Gyan menarik napas panjang. Lalu menutup ponsel dengan perasaan muak luar biasa. Dia yang hendak memutar balik kemudi urung. Tatapnya langsung mengarah ke depan. Tepatnya di lobi sebuah gedung apartemen. Dia menatap punggung Resta yang makin menjauh. Harusnya Gyan tidak peduli dan membiarkan saja wanita itu pergi. Namun, entah apa yang mendorongnya ikut keluar dari mobil dan bergerak mengejar langkah Resta yang sudah melewati lobi. Resta tengah menunggu pintu lift terbuka ketika Gyan tiba di dekat wanita itu. Keningnya mengernyit melihat pria bermata biru itu malah ikut menunggu. "Pak Gyan ngapain?" tanyanya heran. "Mungkin sebaiknya kamu nggak usah ke unit pacar kamu." Jawaban Gyan malah membuat Resta makin terheran-heran. "Bisa jadi dia nggak ada di sana. Panggilan kamu masih belum diangkat kan?" Secara otomatis Resta menunduk, menatap ponsel di tangannya yang masih menyala. Ada raut kecewa tercetak jelas di wajahnya. "Tapi kalau nggak dicoba, mana kita tahu?" Ucapan
Tatapan Resta kosong. Tangannya mendorong pintu dengan pelan lalu bergerak masuk. Alih-alih pulang ke kosan, dia pulang ke apartemen Gyan. Dengan perasaan hampa dia menyeret langkah. Berhenti sesaat di tengah ruangan, lantas berbelok menuju dapur. Seperti orang yang kehilangan harapan, wanita itu menatap salah satu lemari dapur yang letaknya paling ujung. Di lemari gantung itu, dia pernah melihat berderet botol alkohol dengan merk yang asing. Yang pasti, minuman itu milik Gyan. Resta mengambil salah satu dan membawanya ke mini bar. Ditatapnya botol tersebut selama beberapa saat sebelum akhirnya menarik sebuah gelas kecil. Orang bilang, alkohol bisa mengurangi stres. Dan ini yang sedang coba Resta lakukan. Seakan belum cukup kesialan yang menimpanya beberapa waktu belakang, malam ini Tuhan malah menambahnya lagi. Kepalanya terasa penuh dan seperti ingin meledak. "Coba, hilangkan ingatanku sebentar saja," gumamnya menatap minuman yang sudah dia tuang ke dalam gelas. "Aku ingin istirah
Pengar membuat kelopak mata Resta berkedut. Sakit di kepala makin terasa ketika kesadarannya kembali. Dia memicingkan mata, menahan nyeri luar biasa itu. "Kenapa sakit banget begini?" Sekuat tenaga Resta berusaha bangkit. Mencari posisi nyaman untuk mengurangi rasa sakit. Namun denyut di kepalanya belum juga berangsur membaik. Resta membuka mata, dan mengedarkan pandang. Dia cukup terkejut lantaran mendapati dirinya bukan di kamar kosan, tapi kamar Gyan. Di tengah rasa sakit yang belum hilang putaran kejadian semalam berkelebat. Bandara, kelab, hingga berakhir di apartemen Gyan. Sebersit rasa sesal bergelayut. Harusnya dia langsung kembali ke kosan dan tidak mengambil alkohol milik sang bos. Ingatan yang berputar tidak cukup sampai di situ. Kepalanya mendadak makin sakit ketika ingat apa yang dia lakukan kepada Gyan. Dia tidak percaya bisa berbuat senekat itu. Lalu setelah itu? Resta tidak ingat apa-apa lagi. Yang dia tahu sambil terus berciuman Gyan membawanya ke kamar ini. "Ya T
Resta menoyor kembali kepalanya sendiri ke arah kiri setelah sebelumnya Joana menoyor ke arah kanan. Kadang Jo memang sesadis itu. Main noyor kepala orang kan katanya bikin jadi bodoh. Meskipun belum ada uji klinis yang membuktikan, tapi orang-orang jaman dulu bilang begitu."Jadi aspri bukannya tambah pinter malah tambah bego," ujar Joana dengan sadis.Bibir Resta manyun. Dia mendadak menyesal sudah menceritakan semua ke sahabatnya itu. Bukannya dikuatin malah disalah-salahin. Ya dia tahu betul Joana akan begitu, tapi tetap saja larinya ke wanita itu."Habis liat burungnya, sekarang malah cipokan. Entah apa lagi setelah ini."Mata Resta kontan melotot. "Jangan ngomong gitu dong, Jo. Semua juga kecelakaan. Bukan sengaja.""Tapi lo nikmati kan?""Enggak!" bantah Resta cepat. Enak saja! Meskipun enak, tapi Resta tidak menikmati. Eh? Gimana sih?Joana mencibir. "Lagian lo, nggak pernah minum aja sok-sokan minum. Minum nggak bisa bikin lo naik kelas. Tetep aja masalah lo nggak kelar, namb
Rasanya Resta ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi saja. Malunya sudah sampai ke ubun-ubun. Dalam keadaan darurat seperti itu bisa-bisanya dia berpikiran mesum. Ada di mana otaknya sebenarnya? Hampir-hampir Resta memukul kepalanya sendiri. Beruntung dia berhasil menyingkir dari tubuh Gyan sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sumpah, yang tadi itu dia tidak sadar. Bibir tipis Gyan, aroma musk yang menguar, membuatnya tanpa sadar mendekat dan.... Ah! Resta tak sanggup mengingat lagi kelakuannya sendiri yang memalukan. Entah apa yang bosnya pikirkan tentang dirinya setelah itu. Saat ini Resta tengah sibuk di dapur membuat makanan untuk pria itu. Sesekali tatapannya diam-diam mengintip ke arah Gyan yang tampak kembali tenang di atas sofa sambil memangku laptop lagi. Padahal Resta pikir pria itu tadi sudah pulas sampai ke Australia. Resta memasukkan sepotong ayam bumbu ke oven. Lalu tangannya bergerak mencuci sayuran yang akan dia tumis. Persediaan bahan makanan di kulkas su
Resta mondar-mandir di depan pintu kamar Gyan. Jika biasanya dia akan langsung masuk kali ini wanita itu ragu melakukannya. Bukannya apa, akhir - akhir ini dia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Ditambah kelakuan Gyan yang menurutnya mendadak aneh pasca kejadian dia mabuk waktu itu.Resta masih kebingungan antara masuk atau tidak ketika tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Wanita itu sontak terperanjat mendapati Gyan sudah berpakaian rapi."Kamu ngapain?" tanya Gyan memandang aneh kepada Resta. Pasalnya ekspresi wanita itu seperti baru melihat hantu.Kepala Resta menggeleng agresif. "Saya mau membereskan kamar Anda, Pak.""Nggak perlu. Saya sudah membereskannya," ujar Gyan seraya menutup kembali pintu kamar. "Kamu nggak usah bikin sarapan, kita sarapan di kantor. Hari ini ada meeting pagi kan?"Resta mengangguk. Sejujurnya dia masih merasa ajaib. Gyan tidak marah padahal Resta belum menyiapkan pakaian kerjanya. Bahkan lelaki itu sudah merapikan kamarnya sendiri. Biasanya perka
Gyan keluar dari rombongan ketika mata birunya menemukan seorang gadis yang dia kenal. Dia menyingkir tanpa ada yang memperhatikan. Resta juga terlihat sibuk mewawancarai pemilik toko sampai tidak sadar dengan kepergian lelaki itu.Langkah panjang Gyan terayun cepat. Sedikit mengitari pusat mal sebelum mencapai salah satu brand store di lantai itu. Tangannya terulur ketika jaraknya dengan gadis itu makin dekat. Dia menarik lengan si gadis yang tengah berjalan dengan dua orang temannya.Si gadis tampak kaget dan langsung menoleh. Namun raut kaget itu berubah jadi sumringah saat tahu Gyan-lah yang menarik tangannya."Mas Gyan? Kok di sini?" tanya gadis itu tersenyum lebar. Sementara dua orang temannya senyum-senyum dan saling sikut."Mas ada kerjaan di sini. Kamu sendiri ngapain? Bukannya bantu mami malah keluyuran.""Ini aku udah mau balik kok. Mami nelponin mulu, mastiin aku pulang sebelum jam makan siang.""Then why are you still here?""Nganterin Nanda beli sepatu dulu." Gadis itu m
