Joana mengomeli Resta habis-habisan berkat kebodohannya loss trading. Dia kejam sekali. Bukannya memeluk dan menguatkan Resta yang lagi mode sedih malah marah-marah. Baik, itu semua memang kesalahan Resta, wanita itu juga tidak membantah. Tapi setidaknya Joana memberinya simpati, bukannya menggoblok-goblokinya terus-terusan. "Lo tuh ngomong kalau butuh uang," ujar Joana geregetan. "Gue kan bisa bantu. Atau kalau gue nggak bisa bantu gue bisa kok minta bantuan kakak gue. Tapi nggak main judi gini." "Itu bukan judi. Itu trading, pasar uang," bantah Resta. Namun langsung ditebas Joana sambil mengibas udara. "Halah sama aja. Lo berspekulasi di sana.""Bedalah.""Kalau beda lo nggak bakal bangkrut. Judi itu bikin orang bangkrut!" ujar Joana kencang tepat di depan wajah Resta sampai wanita itu merem. Resta mengembuskan napas. Bahunya meluruh. "Gue ke sini minta dikuatkan bukan diomelin kek gini," ucapnya bersungut-sungut sambil memilin-milin ujung blousenya. "Ya emang lo pantes diomeli
"Nggak masuk akal! Masa 24 jam lo harus stand by sama dia?"Suara Joana melingking ketika membaca klausal MoU yang Gyan buat untuk Resta."Ini sama aja kamu disuruh tinggal sama dia, gitu? Terus ini." Joana menunjuk lagi klausal lain yang menurutnya tidak masuk akal. "Masa selama terikat perjanjian lo nggak boleh ambil cuti kecuali mati. Yang bener aja! Belum lagi kalau lo mangkir atau resign sebelum masa kerja habis, lo harus bayar dendanya 10x lipat. Kenapa nggak sekalian 100x lipat?"Sementara Resta di depannya hanya menunduk pasrah. Dia bingung harus merespons apa."Tugas-tugasnya juga udah lebih mirip pembokat daripada asisten pribadi. Masa lo harus memastikan semua makanan yang dia makan dalam kondisi bagus? Gimana caranya coba?""Bukannya tugas asisten pribadi memang gitu?" Resta berkomentar lesu. Tubuhnya menggelosor ke bawah ranjang tidur."Pantas saja lo digaji gede. Kerjanya nggak main-main. Bahkan ada pasal yang mewajibkan lo jaga rahasia pribadi dia dan punishment-nya. An
Ini menyebalkan.Resta pikir Gyan melupakan eksistensinya sebagai asisten pribadi. Pertanyaan pria itu ketika melihatnya bersama Sella yang membuat dia berpikir demikian. Namun ternyata bukan itu yang Gyan maksud. Pria itu menginginkan Resta satu ruangan bersamanya. Dan yang terjadi setelahnya, meja kerja baru di sisi Sella dipindah ke ruangan lelaki itu.Ya Tuhan! Ini sih sama saja bekerja dalam pengawasan direktur langsung. Hari pertama kerja Gyan memintanya mengurus hal tak penting. Itu tidak masalah bagi Resta asal pria itu tidak rese saja. Menjelang siang Resta diribetkan dengan makanan lelaki itu."Pastikan makanannya tidak mengandung kacang-kacangan dan minyak berlebih," ujar Gyan mengingatkan. "Harus gluten free. Air mineral sudah habis pastikan kamu memesannya dengan merk yang sama. Saya tidak suka merk lainnya. Tidak cocok di lidah saya."Demi Tuhan! Perkara air saja seribet itu. Bukannya semua rasa air itu sama saja? Kelakuan orang kaya benar-benar ajaib, bahkan kalau pun t
Suasana pasca insiden handuk lepas meninggalkan kecanggungan di antara Resta dan Gyan. Ketika Gyan akhirnya keluar dari kamar, Resta pura-pura menyibukkan diri di dapur meskipun tidak ada hal yang perlu wanita itu kerjakan lagi. Malunya masih berasa tiap kali Resta ingat. Dan sepertinya tidak bisa dia lupa begitu saja. Apalagi...Dehaman keras Gyan membuat Resta tersentak. Wanita itu buru-buru memindahkan sarapan yang sudah dia siapkan ke depan pria itu tanpa bicara apa pun. Seusai meletakkan satu mangkok oat sereal dan satu gelas jus di meja makan, dia segera beringsut lagi ke dapur. Namun, di tengah usahanya menghindari sang bos tiba-tiba..."Kamu lihat sesuatu?"Pertanyaan Gyan sontak membuat langkahnya memutar. Jujur dia kaget mendapat pertanyaan ambigu itu. Otaknya sudah traveling ke mana-mana sekarang."Oh nggak kok saya nggak lihat apa-apa, Pak." Semoga jawaban itu meyakinkan. Pipinya terasa panas ketika bayangan sesuatu yang menggantung di bawah perut Gyan berkelebat lagi."Ng
