"Skakmat."Pria bermata cokelat di depan Resta tercengang. Lalu tertawa melihat kekalahannya sendiri untuk kedua kalinya. Tawanya begitu menggelegar. Sampai-sampai Gyan yang duduk di antara mereka mengerutkan dahi. Sementara Resta sendiri hanya tersenyum santai."Apa yang akan saya dapatkan jika saya menang sekali lagi, Sir?" tanya Resta ketika tawa Bill Basco mereda."Apa pun. Apa pun yang kamu mau akan saya kabulkan, Miss," sahut pria berusia 50-an itu."Really?""Yeah. Seorang Bill Basco tidak pernah ingkar dengan perkataannya sendiri."Resta tersenyum senang. Pandangannya lantas melirik Gyan yang duduk di antara mereka. Dan kalau tidak salah lihat, pria itu ikut berbinar saat tatapan mereka bertemu."Kali ini saya pasti bisa mengalahkan kamu, Miss," ucap Bill dengan raut serius. Dua tangannya saling tertaut. Satu kali gerakan menekan, tulang-tulang sendi pada jemarinya saling gemeretakkan.Di hadapan pria itu, Resta memberi tatapan tajam. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Dua k
Bukannya berniat lari dari masalah. Tapi Resta belum siap menghadapi kenyataan. Dia tidak ingin bertindak bodoh atau ceroboh untuk masalah satu ini. Ya, meskipun wanita itu belum tahu pasti apa yang akan Gyan bahas. Resta sudah GR dan baper gara-gara pria itu, tapi mendapatkan sikap Gyan yang terlalu datar dia merasa belum siap menerima klarifikasi dalam bentuk apa pun. Dengan dalih perut mules Resta berhasil kabur. Selama lebih dari tiga puluh menit dia nongkrong di kamar mandi sambil memikirkan bagaimana cara keluar dari apartemen. Gyan sampai harus menggedor pintu berulang. "Resta, kamu baik-baik aja di dalam?!" seru lelaki itu dari luar kamar mandi. "Kenapa lama sekali? Kamu nggak lagi bersihin kamar mandi kan?" Di dalam Resta memutar bola mata. Ya kali gue gosokin WC sambil mikir. "Keluar cepat, Resta. Kita perlu bicara." Ya Tuhan, tolong usir dia. Teriakan Gyan di luar bikin Resta beneran mules. Dia mengusap dahi berulang saking bingungnya. "Kamu nggak mati di dalam kan?"
Resta mondar-mondar di depan Joana yang tengah sibuk merapikan daun bonsai. Dua tangannya terayun gelisah, sesekali menggigit ujung kuku dengan gusar. Joana sampai sebal sendiri melihat kelakuan wanita itu. Pasalnya sudah hampir satu jam Resta bertindak bodoh seperti itu tanpa bicara apa pun. Joana sengaja tidak bertanya lantaran saat menjemput wanita itu di apartemen Gyan, wajah Resta seperti orang linglung dan kehilangan gairah hidup. Namun, kali ini dia sudah tidak bisa tinggal diam. Joana gemas setengah mati. Wanita berambut lurus itu meletakkan gunting dan beranjak menatap sahabatnya itu. "Lama-lama gue beneran jadiin lo bonsai deh, Res." Resta berhenti mondar-mondar dan dengan tampang galau bergerak menghampiri Joana. "Ada apa lagi sama bos galak lo?" tanya Joana bosan. "Kalau mulutnya bikin lo sakit hati, cipok aja lagi." Refleks Resta menggigit bibir. Dia belum bercerita tentang insiden kancing lepas dan memang tidak niat melakukannya. Jika ingat saja dia malu sendiri. Lal
"Memang Pak Gyan nggak bisa datang sendiri aja? Atau ajak siapa kek gitu asal bukan saya." Gyan yang sedang menekuri laptop mengangkat wajah. Alisnya menanjak sebelah. "Kenapa saya harus datang sendiri kalau ada kamu?" "Saya ini cuma asisten, ya masa acara privat kayak gitu harus ikutan." "Memang itu masalah? Saya bebas mengajak siapa pun termasuk kamu." Paling malas kalau Gyan sudah ngotot begini. Ujung-ujuungnya Resta bakal kalah debat. Kali ini perkara dinner di ulang tahun salah satu teman pria itu. Menurut Resta, itu acara yang tidak sembarang orang bisa datang. Sementara dirinya siapa? Dia tidak mengenal siapa pun di sana. Kalau nekat datang itu sama saja menjerumuskan diri ke lubang kematian. Ya Tuhan! teman-teman Gyan itu kalangan jetset semua. Berada di tengah mereka ibarat debu yang sekali tiup langsung terbang. Melihat wajah gusar Resta, Gyan beranjak berdiri dan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Pria itu melepas kacamata. "Kamu hanya perlu datang bersama saya.
Jika bukan karena menjadi asisten pribadi Gyan mungkin Resta tidak akan pernah merasakan kemewahan menaiki kapal pesiar begini. Ya bisa saja dia memaksakan, tapi prioritas pertama saat inijelas keluarganya. Hura-hura tidak pernah melintas di benaknya.Resta mengeratkan jas yang tersampir di bahunya. Jas yang menenggelamkan sekaligus menghangatkan tubuhnya. Jas yang membuat perasaan Resta melambung tinggi. Sebenarnya Resta agak cemas jika Gyan terus-terusan bersikap manis begini. Mungkin dia perlu cek gula darah nanti. "Apa nggak sebaiknya kita masuk aja, Pak? Teman-teman Anda nanti nyariin," ucap Resta sesaat setelah keheningan menyelimuti mereka."Saya nggak peduli. Saya malas melihat mereka flirting ke kamu." Gyan menyerongkan tubuh ke arah Resta. "Dengar, apa pun yang mereka lakukan atau katakan kamu jangan pernah menganggapnya serius. Terlebih lagi Marsel dan Remi.""Mereka baik.""You don't know them so well. Kamu baru kenal mereka."Kekehan Resta meluncur melihat muka Gyan yang
Biarkan kali ini Resta melakukan apa yang dia ingin. Meski itu artinya dia harus melampaui batas. Walau itu artinya dia harus siap sakit lagi. Sekuat apa pun menahan dan menolak perasaannya sendiri, akhirnya dia menyerah. Tidak peduli jika dirinya hanya pelarian pria itu saja. Masih dengan saling cumbu, Resta yang berada di gendongan Gyan masuk ke salah satu suite. Perasaannya tumpah ruah, dadanya membuncah. Kepalanya terasa ringan. Gyan benar-benar membawanya melayang tinggi sampai dia tak sadarkan diri. Gyan mendekati ranjang dan dengan lututnya berjalan hingga mencapai ke tengah ranjang. Tungkai Resta yang membelit pinggangnya mengendur ketika dia berhasil duduk. Gyan menjauhkan diri. Menatap wajah Resta yang memerah. "Can I do next step?" tanya Gyan. Tangannya yang besar menarik jas yang membungkus tubuh Resta. Hingga bahu wanita itu tampak. "Ne-next step?" Suara Resta bergetar lantaran tangan Gyan sudah naik turun membelai pahanya. Lalu saat kecupan lembut Gyan mendarat di
Makin malam pesta makin meriah. Marsel mendatangkan seorang DJ terkenal. Gyan tahu pesta akan berakhir begini. Dia yang tidak menyukai keramaian hanya bisa duduk di salah satu table mengapit gelas martini. Di sampingnya, Resta duduk sambil melonjak-lonjak dengan tangan terangkat. Badannya bergoyang mengikuti irama musik.Beberapa kali Gyan mengembuskan napas. Sudah benar dia dan Resta berada di kamar saja. Bising sering membuat kepalanya pusing. Dulu, dia sering menolak ketika May mengajaknya ke kelab malam dengan berbagai alasan. Meski Gyan suka minum, bukan berarti dia menyukai hiburan malam. Itu sebabnya dia lebih suka mengoleksi berbagai macam minuman fermentasi itu di apartemennya. "Gy, kita turun yuk," ajak Resta. Tubuhnya sudah seperti ulat kepanasan saat bergoyang. "Nggak. Aku nggak bisa dance." "Kamu cuma perlu mengangkat tangan dan menggoyangkan kaki. Apanya yang nggak bisa? Ayolah." Resta terus merengek, tapi Gyan masih kekeh menolak. Pria itu malah menarik pinggang Res
Pagi yang terasa berbeda bagi Resta. Hari pertama dia bekerja kembali dengan status baru sebagai kekasih si bos. Meski tidak akan ada yang berubah sesuai kesepakatan yang sudah mereka diskusikan. Di kantor mereka akan tetap bekerja secara profesional. Dan Resta juga minta pada Gyan untuk merahasiakan hubungan mereka demi kebaikan bersama. Wanita itu tidak mau ada kehebohan di perusahaan. Bagi Gyan mungkin itu bukan soal, tapi efeknya bagi Resta pasti bakal luar biasa. Membayangkannya saja sudah bisa bikin mental down.Resta tengah membereskan tempat tidur ketika Gyan baru keluar dari kamar mandi. "Selamat pagi, Pak," sapa Resta berhenti sesaat dari kegiatannya mengganti sarung bantal dan sprei."Pagi, Sayang," sahut Gyan. Pria itu mendekati Resta yang kembali sibuk. Lalu mengecup pipi wanita itu sebelum ke tujuan awal menggapai pakaian kerja yang sudah Resta siapkan.Sebenarnya itu sesuatu yang wajar dilakukan seorang pacar, tapi Resta yang belum terbiasa mendapat perlakukan itu sedik
Tidak cuma Daniel dan Delotta yang menghadiri grand opening hot spring dan restoran milik Resta tersebut. Ibu dan Kae juga turut serta. Kae yang sedang sibuk meraih gelar profesi menyempatkan hadir mendampingi ibunya. Lalu Joana dan juga orang tuanya. Dan yang mengejutkan Aaron pun datang. Dia tidak sendiri ada wanita cantik di sebelahnya yang selalu menggandeng tangannya. "Tunangan Kak Aaron?" Resta terlihat takjub saat Aaron mengenalkan wanita itu padanya. "Doakan ya semoga bisa segera dihalalin," sahut Aaron tersenyum sambil menatap wanita di sisinya. "Pasti dong, Kak." "Akhirnya setelah sekian lama kakak gue sold out juga," celetuk Joana. Yang langsung mendapat jitakan di kepalanya dari sang kakak. "Nggak sopan, emangnya kakak kamu ini barang dagangan," gerutu Aaron membuat Joana manyun sambil mengusap kepalanya. "Mana cowok kamu? Katanya ada yang baru lagi?" "Nggak ada! Aku lagi jomblo.""Jomblo beneran ntar lo," timpal Resta menyeringai lebar. "Lah emang gue jomblo!" Aa
"Good. Proposal diterima." Wajah Resta kontan berbinar setelah waswas menunggu respons suaminya perkara proposal yang dia buat lagi. Bibirnya melengkung sempurna. Saat tatapnya bertemu dengan mata biru Gyan, wanita itu langsung meloncat, dan menghambur ke pelukan sang suami. "Makasih, Gy! Makasih," serunya sambil mengecup pipi Gyan bolak-balik. Dia susah payah berdiskusi dan menyusun konsep baru bersama Joana setelah survei ke berbagai jenis cafe di ibukota bersama Gyan waktu itu. Bahkan untuk menyusun menu, Joana menyeret Marsel yang notabene memiliki beberapa chef andalan di rumahnya. Soal Marsel itu, entah tepatnya kapan Joana bisa dekat dengan pria itu. Hal ini belum sempat Resta tanyakan. Yang terpenting saat ini proposal bisnis barunya diterima Gyan. Pria bermata biru itu tersenyum seraya mengusap pinggang Resta yang berada di pangkuannya. "Lokasinya udah ada?" tanyanya. "Udah ada yang kami incar. Joana bilang akan nego sama pemiliknya.""Kamu butuh tanah yang cukup luas loh
