Sudah beberapa hari belakangan ini Gyan melihat Resta pulang tidak kurang dari pukul sepuluh malam. Padahal tidak ada tugas tambahan atau lembur untuk para staf. Dan pria itu juga sedang tidak ingin memberi pelajaran pada wanita itu.Seperti malam ini, lagi-lagi tanpa sengaja Gyan melihat lampu kubikel Resta menyala di antara lampu lain yang sudah padam. Dia bisa saja menghampiri wanita itu dan menanyakan apa yang Resta lakukan. Namun dia memilih membiarkan dan kembali ke ruang kerjanya. Lima belas menit kemudian dia yang berniat pulang sudah mendapati lampu kubik Resta padam."Sebenarnya apa yang wanita itu lakukan?" gumamnya. Penasaran membuat langkah pria itu berbelok menuju workstation dan singgah di meja kerja Resta.Biasanya Gyan melihat Resta begitu serius di depan layar. Kadang dahi wanita itu terlihat sampai berkerut. Malam ini bahkan dia melihat rambut Resta acak-acakan. Telunjuk Gyan menekan tombol power pada komputer di meja Resta. Menunggu beberapa saat sampai jendela lay
Joana mengomeli Resta habis-habisan berkat kebodohannya loss trading. Dia kejam sekali. Bukannya memeluk dan menguatkan Resta yang lagi mode sedih malah marah-marah. Baik, itu semua memang kesalahan Resta, wanita itu juga tidak membantah. Tapi setidaknya Joana memberinya simpati, bukannya menggoblok-goblokinya terus-terusan. "Lo tuh ngomong kalau butuh uang," ujar Joana geregetan. "Gue kan bisa bantu. Atau kalau gue nggak bisa bantu gue bisa kok minta bantuan kakak gue. Tapi nggak main judi gini." "Itu bukan judi. Itu trading, pasar uang," bantah Resta. Namun langsung ditebas Joana sambil mengibas udara. "Halah sama aja. Lo berspekulasi di sana.""Bedalah.""Kalau beda lo nggak bakal bangkrut. Judi itu bikin orang bangkrut!" ujar Joana kencang tepat di depan wajah Resta sampai wanita itu merem. Resta mengembuskan napas. Bahunya meluruh. "Gue ke sini minta dikuatkan bukan diomelin kek gini," ucapnya bersungut-sungut sambil memilin-milin ujung blousenya. "Ya emang lo pantes diomeli
"Nggak masuk akal! Masa 24 jam lo harus stand by sama dia?"Suara Joana melingking ketika membaca klausal MoU yang Gyan buat untuk Resta."Ini sama aja kamu disuruh tinggal sama dia, gitu? Terus ini." Joana menunjuk lagi klausal lain yang menurutnya tidak masuk akal. "Masa selama terikat perjanjian lo nggak boleh ambil cuti kecuali mati. Yang bener aja! Belum lagi kalau lo mangkir atau resign sebelum masa kerja habis, lo harus bayar dendanya 10x lipat. Kenapa nggak sekalian 100x lipat?"Sementara Resta di depannya hanya menunduk pasrah. Dia bingung harus merespons apa."Tugas-tugasnya juga udah lebih mirip pembokat daripada asisten pribadi. Masa lo harus memastikan semua makanan yang dia makan dalam kondisi bagus? Gimana caranya coba?""Bukannya tugas asisten pribadi memang gitu?" Resta berkomentar lesu. Tubuhnya menggelosor ke bawah ranjang tidur."Pantas saja lo digaji gede. Kerjanya nggak main-main. Bahkan ada pasal yang mewajibkan lo jaga rahasia pribadi dia dan punishment-nya. An
Ini menyebalkan.Resta pikir Gyan melupakan eksistensinya sebagai asisten pribadi. Pertanyaan pria itu ketika melihatnya bersama Sella yang membuat dia berpikir demikian. Namun ternyata bukan itu yang Gyan maksud. Pria itu menginginkan Resta satu ruangan bersamanya. Dan yang terjadi setelahnya, meja kerja baru di sisi Sella dipindah ke ruangan lelaki itu.Ya Tuhan! Ini sih sama saja bekerja dalam pengawasan direktur langsung. Hari pertama kerja Gyan memintanya mengurus hal tak penting. Itu tidak masalah bagi Resta asal pria itu tidak rese saja. Menjelang siang Resta diribetkan dengan makanan lelaki itu."Pastikan makanannya tidak mengandung kacang-kacangan dan minyak berlebih," ujar Gyan mengingatkan. "Harus gluten free. Air mineral sudah habis pastikan kamu memesannya dengan merk yang sama. Saya tidak suka merk lainnya. Tidak cocok di lidah saya."Demi Tuhan! Perkara air saja seribet itu. Bukannya semua rasa air itu sama saja? Kelakuan orang kaya benar-benar ajaib, bahkan kalau pun t
Suasana pasca insiden handuk lepas meninggalkan kecanggungan di antara Resta dan Gyan. Ketika Gyan akhirnya keluar dari kamar, Resta pura-pura menyibukkan diri di dapur meskipun tidak ada hal yang perlu wanita itu kerjakan lagi. Malunya masih berasa tiap kali Resta ingat. Dan sepertinya tidak bisa dia lupa begitu saja. Apalagi...Dehaman keras Gyan membuat Resta tersentak. Wanita itu buru-buru memindahkan sarapan yang sudah dia siapkan ke depan pria itu tanpa bicara apa pun. Seusai meletakkan satu mangkok oat sereal dan satu gelas jus di meja makan, dia segera beringsut lagi ke dapur. Namun, di tengah usahanya menghindari sang bos tiba-tiba..."Kamu lihat sesuatu?"Pertanyaan Gyan sontak membuat langkahnya memutar. Jujur dia kaget mendapat pertanyaan ambigu itu. Otaknya sudah traveling ke mana-mana sekarang."Oh nggak kok saya nggak lihat apa-apa, Pak." Semoga jawaban itu meyakinkan. Pipinya terasa panas ketika bayangan sesuatu yang menggantung di bawah perut Gyan berkelebat lagi."Ng
Sejak pertemuan di tangga depan gedung kantor waktu itu, Resta lebih sering menerima pesan dari Reno. Tak jarang pria itu melakukan panggilan telepon meskipun hanya sebentar. Perubahan ini malah membuat Resta bertanya-tanya sekaligus senang. Seperti jatuh cinta kembali Resta merasakan hatinya berbunga-bunga kala mendapat pesan atau panggilan dari kekasihnya itu."Kenapa kamu senyum-senyum?" tegur Gyan tanpa menoleh sedikit pun dari lembar kerja yang ada di hadapannya. Meski begitu pria itu tetap bisa melihat kelakuan aneh asisten pribadinya akhir-akhir ini.Senyum Resta surut. Dia langsung mengubah ekspresi wajah. "Nggak ada apa-apa kok, Pak."Ya kali dia mau jawab jujur : Saya baru dapat chat dari pacar nanyain udah makan belom. Bisa-bisa Gyan memandangnya penuh kenistaan."Are you okay?" Kali ini Gyan menatap Resta sampai kacamatanya melorot."Saya ok—""Mungkin kamu butuh psikiater," sambar Gyan cepat sebelum Resta menjawab dengan sempurna.Wanita itu langsung memasang tampang masa
Jangan harap Resta bisa mewujudkan pepatah jaman purba sambil menyelam minum air atau sekali mendayung dua tiga pulau terlampau. Kunjungannya ke Bali dengan jabatan babu alias asisten Gyan, kerja sekaligus healing itu cuma angan-angan. Begitu sampai Kota Denpasar saja otaknya sudah diajak kemebul di ruang meeting bersama orang-orang asing dengan warna iris mata beragam. Mana sepanjang meeting berlangsung mereka semua aktif bicara menggunakan Bahasa Inggris pula. Untung Bahasa Inggris Resta tak payah-payah amat. Ya sekedar 'no' or 'yes' sih dia tahulah. Hihi. Pulang dari meeting jangan bermimpi bisa ngopi-ngopi cantik di kafe depan Pantai Kuta atau Sanur, yang ada dia harus merangkum semua hasil rapat dan menyusun laporan lalu lanjut diskusi bersama Baginda Gyan Jagland sambil sesekali menikmati bentakan-bentakan kecil ketika dia berbuat teledor. Siangnya dia langsung dibawa Gyan meninjau ke lokasi proyek berada, tepat saat matahari tengah berada persis di atas ubun-ubun. Gimana Resta
Gyan menarik napas panjang. Lalu menutup ponsel dengan perasaan muak luar biasa. Dia yang hendak memutar balik kemudi urung. Tatapnya langsung mengarah ke depan. Tepatnya di lobi sebuah gedung apartemen. Dia menatap punggung Resta yang makin menjauh. Harusnya Gyan tidak peduli dan membiarkan saja wanita itu pergi. Namun, entah apa yang mendorongnya ikut keluar dari mobil dan bergerak mengejar langkah Resta yang sudah melewati lobi. Resta tengah menunggu pintu lift terbuka ketika Gyan tiba di dekat wanita itu. Keningnya mengernyit melihat pria bermata biru itu malah ikut menunggu. "Pak Gyan ngapain?" tanyanya heran. "Mungkin sebaiknya kamu nggak usah ke unit pacar kamu." Jawaban Gyan malah membuat Resta makin terheran-heran. "Bisa jadi dia nggak ada di sana. Panggilan kamu masih belum diangkat kan?" Secara otomatis Resta menunduk, menatap ponsel di tangannya yang masih menyala. Ada raut kecewa tercetak jelas di wajahnya. "Tapi kalau nggak dicoba, mana kita tahu?" Ucapan
Tidak cuma Daniel dan Delotta yang menghadiri grand opening hot spring dan restoran milik Resta tersebut. Ibu dan Kae juga turut serta. Kae yang sedang sibuk meraih gelar profesi menyempatkan hadir mendampingi ibunya. Lalu Joana dan juga orang tuanya. Dan yang mengejutkan Aaron pun datang. Dia tidak sendiri ada wanita cantik di sebelahnya yang selalu menggandeng tangannya. "Tunangan Kak Aaron?" Resta terlihat takjub saat Aaron mengenalkan wanita itu padanya. "Doakan ya semoga bisa segera dihalalin," sahut Aaron tersenyum sambil menatap wanita di sisinya. "Pasti dong, Kak." "Akhirnya setelah sekian lama kakak gue sold out juga," celetuk Joana. Yang langsung mendapat jitakan di kepalanya dari sang kakak. "Nggak sopan, emangnya kakak kamu ini barang dagangan," gerutu Aaron membuat Joana manyun sambil mengusap kepalanya. "Mana cowok kamu? Katanya ada yang baru lagi?" "Nggak ada! Aku lagi jomblo.""Jomblo beneran ntar lo," timpal Resta menyeringai lebar. "Lah emang gue jomblo!" Aa
"Good. Proposal diterima." Wajah Resta kontan berbinar setelah waswas menunggu respons suaminya perkara proposal yang dia buat lagi. Bibirnya melengkung sempurna. Saat tatapnya bertemu dengan mata biru Gyan, wanita itu langsung meloncat, dan menghambur ke pelukan sang suami. "Makasih, Gy! Makasih," serunya sambil mengecup pipi Gyan bolak-balik. Dia susah payah berdiskusi dan menyusun konsep baru bersama Joana setelah survei ke berbagai jenis cafe di ibukota bersama Gyan waktu itu. Bahkan untuk menyusun menu, Joana menyeret Marsel yang notabene memiliki beberapa chef andalan di rumahnya. Soal Marsel itu, entah tepatnya kapan Joana bisa dekat dengan pria itu. Hal ini belum sempat Resta tanyakan. Yang terpenting saat ini proposal bisnis barunya diterima Gyan. Pria bermata biru itu tersenyum seraya mengusap pinggang Resta yang berada di pangkuannya. "Lokasinya udah ada?" tanyanya. "Udah ada yang kami incar. Joana bilang akan nego sama pemiliknya.""Kamu butuh tanah yang cukup luas loh
Ketukan di pintu sama sekali tidak membuat Resta segera beranjak dari tempat tidur. Dia malah makin merapatkan selimut. Suara Gyan yang terus memanggil pun tidak dia hiraukan. Resta masih kesal. Semalam dia benar-benar memisahkan diri, dan Gyan pun tidak terlihat menyusulnya. Meski kesal luar biasa karena proposalnya ditolak, semalam dia membaca ulang proposal yang sudah dia buat itu. Resta akui Gyan benar. Konsepnya sederhana seperti kafe pada umumnya, tapi tetap saja dirinya merasa tersinggung. Entahlah, akhir-akhir ini Resta merasa gampang emosional. Tidak bisa kena senggol sedikit. Mood-nya benar-benar kacau. Resta tahu ada pergerakan pintu yang dibuka, tapi dia tetap diam. Hatinya cuma berharap tidak ada hal yang akan membuat paginya berantakan, terlebih karena disebabkan suaminya. Akan lebih baik Gyan langsung berangkat kerja saja tanpa mendekatinya seperti ini. Jujur, Resta masih malas sama lelaki itu. Gyan mendekat, dan berbaring di sisi Resta yang tidur membelakanginya. "Sa
Gyan menatap layar komputernya dengan mata berbinar. Kepalan tangannya sesekali diayunkan. Proyeknya berjalan sesuai apa yang dia inginkan. Pertimbangannya untuk berinvestasi tiga tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Baginya ini hal yang harus dia rayakan bersama sang istri. Bumi yang baru saja masuk tersenyum kecil melihat wajah sumringah bosnya. "Saya belum mendengar kabar tender baru yang berhasil. Kenapa Anda bisa sesenang ini, Pak?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah dokumen bersampul hitam ke meja besar bosnya. "Ini bukan soal tender." Javas menjauhkan sedikit badan dari layar komputer lalu menatap asisten pribadinya itu. "Tapi investasi Blue Jagland di proyek kota tua di Sulawesi. Selama tiga tahun berjalan, laporan itu makin membaik. Kenapa saya senang. Karena itu adalah investasi besar pertama saya yang disetujui oleh pemegang saham.""Selamat, Anda memang hebat, Pak." Gyan tersenyum lebar sambil memutar-mutar kursinya. Namun senyum lebarnya tidak berlangsung lama ke
Gyan membungkam segera mulut Resta yang menjerit. Lalu kekehan kecilnya mengudara. Sudah larut malam, tapi keduanya masih terjaga. Bahkan keringat membanjiri tubuh polos mereka yang hanya tertutup kain selimut. "Jangan berisik, Sayang. Kamu bisa membangunkan semua orang," bisik Gyan meletakkan telunjuk ke bibir. Resta mengangguk-angguk sehingga Gyan bisa melepaskan tangan dari mulutnya. "Habis gimana, ini terlalu enak," ujarnya nyengir. Ada kebanggaan tersendiri ketika Resta mengatakan itu. Secara tak langsung wanita itu memuji kemampuan dirinya menyenangkan istri di atas ranjang. "Masih mau lagi?" tanya Gyan tersenyum nakal. Pinggulnya bergerak pelan sengaja menggoda sang istri. "Mau.""Janji jangan teriak. Kalau di apartemen sendiri sih nggak masalah. Di sebelah ada Ola." "Nggak janji sih. Tapi aku bakal usahain nggak teriak kenceng-kenceng." Kebisingan sepasang suami istri muda di malam hari sudah terjadi beberapa malam sejak keduanya menginap di rumah Daniel. Gyan dan Resta
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest