Di dalam rumah Santi, Geva diberikan selimut yang hangat serta coklat hangat yang baru saja dibuatkan oleh Santi.
“Gev, mereka semua tidak normal, ya. Bisa-bisanya memperlakukan hal kejam ini pada dirimu. Keluarga itu memang ... ah, luar biasa sekali buruk.” Santi membuat ekspresinya ditekuk. Dia sungguh kesal melihat kejadian tadi dan merasa sangat kasihan sekali dengan Geva yang sedang hamil besar seperti ini. “Kau tidak ingin cerai saja, Gev?” tanya Santi dengan tatapan mata yang sedih. Sebagai seorang ibu dan wanita dia merasakan kesedihan yang muncul dari wajah Geva. Ini terlalu berat, dia bahkan saat membuatkan minuman hangat untuk Geva meneteskan air mata. “Anakku sebentar lagi lahir, Mbak. Jadi, aku harus bertahan demi anakku, Damas juga nanti akan berubah. Dia sangat mencintaiku,” jelas Geva dengan senyuman yang begitu lemah. Dia membuatnya dengan susah payah, karena dia sebenarnya akan menangis ketika bicara seperti itu. Untungnya dia berhasil menangis tapi dia tetap saja membuat Santi khawatir padanya. “Aku tidak bisa memaksamu untuk melakukan itu jika kau memilih bertahan, Geva. Tapi kalau kamu butuhkan bantuan, kau bisa memintanya padaku.” Santi dengan suara yang lembut sekali memegang tangan Geva, hati yang membedakan senyuman yang hangat pada Geva yang terlihat sangat rapuh sekali. “Terima kasih, Mbak. Ini sulit ... apalagi dia membawa wanita lain ke rumah dan mengatakan itu adalah calon istrinya.” “Ah?!” sontak saja Santi sangat tidak percaya dengan apa yang dia dengar itu. Damas itu sudah punya istri dan sekarang sedang mengandung, dia juga memperlakukan istrinya dengan buruk. Bisa-bisanya dia membawa wanita lain dan mengatakan kalau itu adalah calon istrinya, itu sungguh hal yang tidak masuk akal sekali. “Ya, Mbak. Tadi aku diusir keluar dari rumah karena protes padanya mengenai Damas yang ingin menikahi wanita bernama indah.” Geva meremas tangannya dengan sangat kuat sekali, hal itulah yang membuat Santi tahu kalau ucapan yang dikatakan oleh Geva itu benar.Santi tiba-tiba langsung memeluk tubuh Geva yang gemetar hebat. Saat Santi melakukan itu barulah Geva menangis dengan deras, dia merasakan sakit hati yang luar biasa dalam dirinya, pria yang sangat dia cintai bagaimana bisa menghianatinya seperti ini? “Dia gila, Gev! Mereka gila! Apa yang dilakukan oleh suamimu itu tidak benar.” Santi meremas tangannya, dia dipenuhi kebencian pada tetangga sebelahnya itu. “Tidak apa, Mbak ... besok aku akan kembali bicara lagi pada Damas, mungkin sekarang dia masih kebingungan.” Geva sedikit menjauhkan tubuh di antara mereka, senyumannya masih saja muncul wajahnya yang pucat. Dia sedang berusaha keras untuk menjadi wanita yang kuat. Rasa sakit hati ya dia alami benar-benar membuatnya menderita dan akhirnya dia yang kelelahan itu tertidur di kasur Santi dengan sangat nyenyak. ***Geva terbangun, dia disapa oleh suara ramah milik Sinta. “Pagi, Gev. Duduk sini, kita sarapan bersama!” Sinta menarik kursi yang ada di dekatnya, dan memberikan tatapan mata yang lembut agar Geva yang sedang terluka tidak semakin terluka. Geva melihat apa yang ada di atas meja, sarapan sudah selesai. Ada nasi goreng dan minuman hangat di atasnya. Geva menelan ludahnya dengan rasa bersalah. “Mbak, maaf aku tertidur kemarin di kamar Mbak Santi. Aku bahkan tidak membantu membuatkan sarapan untuk mbak dan juga Lala.” Geva merasa sangat bersalah sekali, dia menjadi tamu yang tidak tahu diri yang mendapatkan kebaikan dari Santi berulang kali. Setidaknya dia harus membantu Santi membuatkan sarapan itu pun belum bisa membayar apa yang dilakukan Santi pada dirinya. “Gev, duduklah.” Santi memegang pundak Geva sambil tersenyum. “aku terbiasa melakukan hal ini dan kau itu adalah tamuku yang memang harus dijamu.” Geva rasanya begitu sedih mendengar ucapan tulus Santi, dia melihat sepiring nasi goreng di depannya dan meneteskan air mata. “Kenapa Tante menangis?” tanya Lala sambil menatap dirinya. “Ini enak sekali, Lala. Tante menangis karena hal itu. Masakan ibumu luar biasa sekali.” Geva mengusap matanya dan menunjukkan senyum yang tulus pada Lala yang berumur lima tahun. Setelah sarapan selesai, Geva dengan cepat mengunci piring sebelum Santi melakukan hal seperti itu lagi, dia tidak bisa membiarkan Santi selalu melakukan tugas seperti itu. Dia tidak ingin menjadi orang yang tidak tahu diri. Santi sudah bersiap ke kantor, dia bekerja dan suaminya bekerja di tempat jauh, hanya akhir pekan kembali ke rumah ini. Karena itulah Geva sedikit bisa santai di sini ketika menginap, tapi tetap saja dia tidak bisa terus menginap di sini dan sekarang sedang bersiap untuk pulang. “Kau tidak harus pulang sekarang jika masih mau di sini. Mungkin mereka akan menyiksamu lagi, Gev.” Geva tersenyum memegang tangan Santi. “Terima kasih, Mbak. Karena telah mengkhawatirkanku.” Geva memberikan pelukan hangat Santi. Dia tidak ingin menyusahkan orang lain lebih dari ini. Baru saja dia ingin kembali melangkah ke halaman belakang Lina ternyata sejak tadi telah menatapnya dengan mata yang nyalang. “Dasar menantu tidak tahu diri! Bagaimana bisa kau bersikap seperti ini padaku yang memperlakukanmu dengan sangat baik sekali?!” Lina membuat drama di pagi hari, sehingga orang-orang akan berpikir jahat Geva. “Hei, Bu! Kau mengurung Geva diluar, dasar jahat!” Santi yang kesal langsung membalas ucapan Lina. Membuat Lina terkejut. “Geva! Kemari kau, dasar tukang fitnah!”Santi hingga membalas lagi ucapan wanita tersebut, tapi Geva buru-buru memegang tangan Santi dan menatapnya. “Aaa, kau terlalu baik, Gev. Jangan sungkan untuk meminta bantuan padaku.” “Ya, Mbak.” Geva akhirnya melepaskan genggaman tangannya kemudian berjalan mendekati Lina yang menatapnya dengan tatapan mata tajam. Santi bisa melihat kalau Lina dipenuhi dengan kemarahan luar biasa. Saat Geva berada di depannya, wanita itu langsung mendorong kepala Geva dan menarik tangannya masuk ke dalam rumah. “Ah, memang keluarga itu sampah sekali.” Santi memasang wajah yang sangat memaksa melihat hal itu.Sedangkan di dalam rumah kepala Geva di dorong dengan sangat kuat oleh Geva. “beraninya kau menyebarkan gosip tentangku! Kau sungguh tidak tahu diri sekali melakukan hal itu!” “aku tidak melakukannya, Bu.” Geva membela diri, dia mencoba menghindari dari dorongan di kepalanya yang membuat kepalanya terasa sakit. “Ya, sebentar lagi juga menantu tidak berguna ini akan pergi dari sini, Bu.” Warda muncul dia berdandan dengan begitu heboh hanya untuk ke kampus. Dia Amerika sedikit kepala yang membuat Geva. Geva bahkan tidak bisa membalas ucapan mereka. Hari itu, dia mencoba untuk mengalah dan ingin merayu suaminya lagi, sebelum dia menyadari kalau semuanya tidak berguna sama sekali. Dia hanya membuatSuara decitan roda mobil dan juga bau badan terbakar membuat gendingnya berkerut dan berkedut berulang kali. “Axton,” panggil seseorang pada pria yang tadi sedang mengingat sesuatu sambil memejamkan matanya. “Ada apa?” Axton membuka matanya, tapi dia tidak menggerakkan kepalanya sama sekali, hanya memberikan tatapan dengan cara melirik. “Apa kau sama sekali tidak ingin pergi ke acara pesta itu?” Pria itu bernama David, dia salah seorang teman Axton yang bisa sabar menghadapi sikap Axton. “Tidak. Mereka pada dasarnya juga tidak dekat denganku, jika aku datang ke sana, rasanya sangat memuakkan.” Axton akhirnya membenarkan posisi duduknya. Dia melihat ke arah berkas lain yang ada di mejanya. “Kau ini seharusnya bersosialisasi dengan orang lain menghadiri pesta itu bisa meningkatkan relasi.” Axton mengibaskan tangannya beberapa kali, dia benci sekali mendengar ucapan itu. Telinganya terasa panas. “Padahal banyak wanita yang menantikan kehadiranmu di sana.”“Aku tidak peduli,” jawa
Geva seperti sebelumnya terjatuh tertidur di rumah Santi, ketika dia membuka matanya, dia telah disajikan dengan makanan yang enak. Santi menatapnya dengan lembut. “Maafkan aku karena membuat mbak lagi-lagi memasak seperti ini.” Geva mengusap tengkuknya dengan malu. Dia tidak nyaman dan takut sekali sudah berbuat sesuatu yang tidak sopan pada Santi. “Aku pernah mengatakannya padamu kalau kau adalah tamuku.” Geva diam saja datang pikiran yang masih tidak nyaman. Dia sudah banyak menerima kebaikan seperti ini dari orang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya. Hal ini bisa membuatnya tampak seperti orang yang tidak tahu diri karena tidak bisa membalas kebaikan yang diberikan oleh Santi. “Untuk sekarang Lebih baik kau tinggal di sini saja,” ucap Santi sambil meletakan telur di piringnya dan piring Lala. “Tapi, Mbak, aku tidak bisa tinggal di sini karena kita akan menyusahkan, Mbak. Apalagi suami Mbak sebentar lagi kembali.” Geva menunduk, jika harus ada wanita lain d
Baru kali ini Santi dipanggil oleh bosnya. Dia sangat khawatir sekali dengan apa yang akan dia dapatkan nanti. Bisa saja dia mendapatkan masalah karena bos yang memanggilnya adalah pria dingin yang selalu menjaga sikapnya, garis batas antara bos dan karyawan akan sangat terasa sekali jika berhadapan dengan Axton. Wajahnya yang tegas terlihat tampan, para wanita akan terpesona dengan wajah itu tapi mereka kemudian akan menangis setelahnya. “Apa hubunganmu dengan wanita tadi?” Pertanyaan yang sangat mengejutkan membuat kening Santi mengerut secara langsung. Dia menatap Axton dengan bibir yang terbuka kecil. Dia ... apa tidak salah dengar sama sekali?“Kau mendengarku, kan?” ucap Axton dengan tegas membuat Santi gelagapan. “A-ah! Ya, Presdir. Saya mendengar dengan baik.” Santi kembali memikirkan kembali secara perlahan wanita mana yang dibicarakan. Satu-satunya wanita yang dia temui yang dia pikirkan hanyalah Geva. “Maksud Presdir itu wanita hamil yang mendatangiku, kan?” tanyanya a
Santi membelalakkan matanya. Dia tahu kalau tampaknya bosnya ini mengenal Geva, dan sudah meminta untuk ditemukan dengan Geva padanya. Tapi dia sangat terkejut sekali karena saat para karyawan telah pulang, Santi dicegat oleh Axton. “Presdir, apa ada pekerjaan saya yang belum selesai?” Santi bertanya dengan senyuman yang lembut. Dia menjaga sikapnya agar tetap sopan di hadapan pria yang dingin ini. “Masuklah,” titahnya dengan suara yang rendah. Santi tampak ragu-ragu mendengar ucapan itu. Belum pernah dia masuk ke dalam mobil presdirnya. Satu-satunya orang yang pernah berada di samping Axton adalah Egar—Sekretaris pribadinya. Axton melirik sebelahnya, hal itu telah menjadi penegasan untuk Santi segera masuk ke dalam mobil Axton. Dengan menguatkan dirinya, Santi masuk dan duduk dengan canggung di sebelah Axton. Sang sopir tetap tenang, dia juga sangat terkejut dengan tindakan tuannya ini. Seorang wanita masuk ke dalam mobil tuannya yang selalu menolak wanita, apakah itu tidak sala
Suasana itu sangat canggung walaupun Axton berulang kali ingin mencairkan suasana. Geva sangat waspada, dia menjaga sikapnya dalam memperlakukan Axton karena dia menghormati Axton yang merupakan sepupu Santi. Sedangkan Axton mengamati Geva, dia memastikan cerita Santi dan merasa perih melihat Geva yang seperti ini. “Kalau begitu aku pulang dulu. Lain kali aku akan main ke sini lagi, Mbak Santi.” Axton berdiri sambil melihat Santi, dia tidak ingin kalau Santi melarangnya dan penanganannya tadi telah membuat Santi paham dengan sangat jelas. Geva juga berdiri, dia ikut mengantar Axton yang berjalan ke luar rumah bersama Santi walaupun terlihat sekali kalau dia melakukannya dengan sangat kikuk sekali. “Ibu, mereka keluar.” Warda yang dengan sengaja duduk di luar dengan cepat berteriak pada ibunya. Dia merasa sangat penasaran sekali dengan sosok pria yang ada di rumah Santi. Saat dia melihat Geva secara tidak sengaja, ekspresinya langsung keras. Dia membenci Geva dan ingin menjambak r
Egar datang ke kantor dengan wajahnya yang terlihat sangat mengantuk, dia telah berhasil mendapatkan apa yang diinginkan Axton dengan mengorbankan waktu tidurnya yang sangat minim.“Pagi, Tuan Egar.” Beberapa karyawan menyapanya dengan ramah, Egar mengangkat tangannya sambil tersenyum cepat dan mengubah ekspresinya lagi kesemula—datar seperti kisah cintanya.. Dia menegakkan tubuhnya dengan benar, masuk ke dalam lift sambil melihat lampu lift berganti dengan cepat hingga mencapai lantai tertinggi gedung ini. Saat pintu lift terbuka, Egar seperti biasa mempersiapkan semuanya dengan cepat. Dia tidak mau kalau Axton akan membuat perintah dengan ekspresi yang menakutkan. Setelah beberapa puluh menit dia melakukan persiapan pekerjaan untuk hari ini, orang yang dia tunggu telah tiba dengan ekspresi yang senang. Seolah-olah ada bunga yang bermekaran di sekitarnya. Dia tampak lebih tampak dan hangat seperti matahari pagi dengan cahaya keemasan yang indah. “Selamat pagi, Tuan Axton. Saya i
Geva sangat geram sekali mendengar ucapan Damas. Tidak cukup selama ini Damas menyakitinya. Bisa-bisanya pria yang tidak tahu malu itu mengatakan kalau dia sok suci? Dia bahkan tidak membiarkan Geva untuk melalui rasa sakit sebelumnya. Brak!Geva membanting tumpukan sampah yang ada di tangannya tadi, dia melihat Damas dengan nyalang. “Aku di sini yang korban. Kau memilih wanita lain dibandingkan aku, kau yang berbuat buruk tapi sekarang kau mengatakan aku sok suci? Apa otakmu itu rusak, Damas?”Geva mengatakannya dengan tatapan yang tajam. Damas terkejut, hatinya snagat tidak tenang sekali mendengar ucapan Geva yang bahkan tidak memanggilnya mas seperti dulu. “Kau hanya sok polos saja. Pantas saja ibu mengatakan kalau anak di dalam kandunganmu itu mungkin saja bukan anakku. Kau bahkan sudah bersama dengan pria lain.” Damas menyeringai. Dia menekankan setiap kalimatnya pada Geva yang sedang memegang perutnya. “Satu keluargamu bermulut sampah, Damas. Aku bahkan tidak pernah keluar
Kedua orang itu menatap Geva dengan tatapan mata yang tenang, walaupun di dalam hati mereka sama sekali tidak senang. Mereka berdua sangat tahu apa yang terjadi pada Geva. Matanya membengkak, yang membuat mata berwarna coklat indah itu nyaris hampir tidak terlihat. Geva tersenyum, berusaha dengan sangat keras sekali untuk menguatkan dirinya yang rapuh. “Keluarga sialan itu lagi-lagi melukaimu? Mereka melakukan apa lagi ketika aku tidak ada, Gev?” tanya Santi sangat khawatir dalam lubuk hatinya. “Bagaimana dengan yang aku katakan tadi, Gev?” tanya Axton menunjukkan senyumannya. Dia ingin menghancurkan suasana tidak menyenangkan ini. Geva tidak boleh berlarut dalam kesedihan yang bisa sangat berbahaya sekali untuk dirinya. “Tapi apa aku tidak perlu membayarnya?” Geva menatap Axton, matanya yang terlihat sayu itu membuat tubuh Axton berdesir. Dia tidak menyukai ini dan ingin segera menghapuskan rasa sakit itu. Tetapi sesuatu tidak bisa dihilangkan begitu saja apalagi mereka berdu