Geva sangat geram sekali mendengar ucapan Damas. Tidak cukup selama ini Damas menyakitinya. Bisa-bisanya pria yang tidak tahu malu itu mengatakan kalau dia sok suci? Dia bahkan tidak membiarkan Geva untuk melalui rasa sakit sebelumnya. Brak!Geva membanting tumpukan sampah yang ada di tangannya tadi, dia melihat Damas dengan nyalang. “Aku di sini yang korban. Kau memilih wanita lain dibandingkan aku, kau yang berbuat buruk tapi sekarang kau mengatakan aku sok suci? Apa otakmu itu rusak, Damas?”Geva mengatakannya dengan tatapan yang tajam. Damas terkejut, hatinya snagat tidak tenang sekali mendengar ucapan Geva yang bahkan tidak memanggilnya mas seperti dulu. “Kau hanya sok polos saja. Pantas saja ibu mengatakan kalau anak di dalam kandunganmu itu mungkin saja bukan anakku. Kau bahkan sudah bersama dengan pria lain.” Damas menyeringai. Dia menekankan setiap kalimatnya pada Geva yang sedang memegang perutnya. “Satu keluargamu bermulut sampah, Damas. Aku bahkan tidak pernah keluar
Kedua orang itu menatap Geva dengan tatapan mata yang tenang, walaupun di dalam hati mereka sama sekali tidak senang. Mereka berdua sangat tahu apa yang terjadi pada Geva. Matanya membengkak, yang membuat mata berwarna coklat indah itu nyaris hampir tidak terlihat. Geva tersenyum, berusaha dengan sangat keras sekali untuk menguatkan dirinya yang rapuh. “Keluarga sialan itu lagi-lagi melukaimu? Mereka melakukan apa lagi ketika aku tidak ada, Gev?” tanya Santi sangat khawatir dalam lubuk hatinya. “Bagaimana dengan yang aku katakan tadi, Gev?” tanya Axton menunjukkan senyumannya. Dia ingin menghancurkan suasana tidak menyenangkan ini. Geva tidak boleh berlarut dalam kesedihan yang bisa sangat berbahaya sekali untuk dirinya. “Tapi apa aku tidak perlu membayarnya?” Geva menatap Axton, matanya yang terlihat sayu itu membuat tubuh Axton berdesir. Dia tidak menyukai ini dan ingin segera menghapuskan rasa sakit itu. Tetapi sesuatu tidak bisa dihilangkan begitu saja apalagi mereka berdu
Dia baru saja keluar dari kamarnya, hal mengejutkan telah membuatnya tidak mampu berkata-kata. Dia ingin menyalahkan hormon kehamilannya yang selalu membuatnya mengantuk, tapi dia tidak bisa mengatakan itu adalah salah kehamilannya. Ada perasaan yang sangat tidak menyenangkan pada dirinya jika dia menyalahkan kehamilannya yang telah membuatnya begini. Rasanya, seperti dia ikut membuat anaknya sedih. “Kau tidak duduk, Geva? Duduklah, jadi kita bisa sarapan bersama.” Axton berkata sambil tersenyum. Ini pemandangan yang indah. Selain wajahnya yang tampan luar biasa, tapi ada banyak menu sehat di atas meja yang terlihat sangat enak. Wanginya saja telah membuat mulut Geva berliur, dia ingin segera merasakan makanan yang ada di atas meja. Tubuhnya seolah terdorong untuk duduk begitu saja. Dia duduk di kursi dan memandang Axton yang masih memandangnya sambil tersenyum. Dia seperti tersihir sejenak, lalu menggelengkan kepalanya setelah dia menyadari sesuatu. “Ah, maaf ... tampaknya di ha
Dia mirip sekali dengan anjing pemburu yang tidak akan melepaskan mangsanya begitu saja. Egar mengamatinya dan sangat tahu sekali tentang hal itu setelah melihat sikap Axton saat berurusan mengenai apa pun yang berkaitan eengan Geva. Tapi ... Axton persi anjing pemburu yang manisnya. Selain jika bukan berurusan dengan balas dendam. Dia tersenyum cerah melihat selembar foto yang ada di tangannya. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, membuat kursi itu berputar seakan-akan dia berada di taman ajaib milik peri. Dia senang sekali dengan informasi baru ini yang disampaikan oleh Santi. “Jadi, anaknya laki-laki?” tanyanya tanpa melihat ke arah Santi. Foto 3d USG ini sedang dipandangnya. Tampak wajah bayi yang begitu menggemaskan, dia mengusapnya beberapa kali. “Ya, Presdir. Semuanya sehat dan tidak kekurangan apa pun saya sangat senang sekali melihat hal itu, Geva juga menangis ketika mendengar ucapan dokter.” Axton segera membuat posisi duduknya lebih tegap dengan sangat kasar. “Ke
Semakin hari mereka semakin dekat, Geva juga heran kenapa pria tampan yang sukses ini ternyata begitu ramah padanya ketika bicara? Dia tidak pernah menyinggung tentang dirinya dan juga selalu perhatian. “Ini banyak sekali, Axton.” Geva terkejut melihat baju-baju bayi yang dibawakan oleh Axton. Axton sekarang tidak pernah datang bersama dengan Santi lagi, dia sering kali datang sendirian dan selalu bicara dengan Geva. Sedangkan Santi masih sering mengunjungi Geva walaupun tidak setiap hari seperti Axton. “Ini?” tanya Axton pada Geva. “Hadiah kecil, jangan memikirkannya. Ini tidak membuatku miskin,” rayunya dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Geva juga tahu itu tidak membuat Axton miskin. Tapi tetap saja itu menggunakan uang Axton. “Tapi kau sering memberikan banyak barang, Axton. Lihatlah kamar satunya, kau telah menghiasnya untuk menyambut anakku yang akan lahir di dunia ini. Sudah ada mainan, peralatan bayi, dan lainnya. Aku tidak enak padamu, Axton. Aku seperti memanfaatkan
Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya, Geva segera membuka pesan itu dan membaca pesan yang tertampil di layarnya. “Nanti malam Mbak akan ke sana sama Lala. Kau mau dibawakan apa?” Pesan itu langsung membuat Geva tersenyum. Jarinya dengan sangat lincah mengetikkan pesan balasan untuk Santi. “Jangan bawa apa pun, Mbak. Kedatangan Mbak sama Lala di sini saja sudah membuatku sangat senang sekali.” Bagi Geva, Santi telah melakukan banyak hal yang membuat kehidupannya lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dia telah keluar dari tempat yang sangat buruk sekali, dan membuatnya bisa menikmati hidup. Geva kembali melanjutkan pekerjaannya lagi, dia membantu Mary membereskan rumah, seperti menyapu rumah di saat Mary sedang sibuk memasak makan malam untuknya. Geva sering kali diam-diam melakukan pekerjaan walaupun telah dilarang oleh Mary berulang kali dan Axton. Karena itulah, dia selalu mengambil kesempatan yang datang padanya ketika Mary lengah. Dengan begitu dia akan merasa tenang dan tidak
Pipinya ditampar, rasa sakitnya terasa begitu perih. Dia tidak menduga akan mendapatkan perlakuan seperti ini di tempat umum.Tidak, dia seharusnya memahaminya dan tidak terkejut. Kalau wanita di depannya ini tentu saja bisa melakukan sesuatu yang kejam seperti ini. Dia adalah wanita lancang yang tidak memiliki hati. “Memang tidak tahu malu kau!” Geva sontak saja teriak sambil memegang pipinya. “Kaulah yang tidak tahu. Bisa-bisanya berada di sini, berkeliaran dengan perut yang mengandung anak yang mungkin adalah anak haram itu.” Indah memandang rendah Geva sambil tertawa mengejek. Menyakitkan dan membuat tubuh Geva bergetar dengan hebat. Terutama ketika Geva melihat Damas yang mengikuti Indah tertawa kecil atas ucapan yang sangat tidak menyenangkan hatinya. “Dasar kalian berdua sungguh manusia hina. Kalian sama sekali tidak pantas ada dunia ini. Sangat memalukan! Bisa-bisanya orang tidak tahu malu seperti kalian malah seolah-olah orang paling suci.” Geva menarik napasnya sejenak.
Geva menggenggam tangan Axton dengan erat. Tatapan matanya yang tajam itu penuh tekad. “Kau harus membantuku. Kau sudah berjanji.” Napasnya berat tapi dia berhasil mengatakan apa yang dia inginkan sampai selesai. Axton melepaskan tangannya yang digenggam Geva dengan lembut, lalu kembali memegang tangan Geva lebih nyaman sambil mengusap tangannya beberapa kali. “Aku akan membantumu. Apa pun yang kau inginkan, akan kubantu kau melakukannya, Gev.” Sejak dulu sekali dia ingin membuat pria sialan dan semua orang yang menyakiti Geva menderita. Tapi dia ingin Geva juga menikmati puasnya membalas dendamnya sendiri. Itu akan memberikan kekuatan pada Geva nantinya, seperti yang pernah dia lakukan. Kenyataannya, orang-orang akan berpikir beberapa kali untuk bisa menyerangnya sekarang. “Aku ... ingin mereka merasakan sakit. Menangis sampai menyembah di kakiku.” Bayang-bayang dari apa yang pernah dilakukan oleh mereka semua teringat kembali di ingatan Geva. Banyak yang telah dia korbankan ke
Setelah seharian Delvin diberi perawatan di IGD, akhirnya dia sadar ketika di ruangan itu hanya ada mereka bertiga. Geva terus duduk di samping Delvin, wanita itu tersenyum dan terus menggegam tangan mungil Delvin.“Delvin, putra ibu … apa kau merasakan sakit nak?” tanya Geva dengan lembut. Dia melebarkan senyumannya, tak membiarkan matanya terlihat jelas merah dan sembab.Sementara Axton dan Xavel duduk di kursi penunggu di sudut ruangan yang dingin. Mereka berdua duduk saling berhadapan dan diam satu sama lain. Sesekali mereka saling menatap tajam dan lalu membuang wajah dengan cepat. Di hari sebelumnya, Xavel sudah berusaha meminta maaf pada Geva. Dan Ibu muda itu sudah memaafkan Xavel, dia bahkan tak menganggap itu adalah kesalahan Xavel. Tapi lelaki pemilik restoran itu menyadari keteledorannya karena dia sendiri yang menentukan setiap menu makan malam dan sarapan mereka. Sementara Axton yang sudah pernah melihat Xavel ingin menggagalkan lamarannya membuat dia menjadi tidak me
Geva mondar mandir di depan ruang pemeriksaan, sementara Axton sedikit menjauh dari Geva dengan ponselnya. Untuk beberapa saat Axton mengerutkan dahinya, dia menekan suaranya ketika berbicara dari balik telepon. Geva mulai menggigit ujung jarinya, matanya berkaca-kaca, pandangannya fokus melihat Delvin dari balik kaca kecil di pintu rawat darurat. Setelah beberapa saat, sang dokter yang memeriksa Delvin keluar menghampiri Geva yang sudah memasang wajah khawatir. Axton meliriknya sekilas sebelum akhirnya dia mematikan ponselnya sepihak dan ikut berdiri di samping Geva. Lelaki itu dengan lembut menaruh tangannya di sisi pundak Geva dan mengelusnya dengan pelan, mencoba menenangkan ibu muda itu.“Dok, apa yang terjadi dok? Putra saya tidak apa-apa kan?” tanya Geva yang terburu-buru. Geva tak mengindahkan penenangan Axton, melihat sang dokter baru keluar dari ruangan, dia langsung menghampirinya dan memasang wajah cemas. Sang dokter mengangkat alisnya, dia memberikan isyarat pada Geva
Hari di mana mereka akan hiking tiba, Geva tak membawa banyak barang karena dia menyewa pemandu yang juga membawakan barangnya. Jadilah dia bisa menggendong Delvin seorang, tanpa gangguan. Tapi sejak semalam dia menghindari pembicaraan dengan semua orang“Perjalan ini tak akan panjang kan? Aku benci berjalan kaki,” celetuk Feya. Sementara Santi menyadari gelagat aneh Geva. Dia memelankan langkahnya yang awalnya berada di tengah kini mundur menjadi paling akhir, dia membiarkan yang lainnya berjalan lebih dulu. Di depan mereka tim reparasi tengah asik sendiri mengobrol dengan seru. “Gev, kau kenapa?” tanya santi. “Sudah lelah?” tanyanya lagi dengan khawatir.“Tidak kok mba, Delvin juga tidak begitu berat. Aku memang ingin jalan paling belakang agar bersama dengan pemandu, lebih dekat dengan barang-barang delvin,” ujarnya memberi alasan.“Lalu kemana Axton dan Xavel? Kenapa mereka tidak ikut dengan kita sekarang? kudengar mereka memilih menyusul sebenarnya apa yang terjadi?” tanya San
Geva tersenyum dengan perlakuan manis Xavel. Di saat yang bersmaaan, Axton menatap Geva dan Xavel. “Xavel!” teriaknya. Suaranya terdengar sangat marah ketika dia melihat Xavel berjongkok di depan Geva. Dia mengahampiri Xavel dan menarik kerahnya, “apa kau mencoba mengambil gadisku?” tanay Axton dengan keras di depan Geva. Geva yang masih bersama Delvin seketika bingung, “Axton! Delvin masih di sini, jangan mempertontonkan kekerasan padanya!” Geva mengucapkannya dengan tegas. Saat tengah bertengkar begitu, Axton tak sengaja menjatuhkan sebuah kotak cincin di dekat Geva. Geva yang melihat itu sempat bingung tapi kemudian dia mengajak Delvin pergi dari sana. dia memilih mengabaikan Axton dan Xavel yang ingin bertengkar dan memukul satu sama lain. Xavel tertawa kecil, “Jadi kau berniat menembak Geva? Bagaimana jika kita bersaing? Aku sejak tadi memang memikirkan hal yang sama, aku memang tak punya cincin untuk Geva tapi aku bisa memberikan ini padanya.” Xavel menunjukkan kalungnya. “I
Di malam pertama mereka merayakan hari kebahagiaan dan kemenangan itu, Geva mengajak mereka semua makan malam dan istirahat di hotel Xavel. Keesokan harinya baru mereka akan melakukan pendakian kecil sampai ke tempat di mana mereka akan membuka tenda untuk camp dan barbeque.Di saat semaunya tengah berkumpul, Geva dan Axton berada di kursi yang bersebelahan, di sebelah lainnya ada Santi dan putrinya. Lalu Di samping Santi ada Xiao Ling dan Egar. Di sisi lain meja ada tim reparasi dan Xiao Ling termasuk ke dalam sisi lain itu. Di saat mereka tengah menunggu karyawan restoran menyiapkan semua makan malam mereka, Xavel datang. Axton awalnya terkejut, lalu dia menatap ke arah Geva, “Kau mengundangnya juga?” tanya Axton. Padahal dia belum selesai dengan rasa cemburu ketika beberapa jam lalu Geva menjelaskan mereka bertemu hari itu tanpa sengaja.“Hi Gev, terima kasih sudah mengundangku!” seru Xavel dengan wajah sumringah. Geva buru-buru berdiri dan menyambut Xavel. “Hi! Untung kau datang
Geva dan Axton turun dari mobil Van bersamaan ketika ketiga Van lainnya sampai. Tapi Van hitam terlihat sangat aneh, mereka memarkirkan mobil mereka jauh dari parkir yang ada, mereka parkir di dekat jalan masuk toilet luar atau umum. “Itu mobil yang tadi kan?” celetuk Geva dan Xiao Ling secara bersamaan.“Kau melihatnya juga Gev? Mereka seperti orang gila. Mengebut dengan kecepatan itu di jalanan yang tidak sepi. Aku akan mendatanginya dan melapor ke polisi terkait yang kulihat tadi.” Xiao Ling memprotes dan mulai berjalan ke arah mobil Van hitam itu.Dan saat Geva dan Xiao Ling mendekati mobil van itu, seorang wanita duduk di tanah di depan kap mobil van itu. “A-ada apa?!” tanya Geva yang sedikit terkejut dengan kondisi Feya, dia belum tahu bahwa itu adalah tim reparasi teman dari Egar. Yangg Geva lihat dia wanita yang seperti membutuhkan pertolongan. Jadilah Geva langsung menghampirinya dan hendak ingin menolongnya. Tapi saat Geva berlutut di depan wanita yang terlihat ngos-ngosan
“Kak Xiao, bersediakah kau ikut bersamaku?” Tanya Egar dengan tatapan sendu di depan Xiao Ling.Kejadian itu seketika mengundang perhatian dua staf yang tertahan di depan pintu. Mereka berdua seperti memergoki dua sejoli yang sedang mabuk kasmaran dan karena tak ingin mengganggu, dua orang itu memilih bersembunyi dari balik dinding. Dan ketika ada staff lain yang ingin masuk, mereka menahannya. Mereka berdua malah mengajak staf lain ikut mengintip dan menguping pembicaraan intens Egar Dan Xiao Ling. “Ayo! Terima dia kak Xiao!” ujar salah satu staf dengan suara berbisik, dia setengah berteriak dan menyoraki dua orang itu yang membuat mereka ikut merona di masing-masing pipi mereka. ***“Dasar Axton sialan!” gerutu Egar di dalam mobil Van hitam yang musiknya dinyalakan. Egar mengomel sejak dua hari lalu. Sejak dua hari lalu, karena Axton yang menolak ajakan pertemuan dengan pak Kim, dia harus menerima rumor dia tengah berkencan dengan Xiao Ling. Dan yang lebih buruk adalah, Pak Kim
Saat mereka telah sampai di depan rumah Geva. Geva turun dan berbicara dari luar, “Jadi apa kau menemukan jawaban?” tanya Geva pada Xavel setelah turun dari mobilnya.“Ya, begitulah ternyata itu hanya kebetulan sama saja. Aku dulu Sekolah menengah pertama di distrik Biru sebelah barat. Ternyata kita tidak pernah satu sekolah.” Ujar Xavel pada Geva dari dalam. Dia tidak ikut turun karena masih ada pekerjaan yang ingin dia lakukan.Geva hanya bisa menatap punggung mobil itu semakin jauh, dan masuk ke dalam rumah. “SMP distrik Biru Barat?” Geva bergumam kecil di saat dia masuk ke rumahnya. Banyak hal yang sudah terjadi selama 33 tahun, banyak hal yang Geva coba lupakan termasuk bekas pembuliannya sejak dia masih menginjak sekolah dasar. Jika di total, mungkin ada sekitar sepuluh kali dia berpindah sekolah. Ketika SD menjadi bahan bulian para siswi yang iri pada Geva, karena dia termasuk keluarga berada. Lalu saat SMP dia yang di bully di satu bulan sekolah pertamanya, hanya karena dia
Xavel menunggu di samping mobilnya yang dia parkirkan tepat di depan hotelnya. Dia tengah menelpon sebelum melihat Geva keluar dari pintu utama dengan menenteng banyak makanan take away. Xavel kemudian melambaikan tangan dan menuju ke Geva. “Biar aku bantu,” ujarnya ketika dia selesai menelpon dan memasukkan kembali teleponnya di saku celana. “Ayo, mobilku di sana,” Ajak Xavel. Geva hanya termenung, “Hah? trvel ku,” gumam Geva yang sejak keluar dari tadi tak melihatnya. “Kemana sih dia?” gumamnya lagi kali ini dengan kesal. Sementara belanjaannya sudah di bawa Xavel. Geva mau tak mau mengikuti langkah Xavel, “Apa kau yang menyuruh travelku meninggalkanku?” Tanya Geva dengan nada serius. Dia memang sudah merasa bingung dengan sikap Xavel sejak tadi ketika masih di depan resepsionis restoran.“Iya,” jawabnya dengan polos. “Aku kan sudah mengatakan akan mengantarkanmu, ada yang ingin aku bicarakan,” jelasnya dengan lugas. “T-tapi aku belum membayarnya!” gertak Geva lagi setengah kesa