Ahem masih menunggu jawaban dari Tiffara, dia memandang penuh selidik. Karena Tiffara masih diam, Ahem merasa kalau dia keberatan kalau Ahem mengantar Diva pulang. Membayangkan wanita sedang mabuk di Club malam sendirian khawatir juga. Takut lelaki iseng akan mejebaknya dan memperkosanya.
Akhirnya dengan berat hati Ahem menutup pintu kamar begitu mereka berdua sudah masuk.
"Pergilah, kasihan Mbak Diva dalam bahaya, malam-malam seperti ini berada di luar sendirian!" Tiffara memberi izin.
"Kamu yakin?" tanya Ahem ragu.
"Cepat antar dia pulang! Aku menunggumu disini!" ujarnya pelan dan berat.
Ternyata rasa kemanusiaannya mengalahkan egonya. Itu semua karena kebaikan hati nurani Tiffara.
"Aku berjanji secepatnya kembali!" janji Ahem.
Akhirnya Ahem ganti baju, mengambil jaket dan pergi keluar. Suara mobil membangunkan Virgo, sehingga dia mengintai dari jendela. Virgo heran tengah malam bahkan hampir pagi, melihat mobil Ahem keluar dari Garasi.
***
Ahem tiba di Club Malam Gemerlap, matanya memeriksa sekelilingnya. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang penuh dengan orang-orang yang sedang bersenang-senang. Tampak Diva dengan bajunya yang sexi dan terbuka sedang teler, dan ditemani dua lelaki. Segera Ahem menghampirinya, dengan mengeluarkan lima lembar uang ratusan ribu ditaruh di meja, kemudian dia menarik tubuh Diva.
"Hei kurang ajar sekali kamu, berani-beraninya mengganggu ratuku! Siapa kamu?" tanya salah satu lelaki emosi.
Salah satu dari lelaki itu, berdiri menarik kerah baju Ahem. Dan salah salah satunya lagi menarik tubuh Diva hingga terpelanting jatuh kepelukan lelaki itu. Tak tahan melihat Diva yang teler dan berada diperlukan lelaki lain sontak dia melayangkan bogemnya tepat ke wajah leleki mabok itu. Sontak cengkeraman tangannya itu terlepas dan dia terhuyung tak bisa mengendalikan diri karena sedang mabok berat. Dan satu lagi bogem itu dilayangkan pada lelaki yang sedang mendekap tubuh Diva. Dia pun melepaskan Diva karena tubuhnya terpental ke belakang, karena saking kuatnya bogem dan tinju yang berulang kali di layangkan Ahem. Suasana club itu jadi gaduh penuh jeritan dan teriakan. Akhirnya Ahem menarik tubuh Diva dan membopongnya pergi keluar Club.
Diva yang telah teler berat masih mengenali Ahem. Tangannya menggelayut erat di leher Ahem. Tatapan matanya yang kabur masih berusaha menatap wajah Ahem. Sehingga harus mengerjap-ngerjabkan matanya untuk memperjelas. Seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Diva mulai meraba wajah Ahem.
"Benar ini kamu? Aku yakin kamu pasti datang untukku...jangan tinggalkan aku, Ahem!" gumamnya sambil merebahkan kepalanya ke dada bidang Ahem.
Tanpa sepatah katapun Ahem membawanya menuju mobil. Dibukanya pintu mobil dan direbahkanya dibangku belakang dengan asal. Ahem melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah Diva. Seorang pembantu keluar saat bel rumah ditekan.
"Di rumah ada orang mbak?" tanyanya setelah pembantu membuka pintu.
"Tidak ada mas, tuan dan nyonya sedang ke Menado. Masuklah mas, biar kubuatkan minuman hangat! Mbak Diva mabok lagi mas?" tanya pembantu itu dan kemudian mempersilahkan Ahem masuk.
"Jadi kemarin juga mabok mbak?" tanya Ahem.
"Iya mas."
Ahem membopong Diva membawa ke kamarnya, sementara pembantunya membuat minuman untuk mereka. Ahem perlahan merebahkan tubuh Diva di atas kasur. Tapi tangan Diva menggelayut kuat tak mau melepas lagi bahkan menariknya sampai Ahem terjatuh, dan bibirnya mematuk tepat bibir Diva. Sesaat Diva mencengkeram kuat seolah menikmati dan tak mau melepasnya. Tapi Ahem memaksa menarik tubuhnya dan cepat berdiri karena dia mendengar pembantu sedang mengetuk pintu.
"Ini minumannya mas, susu hangat buat Non Diva dan kopi susu buat Mas Ahem." Ujarnya sambil menaruh minuman di meja dekat tempat tidur.
"Terima kasih mbak!" ucap Ahem.
"Ahem kepalaku pusing," keluhnya sambil berusaha bangun.
"Minumlah susu hangat ini!" ujarnya sambil membangunkan Diva.
Kemudian Ahem mulai membantu meminumkan susu.
"Jangan tinggalkan aku Ahem, jangan pernah pergi dariku!" gumamnya lirih.
"Bukankah kamu yang pergi dariku?" bantah Ahem.
"Sudah berkali-kali kukatakan, aku hanya sedang memancing perasaanmu, aku ingin tahu seberapa dalam cintamu padaku!" jawabnya emosi.
"Tapi itu penyebab semua ini terjadi. Terjadi permusuhan antara aku dan Bagas. Hingga kami harus mengadakan sayembara itu." Sahut Ahem.
"Aku tahu, sayembara itu untuk memperebutkan aku, itu membuat aku bangga..... salting." Gumamnya dengan sombong.
"Tapi aku telah menodai Tiffara, aku tidak sadar apa yang terjadi saat itu, dan kini Tiffara hamil." Ungkap Ahem mengenang.
"Aku yakin tidak ada cinta diantara kalian. Sampai kapan kalian harus bertahan?" pekik Diva bertanya.
"Sampai anak kami lahir, aku masih harus kuliah ke London dan Tiffara harus melanjutkan kuliah juga." Ujar Ahem menjelaskan.
"Aku akan dengan setia menunggumu sampai kamu pulang, Ahem!" janji Diva sambil memeluk Ahem dengan erat.
Ahem hanya memandang wajah Diva yang sudah tak berjarak lagi.
"Selama dua tahun kita berpacaran, kamu tidak pernah melakukan itu padaku. Aku yakin kamu masih mempertahankan perjakamu, tapi karena Tiffara, kamu telah kehilangan semuanya. Aku ingin malam ini kamu lakukan juga kepadaku. Buktikan kalau kamu mencintaiku!" pinta Diva.
Sambil tiba-tiba menyerang bibir Ahem dengan ciuman yang hangat. Dengan ganasnya Diva memulainya, bibir mulai saling berpagut kuat, saling mengulum. Ciuman Diva turun ke leher dan tangannya dengan nakalnya mulai membuka kancing bajunya.
Dan Ahem mulai terbakar gelora birahinya. Yang sedang mencumbunya adalah wanita yang selama ini dia rindukan..dia cintai. Ahem dengan tak ragu lagi membalas sentuhan dan ciuman yang membakar birahinya. Pergulatan itu kian memanas, Ahem untuk pertama kalinya memperlakukan ini kepada Diva. Dia mulai menghisap bukit kembar Diva bergantian, membuat Diva melayang.
Dret...
Dret...
Dret...
Tiba-tiba getar ponsel di saku celana membangunkan konsentrasi Ahem. Dia terbelalak kaget, setelah melihat yang menelepon adalah Tiffara. Ahem beranjak bangun dan mengangkat telepon Tiffara.
"Iya Tiffa, sekarang juga aku pulang." Janji Ahem saat telepon diangkat.
"Dia sudah sampai di rumah?" tanyanya khawatir.
"Iya, dia baik-baik saja. Sekarang dia lagi tidur, aku pulang sekarang!" Ujarnya merasa bersalah.
Terbayang di matanya wajah polos tak berdosa dengan senyum yang lugu dan ikhlas. Senyum tulus yang senantiasa mengembang mengikutinya saat dia sedang bicara. Membuat Ahem selalu merasa bersalah setiap kali berbohong. Hatinya sedang bergelora disini, didekat Diva, tapi alam pikirannya bersama Tiffara. Antara hati dan pikirannya sedang berperang.
"Baik Kak Ahem, aku lega sekarang." Katanya kemudian menutup teleponnya.
"Bisa nggak sih kalau dia tidak mengganggu, sebel aku!" umpat Diva kesal.
"Diva, aku pulang sekarang! Jangan ulangi perbuatan kamu dengan mabok disembarang tempat! Bagaimana kalau ada laki-laki yang melecehkan kamu?" pesan Ahem.
"Karena aku yakin kamu pasti datang menolongku! Ahem, jangan pergi, please! Aku membutuhkanmu, aku masih ingin bersamamu!" pinta Diva merajuk sambil tangannya erat menggenggam tangan Ahem.
Sejenak Ahem berpikir, dia memandangi tangannya yang terpaut erat dengan Diva. Tapi pikirannya sedang ada bersama Tiffara, seorang gadis lugu tak berdosa sedang sedih menunggu.
Perlahan Ahem menarik tangannya dan berkata,
"Maafkan aku Diva, aku harus pergi!"
"Tidak....tidak....tidak boleh! Aku akan bunuh diri bila kamu tetap pergi!" Ancam Diva berteriak marah.
Ahem yang sudah berada didepan pintu kamar pun berhenti. Dia tahu Diva wanita nekat dan gila, dia bisa lakukan apa saja. Ahem akan disalahkan bila terjadi apa-apa dengan dirinya. Akhirnya dia kembali dan duduk di sofa sambil menikmati kopi yang dibuatkan pembantunya.
***
Tiffara dengan gelisah masih menunggu Ahem. Dia mondar-mandir di balik pintu kamar sambil sebentar-sebentar menatap jam di atas meja disamping ranjangnya. Entah perasaan apa yang sedang dirasakan Tiffara. Cemburukah? Terlalu dini untuk disebut cemburu. Karena mereka bersatu tanpa ada perasaan apapun.
Tok..
Tok...
Tok..
Pintu kamar diketuk, betapa bahagianya hati Tiffara karena Ahem menepati janjinya. Dengan kegembiraannya yang tak tergambarkan dia membuka pintu dan segera menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukannya. Dekapannya semakin dipererat dan terus dipererat bahkan tak sadar saking bahagianya dia mencium dada bidangnya.
"Terima kasih, kamu menepati janjimu! Semula aku berpikir kamu memilih tetap bersama Mbak Diva daripada harus pulang menemani aku. Terima kasih Kak Ahem! Aku percaya padamu..." Gumamnya lirih.
"Terima kasih, kamu percaya pada adikku!" jawabnya lirih.
"Apa?" pekik Tiffara terperanjat, setelah mendengat bahwa itu bukan suara Ahem.
Perlahan dia melepas pelukan itu, sambil menarik diri dan melangkah mundur. Penerangan memang remang-remang, sehingga Tiffara tak begitu jelas melihatnya.
"Kak Virgo, apa yang kakak lakukan disini? Maafkan aku. ....aku kira tadi Kak Ahem." Ujarnya.
"Tidak apa-apa, aku suka kok dipeluk. Aku pasti nanti ketagihan pingin dipeluk lagi." Bisiknya menggoda. "Oh ya, apakah Ahem belum pulang? Dia pasti lagi bersenang-senang sama Diva? Udah tidak usah diganggu, biar aku yang menemani kamu." Ujarnya menggoda lagi.
"Maaf Kak Virgo!" ujarnya dengan cepat menutup pintu kamarnya.
"Tiffa, aku tidak akan menyakitimu, kau tahu itu kan? Karena aku masih tetap mencintaimu!" gumamnya lirih dibalik pintu. Takut orang rumah akan terbangun Virgo pun memelankan suaranya.
"Aku yang mencintaimu, tapi malah Ahem yang menikahimu. Ini sulit bagiku, harus melihat kamu selalu bersama Ahem di depanku!" pekik lirih Virgo.
"Pergilah Kak, takut ada yang melihatmu. Aku tidak tahu kalau kamu adalah kakaknya Kak Ahem. Kalau aku tahu dari awal, pasti aku berpikir ulang!" jawabnya lirih.
"Kakak, ada apa kakak di depan kamarku?" tanya Ahem yang tiba-tiba muncul di belakang Virgo.
Virgo terbelalak kaget, untung Ahem tidak mendengar dan melihat segalanya.
"Ahem, aku lewat depan kamar kamu, aku mendengar Tiffa sedang menangis. Aku tahu kamu sedang keluar. Makanya aku tanya kenapa harus menangis?" jawab Virgo berbohong.
"Dia menangis?" tanya Ahem tak percaya.
Sontak perasaan bersalahnya muncul lagi. "Apakah aku melukainya?" tanya Ahem pada dirinya sendiri.
Terima kasih Kak Virgo, aku tadi keluar ada urusan." Ujarnya kepada Virgo.
"Jangan pernah membuatnya menangis, dia sangat berharga...kamu akan menyesal nanti!" pesannya sambil menekan pundak Ahem kemudian berlalu pergi.
"Tiffara...!" panggilnya sambil mengetuk pintunya.
Apakah Tiffara akan marah karena Ahem sudah berbohong? Apakah Virgo akan melindungi Tiffara?
Bersambung.....
Ahem mencoba meyakinkan pada Tiffara lewat balik pintu kamarnya. Hati yang luas bak samudra itu pun begitu mudah memaafkannya. Dia membukakan pintu kamarnya. Ahem melirik jam di atas meja yang menunjukkan hampir pukul 04.00. Dia tak menyangka waktu begitu cepat berlalu. Ahem sadar, Tiffara pasti sedang menunggunya, hingga dia belum tidur. Ahem merasa kesal pada hati dan pikirannya yang tidak pernah mau sejalan. Bila dia berada di dekat Tiffara, yang ada hanya rasa kasihan dan rasa berdosa. Berbeda bila dekat dengan Diva, yang ada rasa cinta dan nafsu yang selalu bergelora. Tapi kekuatan pikirannya selalu bisa mengendalikan dirinya. Seperti dalam moto hidupnya, "Sebelum malam pertama aku tak akan melepas perjakaku dan tak akan mengambil keperwananmu." Meskipun motto itu akhirnya telah dihancurkan pada sore terkutuk itu. Cinta dan nafsu yang bergelora selalu runtuh hanya de
Kesedihan Bagas bukan karena Diva yang berkhianat, tapi lebih ke perasaan Tiffara. Adik kesayangannya itu sudah seolah menjadi jiwanya. Dia selalu dalam diam menahan kesedihannya. Bagas membayangkan dengan senyum tulusnya, dia menelan segala kesedihannya sendiri. "Aku tidak bersedih wanita jalang macam kamu mengkhianati ku, aku justru bersukur mengetahuimu lebih awal. Tapi Tiffa ku, dia nafasku...aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku akan membawa adikku pulang, itu kalau memang kamu tidak bisa membuatnya bahagia!" gumam Bagas sedih dengan air matanya yang bergulir. "Jangan Bagas! Jangan bawa dia pergi, aku akan pulang sekarang juga!" janji Ahem. Bagas tanpa menghiraukannya lagi dia melangkah pergi. Dengan tegap tanpa berpaling lagi dia berjalan menuju mobilnya, dan melajukan mobilnya pergi. "Tidak Ahem! Kamu tidak boleh pergi! Berani selangkah kamu meninggalkan aku, aku
Sehabis sarapan pagi, Ahem bersiap mengantar Tiffara pergi periksa dokter. Titin senang sekali saat-saat dia melihat calon cucunya di layar monetor. Detak jantungnya sangat kuat, dokter bilang bayi sangat sehat. "Hanya saja ada masalah pada mamanya. Dia mengandung bayi kembar dan beresiko di usia yang masih muda. Kandungannya lemah, dia harus badrest untuk beberapa bulan ke depan dan yang terpenting lagi, dia tidak boleh stres." Dokter memaparkan kesehatan Tiffa yang sangat beresiko. "Jadi ini berbahaya bila istri saya stres, dokter?" Ahem bertanya dengan hati-hati. "Ini berbahaya buat keduanya, bisa mengakibatkan terburuknya pendarahan bahkan keguguran." Dokter menjelaskan kembali dengan hati-hati juga. "Sudah jangan khawatir, Oma akan menjaga keduanya sayang...mamanya juga cucu-cucu Oma." Titin menghibur Ahem. "Cucuku sayang, sekarang papa ngantar kalian periksa, tap
Seperti disambar petir rasanya, menyaksikan istri sedang berada dalam dekapan kakaknya. Terlihat jelas wajah Tiffa yang tenang dan nyaman menikmatinya. "Ini malam terakhir bagi kita, Kak Ahem. Aku ingin kita menghabiskannya bersama anak-anak kita. Terima kasih kamu menepati janjimu untuk bertemu Diva hanya sebentar." Kata Tiffa dengan lembut dan manja. "Sekalipun kita tidak saling mencintai tidak ada salahnya kita bersahabat demi anak-anak kita." Lanjutnya. "Kita hanya bersahabat?" sahut Vigo pelan. Tiffa sontak menarik tubuhnya dengan kuat dan setengah mendorong Virgo, sehingga dia terpental dua langkah ke belakang. Tiffa menatap tajam dan takut, untuk kedua kalinya dia melakukan hal yang sama. Dia menyesal begitu ceroboh tanpa melihat dengan seksama siapa orang yang mengetuk pintu. Dia asal memeluk begitu saja. Ahem berdiri terpaku menahan sakit hatinya. Bu
Ahem memandang dalam wajah Tiffara yang ketakutan dengan air matanya yang bergulir di pipinya yang putih. Ahem jadi merasa bersalah seolah menorehkan rasa trauma yang dalam pada gadis itu. "Apa yang aku lakukan pada malam itu sehingga dia sedemikian terlukanya?" tanya Ahem pada dirinya sendiri. "Tiffa tatap mataku!" bisik Ahem. Mata itu terpejam kuat, dengan keringat dingin dan gemetar. Ahem menatap dengan perasaan bersalah yang sangat dalam. "Bagaimana cara aku menyembuhkan lukamu, Tiffa?" "Please Tiffa, tatap mataku ... aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji tidak akan menyentuhmu tanpa kamu yang menginginkannya," lanjutnya. Tiffa perlahan membuka matanya, dia memandang Ahem merasa bersalah. Tiffa ingin membuat Ahem bahagia tapi kenapa dia tidak bisa melayani Ahem sebagai suaminya? "M
Ahem terpaku menatap Tiffara dalam dekapan Virgo dan dibawa menuju mobil. Titin berlari kecil mengikuti Virgo karena langkah Virgo yang cepat dan panjang sebagai lelaki perkasa. Ahem menatapnya dari belakang dengan perasaan bersalah dan menyesal. "Tiffa ...," desahnya. Ahem hendak berlari mengejar mereka, tapi Diva menghentikannya sambil menarik tangannya. "Apa yang akan kamu lakukan, Ahem? Kamu sadar sebentar lagi kamu harus terbang! Tiffa sudah diurus oleh kakak kesayanmu itu sama mamamu. Kamu jangan hancurkan masa depan kamu! Dia tidak apa-apa Ahem, kamu jangan berlebihan!" hardik Diva marah. "Dia tidak boleh stres, dia terlalu lemah! Bagaimana aku bisa berpikir jernih?" keluh Ahem panik. "Ahem, dengarkan aku ... sekarang juga kamu masuk sebentar lagi pesawat take off, cepat!" desak Diva. Bagai kerbau dicocok
Virgo membukakan pintu untuk Tiffara, dengan tersenyum lembut Tiffara pun menyambutnya. "Terima kasih Kak Virgo," ucap Tiffara. "Baik Tuan putri," jawab Virgo menggoda. Tiffara tidak merespon Virgo yang sedang menggodanya. Kini Virgo sudah duduk dibangku kemudi. Dia melihat Tiffara yang belum mengenakan sabuk pengaman. "Pakai seat belt, sayang!" Bisik Virgo yang tiba-tiba wajahnya mendekati wajah Tiffara. Matanya menatap tajam mata Tiffara, sehingga dia salah tingkah. Bukan saja aroma tubuhnya yang tercium kuat, tapi hangatnya nafas Virgo pun terasa terhembus di wajah Tiffara. Detak jantung Virgo mulai terdengar jelas oleh Tiffara. Kini Tiffara terpaku tak berkutik, bahkan untuk menggeser tubuhnya yang sedikit tertindih pun tidak berani. Tatapan Virgo semakin tajam, pandangan matanya mulai menatap bibir merona yang sexi yang mengg
Ahem mulai gelisah membayangkan kalau saja Tiffara tahu Diva disini, pasti dia akan ngedrop seperti saat di bandara beberapa bulan yang lalu. "Diva, kayaknya kamu harus segera kembali ke Indonesia deh! Aku tidak mau sampai keluargaku mengetahuinya, hancurlah aku nanti, Diva! Please!" pintanya sambil menelangkupkan kedua tangannya. "Tidak Ahem, aku masih ingin tinggal di sini. Aku tidak mau jauh dari kamu. Kenapa sih yang kamu pikirkan cuma perasaan mereka. Kamu tidak pernah memikirkan bagaimana dengan perasaanku!" hardiknya. "Kamu sudah satu bulan di sini, aku takut Tiffa curiga." kata Ahem gelisah. "Tiffa lagi ...Tiffa lagi! Kenapa sih kamu masih pedulikan dia sekalipun sedang bersamaku?" hardiknya lagi. "Karena dia sedang mengandung anakku, aku takut terjadi sesuatu padanya. Aku sudah berjanji untuk selalu menjaganya." Gumamnya pelan sambil meman
"Ikut aku!" ajak Ahem tiba-tiba."Kemana?" tanya Tiffara penasaran.Ahem tidak menjawab, dia berjalan menuju mobilnya. Tiffara terpaksa mengikuti tanpa banyak bertanya. Para mahasiswa tertegun menatapnya."Masuk!" perintah Ahem singkat."Apa dia yang terpilih?" teriak seorang mahasiswi."Apa benar?" yang lain menimpali.Ahem membukakan pintu dan meminta Tiffara masuk. Tak lama kemudian mobil pun melaju kencang.Dret ... dret ... dret! Ponsel Tiffara berdering, Virgo yang menelepon. Ini saatnya Tiffara membalas Ahem, dia telah membuat hati Tiffara tercekam cemburu karena biro jodoh yang dia buka."Kak Virgo?" sapanya manja."Tiffara, lagi dimana nih?" tanyanya lembut."Lagi jalan, Kak Virgo. Kakak sendiri lagi ngapain?" "Aku lagi suntuk, aku butuh teman ngobrol, Tiffa," kata Virgo sedih."Lagi mikirin apa? Boleh berbagi sama aku, udah makan belum? Apa kita ketemu makan malam saja," Tiffara dengan lembut menawarkannya.Ciiiit!Spontan Ahem menginjak rem dan berhenti. Ternyata sikap gen
"Akulah yang pertama jatuh cinta padamu, Tiffa. Dan kamu malah menikah dengan Ahem adikku yang belum kamu kenal sebelumnya. Dan selama menikah pun kamu tidak pernah bahagia, tapi anehnya aku tidak bisa masuk diantara kalian," kata Virgo sedih."Maafkan aku Kak Virgo, yang belum bisa membalas cintamu," jawab Tiffara sedih."Aku tidak akan pernah memaksa perasaanmu, tapi setidaknya kamu mau percaya padaku bahwa aku sangat mencintaimu," Virgo meyakinkan."Duh, kok malah curhat di depanku sih," gerutu Ahem dalam hati.Dret ... dret ... dret! Ponsel Virgo berdering, Diva yang sedang menelepon."Aku keluar dulu, Tiffa!" pamit Virgo."Papa Virgo mau kemana?" tanya kedua bocah kecil itu bersamaan."Papa keluar sebentar, Sayang! Nanti kembali lagi," janji Virgo.Dia segera keluar ruangan dan mengangkat telepon dari Diva."Dimana kamu?" tanya Virgo kasar. Dia berpapasan dengan Bagas tapi Virgo tidak menyadarinya. Sontak membuat Bagas penasaran dan berpikiran ingin membuntutinya dan menguping.
Tiffara mulai membuka matanya, betapa terkejutnya dia berbaring di ranjang rumah sakit. Sebentar dia mengingat-ingat apa yang terjadi. Sontak dia bangun dan hendak turun dari tempat tidur tapi tiba-tiba perutnya mual dan pusing-pusing. Akhirnya kembali dia roboh di tempat tidur. "Tiffa, istirahatlah dulu! Kamu masih terkena pengaruh racun ular," gumam Bagas yang baru saja masuk ruangan. Bagas membantu membaringkan tubuh Tiffara kemudian memeriksa keningnya apakah masih demam ataukah sudah membaik. "Syukurlah kamu sudah membaik, Tiffa," gumam Bagas lega. "Bagaimana keadaan anak-anak dan Kak Ahem, Mas?" tanya Tiffara khawatir. "Anak-anak sudah baik-baik saja, Tiffa. Jangan khawatir!" hibur Bagas. "Gimana dengan Kak Ahem?" tanya Tiffara masih khawatir. "Kenapa kamu mengkhawatirkan dia? Dia kan bukan apa-apa kamu?" tanya Bagas menggoda. "Dia kan papa dari kedua anakku, Mas. Dia juga dosenku, apakah salah kalau aku mengkhawatirkannya?" jawab Tiffara tersipu malu. "Ooo jadi seorang
Karena jaraknya tidak jauh Bagas dan Tiffara sudah sampai di rumah Ahem. Pintu pagar juga masih tertutup rapat. Dua satpam menjaga dengan aman pintu gerbang, tidak ada tanda-tanda ada orang keluar masuk lewat pintu. Apa itu artinya mereka pelakunya orang dalam sendiri. Din ... din ... din! Klakson mobil dibunyikan, Bagas dan Tiffara telah sampai dan satpam berlari membukakan pintu. Satu-satunya akses untuk keluar masuk rumah itu. "Ada apa, Pak?" tanya Bagas saat turun dari mobil. "Ada penyusup, Mas. Kenapa kamu masih di sini tidak mencari atau mengejarnya?" ketus Bagas. "Bos Ahem yang minta kami berdua harus jaga ketat pintu keluar," jawab salah satu satpam. "Dua bodyguard sudah berusaha mengejarnya,' lanjutnya. Tiffara bergegas berlari menuju rumah, sebelum kaki melangkah masuk dia melihat sekilas bayangan di semak-semak rerimbunan tanaman bunga. Sontak dia berhenti dan berbalik arah. "Mas Bagas, itu dia!" teriak Tiffara. Sontak sosok yang bersembunyi itu pun segera berlari t
Kini acara pertunangan telah selesai. Tiffara diam-diam mengawasi Ahem, apakah benar tidak ada luka di hatinya. Sebelum Tiffara hadir dalam hidupnya, Ahem dan Diva adalah sepasang kekasih. Rasanya tidak mungkin tidak ada luka di hatinya, apakah dia menutupinya? Tiffara sambil memegang foto yang dia temukan di lemari Ahem, dia terus mengingat-ingat. "Ada apa denganmu, Tiffa?" tanya Bagas. "Mas, kemarin Mbak Diva tunangan sama Kak Virgo," ujarku. "Sama Virgo? Iyakah? Hati-hati Tiffa, dia ular! Jaga anak-anakmu!" pesan Bagas. "Sebenarnya Kak Ahem meminta aku untuk tidur di sana agar bisa fokus mengawasi anak-anak. Tapi aku masih minta waktu berpikir, Mas," ungkap Tiffara. "Kenapa harus berpikir, Tiffa? Demi anak-anakmu ke sampingkan egomu, Tiffa," pesan Bagas. "Jangan sampai kamu menyesal," lanjutnya sedih. Tiffa mulai berpikir serius dengan apa yang baru dikatakan Bagas. Selama ini dia belum berpikir sejauh itu. "Ma
Tak berselang lama Ahem masuk ke kamarnya. Saat itu Tiffara sedang berdiri di depan pintu akan keluar kamar. Ahem terperanjat, melihat Tiffara yang tampil cantik sekali. Ahem berjalan mendekati Tiffa sehingga membuatnya terdesak mundur. "Apa yang kamu lakukan?" ketus Tiffa. "Aku akan memperkosa kamu lagi," kata Ahem terus menggoda. "Hiks ... hiks ... hiks, silakan! Emang Dede'nya bisa bangun?" balas Tiffa menggoda diiringi tawanya. "Boleh kita coba, kamu akan menjadi kelinci percobaanku," desaknya sambil terus memepet Tiffa sampai terhimpit antara dinding dan tubuh Ahem. "Kak Ahemmmm!" pekik Tiffara sambil memejamkan mata. Tak sadar kedua tangan Tiffara mencengkeram pinggang Ahem membuatnya semakin terbakar birahinya. Bibir sexinya melumat lembut bibir Tiffara. Membuat cengkeraman itu semakin kuat bahkan tak sadar tangan Tiffara melingkar kuat di pinggang Ahem membuat Ahem semakin terjebak dalam pagutannya. "Kak Ahem," desahnya
"Mana ada impoten malah dipamerkan, di gembar-gembor kan, malah kita tidak percaya dong!" sahut mahasiswi sambil ngekeh. Sambil berlalu Dosen Ahem tertawa kecil. Melody terus memantaunya dari jauh, dia mengikuti dari belakang. Kini dia sembunyi dibalik pot besar di pinggir jalan. "Kok cepat menghilang sih?" gerutu Melody kesal sambil beranjak bangun. Saat hendak beranjak bangun, dia mendapati bayangan sosok lelaki berdiri di sampingnya. Perlahan dia mendongak ke atas. "Hah!" pekiknya. "Bagaimana bapak tiba-tiba di sini?" lanjut Melody terkejut. "Kamu sendiri ngapain di sini, ngikuti aku kan?" tanya Ahem menohok. "Apa? Mengikuti bapak? Ya nggaklah!" teriakku membantah. "Melody atau Tiffara ya? Ya Melody sajalah terlanjur terbiasa dengan Melody di kamus. Tolong bawakan tas dan bukuku ke ruanganku!" perintah Dosen Ahem. "Saya, Pak?" sahut Melody bertanya. "Iya, kamu. Kenapa? Nggak mau, Bodyguard Melo?" desak Ahem.
Ahem terperanjat dengan perkataan Arman yang mengatakan Virgo tiba-tiba akan menikahi Diva. Padahal sebelumnya Virgo tidak pernah dekat dengan Diva. Entah karena cemburu atau apa, Ahem merasa seolah tidak rela Virgo menikahi Diva dan diajak tinggal bersama satu rumah. Tapi sementara Ahem belum bisa mengungkapkan rasa keberatan itu kepada Virgo. "Aku ganti baju dulu, Melo, tolong bereskan kopiku!" pinta Ahem. Iya, Bos," jawab Melo. Aku mengambil lap dan membersihkan tumpahan kopi. "Kamu bisa bayangkan betapa menderitanya Ahem bila Diva hidup bahagia bersama Virgo," ujar Arman yang tiba-tiba muncul, mengejek. "Jadi paman bahagia bila melihat Ahem menderita, begitu?" tanya Melo. "Bisa dibilang begitu, dia sudah lama bahagia sudah waktunya ganti kakaknya yang harus bahagia," jawab Arman. "Boleh juga, asal bukan dengan cara licik, Paman. Bahagia tidak bisa diraih dengan cara kotor," ujar Melo. "Anda bisa melakukan sesuka hat
"Ma, mama ... mamaku mana, Om Melo?" tanya lirih Ruhi saat membuka matanya. Saat itu Melo sedang tidur di bibir ranjang, pantatnya di kursi. Segera matanya terbuka mendapati Ruhi memanggilnya. "Sayang, kamu sudah sadar? Apa yang kamu rasakan, Sayang?" tanya Melo gugup bercampur bahagia. "Ruhi, kamu sudah bangun?" teriak Arjun. "Sebentar aku panggil dokter!" teriak Melo masih gugup. "Dokter!" teriak Melo di depan pintu. Saking gugupnya, padahal di samping ranjang ada tombol untuk memanggil dokter atau perawat. Tak lama seorang dokter dan seorang perawat datang dengan tergesa-gesa. "Dok, anak saya sudah sadar, tolong periksa dia!" kata Melo bahagia. Dokter memeriksa sekilas tentang kesehatannya. Perawat membantu memeriksa tensi darahnya. Melo hanya tertegun seolah tak percaya. "Anda siapa?" tanya dokter. "Saya mamanya, maksud saya ... saya pengasuhnya, Dok," jawab Melo gugup. "Mana ke