Sebenarnya Resta bingung dengan keberadaannya di rumah besar ini. Rasa sungkan kembali menyerang. Sama seperti pertama kali datang ke rumah ini beberapa waktu lalu. Hampir-hampir dia tidak ingin turun dan menunggu di mobil saja, tapi si otoriter Gyan tentu saja tidak membiarkan itu terjadi. Yang ada dia diseret sampai ke pintu."Saya tau kamu juga lapar. Di perjalanan perut kamu bunyi terus. Putus cinta nggak bikin nafsu makan kamu hilang kan? Laper mah ya tetep."Lama-lama kok nyebelin ya? Gyan terus menerus menyinggung soal putus cinta. Namun Resta tidak bisa membalas, lebih tepatnya malas menimpali. Jadi dia memutuskan diam dan hanya mengikuti lelaki itu.Acara makan siang di rumah Daniel sudah kelar ketika mereka datang. Hanya ada Delotta di ruang tengah yang terlihat sedang membolak-balik sebuah majalah."Siang, Mam," sapa Gyan seraya menghampiri ibunya itu."Mas, kenapa baru datang sih? Kami kan nungguin kamu lama." Dengan punggung menegak Delotta menerima ciuman pipi dari putra
Tidak cuma Daniel dan Delotta yang menghadiri grand opening hot spring dan restoran milik Resta tersebut. Ibu dan Kae juga turut serta. Kae yang sedang sibuk meraih gelar profesi menyempatkan hadir mendampingi ibunya. Lalu Joana dan juga orang tuanya. Dan yang mengejutkan Aaron pun datang. Dia tidak sendiri ada wanita cantik di sebelahnya yang selalu menggandeng tangannya. "Tunangan Kak Aaron?" Resta terlihat takjub saat Aaron mengenalkan wanita itu padanya. "Doakan ya semoga bisa segera dihalalin," sahut Aaron tersenyum sambil menatap wanita di sisinya. "Pasti dong, Kak." "Akhirnya setelah sekian lama kakak gue sold out juga," celetuk Joana. Yang langsung mendapat jitakan di kepalanya dari sang kakak. "Nggak sopan, emangnya kakak kamu ini barang dagangan," gerutu Aaron membuat Joana manyun sambil mengusap kepalanya. "Mana cowok kamu? Katanya ada yang baru lagi?" "Nggak ada! Aku lagi jomblo.""Jomblo beneran ntar lo," timpal Resta menyeringai lebar. "Lah emang gue jomblo!" Aa
"Good. Proposal diterima." Wajah Resta kontan berbinar setelah waswas menunggu respons suaminya perkara proposal yang dia buat lagi. Bibirnya melengkung sempurna. Saat tatapnya bertemu dengan mata biru Gyan, wanita itu langsung meloncat, dan menghambur ke pelukan sang suami. "Makasih, Gy! Makasih," serunya sambil mengecup pipi Gyan bolak-balik. Dia susah payah berdiskusi dan menyusun konsep baru bersama Joana setelah survei ke berbagai jenis cafe di ibukota bersama Gyan waktu itu. Bahkan untuk menyusun menu, Joana menyeret Marsel yang notabene memiliki beberapa chef andalan di rumahnya. Soal Marsel itu, entah tepatnya kapan Joana bisa dekat dengan pria itu. Hal ini belum sempat Resta tanyakan. Yang terpenting saat ini proposal bisnis barunya diterima Gyan. Pria bermata biru itu tersenyum seraya mengusap pinggang Resta yang berada di pangkuannya. "Lokasinya udah ada?" tanyanya. "Udah ada yang kami incar. Joana bilang akan nego sama pemiliknya.""Kamu butuh tanah yang cukup luas loh
Ketukan di pintu sama sekali tidak membuat Resta segera beranjak dari tempat tidur. Dia malah makin merapatkan selimut. Suara Gyan yang terus memanggil pun tidak dia hiraukan. Resta masih kesal. Semalam dia benar-benar memisahkan diri, dan Gyan pun tidak terlihat menyusulnya. Meski kesal luar biasa karena proposalnya ditolak, semalam dia membaca ulang proposal yang sudah dia buat itu. Resta akui Gyan benar. Konsepnya sederhana seperti kafe pada umumnya, tapi tetap saja dirinya merasa tersinggung. Entahlah, akhir-akhir ini Resta merasa gampang emosional. Tidak bisa kena senggol sedikit. Mood-nya benar-benar kacau. Resta tahu ada pergerakan pintu yang dibuka, tapi dia tetap diam. Hatinya cuma berharap tidak ada hal yang akan membuat paginya berantakan, terlebih karena disebabkan suaminya. Akan lebih baik Gyan langsung berangkat kerja saja tanpa mendekatinya seperti ini. Jujur, Resta masih malas sama lelaki itu. Gyan mendekat, dan berbaring di sisi Resta yang tidur membelakanginya. "Sa
Gyan menatap layar komputernya dengan mata berbinar. Kepalan tangannya sesekali diayunkan. Proyeknya berjalan sesuai apa yang dia inginkan. Pertimbangannya untuk berinvestasi tiga tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Baginya ini hal yang harus dia rayakan bersama sang istri. Bumi yang baru saja masuk tersenyum kecil melihat wajah sumringah bosnya. "Saya belum mendengar kabar tender baru yang berhasil. Kenapa Anda bisa sesenang ini, Pak?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah dokumen bersampul hitam ke meja besar bosnya. "Ini bukan soal tender." Javas menjauhkan sedikit badan dari layar komputer lalu menatap asisten pribadinya itu. "Tapi investasi Blue Jagland di proyek kota tua di Sulawesi. Selama tiga tahun berjalan, laporan itu makin membaik. Kenapa saya senang. Karena itu adalah investasi besar pertama saya yang disetujui oleh pemegang saham.""Selamat, Anda memang hebat, Pak." Gyan tersenyum lebar sambil memutar-mutar kursinya. Namun senyum lebarnya tidak berlangsung lama ke
Gyan membungkam segera mulut Resta yang menjerit. Lalu kekehan kecilnya mengudara. Sudah larut malam, tapi keduanya masih terjaga. Bahkan keringat membanjiri tubuh polos mereka yang hanya tertutup kain selimut. "Jangan berisik, Sayang. Kamu bisa membangunkan semua orang," bisik Gyan meletakkan telunjuk ke bibir. Resta mengangguk-angguk sehingga Gyan bisa melepaskan tangan dari mulutnya. "Habis gimana, ini terlalu enak," ujarnya nyengir. Ada kebanggaan tersendiri ketika Resta mengatakan itu. Secara tak langsung wanita itu memuji kemampuan dirinya menyenangkan istri di atas ranjang. "Masih mau lagi?" tanya Gyan tersenyum nakal. Pinggulnya bergerak pelan sengaja menggoda sang istri. "Mau.""Janji jangan teriak. Kalau di apartemen sendiri sih nggak masalah. Di sebelah ada Ola." "Nggak janji sih. Tapi aku bakal usahain nggak teriak kenceng-kenceng." Kebisingan sepasang suami istri muda di malam hari sudah terjadi beberapa malam sejak keduanya menginap di rumah Daniel. Gyan dan Resta
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest