Gyan baru saja keluar dari kamar mandi ketika Resta memasuki ruangan. Pria itu sudah berganti pakaian dengan kemeja navy lengan panjang. Hanya saja keningnya yang berkerut membuat Resta heran. Ekspresi Gyan seperti orang yang sedang punya masalah besar. "Ada masalah, Pak?" tanya Resta mendekat. Pria yang pagi ini tidak memakai pomade itu mengangkat wajah. Dia terlihat bingung dan menunjukkan sesuatu kepada Resta. "Kancing kemejanya copot."Ya Tuhan, perkara kancing lepas saja mukanya sudah kebingungan begitu. "Sebentar, sepertinya saya punya solusinya." Resta memutar badan dan kembali ke mejanya. Di posisinya Gyan menunggu wanita yang kini tengah mengaduk-aduk tas dengan alis terangkat. Solusi kancing lepas itu menjahitnya kembali bukan? Memangnya Resta punya—"Ini dia!" seru Resta seraya mengacungkan sebuah kantong kecil dengan senyum lebar. "Apa itu? Jimat?" Resta kembali mendekat. "Jimat. Orang modern seperti Anda bisa-bisanya mikir ini jimat." Dia mengeluarkan sesuatu dari ka
Gelisah. Beberapa kali Resta mengusap wajah, berkacak pinggang, mengusap wajah lagi, lalu mengembuskan napas. Beberapa kali juga dia merutuki dirinya sendiri. Sudah setengah jam lebih dia meninggalkan ruangan dan masih saja bolak-balik di dalam toilet wanita. Rasanya tak punya muka lagi untuk menghadap bosnya. Dia terus memikirkan apa yang akan dia katakan saat menghadap Gyan nanti pasca ciuman panas mereka yang dilakukan dalam keadaan sadar sesadar-sadarnya."Kenapa gue jadi tolol gini sih?" tanyanya sambil menghadap cermin wastafel. Dia bisa mengelak, pura-pura tak ingat saat kejadian mabuk waktu itu. Tapi sekarang? Resta tak bisa lari lagi jika Gyan membahas itu.Resta yang tengah galau terperanjat ketika pintu toilet dibuka dari luar. Sosok Sella lantas masuk dengan tatapan bertanya ketika menemukan wanita itu."Lo ngapain di sini, Bambang? Dicariin Pak Gyan tuh. Lo nggak bawa ponsel?""Pak Gyan nyariin gue?"Mungkin di mata Sella dia terlihat tolol sekarang. Bukankah hal wajar ka
"Skakmat."Pria bermata cokelat di depan Resta tercengang. Lalu tertawa melihat kekalahannya sendiri untuk kedua kalinya. Tawanya begitu menggelegar. Sampai-sampai Gyan yang duduk di antara mereka mengerutkan dahi. Sementara Resta sendiri hanya tersenyum santai."Apa yang akan saya dapatkan jika saya menang sekali lagi, Sir?" tanya Resta ketika tawa Bill Basco mereda."Apa pun. Apa pun yang kamu mau akan saya kabulkan, Miss," sahut pria berusia 50-an itu."Really?""Yeah. Seorang Bill Basco tidak pernah ingkar dengan perkataannya sendiri."Resta tersenyum senang. Pandangannya lantas melirik Gyan yang duduk di antara mereka. Dan kalau tidak salah lihat, pria itu ikut berbinar saat tatapan mereka bertemu."Kali ini saya pasti bisa mengalahkan kamu, Miss," ucap Bill dengan raut serius. Dua tangannya saling tertaut. Satu kali gerakan menekan, tulang-tulang sendi pada jemarinya saling gemeretakkan.Di hadapan pria itu, Resta memberi tatapan tajam. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Dua k
Bukannya berniat lari dari masalah. Tapi Resta belum siap menghadapi kenyataan. Dia tidak ingin bertindak bodoh atau ceroboh untuk masalah satu ini. Ya, meskipun wanita itu belum tahu pasti apa yang akan Gyan bahas. Resta sudah GR dan baper gara-gara pria itu, tapi mendapatkan sikap Gyan yang terlalu datar dia merasa belum siap menerima klarifikasi dalam bentuk apa pun. Dengan dalih perut mules Resta berhasil kabur. Selama lebih dari tiga puluh menit dia nongkrong di kamar mandi sambil memikirkan bagaimana cara keluar dari apartemen. Gyan sampai harus menggedor pintu berulang. "Resta, kamu baik-baik aja di dalam?!" seru lelaki itu dari luar kamar mandi. "Kenapa lama sekali? Kamu nggak lagi bersihin kamar mandi kan?" Di dalam Resta memutar bola mata. Ya kali gue gosokin WC sambil mikir. "Keluar cepat, Resta. Kita perlu bicara." Ya Tuhan, tolong usir dia. Teriakan Gyan di luar bikin Resta beneran mules. Dia mengusap dahi berulang saking bingungnya. "Kamu nggak mati di dalam kan?"
Resta mondar-mondar di depan Joana yang tengah sibuk merapikan daun bonsai. Dua tangannya terayun gelisah, sesekali menggigit ujung kuku dengan gusar. Joana sampai sebal sendiri melihat kelakuan wanita itu. Pasalnya sudah hampir satu jam Resta bertindak bodoh seperti itu tanpa bicara apa pun. Joana sengaja tidak bertanya lantaran saat menjemput wanita itu di apartemen Gyan, wajah Resta seperti orang linglung dan kehilangan gairah hidup. Namun, kali ini dia sudah tidak bisa tinggal diam. Joana gemas setengah mati. Wanita berambut lurus itu meletakkan gunting dan beranjak menatap sahabatnya itu. "Lama-lama gue beneran jadiin lo bonsai deh, Res." Resta berhenti mondar-mondar dan dengan tampang galau bergerak menghampiri Joana. "Ada apa lagi sama bos galak lo?" tanya Joana bosan. "Kalau mulutnya bikin lo sakit hati, cipok aja lagi." Refleks Resta menggigit bibir. Dia belum bercerita tentang insiden kancing lepas dan memang tidak niat melakukannya. Jika ingat saja dia malu sendiri. Lal
"Memang Pak Gyan nggak bisa datang sendiri aja? Atau ajak siapa kek gitu asal bukan saya." Gyan yang sedang menekuri laptop mengangkat wajah. Alisnya menanjak sebelah. "Kenapa saya harus datang sendiri kalau ada kamu?" "Saya ini cuma asisten, ya masa acara privat kayak gitu harus ikutan." "Memang itu masalah? Saya bebas mengajak siapa pun termasuk kamu." Paling malas kalau Gyan sudah ngotot begini. Ujung-ujuungnya Resta bakal kalah debat. Kali ini perkara dinner di ulang tahun salah satu teman pria itu. Menurut Resta, itu acara yang tidak sembarang orang bisa datang. Sementara dirinya siapa? Dia tidak mengenal siapa pun di sana. Kalau nekat datang itu sama saja menjerumuskan diri ke lubang kematian. Ya Tuhan! teman-teman Gyan itu kalangan jetset semua. Berada di tengah mereka ibarat debu yang sekali tiup langsung terbang. Melihat wajah gusar Resta, Gyan beranjak berdiri dan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Pria itu melepas kacamata. "Kamu hanya perlu datang bersama saya.
Jika bukan karena menjadi asisten pribadi Gyan mungkin Resta tidak akan pernah merasakan kemewahan menaiki kapal pesiar begini. Ya bisa saja dia memaksakan, tapi prioritas pertama saat inijelas keluarganya. Hura-hura tidak pernah melintas di benaknya.Resta mengeratkan jas yang tersampir di bahunya. Jas yang menenggelamkan sekaligus menghangatkan tubuhnya. Jas yang membuat perasaan Resta melambung tinggi. Sebenarnya Resta agak cemas jika Gyan terus-terusan bersikap manis begini. Mungkin dia perlu cek gula darah nanti. "Apa nggak sebaiknya kita masuk aja, Pak? Teman-teman Anda nanti nyariin," ucap Resta sesaat setelah keheningan menyelimuti mereka."Saya nggak peduli. Saya malas melihat mereka flirting ke kamu." Gyan menyerongkan tubuh ke arah Resta. "Dengar, apa pun yang mereka lakukan atau katakan kamu jangan pernah menganggapnya serius. Terlebih lagi Marsel dan Remi.""Mereka baik.""You don't know them so well. Kamu baru kenal mereka."Kekehan Resta meluncur melihat muka Gyan yang
Biarkan kali ini Resta melakukan apa yang dia ingin. Meski itu artinya dia harus melampaui batas. Walau itu artinya dia harus siap sakit lagi. Sekuat apa pun menahan dan menolak perasaannya sendiri, akhirnya dia menyerah. Tidak peduli jika dirinya hanya pelarian pria itu saja. Masih dengan saling cumbu, Resta yang berada di gendongan Gyan masuk ke salah satu suite. Perasaannya tumpah ruah, dadanya membuncah. Kepalanya terasa ringan. Gyan benar-benar membawanya melayang tinggi sampai dia tak sadarkan diri. Gyan mendekati ranjang dan dengan lututnya berjalan hingga mencapai ke tengah ranjang. Tungkai Resta yang membelit pinggangnya mengendur ketika dia berhasil duduk. Gyan menjauhkan diri. Menatap wajah Resta yang memerah. "Can I do next step?" tanya Gyan. Tangannya yang besar menarik jas yang membungkus tubuh Resta. Hingga bahu wanita itu tampak. "Ne-next step?" Suara Resta bergetar lantaran tangan Gyan sudah naik turun membelai pahanya. Lalu saat kecupan lembut Gyan mendarat di