Resta menoyor kembali kepalanya sendiri ke arah kiri setelah sebelumnya Joana menoyor ke arah kanan. Kadang Jo memang sesadis itu. Main noyor kepala orang kan katanya bikin jadi bodoh. Meskipun belum ada uji klinis yang membuktikan, tapi orang-orang jaman dulu bilang begitu."Jadi aspri bukannya tambah pinter malah tambah bego," ujar Joana dengan sadis.Bibir Resta manyun. Dia mendadak menyesal sudah menceritakan semua ke sahabatnya itu. Bukannya dikuatin malah disalah-salahin. Ya dia tahu betul Joana akan begitu, tapi tetap saja larinya ke wanita itu."Habis liat burungnya, sekarang malah cipokan. Entah apa lagi setelah ini."Mata Resta kontan melotot. "Jangan ngomong gitu dong, Jo. Semua juga kecelakaan. Bukan sengaja.""Tapi lo nikmati kan?""Enggak!" bantah Resta cepat. Enak saja! Meskipun enak, tapi Resta tidak menikmati. Eh? Gimana sih?Joana mencibir. "Lagian lo, nggak pernah minum aja sok-sokan minum. Minum nggak bisa bikin lo naik kelas. Tetep aja masalah lo nggak kelar, namb
Rasanya Resta ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi saja. Malunya sudah sampai ke ubun-ubun. Dalam keadaan darurat seperti itu bisa-bisanya dia berpikiran mesum. Ada di mana otaknya sebenarnya? Hampir-hampir Resta memukul kepalanya sendiri. Beruntung dia berhasil menyingkir dari tubuh Gyan sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sumpah, yang tadi itu dia tidak sadar. Bibir tipis Gyan, aroma musk yang menguar, membuatnya tanpa sadar mendekat dan.... Ah! Resta tak sanggup mengingat lagi kelakuannya sendiri yang memalukan. Entah apa yang bosnya pikirkan tentang dirinya setelah itu. Saat ini Resta tengah sibuk di dapur membuat makanan untuk pria itu. Sesekali tatapannya diam-diam mengintip ke arah Gyan yang tampak kembali tenang di atas sofa sambil memangku laptop lagi. Padahal Resta pikir pria itu tadi sudah pulas sampai ke Australia. Resta memasukkan sepotong ayam bumbu ke oven. Lalu tangannya bergerak mencuci sayuran yang akan dia tumis. Persediaan bahan makanan di kulkas su
Resta mondar-mandir di depan pintu kamar Gyan. Jika biasanya dia akan langsung masuk kali ini wanita itu ragu melakukannya. Bukannya apa, akhir - akhir ini dia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Ditambah kelakuan Gyan yang menurutnya mendadak aneh pasca kejadian dia mabuk waktu itu.Resta masih kebingungan antara masuk atau tidak ketika tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Wanita itu sontak terperanjat mendapati Gyan sudah berpakaian rapi."Kamu ngapain?" tanya Gyan memandang aneh kepada Resta. Pasalnya ekspresi wanita itu seperti baru melihat hantu.Kepala Resta menggeleng agresif. "Saya mau membereskan kamar Anda, Pak.""Nggak perlu. Saya sudah membereskannya," ujar Gyan seraya menutup kembali pintu kamar. "Kamu nggak usah bikin sarapan, kita sarapan di kantor. Hari ini ada meeting pagi kan?"Resta mengangguk. Sejujurnya dia masih merasa ajaib. Gyan tidak marah padahal Resta belum menyiapkan pakaian kerjanya. Bahkan lelaki itu sudah merapikan kamarnya sendiri. Biasanya perka
Gyan keluar dari rombongan ketika mata birunya menemukan seorang gadis yang dia kenal. Dia menyingkir tanpa ada yang memperhatikan. Resta juga terlihat sibuk mewawancarai pemilik toko sampai tidak sadar dengan kepergian lelaki itu.Langkah panjang Gyan terayun cepat. Sedikit mengitari pusat mal sebelum mencapai salah satu brand store di lantai itu. Tangannya terulur ketika jaraknya dengan gadis itu makin dekat. Dia menarik lengan si gadis yang tengah berjalan dengan dua orang temannya.Si gadis tampak kaget dan langsung menoleh. Namun raut kaget itu berubah jadi sumringah saat tahu Gyan-lah yang menarik tangannya."Mas Gyan? Kok di sini?" tanya gadis itu tersenyum lebar. Sementara dua orang temannya senyum-senyum dan saling sikut."Mas ada kerjaan di sini. Kamu sendiri ngapain? Bukannya bantu mami malah keluyuran.""Ini aku udah mau balik kok. Mami nelponin mulu, mastiin aku pulang sebelum jam makan siang.""Then why are you still here?""Nganterin Nanda beli sepatu dulu." Gadis itu m