Ketukan di pintu sama sekali tidak membuat Resta segera beranjak dari tempat tidur. Dia malah makin merapatkan selimut. Suara Gyan yang terus memanggil pun tidak dia hiraukan. Resta masih kesal. Semalam dia benar-benar memisahkan diri, dan Gyan pun tidak terlihat menyusulnya. Meski kesal luar biasa karena proposalnya ditolak, semalam dia membaca ulang proposal yang sudah dia buat itu. Resta akui Gyan benar. Konsepnya sederhana seperti kafe pada umumnya, tapi tetap saja dirinya merasa tersinggung. Entahlah, akhir-akhir ini Resta merasa gampang emosional. Tidak bisa kena senggol sedikit. Mood-nya benar-benar kacau. Resta tahu ada pergerakan pintu yang dibuka, tapi dia tetap diam. Hatinya cuma berharap tidak ada hal yang akan membuat paginya berantakan, terlebih karena disebabkan suaminya. Akan lebih baik Gyan langsung berangkat kerja saja tanpa mendekatinya seperti ini. Jujur, Resta masih malas sama lelaki itu. Gyan mendekat, dan berbaring di sisi Resta yang tidur membelakanginya. "Sa
Gyan menatap layar komputernya dengan mata berbinar. Kepalan tangannya sesekali diayunkan. Proyeknya berjalan sesuai apa yang dia inginkan. Pertimbangannya untuk berinvestasi tiga tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Baginya ini hal yang harus dia rayakan bersama sang istri. Bumi yang baru saja masuk tersenyum kecil melihat wajah sumringah bosnya. "Saya belum mendengar kabar tender baru yang berhasil. Kenapa Anda bisa sesenang ini, Pak?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah dokumen bersampul hitam ke meja besar bosnya. "Ini bukan soal tender." Javas menjauhkan sedikit badan dari layar komputer lalu menatap asisten pribadinya itu. "Tapi investasi Blue Jagland di proyek kota tua di Sulawesi. Selama tiga tahun berjalan, laporan itu makin membaik. Kenapa saya senang. Karena itu adalah investasi besar pertama saya yang disetujui oleh pemegang saham.""Selamat, Anda memang hebat, Pak." Gyan tersenyum lebar sambil memutar-mutar kursinya. Namun senyum lebarnya tidak berlangsung lama ke
Gyan membungkam segera mulut Resta yang menjerit. Lalu kekehan kecilnya mengudara. Sudah larut malam, tapi keduanya masih terjaga. Bahkan keringat membanjiri tubuh polos mereka yang hanya tertutup kain selimut. "Jangan berisik, Sayang. Kamu bisa membangunkan semua orang," bisik Gyan meletakkan telunjuk ke bibir. Resta mengangguk-angguk sehingga Gyan bisa melepaskan tangan dari mulutnya. "Habis gimana, ini terlalu enak," ujarnya nyengir. Ada kebanggaan tersendiri ketika Resta mengatakan itu. Secara tak langsung wanita itu memuji kemampuan dirinya menyenangkan istri di atas ranjang. "Masih mau lagi?" tanya Gyan tersenyum nakal. Pinggulnya bergerak pelan sengaja menggoda sang istri. "Mau.""Janji jangan teriak. Kalau di apartemen sendiri sih nggak masalah. Di sebelah ada Ola." "Nggak janji sih. Tapi aku bakal usahain nggak teriak kenceng-kenceng." Kebisingan sepasang suami istri muda di malam hari sudah terjadi beberapa malam sejak keduanya menginap di rumah Daniel. Gyan dan Resta
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest