Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya, Geva segera membuka pesan itu dan membaca pesan yang tertampil di layarnya. “Nanti malam Mbak akan ke sana sama Lala. Kau mau dibawakan apa?” Pesan itu langsung membuat Geva tersenyum. Jarinya dengan sangat lincah mengetikkan pesan balasan untuk Santi. “Jangan bawa apa pun, Mbak. Kedatangan Mbak sama Lala di sini saja sudah membuatku sangat senang sekali.” Bagi Geva, Santi telah melakukan banyak hal yang membuat kehidupannya lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dia telah keluar dari tempat yang sangat buruk sekali, dan membuatnya bisa menikmati hidup. Geva kembali melanjutkan pekerjaannya lagi, dia membantu Mary membereskan rumah, seperti menyapu rumah di saat Mary sedang sibuk memasak makan malam untuknya. Geva sering kali diam-diam melakukan pekerjaan walaupun telah dilarang oleh Mary berulang kali dan Axton. Karena itulah, dia selalu mengambil kesempatan yang datang padanya ketika Mary lengah. Dengan begitu dia akan merasa tenang dan tidak
Pipinya ditampar, rasa sakitnya terasa begitu perih. Dia tidak menduga akan mendapatkan perlakuan seperti ini di tempat umum.Tidak, dia seharusnya memahaminya dan tidak terkejut. Kalau wanita di depannya ini tentu saja bisa melakukan sesuatu yang kejam seperti ini. Dia adalah wanita lancang yang tidak memiliki hati. “Memang tidak tahu malu kau!” Geva sontak saja teriak sambil memegang pipinya. “Kaulah yang tidak tahu. Bisa-bisanya berada di sini, berkeliaran dengan perut yang mengandung anak yang mungkin adalah anak haram itu.” Indah memandang rendah Geva sambil tertawa mengejek. Menyakitkan dan membuat tubuh Geva bergetar dengan hebat. Terutama ketika Geva melihat Damas yang mengikuti Indah tertawa kecil atas ucapan yang sangat tidak menyenangkan hatinya. “Dasar kalian berdua sungguh manusia hina. Kalian sama sekali tidak pantas ada dunia ini. Sangat memalukan! Bisa-bisanya orang tidak tahu malu seperti kalian malah seolah-olah orang paling suci.” Geva menarik napasnya sejenak.
Geva menggenggam tangan Axton dengan erat. Tatapan matanya yang tajam itu penuh tekad. “Kau harus membantuku. Kau sudah berjanji.” Napasnya berat tapi dia berhasil mengatakan apa yang dia inginkan sampai selesai. Axton melepaskan tangannya yang digenggam Geva dengan lembut, lalu kembali memegang tangan Geva lebih nyaman sambil mengusap tangannya beberapa kali. “Aku akan membantumu. Apa pun yang kau inginkan, akan kubantu kau melakukannya, Gev.” Sejak dulu sekali dia ingin membuat pria sialan dan semua orang yang menyakiti Geva menderita. Tapi dia ingin Geva juga menikmati puasnya membalas dendamnya sendiri. Itu akan memberikan kekuatan pada Geva nantinya, seperti yang pernah dia lakukan. Kenyataannya, orang-orang akan berpikir beberapa kali untuk bisa menyerangnya sekarang. “Aku ... ingin mereka merasakan sakit. Menangis sampai menyembah di kakiku.” Bayang-bayang dari apa yang pernah dilakukan oleh mereka semua teringat kembali di ingatan Geva. Banyak yang telah dia korbankan ke
Dia membuka kulkas dua pintu di depannya, di dalamnya telah penuh dengan kantong ASI yang diperah dari miliknya sendiri. Rambutnya yang lurus terlihat sangat rapi sekali. Tiga bulan yang lalu beratnya 65 kg, dengan tinggi 164 cm, sangat tidak ideal sekali untuknya. Tapi sekarang berat badannya telah 47 kg, membuat penampilannya tidak terlihat sama sekali kalau dia baru saja melahirkan anak. “Stok untuk Delvin telah siap.” Geva tersenyum cerah dan menutup kulkas yang memang dikhususkan untuk meletakan ASI Delvin. “Astaga! Jantungku!” Geva memegang dadanya sendiri, jantungnya mungkin akan melompat langsung jika tidak dihalangi oleh tulangnya. Dia menatap Mary yang ada di dekatnya sambil menggendong Delvin. “Ah ... kalian berdua ini muncul tiba-tiba saja seperti ninja.” Geva mengatur napasnya dengan baik, dia langsung tersenyum melihat wajah ceria Delvin. Dia mendadak menjadi sedih lagi. “Ibu akan meninggalkanmu, Delvin. Baik-baik sama Mary, ya.” Berat rasanya untuk Geva meninggalk
Keduanya saling menatap, minuman yang ada di depan mereka berdua memiliki jenis yang berbeda. Satu dingin, satunya panas tapi keduanya memiliki pikiran yang sama saat ini."Dia itu punya banyak hutang, di ujung kebangkrutan. Mereka terlalu sombong. Ucapan mereka membuatku marah.”Geva bisa mengetahui kalau ucapan Axton itu benar. Rahangnya yang tampak jelas dengan mata yang tajam, dia seolah siap menghajar orang yang sedang mereka bicarakan. “Tapi aku ingat kata Warda dia adalah anak orang kaya, alasan Damas menikah dengannya agar bisa menikmati harta Indah.” Geva memegang lengannya, terlihat kalau dia sedang merasa rendah diri sendiri. Sebuah pengalaman di masa lalunya telah membuatnya merasakan perasaan itu. “Tidak. Aku jauh lebih kaya dibandingkan mereka berdua, Gev. Aku bisa menyeret mereka dan membuat mereka menderita.” Tangan Geva langsung terangkat, dia panik sendiri dengan ucapan pria yang ada di depannya. “Tidak. Jangan melakukan tindakan kriminal seperti itu. Kita bisa
Lina geram sekali karena menantunya yang baru ini tidak bisa membereskan rumah sama sekali. Sekarang seenaknya saja dia berdiri dan membiarkan piring bekas makannya di atas meja makan. “Kau mau suruh siapa mencuci piring itu, Indah?!” Lina menaiki suaranya, dia menatap dengan tatapan mata tajam. “Tentu saja Ibu. Aku tidak bisa cuci piring, ibu tahu kan kalau jari-jariku ini dipenuhi dengan kuku palsu yang cantik dan mahal. Kalau aku cuci piring, kukuku yang mahal ini bisa rusak.” Lina kesal, dia merasa menjadi babu di rumahnya sendiri. Warda menahan ibunya dan menatap matanya, meminta ibunya yang sedang marah itu untuk menahan amarah.“kalau begitu lebih baik kakak mempekerjakan asisten rumah tangga, kan? Membereskan rumah dan sebagainya itu tidak menyenangkan sekali, jadi kita bisa santai nantinya.” Ekspresi Indah begitu senang mendengar apa yang dikatakan Warda. Dia langsung memeluk lengan Damas yang ada di sebelahnya. “Mas dengar sendiri kan. Apa kataku, lebih baik mempekerjak
Beberapa kali dia menghelakan napas, wanita yang duduk di depannya sejak tadi memperhatikannya sambil menggigit sedotan dari gelas minumannya. Dia sangat paham kenapa wanita berambut panjang di depannya tertekan. Jujur saja, dia juga tertekan. Dia ingin mengatakan segala hal mengenai apa yang terjadi sekarang. Sampai sekarang tampaknya rahasianya aman, tapi kasihan dengan Wanita ber-blouse biru muda di depannya ini yang sudah mereka bohongi.“Kau berkelahi lagi dengan Rena, Gev?”akhirnya dia bertanya apa yang sejak tadi mengganggunya. Geva ,enatap Santi dengan lemah, matanya itu berkedip pelan lalu dia terlihat sekali sedang memikirkan bagaimana caranya dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. “Kepalaku mau pecah, Mbak Santi.” Geva memegang kepalanya, matanya melihat bawah, terlihat kalau ada kerutan yang membuatnya tampak lebih lelah dibandingkan biasanya. “Kau dikerjain oleh Axton dengan pekerjaan yang banyak?” tanya Santi dengan topik lain. Semua orang di sini tahu betapa
Baju hitam dengan celana jeans yang sederhana, dia juga setengah menyisir rambutnya ke belakang tampak begitu tampan dengan tangan kanan membawa paper bag berisi mainan untuk Delvin. Saat pintu terbuka tepat di depannya, senyumnya langsung mengembang begitu saja. “Geva, apa kau sudah siap?” Suaranya yang berat namun begitu nyaman di telinga membuat kesan yang menyenangkan. Geva mengangguk, dia menyingkir agar Axton bisa segera masuk. Axton berjalan masuk tapi tatapan matanya terus melihat Geva yang telah menggunakan dres cantik berwarna merah muda. Pada bagian pinggangnya yang ketat, membuat pingga Geva terlihat lebih kecil lagi. Dress yang hanya selutut itu membuat kaki jenjang Geva yang mulus terlihat, dia semakin cantik dengan dres tersebut. “Di mana Delvin?” tanya Axton. Dia berusaha dengan sangat cepat mengalihkan tatapan matanya. Sejujurnya, tangannya tadi hampir bergerak lebih dulu dibandingkan otaknya. Dia hampir menarik Geva ke dalam pelukannya. “Nah, itu Delvin.” Geva
Setelah seharian Delvin diberi perawatan di IGD, akhirnya dia sadar ketika di ruangan itu hanya ada mereka bertiga. Geva terus duduk di samping Delvin, wanita itu tersenyum dan terus menggegam tangan mungil Delvin.“Delvin, putra ibu … apa kau merasakan sakit nak?” tanya Geva dengan lembut. Dia melebarkan senyumannya, tak membiarkan matanya terlihat jelas merah dan sembab.Sementara Axton dan Xavel duduk di kursi penunggu di sudut ruangan yang dingin. Mereka berdua duduk saling berhadapan dan diam satu sama lain. Sesekali mereka saling menatap tajam dan lalu membuang wajah dengan cepat. Di hari sebelumnya, Xavel sudah berusaha meminta maaf pada Geva. Dan Ibu muda itu sudah memaafkan Xavel, dia bahkan tak menganggap itu adalah kesalahan Xavel. Tapi lelaki pemilik restoran itu menyadari keteledorannya karena dia sendiri yang menentukan setiap menu makan malam dan sarapan mereka. Sementara Axton yang sudah pernah melihat Xavel ingin menggagalkan lamarannya membuat dia menjadi tidak me
Geva mondar mandir di depan ruang pemeriksaan, sementara Axton sedikit menjauh dari Geva dengan ponselnya. Untuk beberapa saat Axton mengerutkan dahinya, dia menekan suaranya ketika berbicara dari balik telepon. Geva mulai menggigit ujung jarinya, matanya berkaca-kaca, pandangannya fokus melihat Delvin dari balik kaca kecil di pintu rawat darurat. Setelah beberapa saat, sang dokter yang memeriksa Delvin keluar menghampiri Geva yang sudah memasang wajah khawatir. Axton meliriknya sekilas sebelum akhirnya dia mematikan ponselnya sepihak dan ikut berdiri di samping Geva. Lelaki itu dengan lembut menaruh tangannya di sisi pundak Geva dan mengelusnya dengan pelan, mencoba menenangkan ibu muda itu.“Dok, apa yang terjadi dok? Putra saya tidak apa-apa kan?” tanya Geva yang terburu-buru. Geva tak mengindahkan penenangan Axton, melihat sang dokter baru keluar dari ruangan, dia langsung menghampirinya dan memasang wajah cemas. Sang dokter mengangkat alisnya, dia memberikan isyarat pada Geva
Hari di mana mereka akan hiking tiba, Geva tak membawa banyak barang karena dia menyewa pemandu yang juga membawakan barangnya. Jadilah dia bisa menggendong Delvin seorang, tanpa gangguan. Tapi sejak semalam dia menghindari pembicaraan dengan semua orang“Perjalan ini tak akan panjang kan? Aku benci berjalan kaki,” celetuk Feya. Sementara Santi menyadari gelagat aneh Geva. Dia memelankan langkahnya yang awalnya berada di tengah kini mundur menjadi paling akhir, dia membiarkan yang lainnya berjalan lebih dulu. Di depan mereka tim reparasi tengah asik sendiri mengobrol dengan seru. “Gev, kau kenapa?” tanya santi. “Sudah lelah?” tanyanya lagi dengan khawatir.“Tidak kok mba, Delvin juga tidak begitu berat. Aku memang ingin jalan paling belakang agar bersama dengan pemandu, lebih dekat dengan barang-barang delvin,” ujarnya memberi alasan.“Lalu kemana Axton dan Xavel? Kenapa mereka tidak ikut dengan kita sekarang? kudengar mereka memilih menyusul sebenarnya apa yang terjadi?” tanya San
Geva tersenyum dengan perlakuan manis Xavel. Di saat yang bersmaaan, Axton menatap Geva dan Xavel. “Xavel!” teriaknya. Suaranya terdengar sangat marah ketika dia melihat Xavel berjongkok di depan Geva. Dia mengahampiri Xavel dan menarik kerahnya, “apa kau mencoba mengambil gadisku?” tanay Axton dengan keras di depan Geva. Geva yang masih bersama Delvin seketika bingung, “Axton! Delvin masih di sini, jangan mempertontonkan kekerasan padanya!” Geva mengucapkannya dengan tegas. Saat tengah bertengkar begitu, Axton tak sengaja menjatuhkan sebuah kotak cincin di dekat Geva. Geva yang melihat itu sempat bingung tapi kemudian dia mengajak Delvin pergi dari sana. dia memilih mengabaikan Axton dan Xavel yang ingin bertengkar dan memukul satu sama lain. Xavel tertawa kecil, “Jadi kau berniat menembak Geva? Bagaimana jika kita bersaing? Aku sejak tadi memang memikirkan hal yang sama, aku memang tak punya cincin untuk Geva tapi aku bisa memberikan ini padanya.” Xavel menunjukkan kalungnya. “I
Di malam pertama mereka merayakan hari kebahagiaan dan kemenangan itu, Geva mengajak mereka semua makan malam dan istirahat di hotel Xavel. Keesokan harinya baru mereka akan melakukan pendakian kecil sampai ke tempat di mana mereka akan membuka tenda untuk camp dan barbeque.Di saat semaunya tengah berkumpul, Geva dan Axton berada di kursi yang bersebelahan, di sebelah lainnya ada Santi dan putrinya. Lalu Di samping Santi ada Xiao Ling dan Egar. Di sisi lain meja ada tim reparasi dan Xiao Ling termasuk ke dalam sisi lain itu. Di saat mereka tengah menunggu karyawan restoran menyiapkan semua makan malam mereka, Xavel datang. Axton awalnya terkejut, lalu dia menatap ke arah Geva, “Kau mengundangnya juga?” tanya Axton. Padahal dia belum selesai dengan rasa cemburu ketika beberapa jam lalu Geva menjelaskan mereka bertemu hari itu tanpa sengaja.“Hi Gev, terima kasih sudah mengundangku!” seru Xavel dengan wajah sumringah. Geva buru-buru berdiri dan menyambut Xavel. “Hi! Untung kau datang
Geva dan Axton turun dari mobil Van bersamaan ketika ketiga Van lainnya sampai. Tapi Van hitam terlihat sangat aneh, mereka memarkirkan mobil mereka jauh dari parkir yang ada, mereka parkir di dekat jalan masuk toilet luar atau umum. “Itu mobil yang tadi kan?” celetuk Geva dan Xiao Ling secara bersamaan.“Kau melihatnya juga Gev? Mereka seperti orang gila. Mengebut dengan kecepatan itu di jalanan yang tidak sepi. Aku akan mendatanginya dan melapor ke polisi terkait yang kulihat tadi.” Xiao Ling memprotes dan mulai berjalan ke arah mobil Van hitam itu.Dan saat Geva dan Xiao Ling mendekati mobil van itu, seorang wanita duduk di tanah di depan kap mobil van itu. “A-ada apa?!” tanya Geva yang sedikit terkejut dengan kondisi Feya, dia belum tahu bahwa itu adalah tim reparasi teman dari Egar. Yangg Geva lihat dia wanita yang seperti membutuhkan pertolongan. Jadilah Geva langsung menghampirinya dan hendak ingin menolongnya. Tapi saat Geva berlutut di depan wanita yang terlihat ngos-ngosan
“Kak Xiao, bersediakah kau ikut bersamaku?” Tanya Egar dengan tatapan sendu di depan Xiao Ling.Kejadian itu seketika mengundang perhatian dua staf yang tertahan di depan pintu. Mereka berdua seperti memergoki dua sejoli yang sedang mabuk kasmaran dan karena tak ingin mengganggu, dua orang itu memilih bersembunyi dari balik dinding. Dan ketika ada staff lain yang ingin masuk, mereka menahannya. Mereka berdua malah mengajak staf lain ikut mengintip dan menguping pembicaraan intens Egar Dan Xiao Ling. “Ayo! Terima dia kak Xiao!” ujar salah satu staf dengan suara berbisik, dia setengah berteriak dan menyoraki dua orang itu yang membuat mereka ikut merona di masing-masing pipi mereka. ***“Dasar Axton sialan!” gerutu Egar di dalam mobil Van hitam yang musiknya dinyalakan. Egar mengomel sejak dua hari lalu. Sejak dua hari lalu, karena Axton yang menolak ajakan pertemuan dengan pak Kim, dia harus menerima rumor dia tengah berkencan dengan Xiao Ling. Dan yang lebih buruk adalah, Pak Kim
Saat mereka telah sampai di depan rumah Geva. Geva turun dan berbicara dari luar, “Jadi apa kau menemukan jawaban?” tanya Geva pada Xavel setelah turun dari mobilnya.“Ya, begitulah ternyata itu hanya kebetulan sama saja. Aku dulu Sekolah menengah pertama di distrik Biru sebelah barat. Ternyata kita tidak pernah satu sekolah.” Ujar Xavel pada Geva dari dalam. Dia tidak ikut turun karena masih ada pekerjaan yang ingin dia lakukan.Geva hanya bisa menatap punggung mobil itu semakin jauh, dan masuk ke dalam rumah. “SMP distrik Biru Barat?” Geva bergumam kecil di saat dia masuk ke rumahnya. Banyak hal yang sudah terjadi selama 33 tahun, banyak hal yang Geva coba lupakan termasuk bekas pembuliannya sejak dia masih menginjak sekolah dasar. Jika di total, mungkin ada sekitar sepuluh kali dia berpindah sekolah. Ketika SD menjadi bahan bulian para siswi yang iri pada Geva, karena dia termasuk keluarga berada. Lalu saat SMP dia yang di bully di satu bulan sekolah pertamanya, hanya karena dia
Xavel menunggu di samping mobilnya yang dia parkirkan tepat di depan hotelnya. Dia tengah menelpon sebelum melihat Geva keluar dari pintu utama dengan menenteng banyak makanan take away. Xavel kemudian melambaikan tangan dan menuju ke Geva. “Biar aku bantu,” ujarnya ketika dia selesai menelpon dan memasukkan kembali teleponnya di saku celana. “Ayo, mobilku di sana,” Ajak Xavel. Geva hanya termenung, “Hah? trvel ku,” gumam Geva yang sejak keluar dari tadi tak melihatnya. “Kemana sih dia?” gumamnya lagi kali ini dengan kesal. Sementara belanjaannya sudah di bawa Xavel. Geva mau tak mau mengikuti langkah Xavel, “Apa kau yang menyuruh travelku meninggalkanku?” Tanya Geva dengan nada serius. Dia memang sudah merasa bingung dengan sikap Xavel sejak tadi ketika masih di depan resepsionis restoran.“Iya,” jawabnya dengan polos. “Aku kan sudah mengatakan akan mengantarkanmu, ada yang ingin aku bicarakan,” jelasnya dengan lugas. “T-tapi aku belum membayarnya!” gertak Geva lagi setengah kesa