Ahem dengan gugup dan malu menanggalkan gaun penganten dengan hati-hati. Takut kalau-kalau tiba-tiba Tiffara tersadar dan berontak, maka dia akan mendapat malu. Setelah gaun itu berhasil dilepasnya, kini dia mendapati baju korset yang sangat banyak dan berbaris kancingnya. Dia semakin gugup, bagaimana dia harus dengan hati-hati dan membutuhkan waktu yang lama untuk membukanya.
"Apaan ini? Bagaimana aku terjebak dengan keadaan seperti ini? Mama, aku benci situasi ini!" pekiknya dalam hati.
Ahem terpaksa dengan telaten membuka satu persatu kancing korsetnya.
"Ini harus dilepas dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas ya? Kalau dari atas nanti bukit kembarnya nampak duluan." Pikirnya sambil cengar-cengir sendirian. "Atau dari bawah aja duluan ya. Duh rumit juga sih baju wanita, kenapa aku harus malu, dia kan udah halal." Pikirnya dalam hati. "Ah tidak meskipun dia istriku aku tidak mungkin menyentuhnya, kita menjalani ini kan karena sama-sama terpaksa." Lanjutnya.
Ahem sedikit memejamkan mata karena merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Setelah dengan susah payah akhirnya terlepas juga korsetnya.
"Oh untung masih ada bra nya, kalau tidak....oh!" gumamnya dalam hati mulai berdesir, jiwa laki-laki nya mulai berontak.
Tiffara yang mulai sadar, segera menyadari ada bayangan yang hendak menindih tubuhnya. Tangannya sedang menyentuh tubuhnya. Sontak tangan Tiffara menyahut tangan Ahem sambil,
"Jangan!" pekiknya sambil matanya melotot ketakutan.
Sontak pula Ahem membekap mulut Tiffara, karena gugup. Takut Tiffara berteriak menjerit membuat orang-orang di luar berpikiran negatif.
"Kamu tenang ya, aku hanya membantu mengganti bajumu. Kamu pingsan, kamu harus istirahat!" ujar Ahem pelan. "Aku tidak ngapa-ngapain kok, jangan khawatir!" Lanjutnya berbisik lirih.
Karena malu dan takut kalau Ahem akan menatap tubuhnya yang setengah telanjang, bergegas Tiffara menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Ahem. Dan Ahem yang tidak siap, spontan terdorong ke belakang dan jatuh di kasur dengan posisi Tiffara menindihnya. Tangan kekarnya reflek memeluk pinggang Tiffara. Akhirnya tangan kekarnya menyentuh kulitnya yang halus tanpa terhalang selembar kain pun. Seolah tak percaya hati Ahem berdetak kencang. Sesaat Ahem terlena menikmatinya, dan Tiffara tertegun dan terpaku tak berdaya. Mereka saling menatap tajam, tatapan yang seolah mengarungi lautan.
"Kamu jangan menatap aku ya, jangan melihat!" bisiknya masih gemetar lekat di dada Ahem.
"Aku terlanjur melihat....ya udah aku akan memejamkan mata, pakailah bajumu!" titah Ahem menahan malu.
Tiffara menarik diri dan beranjak bangun mengenakan gaun krem yang cantik yang nampak ringan dan nyaman tapi indah dikenakan.
Diluar kamar Tiffara, Diva sedang gelisah karena Ahem tidak juga keluar kamar. Dia khawatir mereka berdua akan melakukan malam pertamanya. Dia sedang berpikir mencari alasan agar bisa membuat Ahem keluar kamar.
"Mas Bagas, kamu tidak khawatir kalau terjadi apa-apa sama Tiffara. Coba lihat sejak tadi dia tidak ada kabarnya. Kalau masih sakit kita kan bisa panggil dokter." Kata Diva pura-pura peduli.
"Oh ya, coba saja kamu ketuk!" pinta Bagas.
"Nggak enak Mas, coba kamu aja!" bantah Diva.
Tok...tok...tok....pintu diketuk sambil memanggil namanya,
"Ahem....Tiffa....!"
"Iya Mas Bagas." Jawab Tiffa.
"Iya Bagas!" jawab Ahem sambil membuka pintu.
Betapa terkejutnya melihat Diva juga bersamanya. Tiba-tiba Ahem mengerti dan membaca apa yang sedang dipikirkan Diva.
"Kamu memperalat Bagas, aku yakin kamu sedang cemburu, aku berada di kamar bersama Tiffara." Pikir Ahem dalam hati.
"Ada apa Bagas? Kamu bukannya ingin mengganggu pengantin yang mau bermalam pertama kan?" tanya Ahem pura-pura kesal.
"Jam segini? Wah jangan keterlaluan dong, lihat tamumu belum pada pulang. Bahkan papa dan mama kamu masih disini." Sahut Bagas.
"Om sama Tante masih disini mas?" tanya Tiffara yang tiba-tiba muncul disamping Ahem.
"Udah kita temui mama dan papa besuk aja, kan besuk masih resepsi!" katanya sambil kedua tangannya merangkul Tiffara dari balakang, tapi pandangannya tertuju pada Diva. Seolah sedang memanasi hati Diva. "Kita lanjutkan yuk, mengganggu aja!" ujar Ahem menggoda, sambil kemudian menutup pintu kamarnya.
"Gila! Bisa-bisanya, dasar kucing garong!" gerutu Bagas sambil tertawa meninggalkan kamar Tiffara.
Diva mengepalkan tangannya kuat-kuat sambil mengeraskan rahangnya menahan marah. Rasa sakit dan cemburu seperti tak terkendali lagi.
***
Keesokannya acara resepsi begitu meriah. Acara diadakan di hotel milik keluarga Ahem sendiri. Sehingga begitu mewah dam meriah. Tamu dari keluarga Ahem termasuk tamu Abidin dan teman-teman kuliah Ahem.
"Selamat adikku sayang, bagaimana kakakmu terlupakan?" ucap tamu tak diundang.
"Kak Virgo?" teriaknya bahagia. "Kakak kapan datang?" tanyanya seolah tak percaya.
Akhirnya mereka berpelukan melepas kangen. Ada senyum dan tawa bahagia tersungging di bibir mereka.
"Kakak, kenalkan ini istriku, Tiffara." Kata Ahem memperkenalkan.
Dan Virgo segera menyodorkan tangannya kepada Tiffara dan Tiffara pun menyambutnya. Betapa terkejutnya Virgo begitu melihat pengantin wanita adalah gadis pujaannya. Sejak SMA kelas satu Virgo sudah menaksirnya. Dua kali pernyataan cintanya ditolak dengan alasan dia masih ingin konsentrasi sekolah. Sesaat mereka berdua berpandangan tanpa sepatah katapun terucap. Tiffara segera menarik tangannya setelah sebentar berjabat tangan.
"Istrimu cantik sekali, seperti boneka India. Kamu begitu beruntung sekali, Ahem." Gumam Virgo sambil menatap tajam Tiffara. Membuat Tiffara salah tingkah dan gugup, karena seolah dia sedang membunyikan suatu beban. Seharusnya ini bukan merupakan beban, karena dengan terus terang Tiffara sudah menolaknya.
"Virgo, ayo kita makan bersama papa!" ajak Titin.
"Ayo mama sayang, lama kita tidak makan bersama!" jawab Virgo sambil menghampiri Titin dan memeluk pundaknya mengajak menemui Abidin, papanya. Hubungan mereka seperti antara ibuk dan anak sekalipun Virgo adalah anak tiri bagi Titin. Tapi Titin membesarkannya dengan kasih sayang yang sama seperti terhadap Ahem. Ahem dan Virgo besar bersama-sama, sehingga mereka saling menyayangi sejak kecil.
Acara resepsi berakhir sampai sore hari. Sehingga Tiffara tampak kecapekan, dia mandi kemudian langsung pergi tidur. Ini untuk kedua kalinya Tiffara tidur di kamar Ahem. Tapi dia tidur awal karena dia merasa canggung harus berada sekamar dengan orang asing. Meskipun dia sudah menjadi suaminya.
"Tiffa, ayo bangun, kita makan malam!" ajak Ahem lembut.
"Jam berapa Kak Ahem?" tanyanya terkejut saat terbangun.
"Pukul delapan." Jawab Ahem singkat.
"Hah? Aku tidak sholat Maghrib! Yah...." Katanya menyesal.
"Aku mau membangunkan kamu tidak tega, kayaknya kamu capek sekali." Gumam Ahem. "Sekarang kamu cuci muka terus makan malam sama mama dan papa!" Lanjutnya.
"Baik Kak Ahem."
"Aku tunggu ya kita turun bersama!" ujarnya lagi.
Tak lama kemudian, Ahem dan Tiffara turun menuju meja makan. Papa dan mamanya serta Virgo sedang menunggunya.
"Maafkan saya, kalian semua harus menunggu lama karena saya!" Ujar Tiffara.
"Tidak lama sayang, udah duduklah! Kamu harus makan yang banyak dan bergizi demi bayi kembar kita!" Ujar Titin sambil mengelus rambut Tiffara penuh sayang.
"Hah? Jadi Tiffara sedang hamil?" tanya Vigo kaget.
"Iya Virgo, kamu segera punya keponakan." Jawab Titin sambil tersenyum bahagia.
"Oh jadi dia hamil duluan sebelum menikah?" tanya Virgo dalam hati penasaran.
Suasana makan malam hari ini sangat berbeda, karena lengkap ada Virgo ditambah lagi Tiffara.
"Tiffara, Minggu depan Ahem harus ke London untuk melanjutkan S2. Sementara kamu bersama kita....jangan khawatir, kita akan menjaga kamu.... menyayangi kamu seperti anak sendiri." Kata Abidin meyakinkan.
Padahal dalam hatinya Abidin hanya menginginkan bayi Tiffara. Setelah Tiffara melahirkan dia akan berusaha memisahkan mereka berdua dan menjodohkan dengan Dania.
"Bagaimana aku harus tinggal bersama orang yang dulu mengejar-ngejar aku? Dari tatapan matanya aku takut." Pikir Tiffara dalam hati.
"Ma, pa seandainya saya mau pulang saja ke rumah saya gimana? Saya ingin tinggal sementara di rumahku bersama kakakku." Usulnya dengan sedih.
"Tiffa, ini juga rumah kamu sekarang, nanti aku juga sering pulang kok. Empat bulan sekali aku usahakan pulang, gimana?" hibur Ahem.
"Tidak Kak Ahem, aku mau pulang!" desak Tiffara memohon.
Semua terperanjat kaget dengan jawaban Tiffara. Dia kekeh ingin pulang ke rumahnya. Semua yang berada di meja makan saling berpandangan heran.
"Ya udah kita makan dulu ya, itu kita bicarakan lagi kapan-kapan. Disini juga rumah kamu, yang di sana juga rumah kamu. Kamu bisa pergi kemana yang kamu suka, asal kamu nyaman dan bahagia." Kata Titin dengan sabar dan menghiburnya.
Malam semakin larut, ponsel Ahem bergetar lagi dan lagi sejak habis makan malam hingga selarut itu tanpa berhenti.
Tiffara yang merasa terganggu akhirnya memeriksa siapakah yang telah berkali-kali menghubungi suaminya. Betapa terkejutnya ternyata Diva yang menelponnya. Tiffara tidak menemukan Ahem di kamarnya. Dengan membawa ponselnya dia keluar kamar mencari Ahem. Seluruh ruangan sudah di ganti dengan lampu remang-remang karena sudah larut malam. Tiffara berjalan mengendap-endap bagai pencuri. Dia mencari dimana Ahem berada, karena takut membangunkan yang lain. Saat dia menuju ruang kerja, tiba-tiba dia tak semgaja bertabrakan dengan Virgo. Virgo tak menyadari kehadiran Tiffara, karena dia sambil berjalan memainkan ponselnya. Sehingga ponsel itu terlepas dan jatuh di lantai.
"Oh maaf," ucapnya gugup merasa bersalah.
Tiffara segera berjongkok memungut ponsel yang jatuh, tapi bersamaan dengan Virgo melakukan hal yang sama. Sehingga kepala mereka berbenturan.
"Auh!" pekik Tiffara bersamaan dengan Virgo.
Sambil memegangi kepalanya yang lumayan sakit Tiffara bangkit.
"Kamu semakin cantik, persis boneka India. Aku tidak pernah bisa berhenti memikirkanmu, Tiffa!" bisik Virgo sambil menarik tangan Tiffara dan mencengkeramnya dengan kuat seolah tak akan dilepasnya lagi.
"Kamu menolak aku, tapi justru menerima adikku....sakit tau?" gumam Virgo berbisik.
"Sakit Kak!" keluhnya sambil mendorong tubuh Virgo dengan kuat.
Virgo yang tidak siap dengan apa yang dilakukan Tiffara, membuatnya terpental dua langkah ke belakang. Dan ini membuat cengkeraman tangannya pun terlepas. Tiffara mundur beberapa langkah dan akhirnya berlari menuju ruang kerja. Dengan nafasnya yang ngos-ngosan dia berdiri di hadapan Ahem yang sedang menatap laptop.
"Tiffa, ada apa kesini? Kamu takut, kenapa nafasmu ngos-ngosan kayak gitu?" tanya Ahem penasaran.
"Ya udah ayo kita tidur!" ajaknya, kemudian menutup laptopnya.
"Aku mau mengantar ponselmu, berdering dari tadi, Mbak Diva menelepon." Kata Tiffara, sambil menyerahkan ponsel kepada Ahem.
"Malam-malam begini? Gila!" ujarnya sambil menerima ponsel itu.
Baru saja ponsel itu di tangan Ahem, sudah kembali berdering.
"Iya halo? Kamu gila apa, lihat ini jam berapa? Ngigau ya kamu?" Umpat Ahem ketus.
"Aku gila karena kamu, Ahem! Hidupku hancur sekarang....aku tidak ingin hidup lagi!"ujarnya asal bicara.
"Halo Mas, tolong jemput Mbak ini, dia lagi mabok Mas! Ini di Gemerlap Night club, Mas." Ujar pegawainya.
"Tidak bisa mas, panggilkan saja taksi, suruh ngantar ke Jalan Jawa no 17." tolak Ahem.
"Tidak berani mas, takut kalau di jalan ada apa-apa siapa yang tanggungjawab?" bantah balik pegawai Night Club.
"Apakah aku harus telepon kakakmu?" tanya Ahem kepada Tiffara.
"Tapi dia tidak menginginkan Mas Bagas. Dia tidak mencintai Mas Bagas. Aku takut Mas Bagas akan sakit hati, Kak Ahem!" pekiknya bersedih.
"Apakah aku boleh kesana? Aku janji aku hanya akan mengantarnya pulang, kemudian secepatnya pulang kembali kesini!" pamit Ahem.
Tiffara baru saja mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari kakaknya. Kenapa malah di tinggal pergi? "Bagaimana kalau dia nanti datang lagi ke kamarku!" pikirnya dalam hati.
"Kalau kamu tidak mengijinkan, aku tidak akan pergi, Tiffa." Gumamnya pelan.
Apakah Tiffara akan mengijinkan Ahem pergi, setelah dia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari Virgo?
Bersambung......
Ahem masih menunggu jawaban dari Tiffara, dia memandang penuh selidik. Karena Tiffara masih diam, Ahem merasa kalau dia keberatan kalau Ahem mengantar Diva pulang. Membayangkan wanita sedang mabuk di Club malam sendirian khawatir juga. Takut lelaki iseng akan mejebaknya dan memperkosanya. Akhirnya dengan berat hati Ahem menutup pintu kamar begitu mereka berdua sudah masuk. "Pergilah, kasihan Mbak Diva dalam bahaya, malam-malam seperti ini berada di luar sendirian!" Tiffara memberi izin. "Kamu yakin?" tanya Ahem ragu. "Cepat antar dia pulang! Aku menunggumu disini!" ujarnya pelan dan berat. Ternyata rasa kemanusiaannya mengalahkan egonya. Itu semua karena kebaikan hati nurani Tiffara. "Aku berjanji secepatnya kembali!" janji Ahem. Akhirnya Ahem ganti baju, mengambil jaket dan pergi keluar.
Ahem mencoba meyakinkan pada Tiffara lewat balik pintu kamarnya. Hati yang luas bak samudra itu pun begitu mudah memaafkannya. Dia membukakan pintu kamarnya. Ahem melirik jam di atas meja yang menunjukkan hampir pukul 04.00. Dia tak menyangka waktu begitu cepat berlalu. Ahem sadar, Tiffara pasti sedang menunggunya, hingga dia belum tidur. Ahem merasa kesal pada hati dan pikirannya yang tidak pernah mau sejalan. Bila dia berada di dekat Tiffara, yang ada hanya rasa kasihan dan rasa berdosa. Berbeda bila dekat dengan Diva, yang ada rasa cinta dan nafsu yang selalu bergelora. Tapi kekuatan pikirannya selalu bisa mengendalikan dirinya. Seperti dalam moto hidupnya, "Sebelum malam pertama aku tak akan melepas perjakaku dan tak akan mengambil keperwananmu." Meskipun motto itu akhirnya telah dihancurkan pada sore terkutuk itu. Cinta dan nafsu yang bergelora selalu runtuh hanya de
Kesedihan Bagas bukan karena Diva yang berkhianat, tapi lebih ke perasaan Tiffara. Adik kesayangannya itu sudah seolah menjadi jiwanya. Dia selalu dalam diam menahan kesedihannya. Bagas membayangkan dengan senyum tulusnya, dia menelan segala kesedihannya sendiri. "Aku tidak bersedih wanita jalang macam kamu mengkhianati ku, aku justru bersukur mengetahuimu lebih awal. Tapi Tiffa ku, dia nafasku...aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku akan membawa adikku pulang, itu kalau memang kamu tidak bisa membuatnya bahagia!" gumam Bagas sedih dengan air matanya yang bergulir. "Jangan Bagas! Jangan bawa dia pergi, aku akan pulang sekarang juga!" janji Ahem. Bagas tanpa menghiraukannya lagi dia melangkah pergi. Dengan tegap tanpa berpaling lagi dia berjalan menuju mobilnya, dan melajukan mobilnya pergi. "Tidak Ahem! Kamu tidak boleh pergi! Berani selangkah kamu meninggalkan aku, aku
Sehabis sarapan pagi, Ahem bersiap mengantar Tiffara pergi periksa dokter. Titin senang sekali saat-saat dia melihat calon cucunya di layar monetor. Detak jantungnya sangat kuat, dokter bilang bayi sangat sehat. "Hanya saja ada masalah pada mamanya. Dia mengandung bayi kembar dan beresiko di usia yang masih muda. Kandungannya lemah, dia harus badrest untuk beberapa bulan ke depan dan yang terpenting lagi, dia tidak boleh stres." Dokter memaparkan kesehatan Tiffa yang sangat beresiko. "Jadi ini berbahaya bila istri saya stres, dokter?" Ahem bertanya dengan hati-hati. "Ini berbahaya buat keduanya, bisa mengakibatkan terburuknya pendarahan bahkan keguguran." Dokter menjelaskan kembali dengan hati-hati juga. "Sudah jangan khawatir, Oma akan menjaga keduanya sayang...mamanya juga cucu-cucu Oma." Titin menghibur Ahem. "Cucuku sayang, sekarang papa ngantar kalian periksa, tap
Seperti disambar petir rasanya, menyaksikan istri sedang berada dalam dekapan kakaknya. Terlihat jelas wajah Tiffa yang tenang dan nyaman menikmatinya. "Ini malam terakhir bagi kita, Kak Ahem. Aku ingin kita menghabiskannya bersama anak-anak kita. Terima kasih kamu menepati janjimu untuk bertemu Diva hanya sebentar." Kata Tiffa dengan lembut dan manja. "Sekalipun kita tidak saling mencintai tidak ada salahnya kita bersahabat demi anak-anak kita." Lanjutnya. "Kita hanya bersahabat?" sahut Vigo pelan. Tiffa sontak menarik tubuhnya dengan kuat dan setengah mendorong Virgo, sehingga dia terpental dua langkah ke belakang. Tiffa menatap tajam dan takut, untuk kedua kalinya dia melakukan hal yang sama. Dia menyesal begitu ceroboh tanpa melihat dengan seksama siapa orang yang mengetuk pintu. Dia asal memeluk begitu saja. Ahem berdiri terpaku menahan sakit hatinya. Bu
Ahem memandang dalam wajah Tiffara yang ketakutan dengan air matanya yang bergulir di pipinya yang putih. Ahem jadi merasa bersalah seolah menorehkan rasa trauma yang dalam pada gadis itu. "Apa yang aku lakukan pada malam itu sehingga dia sedemikian terlukanya?" tanya Ahem pada dirinya sendiri. "Tiffa tatap mataku!" bisik Ahem. Mata itu terpejam kuat, dengan keringat dingin dan gemetar. Ahem menatap dengan perasaan bersalah yang sangat dalam. "Bagaimana cara aku menyembuhkan lukamu, Tiffa?" "Please Tiffa, tatap mataku ... aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji tidak akan menyentuhmu tanpa kamu yang menginginkannya," lanjutnya. Tiffa perlahan membuka matanya, dia memandang Ahem merasa bersalah. Tiffa ingin membuat Ahem bahagia tapi kenapa dia tidak bisa melayani Ahem sebagai suaminya? "M
Ahem terpaku menatap Tiffara dalam dekapan Virgo dan dibawa menuju mobil. Titin berlari kecil mengikuti Virgo karena langkah Virgo yang cepat dan panjang sebagai lelaki perkasa. Ahem menatapnya dari belakang dengan perasaan bersalah dan menyesal. "Tiffa ...," desahnya. Ahem hendak berlari mengejar mereka, tapi Diva menghentikannya sambil menarik tangannya. "Apa yang akan kamu lakukan, Ahem? Kamu sadar sebentar lagi kamu harus terbang! Tiffa sudah diurus oleh kakak kesayanmu itu sama mamamu. Kamu jangan hancurkan masa depan kamu! Dia tidak apa-apa Ahem, kamu jangan berlebihan!" hardik Diva marah. "Dia tidak boleh stres, dia terlalu lemah! Bagaimana aku bisa berpikir jernih?" keluh Ahem panik. "Ahem, dengarkan aku ... sekarang juga kamu masuk sebentar lagi pesawat take off, cepat!" desak Diva. Bagai kerbau dicocok
Virgo membukakan pintu untuk Tiffara, dengan tersenyum lembut Tiffara pun menyambutnya. "Terima kasih Kak Virgo," ucap Tiffara. "Baik Tuan putri," jawab Virgo menggoda. Tiffara tidak merespon Virgo yang sedang menggodanya. Kini Virgo sudah duduk dibangku kemudi. Dia melihat Tiffara yang belum mengenakan sabuk pengaman. "Pakai seat belt, sayang!" Bisik Virgo yang tiba-tiba wajahnya mendekati wajah Tiffara. Matanya menatap tajam mata Tiffara, sehingga dia salah tingkah. Bukan saja aroma tubuhnya yang tercium kuat, tapi hangatnya nafas Virgo pun terasa terhembus di wajah Tiffara. Detak jantung Virgo mulai terdengar jelas oleh Tiffara. Kini Tiffara terpaku tak berkutik, bahkan untuk menggeser tubuhnya yang sedikit tertindih pun tidak berani. Tatapan Virgo semakin tajam, pandangan matanya mulai menatap bibir merona yang sexi yang mengg
"Ikut aku!" ajak Ahem tiba-tiba."Kemana?" tanya Tiffara penasaran.Ahem tidak menjawab, dia berjalan menuju mobilnya. Tiffara terpaksa mengikuti tanpa banyak bertanya. Para mahasiswa tertegun menatapnya."Masuk!" perintah Ahem singkat."Apa dia yang terpilih?" teriak seorang mahasiswi."Apa benar?" yang lain menimpali.Ahem membukakan pintu dan meminta Tiffara masuk. Tak lama kemudian mobil pun melaju kencang.Dret ... dret ... dret! Ponsel Tiffara berdering, Virgo yang menelepon. Ini saatnya Tiffara membalas Ahem, dia telah membuat hati Tiffara tercekam cemburu karena biro jodoh yang dia buka."Kak Virgo?" sapanya manja."Tiffara, lagi dimana nih?" tanyanya lembut."Lagi jalan, Kak Virgo. Kakak sendiri lagi ngapain?" "Aku lagi suntuk, aku butuh teman ngobrol, Tiffa," kata Virgo sedih."Lagi mikirin apa? Boleh berbagi sama aku, udah makan belum? Apa kita ketemu makan malam saja," Tiffara dengan lembut menawarkannya.Ciiiit!Spontan Ahem menginjak rem dan berhenti. Ternyata sikap gen
"Akulah yang pertama jatuh cinta padamu, Tiffa. Dan kamu malah menikah dengan Ahem adikku yang belum kamu kenal sebelumnya. Dan selama menikah pun kamu tidak pernah bahagia, tapi anehnya aku tidak bisa masuk diantara kalian," kata Virgo sedih."Maafkan aku Kak Virgo, yang belum bisa membalas cintamu," jawab Tiffara sedih."Aku tidak akan pernah memaksa perasaanmu, tapi setidaknya kamu mau percaya padaku bahwa aku sangat mencintaimu," Virgo meyakinkan."Duh, kok malah curhat di depanku sih," gerutu Ahem dalam hati.Dret ... dret ... dret! Ponsel Virgo berdering, Diva yang sedang menelepon."Aku keluar dulu, Tiffa!" pamit Virgo."Papa Virgo mau kemana?" tanya kedua bocah kecil itu bersamaan."Papa keluar sebentar, Sayang! Nanti kembali lagi," janji Virgo.Dia segera keluar ruangan dan mengangkat telepon dari Diva."Dimana kamu?" tanya Virgo kasar. Dia berpapasan dengan Bagas tapi Virgo tidak menyadarinya. Sontak membuat Bagas penasaran dan berpikiran ingin membuntutinya dan menguping.
Tiffara mulai membuka matanya, betapa terkejutnya dia berbaring di ranjang rumah sakit. Sebentar dia mengingat-ingat apa yang terjadi. Sontak dia bangun dan hendak turun dari tempat tidur tapi tiba-tiba perutnya mual dan pusing-pusing. Akhirnya kembali dia roboh di tempat tidur. "Tiffa, istirahatlah dulu! Kamu masih terkena pengaruh racun ular," gumam Bagas yang baru saja masuk ruangan. Bagas membantu membaringkan tubuh Tiffara kemudian memeriksa keningnya apakah masih demam ataukah sudah membaik. "Syukurlah kamu sudah membaik, Tiffa," gumam Bagas lega. "Bagaimana keadaan anak-anak dan Kak Ahem, Mas?" tanya Tiffara khawatir. "Anak-anak sudah baik-baik saja, Tiffa. Jangan khawatir!" hibur Bagas. "Gimana dengan Kak Ahem?" tanya Tiffara masih khawatir. "Kenapa kamu mengkhawatirkan dia? Dia kan bukan apa-apa kamu?" tanya Bagas menggoda. "Dia kan papa dari kedua anakku, Mas. Dia juga dosenku, apakah salah kalau aku mengkhawatirkannya?" jawab Tiffara tersipu malu. "Ooo jadi seorang
Karena jaraknya tidak jauh Bagas dan Tiffara sudah sampai di rumah Ahem. Pintu pagar juga masih tertutup rapat. Dua satpam menjaga dengan aman pintu gerbang, tidak ada tanda-tanda ada orang keluar masuk lewat pintu. Apa itu artinya mereka pelakunya orang dalam sendiri. Din ... din ... din! Klakson mobil dibunyikan, Bagas dan Tiffara telah sampai dan satpam berlari membukakan pintu. Satu-satunya akses untuk keluar masuk rumah itu. "Ada apa, Pak?" tanya Bagas saat turun dari mobil. "Ada penyusup, Mas. Kenapa kamu masih di sini tidak mencari atau mengejarnya?" ketus Bagas. "Bos Ahem yang minta kami berdua harus jaga ketat pintu keluar," jawab salah satu satpam. "Dua bodyguard sudah berusaha mengejarnya,' lanjutnya. Tiffara bergegas berlari menuju rumah, sebelum kaki melangkah masuk dia melihat sekilas bayangan di semak-semak rerimbunan tanaman bunga. Sontak dia berhenti dan berbalik arah. "Mas Bagas, itu dia!" teriak Tiffara. Sontak sosok yang bersembunyi itu pun segera berlari t
Kini acara pertunangan telah selesai. Tiffara diam-diam mengawasi Ahem, apakah benar tidak ada luka di hatinya. Sebelum Tiffara hadir dalam hidupnya, Ahem dan Diva adalah sepasang kekasih. Rasanya tidak mungkin tidak ada luka di hatinya, apakah dia menutupinya? Tiffara sambil memegang foto yang dia temukan di lemari Ahem, dia terus mengingat-ingat. "Ada apa denganmu, Tiffa?" tanya Bagas. "Mas, kemarin Mbak Diva tunangan sama Kak Virgo," ujarku. "Sama Virgo? Iyakah? Hati-hati Tiffa, dia ular! Jaga anak-anakmu!" pesan Bagas. "Sebenarnya Kak Ahem meminta aku untuk tidur di sana agar bisa fokus mengawasi anak-anak. Tapi aku masih minta waktu berpikir, Mas," ungkap Tiffara. "Kenapa harus berpikir, Tiffa? Demi anak-anakmu ke sampingkan egomu, Tiffa," pesan Bagas. "Jangan sampai kamu menyesal," lanjutnya sedih. Tiffa mulai berpikir serius dengan apa yang baru dikatakan Bagas. Selama ini dia belum berpikir sejauh itu. "Ma
Tak berselang lama Ahem masuk ke kamarnya. Saat itu Tiffara sedang berdiri di depan pintu akan keluar kamar. Ahem terperanjat, melihat Tiffara yang tampil cantik sekali. Ahem berjalan mendekati Tiffa sehingga membuatnya terdesak mundur. "Apa yang kamu lakukan?" ketus Tiffa. "Aku akan memperkosa kamu lagi," kata Ahem terus menggoda. "Hiks ... hiks ... hiks, silakan! Emang Dede'nya bisa bangun?" balas Tiffa menggoda diiringi tawanya. "Boleh kita coba, kamu akan menjadi kelinci percobaanku," desaknya sambil terus memepet Tiffa sampai terhimpit antara dinding dan tubuh Ahem. "Kak Ahemmmm!" pekik Tiffara sambil memejamkan mata. Tak sadar kedua tangan Tiffara mencengkeram pinggang Ahem membuatnya semakin terbakar birahinya. Bibir sexinya melumat lembut bibir Tiffara. Membuat cengkeraman itu semakin kuat bahkan tak sadar tangan Tiffara melingkar kuat di pinggang Ahem membuat Ahem semakin terjebak dalam pagutannya. "Kak Ahem," desahnya
"Mana ada impoten malah dipamerkan, di gembar-gembor kan, malah kita tidak percaya dong!" sahut mahasiswi sambil ngekeh. Sambil berlalu Dosen Ahem tertawa kecil. Melody terus memantaunya dari jauh, dia mengikuti dari belakang. Kini dia sembunyi dibalik pot besar di pinggir jalan. "Kok cepat menghilang sih?" gerutu Melody kesal sambil beranjak bangun. Saat hendak beranjak bangun, dia mendapati bayangan sosok lelaki berdiri di sampingnya. Perlahan dia mendongak ke atas. "Hah!" pekiknya. "Bagaimana bapak tiba-tiba di sini?" lanjut Melody terkejut. "Kamu sendiri ngapain di sini, ngikuti aku kan?" tanya Ahem menohok. "Apa? Mengikuti bapak? Ya nggaklah!" teriakku membantah. "Melody atau Tiffara ya? Ya Melody sajalah terlanjur terbiasa dengan Melody di kamus. Tolong bawakan tas dan bukuku ke ruanganku!" perintah Dosen Ahem. "Saya, Pak?" sahut Melody bertanya. "Iya, kamu. Kenapa? Nggak mau, Bodyguard Melo?" desak Ahem.
Ahem terperanjat dengan perkataan Arman yang mengatakan Virgo tiba-tiba akan menikahi Diva. Padahal sebelumnya Virgo tidak pernah dekat dengan Diva. Entah karena cemburu atau apa, Ahem merasa seolah tidak rela Virgo menikahi Diva dan diajak tinggal bersama satu rumah. Tapi sementara Ahem belum bisa mengungkapkan rasa keberatan itu kepada Virgo. "Aku ganti baju dulu, Melo, tolong bereskan kopiku!" pinta Ahem. Iya, Bos," jawab Melo. Aku mengambil lap dan membersihkan tumpahan kopi. "Kamu bisa bayangkan betapa menderitanya Ahem bila Diva hidup bahagia bersama Virgo," ujar Arman yang tiba-tiba muncul, mengejek. "Jadi paman bahagia bila melihat Ahem menderita, begitu?" tanya Melo. "Bisa dibilang begitu, dia sudah lama bahagia sudah waktunya ganti kakaknya yang harus bahagia," jawab Arman. "Boleh juga, asal bukan dengan cara licik, Paman. Bahagia tidak bisa diraih dengan cara kotor," ujar Melo. "Anda bisa melakukan sesuka hat
"Ma, mama ... mamaku mana, Om Melo?" tanya lirih Ruhi saat membuka matanya. Saat itu Melo sedang tidur di bibir ranjang, pantatnya di kursi. Segera matanya terbuka mendapati Ruhi memanggilnya. "Sayang, kamu sudah sadar? Apa yang kamu rasakan, Sayang?" tanya Melo gugup bercampur bahagia. "Ruhi, kamu sudah bangun?" teriak Arjun. "Sebentar aku panggil dokter!" teriak Melo masih gugup. "Dokter!" teriak Melo di depan pintu. Saking gugupnya, padahal di samping ranjang ada tombol untuk memanggil dokter atau perawat. Tak lama seorang dokter dan seorang perawat datang dengan tergesa-gesa. "Dok, anak saya sudah sadar, tolong periksa dia!" kata Melo bahagia. Dokter memeriksa sekilas tentang kesehatannya. Perawat membantu memeriksa tensi darahnya. Melo hanya tertegun seolah tak percaya. "Anda siapa?" tanya dokter. "Saya mamanya, maksud saya ... saya pengasuhnya, Dok," jawab Melo gugup. "Mana ke