Sejak pertemuan di tangga depan gedung kantor waktu itu, Resta lebih sering menerima pesan dari Reno. Tak jarang pria itu melakukan panggilan telepon meskipun hanya sebentar. Perubahan ini malah membuat Resta bertanya-tanya sekaligus senang. Seperti jatuh cinta kembali Resta merasakan hatinya berbunga-bunga kala mendapat pesan atau panggilan dari kekasihnya itu."Kenapa kamu senyum-senyum?" tegur Gyan tanpa menoleh sedikit pun dari lembar kerja yang ada di hadapannya. Meski begitu pria itu tetap bisa melihat kelakuan aneh asisten pribadinya akhir-akhir ini.Senyum Resta surut. Dia langsung mengubah ekspresi wajah. "Nggak ada apa-apa kok, Pak."Ya kali dia mau jawab jujur : Saya baru dapat chat dari pacar nanyain udah makan belom. Bisa-bisa Gyan memandangnya penuh kenistaan."Are you okay?" Kali ini Gyan menatap Resta sampai kacamatanya melorot."Saya ok—""Mungkin kamu butuh psikiater," sambar Gyan cepat sebelum Resta menjawab dengan sempurna.Wanita itu langsung memasang tampang masa
Jangan harap Resta bisa mewujudkan pepatah jaman purba sambil menyelam minum air atau sekali mendayung dua tiga pulau terlampau. Kunjungannya ke Bali dengan jabatan babu alias asisten Gyan, kerja sekaligus healing itu cuma angan-angan. Begitu sampai Kota Denpasar saja otaknya sudah diajak kemebul di ruang meeting bersama orang-orang asing dengan warna iris mata beragam. Mana sepanjang meeting berlangsung mereka semua aktif bicara menggunakan Bahasa Inggris pula. Untung Bahasa Inggris Resta tak payah-payah amat. Ya sekedar 'no' or 'yes' sih dia tahulah. Hihi. Pulang dari meeting jangan bermimpi bisa ngopi-ngopi cantik di kafe depan Pantai Kuta atau Sanur, yang ada dia harus merangkum semua hasil rapat dan menyusun laporan lalu lanjut diskusi bersama Baginda Gyan Jagland sambil sesekali menikmati bentakan-bentakan kecil ketika dia berbuat teledor. Siangnya dia langsung dibawa Gyan meninjau ke lokasi proyek berada, tepat saat matahari tengah berada persis di atas ubun-ubun. Gimana Resta
Gyan menarik napas panjang. Lalu menutup ponsel dengan perasaan muak luar biasa. Dia yang hendak memutar balik kemudi urung. Tatapnya langsung mengarah ke depan. Tepatnya di lobi sebuah gedung apartemen. Dia menatap punggung Resta yang makin menjauh. Harusnya Gyan tidak peduli dan membiarkan saja wanita itu pergi. Namun, entah apa yang mendorongnya ikut keluar dari mobil dan bergerak mengejar langkah Resta yang sudah melewati lobi. Resta tengah menunggu pintu lift terbuka ketika Gyan tiba di dekat wanita itu. Keningnya mengernyit melihat pria bermata biru itu malah ikut menunggu. "Pak Gyan ngapain?" tanyanya heran. "Mungkin sebaiknya kamu nggak usah ke unit pacar kamu." Jawaban Gyan malah membuat Resta makin terheran-heran. "Bisa jadi dia nggak ada di sana. Panggilan kamu masih belum diangkat kan?" Secara otomatis Resta menunduk, menatap ponsel di tangannya yang masih menyala. Ada raut kecewa tercetak jelas di wajahnya. "Tapi kalau nggak dicoba, mana kita tahu?" Ucapan
Tatapan Resta kosong. Tangannya mendorong pintu dengan pelan lalu bergerak masuk. Alih-alih pulang ke kosan, dia pulang ke apartemen Gyan. Dengan perasaan hampa dia menyeret langkah. Berhenti sesaat di tengah ruangan, lantas berbelok menuju dapur. Seperti orang yang kehilangan harapan, wanita itu menatap salah satu lemari dapur yang letaknya paling ujung. Di lemari gantung itu, dia pernah melihat berderet botol alkohol dengan merk yang asing. Yang pasti, minuman itu milik Gyan. Resta mengambil salah satu dan membawanya ke mini bar. Ditatapnya botol tersebut selama beberapa saat sebelum akhirnya menarik sebuah gelas kecil. Orang bilang, alkohol bisa mengurangi stres. Dan ini yang sedang coba Resta lakukan. Seakan belum cukup kesialan yang menimpanya beberapa waktu belakang, malam ini Tuhan malah menambahnya lagi. Kepalanya terasa penuh dan seperti ingin meledak. "Coba, hilangkan ingatanku sebentar saja," gumamnya menatap minuman yang sudah dia tuang ke dalam gelas. "Aku ingin istirah