Akhirnya Resta bisa bernapas lega ketika hari kelima Sella muncul. Sekretaris direktur keuangan itu terlihat segar bugar. Tidak seperti orang habis sakit. Bahkan sekarang rambutnya diombre cokelat terang di bagian ujungnya."Thanks ya, Res. Lo udah mau handle kerjaan gue," ujar Sella ketika Resta menanyakan keadaannya. "Gimana? Enak kan jadi sekretaris?"Resta tidak langsung menjawab. Ujung matanya malah melirik kanan kiri. Lalu ketika merasa aman dia bersuara sambil mencondongkan tubuh ke dekat Sella."Amit-amit. Kalau jadi sekretaris Pak Bambang mungkin iya enak. Atau jadi sekretaris Pak Daniel sekalian. Tapi kalau bos lo itu... cukup empat hari kemarin aja dan nggak mau-mau lagi."Sella cekikikan melihat muka ekspresif Resta yang totalitas banget unlike seorang Gyan Jagland. Sebenarnya yang Resta rasakan dia juga merasakan. Tapi karena sudah terbiasa sejak tujuh bulan terakhir, Sella fine-fine saja dan mulai bisa mengikuti ritme kerja anak presdir itu."Tapi nggak semua menyebalkan
Sella baru saja mengumumkan siapa saja staf yang harus masuk weekend ini. Ada pekerjaan audit dadakan yang akan Gyan lakukan. Dan pria itu butuh beberapa staf untuk membantu. Sialnya, nama Resta ikut tercatut sebagai staf yang harus ikut overtime itu. Buyar sudah rencana akhir miinggunya. Khayalan bakar dilamar pacar pun ikut bubar."Kenapa gue ikut lembur juga sih, Sel?" tanya wanita itu tak habis pikir. "Dibanding membantu gue cuma bakal jadi pelengkap penderitaan doang."Sella mengangkat bahu. "Pak Gyan yang susun. Gue kan cuma announce doang.""Seenggaknya lo harusnya bilang dong kalau gue nggak perlu diajak lembur. Gue nggak bisa audit keuangan.""Mungkin Pak Gyan bakal kasih tugas lain buat lo." Sella mengulum senyum. Di otaknya sudah ada jawaban kalau Resta tanya lagi."Tugas lain apaan?""Bikinin kopi staf yang lembur misalnya. Atau bisa juga gosokin toilet ruangan Pak Gyan." Di ujung kalimat Sella tertawa."Sialan!" umpat Resta cemberut. "Emangnya gue janitor!"Sebelum mendap
Senyum Resta merekah tatkala pekerjaan akhirnya selesai. Dia sempat melirik jam digital di ujung layar komputer sebelum mematikan benda itu. Pukul empat sore. Masih ada waktu untuk mandi dan siap-siap sebelum dia pergi ke tempat yang menjadi pertemuannya dengan Reno. Resta tidak ingin melewatkan pertemuan ini. Keduanya jarang sekali menghabiskan weekend bersama. Tuntutan pekerjaan Reno yang mengharuskan dia stand by di akhir pekan menjadi alasannya. Sekalinya libur, dapatnya malah hari kerja. Langka lelaki itu dapat jatah libur di weekend. Oleh sebab itu, Resta tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Resta sudah menjinjing tasnya. Bersiap keluar dari kubikel yang mengukungnya seharian di hari Sabtu ini. Namun belum sempat kakinya bergeser interkom di mejanya berdering. Sebenarnya Resta enggan mengangkat, tapi tangannya malah menekan tombol di sana dan suara malaikat maut pun terdengar. "Ke ruangan saya sekarang." Kalimat perintah yang sama sekali tak bisa Resta bantah. Wanita itu
"Iya. Resta lagi usahain, Bu." Ruangan divisi masih sepi ketika Resta masuk. Masih 15 menit lagi jam masuk kerja setelah istirahat siang. Langkah wanita 25 tahun itu bergerak menuju kubikel. Tangan kanannya memegangi ponsel di dekat telinga, sementara tangan lain menarik kursi. "Sama sekali nggak merepotkan. Kan ibu yang berjuang buat nguliahin aku. Sekarang gantian aku yang berjuang buat kuliah Kae. Bilang aja sama Kae suruh rajin belajar biar bisa masuk perguruan tinggi negeri. Terus nggak boleh jauh-jauh. Sekitaran Semarang aja biar tetep tinggal di rumah." Jarinya menekan tombol power komputer. Sementara kepalanya mengangguk-angguk mendengar suara ibunya di telepon. "Iya, nggak apa-apa. Oke, kalau gitu Resta matiin dulu telponnya ya, Bu. Tetap jaga kesehatan, Bu." Napas Resta berembus panjang begitu panggilannya ditutup. Pikirannya mengingat berapa sisa tabungan yang dia punya. Tahun lalu dia terpaksa menguras habis tabungannya untuk renovasi rumah ibu di Semarang yang terken
Sudah beberapa hari belakangan ini Gyan melihat Resta pulang tidak kurang dari pukul sepuluh malam. Padahal tidak ada tugas tambahan atau lembur untuk para staf. Dan pria itu juga sedang tidak ingin memberi pelajaran pada wanita itu.Seperti malam ini, lagi-lagi tanpa sengaja Gyan melihat lampu kubikel Resta menyala di antara lampu lain yang sudah padam. Dia bisa saja menghampiri wanita itu dan menanyakan apa yang Resta lakukan. Namun dia memilih membiarkan dan kembali ke ruang kerjanya. Lima belas menit kemudian dia yang berniat pulang sudah mendapati lampu kubik Resta padam."Sebenarnya apa yang wanita itu lakukan?" gumamnya. Penasaran membuat langkah pria itu berbelok menuju workstation dan singgah di meja kerja Resta.Biasanya Gyan melihat Resta begitu serius di depan layar. Kadang dahi wanita itu terlihat sampai berkerut. Malam ini bahkan dia melihat rambut Resta acak-acakan. Telunjuk Gyan menekan tombol power pada komputer di meja Resta. Menunggu beberapa saat sampai jendela lay
Joana mengomeli Resta habis-habisan berkat kebodohannya loss trading. Dia kejam sekali. Bukannya memeluk dan menguatkan Resta yang lagi mode sedih malah marah-marah. Baik, itu semua memang kesalahan Resta, wanita itu juga tidak membantah. Tapi setidaknya Joana memberinya simpati, bukannya menggoblok-goblokinya terus-terusan. "Lo tuh ngomong kalau butuh uang," ujar Joana geregetan. "Gue kan bisa bantu. Atau kalau gue nggak bisa bantu gue bisa kok minta bantuan kakak gue. Tapi nggak main judi gini." "Itu bukan judi. Itu trading, pasar uang," bantah Resta. Namun langsung ditebas Joana sambil mengibas udara. "Halah sama aja. Lo berspekulasi di sana.""Bedalah.""Kalau beda lo nggak bakal bangkrut. Judi itu bikin orang bangkrut!" ujar Joana kencang tepat di depan wajah Resta sampai wanita itu merem. Resta mengembuskan napas. Bahunya meluruh. "Gue ke sini minta dikuatkan bukan diomelin kek gini," ucapnya bersungut-sungut sambil memilin-milin ujung blousenya. "Ya emang lo pantes diomeli
"Nggak masuk akal! Masa 24 jam lo harus stand by sama dia?"Suara Joana melingking ketika membaca klausal MoU yang Gyan buat untuk Resta."Ini sama aja kamu disuruh tinggal sama dia, gitu? Terus ini." Joana menunjuk lagi klausal lain yang menurutnya tidak masuk akal. "Masa selama terikat perjanjian lo nggak boleh ambil cuti kecuali mati. Yang bener aja! Belum lagi kalau lo mangkir atau resign sebelum masa kerja habis, lo harus bayar dendanya 10x lipat. Kenapa nggak sekalian 100x lipat?"Sementara Resta di depannya hanya menunduk pasrah. Dia bingung harus merespons apa."Tugas-tugasnya juga udah lebih mirip pembokat daripada asisten pribadi. Masa lo harus memastikan semua makanan yang dia makan dalam kondisi bagus? Gimana caranya coba?""Bukannya tugas asisten pribadi memang gitu?" Resta berkomentar lesu. Tubuhnya menggelosor ke bawah ranjang tidur."Pantas saja lo digaji gede. Kerjanya nggak main-main. Bahkan ada pasal yang mewajibkan lo jaga rahasia pribadi dia dan punishment-nya. An
Ini menyebalkan.Resta pikir Gyan melupakan eksistensinya sebagai asisten pribadi. Pertanyaan pria itu ketika melihatnya bersama Sella yang membuat dia berpikir demikian. Namun ternyata bukan itu yang Gyan maksud. Pria itu menginginkan Resta satu ruangan bersamanya. Dan yang terjadi setelahnya, meja kerja baru di sisi Sella dipindah ke ruangan lelaki itu.Ya Tuhan! Ini sih sama saja bekerja dalam pengawasan direktur langsung. Hari pertama kerja Gyan memintanya mengurus hal tak penting. Itu tidak masalah bagi Resta asal pria itu tidak rese saja. Menjelang siang Resta diribetkan dengan makanan lelaki itu."Pastikan makanannya tidak mengandung kacang-kacangan dan minyak berlebih," ujar Gyan mengingatkan. "Harus gluten free. Air mineral sudah habis pastikan kamu memesannya dengan merk yang sama. Saya tidak suka merk lainnya. Tidak cocok di lidah saya."Demi Tuhan! Perkara air saja seribet itu. Bukannya semua rasa air itu sama saja? Kelakuan orang kaya benar-benar ajaib, bahkan kalau pun t