Sebenarnya Resta bingung dengan keberadaannya di rumah besar ini. Rasa sungkan kembali menyerang. Sama seperti pertama kali datang ke rumah ini beberapa waktu lalu. Hampir-hampir dia tidak ingin turun dan menunggu di mobil saja, tapi si otoriter Gyan tentu saja tidak membiarkan itu terjadi. Yang ada dia diseret sampai ke pintu."Saya tau kamu juga lapar. Di perjalanan perut kamu bunyi terus. Putus cinta nggak bikin nafsu makan kamu hilang kan? Laper mah ya tetep."Lama-lama kok nyebelin ya? Gyan terus menerus menyinggung soal putus cinta. Namun Resta tidak bisa membalas, lebih tepatnya malas menimpali. Jadi dia memutuskan diam dan hanya mengikuti lelaki itu.Acara makan siang di rumah Daniel sudah kelar ketika mereka datang. Hanya ada Delotta di ruang tengah yang terlihat sedang membolak-balik sebuah majalah."Siang, Mam," sapa Gyan seraya menghampiri ibunya itu."Mas, kenapa baru datang sih? Kami kan nungguin kamu lama." Dengan punggung menegak Delotta menerima ciuman pipi dari putra
"Resta, tolong kam—"Gyan berhenti bersuara ketika melihat Resta sudah terkapar di atas meja. Pria itu melirik jam di sudut layar laptop. Pukul 12 malam. Napasnya berembus kasar, lantas punggungnya bergerak rebah di sandaran kursi. Ditatapnya wanita yang sudah sebulan menjadi asistennya itu selama beberapa saat sebelum dia bangkit dari kursi.Langkah Gyan mendekat ke meja Resta. Berdiri sejenak di dekat wanita itu sebelum mengguncang sedikit bahunya."Resta," panggilnya pelan.Tidak ada reaksi. Panggilan kedua, Resta cuma menggeliat. Sama sekali tidak ada tanda-tanda wanita itu akan terjaga.Dengan gerakan pelan, Gyan akhirnya berinisiatif memindahkan Resta dari kursi. Tidur di kursi dengan kepala di atas meja tentu sangat tidak nyaman. Pelan dia menarik badan Resta, melingkarkan satu lengan wanita itu ke pundak. Lalu membopong tubuh asistennya itu. Resta sudah seperti orang mati. Sama sekali tidak bereaksi ketika tubuhnya diangkat."Berat juga," gumam Gyan seraya memandang lelah waja
Rasanya begitu nyaman bisa memeluk ayahnya lagi. Resta merasakan rindu yang luar biasa. Sudah bertahun-tahun ayah meninggalkannya. Meski hanya lewat mimpi Resta senang bisa menggapainya lagi.Dalam tidur senyum Resta terukir. Dia makin mengeratkan pelukan. Bahkan sempat bergumam. "Aku kangen."Namun tiba-tiba suara alarm yang berasal dari ponsel mengganggu kencannya bersama sang ayah. Resta tersentak dan terbangun seketika. Kesadarannya kembali ke alam nyata. Dia makin terkejut kala mendapati dirinya dalam kondisi memeluk Gyan. Lengan kanannya melingkari dada Gyan sementara kakinya membelit pinggang lelaki itu. Nyaris saja dia menjerit kalau saja tidak ingat itu hanya akan membuatnya malu. Gyan tak boleh melihatnya dalam keadaan begini.Maka dengan pelan dia menjauhkan lengan dan kakinya dari lelaki itu. Berharap Gyan tidak terganggu dan tetap terlelap. Sepertinya harapannya terkabul karena Gyan cuma menggeliat dan mengubah posisi tidur. Suara berisik ponsel pasti mengusiknya.Dengan
Gyan baru saja keluar dari kamar mandi ketika Resta memasuki ruangan. Pria itu sudah berganti pakaian dengan kemeja navy lengan panjang. Hanya saja keningnya yang berkerut membuat Resta heran. Ekspresi Gyan seperti orang yang sedang punya masalah besar. "Ada masalah, Pak?" tanya Resta mendekat. Pria yang pagi ini tidak memakai pomade itu mengangkat wajah. Dia terlihat bingung dan menunjukkan sesuatu kepada Resta. "Kancing kemejanya copot."Ya Tuhan, perkara kancing lepas saja mukanya sudah kebingungan begitu. "Sebentar, sepertinya saya punya solusinya." Resta memutar badan dan kembali ke mejanya. Di posisinya Gyan menunggu wanita yang kini tengah mengaduk-aduk tas dengan alis terangkat. Solusi kancing lepas itu menjahitnya kembali bukan? Memangnya Resta punya—"Ini dia!" seru Resta seraya mengacungkan sebuah kantong kecil dengan senyum lebar. "Apa itu? Jimat?" Resta kembali mendekat. "Jimat. Orang modern seperti Anda bisa-bisanya mikir ini jimat." Dia mengeluarkan sesuatu dari ka