Gyan menghela napas panjang saat lagi-lagi harus ke kelab untuk menjemput orang mabuk. Orang dari kelab menelepon mengatakan May tengah mabuk parah. Sebenarnya Gyan sudah tidak mau direpotkan dengan urusan May lagi. Namun, demi hati nurani dan untuk menghargai waktu dua tahun yang pernah mereka lewati bersama, Gyan menyambangi kelab sialan itu lagi.
May tidak sendiri ketika Gyan sampai. Seorang pria tengah menemani minum. Pria yang sama dengan waktu itu. Namun begitu melihat kemunculan Gyan, pria itu langsung pergi setelah sebelumnya mencium samar pelipis May."Hai, Pacar," sapa May tersenyum. "Mau minum bareng? Udah lama kan kita nggak minum bareng. Pacarku kan direktur Blue Jagland yang sibuknya ngalahin presiden. Hei, Braco! Kamu tau Blue Jagland nggak?" tanya May pada bartender yang sibuk membuat pesanan.Bartender itu hanya tersenyum dan mengabaikan May yang kembali menuang minuman ke gelas."Gy, sini dong. Kenapa cuma berdiri? Ayo, minum sama aku." May berusaha turun dari stool. Namun tubuhnya malah terjatuh. Gyan di depannya dengan sigap menangkap wanita itu."Aku antar kamu pulang," ucap Gyan datar sambil menyambar tas milik May. Setelahnya dia menarik paksa tangan wanita itu keluar dari kelab."Gy! Aku nggak mau pulang. Aku masih mau minum."May meronta. Sungguh, Gyan paling malas menghadapi May yang mabuk seperti ini. Wanita itu sangat merepotkan saat mabuk. Gyan terus menyeret wanita itu menuruni tangga. Lalu keluar dari tempat bising itu menuju tempat mobilnya berada."Gy! Apaan sih?! Aku masih mau minum. Kalau kamu nggak mau nemenin ya udah!" May menyentak tangan sampai pegangan Gyan terlepas, lantas berbalik hendak menuju gedung kelab lagi. Namun tatapannya yang sudah tidak fokus serta tubuhnya yang sempoyongan membuatnya tersandung kaki sendiri. Tapi lagi-lagi Gyan menangkap tubuhnya. Pria itu memeluk dan menarik paksa wanita itu memasuki mobil."Kamu ngapain sih, Gy? Bukannya kamu udah mutusin aku? Sekarang malah bersikap sok peduli gini.""Aku nggak peduli," ucap Gyan sambil menyalakan mesin mobil dan bergegas keluar dari area parkir.May tertawa mendengar ucapan pria itu. "Boong banget sih. Kalau masih cinta bilang dong. Aku juga masih cinta sama kamu, Gy." Tangan wanita itu terulur, menggapai pipi Gyan. "Ayolah, yang kemarin itu cuma main-main. Dia kesepian ditinggal lembur pacarnya terus. Sama kayak aku. Jadi, kami sedikit main-main."Tanpa peduli ocehan May, Gyan masih terus berkonsentrasi menyetir. Apa pun yang diucapkan wanita itu sudah tidak berarti apa-apa. Terlalu bodoh harus bertahan di hubungan toxic seperti itu. Gyan sudah cukup bersabar selama ini. Setelah 30 menit, dia berhasil mendaratkan May di depan gedung apartemen wanita itu."Turun. Aku mau pulang," katanya saat mobil berhenti di teras lobi gedung apartemen May."Kamu juga turun dong. Memangnya kamu nggak kangen tidur sama aku?"Gyan mengembuskan napas kasar. Lalu dengan tak sabar turun dari mobil. Mengitari bagian depan mobil sebelum akhirnya membuka pintu di sebelah May. Namun, tanpa diduga May menarik kerah kemejanya mendekat dan tanpa permisi wanita itu mencium bibirnya. Ciuman yang cukup kuat dan dalam."Temani aku tidur, please," rengek May saat melepas ciuman. Mata sayunya menatap Gyan penuh kerinduan."Aku nggak tidur dengan wanita mabuk.""Aku nggak mabuk. Sedikit minuman nggak akan membuatku teler."Untuk beberapa saat keduanya saling tatap. Ketika May mengerjap, Gyan tahu wanita itu bener-benar sudah mabuk parah. Lalu waktu May kembali akan memangkas jarak, refleks kedua tangan Gyan menahan pundak wanita itu."Kamu butuh istirahat, May," ucap pria itu masih dengan ekspresi datar. "Aku pulang."Saat langkah Gyan kembali mendekati mobil, suara tawa May terdengar. Lalu suara putus asa wanita itu mengudara."Kapan sih kamu mau memperlakukan aku layaknya pacar? Kurang apa aku sama kamu, Gy. Wanita mana yang mau sabar nunggu kamu pulang dari benua lain? Cuma aku, Gy. Yang mau nunggu kamu. Tapi kamu mutusin aku gitu aja. Selama ini kamu sibuk dengan duniamu sendiri apa aku pernah protes?"Dua tangan Gyan mengepal mendengar ocehan May. Sejujurnya dia sudah sangat lelah, tapi sepertinya May tidak mau melepasnya begitu saja."Aku hanya minta waktu kamu sedikit. Apa sesulit itu?" Wanita itu lantas terisak. "Sebenarnya kamu cinta nggak sih sama aku? Kenapa aku merasa selama ini berjuang sendirian? Dengan semua sikap kamu apa salah kalau akhirnya aku mencari perhatian laki-laki lain?"Mata Gyan terpejam erat. Jakunnya naik turun menelan ludah kepayahan. Semua yang May katakan tidak salah. Meski begitu Gyan tidak membenarkan apa yang wanita itu lakukan. Soal cinta? Gyan juga tidak tahu apakah rasa itu masih ada setelah beberapa kali dia menemukan kekasihnya itu bermesraan dengan pria lain."Aku nggak akan begini kalau kamu nggak mengabaikan aku!" jerit May meremas kepala seraya berjongkok. Bahu wanita itu bergetar hebat. Isakannya terdengar pilu. Hatinya terlalu sakit.Secuek-cueknya Gyan, dia juga punya hati. Melihat May menangis histeris, dia pun mendekat dan memeluk wanita itu."Kenapa kamu jahat banget sama aku, Gy?! Kenapa kamu nggak pernah berubah? Apa nggak seberharga itu aku di mata kamu?" seru May di tengah tangisnya yang makin meledak di pelukan Gyan. Dia seolah menumpahkan segala sesak yang menggumpal di dadanya selama ini.Gyan tidak mengatakan apa pun. Dia membiarkan mantan kekasihnya itu mengeluarkan segalanya. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyeruak, mengusik hatinya. Apakah benar selam ini dia sekejam itu? Gyan merasa sudah berusaha menjadi pacar yang baik. Namun siapa sangka, ternyata itu belum cukup bagi seorang May.***"Sakit, Bego!"Resta memekik ketika dari belakang kuncirannya ditarik dengan sadis oleh seseorang. Bibirnya langsung mencuat maju saat tahu siapa yang berbuat semena-mena padanya. Joana nyengir di depannya. Resta akan bersiap ngomel ketika wanita itu langsung meletakkan jari telunjuk ke depan bibir, sebagai isyarat menyuruh Resta diam."Ada gosip," ucap Joana pelan seraya melirik kanan-kiri suasana lobi."Gosip apa?" Emosi Resta yang sempat memuncak mendadak luruh melihat gelagat aneh sahabatnya itu.Tanpa pikir panjang, Joana langsung menyeret Resta menjauh dari keramaian lobi kantor di pagi hari. Di tempat yang agak sepi keduanya berbisik-bisik."Apaan sih, Jo?""Lo tau apa yang gue lihat pagi ini?" tanya Joana memberi teka-teki."Mana gue tau! Gue aja baru ketemu lo sekarang.""Gue kasih tau. Pagi ini gue liat bos lo keluar dari apartemen cewek."Untuk beberapa saat Resta loading. Dia tidak langsung menangkap siapa yang Joana maksud. "Pak Bambang?"Serta-merta Joana menoyor pelan kening Resta. "Pak Bambang mah bos lo yang dulu. Bos lo sekaranglah.""Pak Gyan?" tanya Resta dengan wajah bodoh."Ya iyalah. Siapa lagi? Kenapa lo jadi bego gini sih? Finansial bikin lo lola."Resta meringis sebentar, tapi lantas wajahnya berubah serius lagi. "Ya terus masalahnya apa? Bodo amat dia mau keluar dari mana pun. Emang gue peduli?"Joana berdecak sebal. "Ini itu gosip hot. Di balik kewibawaan dan kegalakannya ternyata dia..." Joana tersenyum penuh arti sambil menggerak-gerakkan alis naik turun."Ternyata apa?""Ternyata dia suka bobo bobo cantik juga sama cewek."Resta menatap sahabatnya dengan tatapan malas. "Bisa aja kan cewek itu pacarnya atau malah istrinya.""Pak Gyan belum nikah.""Dari mana lo tau?""Dia nggak pake cincin.""Cincin bukan jaminan. Banyak kok cowok di sini udah nikah tapi pake cincinnya kalau di rumah doang."Joana malah tergelak, membuat Resta makin menatapnya malas."Oke. Itu nggak penting. Gosip kedua ini pasti bikin lo tercengang." Kembali Joana tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar."Apaan? Buruan, bentar lagi jam masuk kerja nih.""Lo tau cewek itu siapa?"Hampir saja Resta melepas heels saking gemasnya karena lagi-lagi Joana memberi pertanyaan tidak penting itu. Ya mana dia tahu cewek itu siapa? Dan lagi Resta tidak peduli."Cewek itu Mayrosa Natalina," lanjut Joana menjerit tertahan."Mau Mayrosa Natalina kek, Rossa Natasya kek, memangnya gue peduli?" Namun sejurus kemudian mata Resta tiba-tiba melotot sempurna. "Mayrosa Natalina?!"Joana tersenyum menang melihat reaksi Resta sekarang. "Kan, lo kaget.""Mayrosa Natalina si jurnalis TV terkenal itu?"Joana mengangguk-angguk dengan senyum makin lebar. Dia tahu betul Resta pemuja wanita cerdas yang selalu menggasak tokoh-tokoh penting negeri ini di layar kaca itu."Nggak mungkin." Resta menggeleng tak percaya. "Kok May mau sih pacaran sama pria dingin begitu?"Namun karena jam kerja makin mepet, kedua wanita itu terpaksa memutus ajang pergibahan itu segera. Mereka naik ke lantai divisi masing-masing dan berkutat lagi dengan kesibukan kantor yang melambai-lambai.Resta tengah mengetik sesuatu ketika matanya melihat kedatangan Gyan. Pria itu baru memasuki kantor saat jarum jam menunjuk angka sepuluh. Hebat. Mentang-mentang ini kantor bapaknya. Kepala Resta otomatis mengingat gosip dari Joana. Tanpa sadar dia terus menatap Gyan yang tengah berjalan dengan tenang. Pria itu memang tampan. Mata birunya indah, tapi kalau kelakuannya seperti setan semua kelebihan fisiknya jadi tidak berarti. Resta tidak habis pikir bagaimana bisa wanita secerdas Mayrosa mau pacaran sama pria minim ekpresi seperti Gyan?"Kenapa kamu melototi saya? Kamu naksir sama saya?"Hah?!Hampir saja Resta muntah mendengar ucapan penuh percaya diri bosnya. Naksir pria itu bilang? Perlu pertapa tahunan buat naksir sama pria seperti Gyan. Wanita di dunia ini bakal terkecoh dengan paras malaikat dan mata birunya, tapi kalau sudah tahu aslinya Resta yakin seratus persen siapa pun ogah berdekatan dengan anak presdir itu. Resta berani taruhan. Menanggapi ucapan asal Gyan, Resta memilih memalingkan muka ke layar komputer lagi. Memutuskan tidak ingin berurusan dengan pria itu. Apalagi sekarang masih pagi. Tidak baik untuk kesehatan mental. Tapi... "Ikut ke ruangan saya," ucap Gyan yang sontak membuat Resta mendongak. "Saya, Pak?" "Ya iya. Memang siapa lagi?" delik Gyan dengan mata yang hampir keluar dari rongganya. Bibir Resta manyun seketika. Pagi indah yang dia harapkan buyar. Ini pasti gara-gara gosip pagi yang Joana sebar. Dengan gerakan ogah-ogahan Resta keluar dari rongga antara meja dan kursi. Mengikuti langkah Gyan yang sudah lebih dulu berjalan menuju ruangannya.
"Nggak bisa gue." "Lah napa?" "Kayaknya ini hari tersinting gue deh, Jo. Lo sih pagi-pagi pake bawa gosip soal si bos. Gue jadi kayak kena tulah sial." Resta berani taruhan Joana di ujung telepon sana pasti sedang mengernyitkan dahi. "Apa hubungannya, Botol Kecap?" pertanyaan ajaib Joana keluar. Dari sini Resta menghela napas panjang. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, tapi banyak pekerjaan yang Gyan limpahkan padanya. Mood pria arogan itu sepertinya sedang kacau gara-gara Pak Jamet yang ternyata ketahuan menyelundupkan dana perusahaan. Resta tidak habis pikir. Sebenarnya Gyan itu detektif atau pimpinan sih? Baru juga dua hari Resta bergabung di divisi ini dia sudah melihat tiga orang kena tumbal makian Gyan. "Gue lagi disandera si bos," sahut Resta asal, sambil membuka sebuah file di layar komputer. "Maksud lo?" "Gue lagi gantiin Sella. Tuh cewek lagi dirawat di RS, keracunan makanan. Dan sekarang gue yang jadi tumbal buat gantiin kerjaan dia. Astaga, kerjaannya seabr
Resta melongo di tempat. Sejujurnya dia tidak ingin menjadi orang udik begini. Akan tetapi keadaan yang memaksa. Belum lagi sepanjang turun dari lantai paling atas gedung semua mata seolah tertuju padanya. Ya, itu memang cuma perasaannya saja. Aslinya yang menjadi pusat perhatian tentu saja orang nomor satu di Blue Jagland. Daniel Jagland dan putranya. Resta hanya kecipratan saja karena mengekori mereka."Ikut mobil papi?" tanya Daniel ketika dia dan rombongannya sampai di teras gedung. Mercedes-Benz series terbaru pria tua itu sudah berdiri anggun dengan supir di sampingnya."Aku sama Resta menyusul saja nanti," sahut Gyan kalem.Daniel tidak memaksa. "Kalau gitu hati-hati bawa mobilnya," pungkasnya sebelum bergerak masuk ke dalam mobil.Sampai sang papi pergi, Gyan masih berdiri di teras. Tepat ketika mobil itu tak terlihat lagi, dia baru beringsut menuju mobilnya yang berada di parkir khusus direksi.Gyan berbalik ketika Resta masih mematung. "Kenapa masih diam?"Wanita itu tersent
Resta melotot ketika Gyan memberikan setumpuk berkas ke hadapannya. Seketika wajah cantiknya bersungut-sungut. Dengan pasrah dia menatap layar ponsel yang berisi pesan dari Reno-pacarnya. Entah sudah berapa kali dia menggagalkan rencana pertemuan mereka. Ini hari ketiga Resta menggantikan Sella dan berharap menjadi hari terakhir. Sumpah demi apa pun lebih nyaman jadi staf biasa daripada menjadi sekretaris bos yang gila kerja seperti Gyan. Dua hari ini dia pulang larut gara-gara mengikuti jam pulang Gyan yang tidak tahu waktu. Beruntung dua hari kemarin Joana juga lembur jadi pulangnya wanita itu bisa nebeng. 'Sekretaris baru boleh pulang kalau bosnya sudah pulang.' Itu yang Gyan ucapkan. Sialnya Gyan tidak pernah pulang kurang dari pukul sepuluh malam. Resta terpaksa menunggui pria itu. Seperti malam ini. Pekerjaannya sudah selesai sekitar tiga puluh menit lalu, tapi pintu ruang direktur keuangan masih tertutup rapat. Dia mencoba peruntungan menghubungi Gyan melalui interkom di me
Akhirnya Resta bisa bernapas lega ketika hari kelima Sella muncul. Sekretaris direktur keuangan itu terlihat segar bugar. Tidak seperti orang habis sakit. Bahkan sekarang rambutnya diombre cokelat terang di bagian ujungnya."Thanks ya, Res. Lo udah mau handle kerjaan gue," ujar Sella ketika Resta menanyakan keadaannya. "Gimana? Enak kan jadi sekretaris?"Resta tidak langsung menjawab. Ujung matanya malah melirik kanan kiri. Lalu ketika merasa aman dia bersuara sambil mencondongkan tubuh ke dekat Sella."Amit-amit. Kalau jadi sekretaris Pak Bambang mungkin iya enak. Atau jadi sekretaris Pak Daniel sekalian. Tapi kalau bos lo itu... cukup empat hari kemarin aja dan nggak mau-mau lagi."Sella cekikikan melihat muka ekspresif Resta yang totalitas banget unlike seorang Gyan Jagland. Sebenarnya yang Resta rasakan dia juga merasakan. Tapi karena sudah terbiasa sejak tujuh bulan terakhir, Sella fine-fine saja dan mulai bisa mengikuti ritme kerja anak presdir itu."Tapi nggak semua menyebalkan
Sella baru saja mengumumkan siapa saja staf yang harus masuk weekend ini. Ada pekerjaan audit dadakan yang akan Gyan lakukan. Dan pria itu butuh beberapa staf untuk membantu. Sialnya, nama Resta ikut tercatut sebagai staf yang harus ikut overtime itu. Buyar sudah rencana akhir miinggunya. Khayalan bakar dilamar pacar pun ikut bubar."Kenapa gue ikut lembur juga sih, Sel?" tanya wanita itu tak habis pikir. "Dibanding membantu gue cuma bakal jadi pelengkap penderitaan doang."Sella mengangkat bahu. "Pak Gyan yang susun. Gue kan cuma announce doang.""Seenggaknya lo harusnya bilang dong kalau gue nggak perlu diajak lembur. Gue nggak bisa audit keuangan.""Mungkin Pak Gyan bakal kasih tugas lain buat lo." Sella mengulum senyum. Di otaknya sudah ada jawaban kalau Resta tanya lagi."Tugas lain apaan?""Bikinin kopi staf yang lembur misalnya. Atau bisa juga gosokin toilet ruangan Pak Gyan." Di ujung kalimat Sella tertawa."Sialan!" umpat Resta cemberut. "Emangnya gue janitor!"Sebelum mendap
Senyum Resta merekah tatkala pekerjaan akhirnya selesai. Dia sempat melirik jam digital di ujung layar komputer sebelum mematikan benda itu. Pukul empat sore. Masih ada waktu untuk mandi dan siap-siap sebelum dia pergi ke tempat yang menjadi pertemuannya dengan Reno. Resta tidak ingin melewatkan pertemuan ini. Keduanya jarang sekali menghabiskan weekend bersama. Tuntutan pekerjaan Reno yang mengharuskan dia stand by di akhir pekan menjadi alasannya. Sekalinya libur, dapatnya malah hari kerja. Langka lelaki itu dapat jatah libur di weekend. Oleh sebab itu, Resta tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Resta sudah menjinjing tasnya. Bersiap keluar dari kubikel yang mengukungnya seharian di hari Sabtu ini. Namun belum sempat kakinya bergeser interkom di mejanya berdering. Sebenarnya Resta enggan mengangkat, tapi tangannya malah menekan tombol di sana dan suara malaikat maut pun terdengar. "Ke ruangan saya sekarang." Kalimat perintah yang sama sekali tak bisa Resta bantah. Wanita itu
"Iya. Resta lagi usahain, Bu." Ruangan divisi masih sepi ketika Resta masuk. Masih 15 menit lagi jam masuk kerja setelah istirahat siang. Langkah wanita 25 tahun itu bergerak menuju kubikel. Tangan kanannya memegangi ponsel di dekat telinga, sementara tangan lain menarik kursi. "Sama sekali nggak merepotkan. Kan ibu yang berjuang buat nguliahin aku. Sekarang gantian aku yang berjuang buat kuliah Kae. Bilang aja sama Kae suruh rajin belajar biar bisa masuk perguruan tinggi negeri. Terus nggak boleh jauh-jauh. Sekitaran Semarang aja biar tetep tinggal di rumah." Jarinya menekan tombol power komputer. Sementara kepalanya mengangguk-angguk mendengar suara ibunya di telepon. "Iya, nggak apa-apa. Oke, kalau gitu Resta matiin dulu telponnya ya, Bu. Tetap jaga kesehatan, Bu." Napas Resta berembus panjang begitu panggilannya ditutup. Pikirannya mengingat berapa sisa tabungan yang dia punya. Tahun lalu dia terpaksa menguras habis tabungannya untuk renovasi rumah ibu di Semarang yang terken