Prang!
Suara piring itu sangat menggema di seluruh ruangan. Tatapan mata tidak percaya yang begetar dengan hebat muncul di wajahnya yang tidak menggunakan polesan make up, rambut yang berantakan, dan bau keringat yang pekat. “Ti-tidak, Mas. Aku pasti salah dengar ....” Geva berulang kali mengatakan kalimat itu untuk menguatkan dirinya sendiri. Semua yang ada di sana menatapnya dengan tatapan mata yang rendah. Mereka tidak peduli dengan dirinya yang bagi mereka tidak menguntungkan. “Kau tidak salah dengar. Aku sudah katakan kalau dia adalah calon istriku.” Damas dengan tegas mengatakannya. Tatapan matanya sangat tajam, dan Geva bisa melihat keseriusan itu di ekspresinya. “Ta-tapi, Mas. Aku ini adalah istrimu. Mana bisa kau menikah.” Geva protes, dia menatap Damas meminta keadilan. Apa yang kurang dari yang dia lakukan? Dia sudah berusaha keras hingga rasanya hidup di neraka pun dia mencoba tersenyum demi bersama dengan suaminya. Pernikahan mereka baru satu tahun, tapi sesuatu berubah dengan sangat cepat sekali. Plak!“Duh, kau ini ternyata bodoh.” Warda, adik Damas menatap Geva dengan tatapan mata yang begitu merendahkan. “Jadi wanita kok tidak tahu diri.” Dia menarik senyumannya ke belakang, membuat tubuh Geva rasanya seakan gatal dengan cara yang menyakitkan. “Kakakku itu tidak menganggapmu. Untuk apa menikah denganmu yang bodoh dan tidak berguna?” Warna melirik ke arah lain. “Lihat, kau memecahkan piring lain. Kau kan tidak punya uang. Pakai otakmu, dong.” Jari telunjuk Warda menempel di kepala Geva lalu mendorong-dorong kepala Geva berulang kali. Dia tidak memperlakukan Geva dengan baik, berulang kali melakukan hal seperti itu dengan mengatakan dirinya lebih baik. Di masa lalu, di awal pernikahan, Warda sangat menempel pada Geva. Dia memberikan Geva perhatian sederhana dan harus dibalas dengan perhatian lebih besar. Misalnya Geva harus membelikannya barang-barang mewah atau uang saku yang besar. Saat itu Geva adalah anak orang kaya, tidak ada yang tahu kalau kekayaan itu akan dengan cepat habis. Karena ayahnya yang kaya itu terlilit hutang perusahaan yang menyebabkan kebangkrutan di akhir hayatnya, jadi meninggalnya ayah Geva selain membuat Geva sangat syok juga membuat keluarga suaminya syok—mereka tidak bisa mendapatkan kemewahan itu dengan gratis. “Aku ini hamil anak, Damas. Tiga bulan lagi aku akan melahirkan ... aku tidak ingin memiliki madu.” Geva menelan ludahnya. Tubuhnya bergetar dengan hebat dan tiba-tiba saja seseorang menampar perutnya yang membuncit itu. “Ini pasti bukan anak Damas. Kau itu membuat banyak alasan yang menggelikan. Kalau tidak berguna lagi lebih baik angkat kaki dari sini.” Lina memberikan tatapan yang sangat tajam. Dia menilai Geva dengan hina. Seseorang yang tidak memberikan keuntungan harus digantikan dengan segera. Setelah ayahnya meninggal, dia tidak bisa hidup cukup santai di rumah ini lagi walaupun sebelumnya mereka mengatakan untuk hidup santai saja. Ya, dia diperlakukan seperti ratu sebelumnya. Tiba-tiba kematian ayahnya tiba dan fakta dia tidak memiliki uang membuat mereka semua menjadi murka. Iblis muncul dari dalam diri mereka dan memperlakukan Geva seperti pembantu. Dia melakukan semuanya dan akan mendapatkan makian jika melakukan sesuatu yang tidak disukai. “Ini anak Damas, Bu!” Geva meninggikan suaranya, dia menatap Lina lebih berani dan itu membuat Lina tidak terima. Grep!Tangannya langsung menjambak rambut Geva yang panjang, membuat tubuh Geva hampir saja terjatuh. Dia memegang tangan Lina yang menjambaknya dan memberikan rasa sakit di kepala. Walaupun kakinya gemetar hebat, tapi yang dia dengar adalah suara cekikikan. “Kau berani meninggikan suara padaku?” tanya Lina dengan suara yang sangat