mau kemana?" tanya kedua bocah kecil itu bersamaan."Papa keluar sebentar, Sayang! Nanti kembali lagi," janji Virgo.Dia segera keluar ruangan dan mengangkat telepon dari Diva."Dimana kamu?" tanya Virgo kasar. Dia berpapasan dengan Bagas tapi Virgo tidak menyadarinya. Sontak membuat Bagas penasaran dan berpikiran ingin membuntutinya dan menguping.
Tiffara mulai membuka matanya, betapa terkejutnya dia berbaring di ranjang rumah sakit. Sebentar dia mengingat-ingat apa yang terjadi. Sontak dia bangun dan hendak turun dari tempat tidur tapi tiba-tiba perutnya mual dan pusing-pusing. Akhirnya kembali dia roboh di tempat tidur. "Tiffa, istirahatlah dulu! Kamu masih terkena pengaruh racun ular," gumam Bagas yang baru saja masuk ruangan. Bagas membantu membaringkan tubuh Tiffara kemudian memeriksa keningnya apakah masih demam ataukah sudah membaik. "Syukurlah kamu sudah membaik, Tiffa," gumam Bagas lega. "Bagaimana keadaan anak-anak dan Kak Ahem, Mas?" tanya Tiffara khawatir. "Anak-anak sudah baik-baik saja, Tiffa. Jangan khawatir!" hibur Bagas. "Gimana dengan Kak Ahem?" tanya Tiffara masih khawatir. "Kenapa kamu mengkhawatirkan dia? Dia kan bukan apa-apa kamu?" tanya Bagas menggoda. "Dia kan papa dari kedua anakku, Mas. Dia juga dosenku, apakah salah kalau aku mengkhawatirkannya?" jawab Tiffara tersipu malu. "Ooo jadi seorang
Karena jaraknya tidak jauh Bagas dan Tiffara sudah sampai di rumah Ahem. Pintu pagar juga masih tertutup rapat. Dua satpam menjaga dengan aman pintu gerbang, tidak ada tanda-tanda ada orang keluar masuk lewat pintu. Apa itu artinya mereka pelakunya orang dalam sendiri. Din ... din ... din! Klakson mobil dibunyikan, Bagas dan Tiffara telah sampai dan satpam berlari membukakan pintu. Satu-satunya akses untuk keluar masuk rumah itu. "Ada apa, Pak?" tanya Bagas saat turun dari mobil. "Ada penyusup, Mas. Kenapa kamu masih di sini tidak mencari atau mengejarnya?" ketus Bagas. "Bos Ahem yang minta kami berdua harus jaga ketat pintu keluar," jawab salah satu satpam. "Dua bodyguard sudah berusaha mengejarnya,' lanjutnya. Tiffara bergegas berlari menuju rumah, sebelum kaki melangkah masuk dia melihat sekilas bayangan di semak-semak rerimbunan tanaman bunga. Sontak dia berhenti dan berbalik arah. "Mas Bagas, itu dia!" teriak Tiffara. Sontak sosok yang bersembunyi itu pun segera berlari t
Kini acara pertunangan telah selesai. Tiffara diam-diam mengawasi Ahem, apakah benar tidak ada luka di hatinya. Sebelum Tiffara hadir dalam hidupnya, Ahem dan Diva adalah sepasang kekasih. Rasanya tidak mungkin tidak ada luka di hatinya, apakah dia menutupinya? Tiffara sambil memegang foto yang dia temukan di lemari Ahem, dia terus mengingat-ingat. "Ada apa denganmu, Tiffa?" tanya Bagas. "Mas, kemarin Mbak Diva tunangan sama Kak Virgo," ujarku. "Sama Virgo? Iyakah? Hati-hati Tiffa, dia ular! Jaga anak-anakmu!" pesan Bagas. "Sebenarnya Kak Ahem meminta aku untuk tidur di sana agar bisa fokus mengawasi anak-anak. Tapi aku masih minta waktu berpikir, Mas," ungkap Tiffara. "Kenapa harus berpikir, Tiffa? Demi anak-anakmu ke sampingkan egomu, Tiffa," pesan Bagas. "Jangan sampai kamu menyesal," lanjutnya sedih. Tiffa mulai berpikir serius dengan apa yang baru dikatakan Bagas. Selama ini dia belum berpikir sejauh itu. "Ma
Tak berselang lama Ahem masuk ke kamarnya. Saat itu Tiffara sedang berdiri di depan pintu akan keluar kamar. Ahem terperanjat, melihat Tiffara yang tampil cantik sekali. Ahem berjalan mendekati Tiffa sehingga membuatnya terdesak mundur. "Apa yang kamu lakukan?" ketus Tiffa. "Aku akan memperkosa kamu lagi," kata Ahem terus menggoda. "Hiks ... hiks ... hiks, silakan! Emang Dede'nya bisa bangun?" balas Tiffa menggoda diiringi tawanya. "Boleh kita coba, kamu akan menjadi kelinci percobaanku," desaknya sambil terus memepet Tiffa sampai terhimpit antara dinding dan tubuh Ahem. "Kak Ahemmmm!" pekik Tiffara sambil memejamkan mata. Tak sadar kedua tangan Tiffara mencengkeram pinggang Ahem membuatnya semakin terbakar birahinya. Bibir sexinya melumat lembut bibir Tiffara. Membuat cengkeraman itu semakin kuat bahkan tak sadar tangan Tiffara melingkar kuat di pinggang Ahem membuat Ahem semakin terjebak dalam pagutannya. "Kak Ahem," desahnya
"Mana ada impoten malah dipamerkan, di gembar-gembor kan, malah kita tidak percaya dong!" sahut mahasiswi sambil ngekeh. Sambil berlalu Dosen Ahem tertawa kecil. Melody terus memantaunya dari jauh, dia mengikuti dari belakang. Kini dia sembunyi dibalik pot besar di pinggir jalan. "Kok cepat menghilang sih?" gerutu Melody kesal sambil beranjak bangun. Saat hendak beranjak bangun, dia mendapati bayangan sosok lelaki berdiri di sampingnya. Perlahan dia mendongak ke atas. "Hah!" pekiknya. "Bagaimana bapak tiba-tiba di sini?" lanjut Melody terkejut. "Kamu sendiri ngapain di sini, ngikuti aku kan?" tanya Ahem menohok. "Apa? Mengikuti bapak? Ya nggaklah!" teriakku membantah. "Melody atau Tiffara ya? Ya Melody sajalah terlanjur terbiasa dengan Melody di kamus. Tolong bawakan tas dan bukuku ke ruanganku!" perintah Dosen Ahem. "Saya, Pak?" sahut Melody bertanya. "Iya, kamu. Kenapa? Nggak mau, Bodyguard Melo?" desak Ahem.
Ahem terperanjat dengan perkataan Arman yang mengatakan Virgo tiba-tiba akan menikahi Diva. Padahal sebelumnya Virgo tidak pernah dekat dengan Diva. Entah karena cemburu atau apa, Ahem merasa seolah tidak rela Virgo menikahi Diva dan diajak tinggal bersama satu rumah. Tapi sementara Ahem belum bisa mengungkapkan rasa keberatan itu kepada Virgo. "Aku ganti baju dulu, Melo, tolong bereskan kopiku!" pinta Ahem. Iya, Bos," jawab Melo. Aku mengambil lap dan membersihkan tumpahan kopi. "Kamu bisa bayangkan betapa menderitanya Ahem bila Diva hidup bahagia bersama Virgo," ujar Arman yang tiba-tiba muncul, mengejek. "Jadi paman bahagia bila melihat Ahem menderita, begitu?" tanya Melo. "Bisa dibilang begitu, dia sudah lama bahagia sudah waktunya ganti kakaknya yang harus bahagia," jawab Arman. "Boleh juga, asal bukan dengan cara licik, Paman. Bahagia tidak bisa diraih dengan cara kotor," ujar Melo. "Anda bisa melakukan sesuka hat
"Ma, mama ... mamaku mana, Om Melo?" tanya lirih Ruhi saat membuka matanya. Saat itu Melo sedang tidur di bibir ranjang, pantatnya di kursi. Segera matanya terbuka mendapati Ruhi memanggilnya. "Sayang, kamu sudah sadar? Apa yang kamu rasakan, Sayang?" tanya Melo gugup bercampur bahagia. "Ruhi, kamu sudah bangun?" teriak Arjun. "Sebentar aku panggil dokter!" teriak Melo masih gugup. "Dokter!" teriak Melo di depan pintu. Saking gugupnya, padahal di samping ranjang ada tombol untuk memanggil dokter atau perawat. Tak lama seorang dokter dan seorang perawat datang dengan tergesa-gesa. "Dok, anak saya sudah sadar, tolong periksa dia!" kata Melo bahagia. Dokter memeriksa sekilas tentang kesehatannya. Perawat membantu memeriksa tensi darahnya. Melo hanya tertegun seolah tak percaya. "Anda siapa?" tanya dokter. "Saya mamanya, maksud saya ... saya pengasuhnya, Dok," jawab Melo gugup. "Mana ke