tinggi. “I-Ibu ... maafkan aku, Bu. Tapi ini memang anak Damas. Aku tidak pernah keluar dari rumah, Bu ... tolong lepaskan, Bu.” Geva akhirnya menangis, dadanya terasa sangat sesak sekali yang membuatnya terasa sakit luar biasa dengan keadaan seperti ini. “Aku akan menjaga Damas dengan baik. Jauh lebih baik darimu.” Wanita yang dibawa Damas tiba-tiba saja bicara sambil memeluk erat lengat Damas dengan manja. Dihadapan Geva, dia membuat adegan yang menyakitkan bagi Geva, sekian dia menempelkan dadanya yang besar di lengan Damas, dia menyentuh dagu Damas dengan manja. “Dengarkan Indah bicara! Wanita terhormat itu seperti itu! Dasar bodoh!” Lina mendorong kepala Geva ketika dia melepaskan jambakannya dan hal ini hampir saja membuat Geva terjatuh ke lantai, untungnya dia bisa menyeimbangkan dirinya dengan sangat cepat. “Aku istrinya, yang bodoh itu wanita yang dibawa Damas. Bisa-bisanya dia bersikap murahan pada suami orang lain.” Geva menggigit sedikit bibirnya untuk memberikannya keberanian. Tapi ucapannya sangat memancing amarah. Plak! “Dasar tidak tahu diri. Beraninya orang rendahan sepertimu mengejekku? Kau seharusnya tahu tempatmu, kalau kau wanita jelek tidak berguna.”Indah menatapnya dengan sangat rendah, semua orang yang ada di sana menatapnya juga seperti itu. Mereka membuat kepedihan yang luar biasa pada Geva. Saat suaminya bergerak, itulah hal yang sangat menyakitkan baginya. Damas merangkul Indah dengan manja, dia memberikan tatapan mata yang penuh penghinaan pada Geva. “Kau harus sadar diri. Berani sekali kau bicara omong kosong pada calon istriku. Kau memang harus diberi hukuman.” Damas memegang tangan Geva, lalu menariknya ke arah pintu bagian belakang rumahnya. “Mas! Mas! Apa yang akan Mas lakukan!?” Geva berusaha untuk menahan dirinya untuk tidak mengikuti Damas yang telah membuka pintu belakang. Warda membantu apa yang dilakukan oleh Damas, dia mendorong punggung Geva hingga akhirnya dia melewati pintu bagian belakang itu. “Mas! Jangan kurung aku!” Geva menangis keras karena tahu hal seperti ini akan terjadi lagi. Sudah lebih dari sekali dia dikurung diluar tidak boleh masuk oleh Damas. “Makanya jangan jadi wanita tidak tahu diri. Sudah jelek, miskin, dan bodoh!” Warda tertawa besar ketika mengatakannya. Dia membuat sekana-akan ucapannya itu adalah kebenaran. “Kau harus diberi pelajaran agar tahu kalau kau itu salah. Aku menyesal menikah denganmu.” Damas menyibak rambutnya ke belakang, setelah menatap rendah selama beberapa detik, dia menutup pintu dan menguncinya. Geva mencoba membuka pintu, tapi tidak berhasil hingga dia meringkuk dengan menyandar di pintu bagian belakang. Dia menangis deras di sana dengan tubuh menggigil kedinginan. “Setidaknya pikirkan anakmu, Mas ... ini anakmu ....” “Ah, keluarga itu sungguh gila.” Geva mendengar suara wanita yang cukup keras, dia mengangkat kepalanya dan melihat ke sumber suara. Santi adalah tetangga sebelahnya, kebetulan sekali dia membuang sampah pada malam itu, dan mata mereka berdua bertemu sekarang. Santi melambaikan tangannya, dia memberikan senyuman tulus pada Geva yang menggigil hebat. “Gev, ayo,” ajaknya dengan suara lembut dan mengulurkan tangannya.Di dalam rumah Santi, Geva diberikan selimut yang hangat serta coklat hangat yang baru saja dibuatkan oleh Santi. “Gev, mereka semua tidak normal, ya. Bisa-bisanya memperlakukan hal kejam ini pada dirimu. Keluarga itu memang ... ah, luar biasa sekali buruk.” Santi membuat ekspresinya ditekuk. Dia sungguh kesal melihat kejadian tadi dan merasa sangat kasihan sekali dengan Geva yang sedang hamil besar seperti ini. “Kau tidak ingin cerai saja, Gev?” tanya Santi dengan tatapan mata yang sedih. Sebagai seorang ibu dan wanita dia merasakan kesedihan yang muncul dari wajah Geva. Ini terlalu berat, dia bahkan saat membuatkan minuman hangat untuk Geva meneteskan air mata. “Anakku sebentar lagi lahir, Mbak. Jadi, aku harus bertahan demi anakku, Damas juga nanti akan berubah. Dia sangat mencintaiku,” jelas Geva dengan senyuman yang begitu lemah. Dia membuatnya dengan susah payah, karena dia sebenarnya akan menangis ketika bicara seperti itu. Untungnya dia berhasil menangis tapi dia teta
Suara decitan roda mobil dan juga bau badan terbakar membuat gendingnya berkerut dan berkedut berulang kali. “Axton,” panggil seseorang pada pria yang tadi sedang mengingat sesuatu sambil memejamkan matanya. “Ada apa?” Axton membuka matanya, tapi dia tidak menggerakkan kepalanya sama sekali, hanya memberikan tatapan dengan cara melirik. “Apa kau sama sekali tidak ingin pergi ke acara pesta itu?” Pria itu bernama David, dia salah seorang teman Axton yang bisa sabar menghadapi sikap Axton. “Tidak. Mereka pada dasarnya juga tidak dekat denganku, jika aku datang ke sana, rasanya sangat memuakkan.” Axton akhirnya membenarkan posisi duduknya. Dia melihat ke arah berkas lain yang ada di mejanya. “Kau ini seharusnya bersosialisasi dengan orang lain menghadiri pesta itu bisa meningkatkan relasi.” Axton mengibaskan tangannya beberapa kali, dia benci sekali mendengar ucapan itu. Telinganya terasa panas. “Padahal banyak wanita yang menantikan kehadiranmu di sana.”“Aku tidak peduli,” jawa
Geva seperti sebelumnya terjatuh tertidur di rumah Santi, ketika dia membuka matanya, dia telah disajikan dengan makanan yang enak. Santi menatapnya dengan lembut. “Maafkan aku karena membuat mbak lagi-lagi memasak seperti ini.” Geva mengusap tengkuknya dengan malu. Dia tidak nyaman dan takut sekali sudah berbuat sesuatu yang tidak sopan pada Santi. “Aku pernah mengatakannya padamu kalau kau adalah tamuku.” Geva diam saja datang pikiran yang masih tidak nyaman. Dia sudah banyak menerima kebaikan seperti ini dari orang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya. Hal ini bisa membuatnya tampak seperti orang yang tidak tahu diri karena tidak bisa membalas kebaikan yang diberikan oleh Santi. “Untuk sekarang Lebih baik kau tinggal di sini saja,” ucap Santi sambil meletakan telur di piringnya dan piring Lala. “Tapi, Mbak, aku tidak bisa tinggal di sini karena kita akan menyusahkan, Mbak. Apalagi suami Mbak sebentar lagi kembali.” Geva menunduk, jika harus ada wanita lain d
Baru kali ini Santi dipanggil oleh bosnya. Dia sangat khawatir sekali dengan apa yang akan dia dapatkan nanti. Bisa saja dia mendapatkan masalah karena bos yang memanggilnya adalah pria dingin yang selalu menjaga sikapnya, garis batas antara bos dan karyawan akan sangat terasa sekali jika berhadapan dengan Axton. Wajahnya yang tegas terlihat tampan, para wanita akan terpesona dengan wajah itu tapi mereka kemudian akan menangis setelahnya. “Apa hubunganmu dengan wanita tadi?” Pertanyaan yang sangat mengejutkan membuat kening Santi mengerut secara langsung. Dia menatap Axton dengan bibir yang terbuka kecil. Dia ... apa tidak salah dengar sama sekali?“Kau mendengarku, kan?” ucap Axton dengan tegas membuat Santi gelagapan. “A-ah! Ya, Presdir. Saya mendengar dengan baik.” Santi kembali memikirkan kembali secara perlahan wanita mana yang dibicarakan. Satu-satunya wanita yang dia temui yang dia pikirkan hanyalah Geva. “Maksud Presdir itu wanita hamil yang mendatangiku, kan?” tanyanya a
Santi membelalakkan matanya. Dia tahu kalau tampaknya bosnya ini mengenal Geva, dan sudah meminta untuk ditemukan dengan Geva padanya. Tapi dia sangat terkejut sekali karena saat para karyawan telah pulang, Santi dicegat oleh Axton. “Presdir, apa ada pekerjaan saya yang belum selesai?” Santi bertanya dengan senyuman yang lembut. Dia menjaga sikapnya agar tetap sopan di hadapan pria yang dingin ini. “Masuklah,” titahnya dengan suara yang rendah. Santi tampak ragu-ragu mendengar ucapan itu. Belum pernah dia masuk ke dalam mobil presdirnya. Satu-satunya orang yang pernah berada di samping Axton adalah Egar—Sekretaris pribadinya. Axton melirik sebelahnya, hal itu telah menjadi penegasan untuk Santi segera masuk ke dalam mobil Axton. Dengan menguatkan dirinya, Santi masuk dan duduk dengan canggung di sebelah Axton. Sang sopir tetap tenang, dia juga sangat terkejut dengan tindakan tuannya ini. Seorang wanita masuk ke dalam mobil tuannya yang selalu menolak wanita, apakah itu tidak sala
Suasana itu sangat canggung walaupun Axton berulang kali ingin mencairkan suasana. Geva sangat waspada, dia menjaga sikapnya dalam memperlakukan Axton karena dia menghormati Axton yang merupakan sepupu Santi. Sedangkan Axton mengamati Geva, dia memastikan cerita Santi dan merasa perih melihat Geva yang seperti ini. “Kalau begitu aku pulang dulu. Lain kali aku akan main ke sini lagi, Mbak Santi.” Axton berdiri sambil melihat Santi, dia tidak ingin kalau Santi melarangnya dan penanganannya tadi telah membuat Santi paham dengan sangat jelas. Geva juga berdiri, dia ikut mengantar Axton yang berjalan ke luar rumah bersama Santi walaupun terlihat sekali kalau dia melakukannya dengan sangat kikuk sekali. “Ibu, mereka keluar.” Warda yang dengan sengaja duduk di luar dengan cepat berteriak pada ibunya. Dia merasa sangat penasaran sekali dengan sosok pria yang ada di rumah Santi. Saat dia melihat Geva secara tidak sengaja, ekspresinya langsung keras. Dia membenci Geva dan ingin menjambak r
Egar datang ke kantor dengan wajahnya yang terlihat sangat mengantuk, dia telah berhasil mendapatkan apa yang diinginkan Axton dengan mengorbankan waktu tidurnya yang sangat minim.“Pagi, Tuan Egar.” Beberapa karyawan menyapanya dengan ramah, Egar mengangkat tangannya sambil tersenyum cepat dan mengubah ekspresinya lagi kesemula—datar seperti kisah cintanya.. Dia menegakkan tubuhnya dengan benar, masuk ke dalam lift sambil melihat lampu lift berganti dengan cepat hingga mencapai lantai tertinggi gedung ini. Saat pintu lift terbuka, Egar seperti biasa mempersiapkan semuanya dengan cepat. Dia tidak mau kalau Axton akan membuat perintah dengan ekspresi yang menakutkan. Setelah beberapa puluh menit dia melakukan persiapan pekerjaan untuk hari ini, orang yang dia tunggu telah tiba dengan ekspresi yang senang. Seolah-olah ada bunga yang bermekaran di sekitarnya. Dia tampak lebih tampak dan hangat seperti matahari pagi dengan cahaya keemasan yang indah. “Selamat pagi, Tuan Axton. Saya i
Geva sangat geram sekali mendengar ucapan Damas. Tidak cukup selama ini Damas menyakitinya. Bisa-bisanya pria yang tidak tahu malu itu mengatakan kalau dia sok suci? Dia bahkan tidak membiarkan Geva untuk melalui rasa sakit sebelumnya. Brak!Geva membanting tumpukan sampah yang ada di tangannya tadi, dia melihat Damas dengan nyalang. “Aku di sini yang korban. Kau memilih wanita lain dibandingkan aku, kau yang berbuat buruk tapi sekarang kau mengatakan aku sok suci? Apa otakmu itu rusak, Damas?”Geva mengatakannya dengan tatapan yang tajam. Damas terkejut, hatinya snagat tidak tenang sekali mendengar ucapan Geva yang bahkan tidak memanggilnya mas seperti dulu. “Kau hanya sok polos saja. Pantas saja ibu mengatakan kalau anak di dalam kandunganmu itu mungkin saja bukan anakku. Kau bahkan sudah bersama dengan pria lain.” Damas menyeringai. Dia menekankan setiap kalimatnya pada Geva yang sedang memegang perutnya. “Satu keluargamu bermulut sampah, Damas. Aku bahkan tidak pernah keluar