Insyaallah saya rapel 2 bab ya. Kemarin mau up sinyal di kampung lemot banget. Hiks
"Memang Pak Gyan nggak bisa datang sendiri aja? Atau ajak siapa kek gitu asal bukan saya." Gyan yang sedang menekuri laptop mengangkat wajah. Alisnya menanjak sebelah. "Kenapa saya harus datang sendiri kalau ada kamu?" "Saya ini cuma asisten, ya masa acara privat kayak gitu harus ikutan." "Memang itu masalah? Saya bebas mengajak siapa pun termasuk kamu." Paling malas kalau Gyan sudah ngotot begini. Ujung-ujuungnya Resta bakal kalah debat. Kali ini perkara dinner di ulang tahun salah satu teman pria itu. Menurut Resta, itu acara yang tidak sembarang orang bisa datang. Sementara dirinya siapa? Dia tidak mengenal siapa pun di sana. Kalau nekat datang itu sama saja menjerumuskan diri ke lubang kematian. Ya Tuhan! teman-teman Gyan itu kalangan jetset semua. Berada di tengah mereka ibarat debu yang sekali tiup langsung terbang. Melihat wajah gusar Resta, Gyan beranjak berdiri dan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Pria itu melepas kacamata. "Kamu hanya perlu datang bersama saya.
Jika bukan karena menjadi asisten pribadi Gyan mungkin Resta tidak akan pernah merasakan kemewahan menaiki kapal pesiar begini. Ya bisa saja dia memaksakan, tapi prioritas pertama saat inijelas keluarganya. Hura-hura tidak pernah melintas di benaknya.Resta mengeratkan jas yang tersampir di bahunya. Jas yang menenggelamkan sekaligus menghangatkan tubuhnya. Jas yang membuat perasaan Resta melambung tinggi. Sebenarnya Resta agak cemas jika Gyan terus-terusan bersikap manis begini. Mungkin dia perlu cek gula darah nanti. "Apa nggak sebaiknya kita masuk aja, Pak? Teman-teman Anda nanti nyariin," ucap Resta sesaat setelah keheningan menyelimuti mereka."Saya nggak peduli. Saya malas melihat mereka flirting ke kamu." Gyan menyerongkan tubuh ke arah Resta. "Dengar, apa pun yang mereka lakukan atau katakan kamu jangan pernah menganggapnya serius. Terlebih lagi Marsel dan Remi.""Mereka baik.""You don't know them so well. Kamu baru kenal mereka."Kekehan Resta meluncur melihat muka Gyan yang
Biarkan kali ini Resta melakukan apa yang dia ingin. Meski itu artinya dia harus melampaui batas. Walau itu artinya dia harus siap sakit lagi. Sekuat apa pun menahan dan menolak perasaannya sendiri, akhirnya dia menyerah. Tidak peduli jika dirinya hanya pelarian pria itu saja. Masih dengan saling cumbu, Resta yang berada di gendongan Gyan masuk ke salah satu suite. Perasaannya tumpah ruah, dadanya membuncah. Kepalanya terasa ringan. Gyan benar-benar membawanya melayang tinggi sampai dia tak sadarkan diri. Gyan mendekati ranjang dan dengan lututnya berjalan hingga mencapai ke tengah ranjang. Tungkai Resta yang membelit pinggangnya mengendur ketika dia berhasil duduk. Gyan menjauhkan diri. Menatap wajah Resta yang memerah. "Can I do next step?" tanya Gyan. Tangannya yang besar menarik jas yang membungkus tubuh Resta. Hingga bahu wanita itu tampak. "Ne-next step?" Suara Resta bergetar lantaran tangan Gyan sudah naik turun membelai pahanya. Lalu saat kecupan lembut Gyan mendarat di
Makin malam pesta makin meriah. Marsel mendatangkan seorang DJ terkenal. Gyan tahu pesta akan berakhir begini. Dia yang tidak menyukai keramaian hanya bisa duduk di salah satu table mengapit gelas martini. Di sampingnya, Resta duduk sambil melonjak-lonjak dengan tangan terangkat. Badannya bergoyang mengikuti irama musik.Beberapa kali Gyan mengembuskan napas. Sudah benar dia dan Resta berada di kamar saja. Bising sering membuat kepalanya pusing. Dulu, dia sering menolak ketika May mengajaknya ke kelab malam dengan berbagai alasan. Meski Gyan suka minum, bukan berarti dia menyukai hiburan malam. Itu sebabnya dia lebih suka mengoleksi berbagai macam minuman fermentasi itu di apartemennya. "Gy, kita turun yuk," ajak Resta. Tubuhnya sudah seperti ulat kepanasan saat bergoyang. "Nggak. Aku nggak bisa dance." "Kamu cuma perlu mengangkat tangan dan menggoyangkan kaki. Apanya yang nggak bisa? Ayolah." Resta terus merengek, tapi Gyan masih kekeh menolak. Pria itu malah menarik pinggang Res
Pagi yang terasa berbeda bagi Resta. Hari pertama dia bekerja kembali dengan status baru sebagai kekasih si bos. Meski tidak akan ada yang berubah sesuai kesepakatan yang sudah mereka diskusikan. Di kantor mereka akan tetap bekerja secara profesional. Dan Resta juga minta pada Gyan untuk merahasiakan hubungan mereka demi kebaikan bersama. Wanita itu tidak mau ada kehebohan di perusahaan. Bagi Gyan mungkin itu bukan soal, tapi efeknya bagi Resta pasti bakal luar biasa. Membayangkannya saja sudah bisa bikin mental down.Resta tengah membereskan tempat tidur ketika Gyan baru keluar dari kamar mandi. "Selamat pagi, Pak," sapa Resta berhenti sesaat dari kegiatannya mengganti sarung bantal dan sprei."Pagi, Sayang," sahut Gyan. Pria itu mendekati Resta yang kembali sibuk. Lalu mengecup pipi wanita itu sebelum ke tujuan awal menggapai pakaian kerja yang sudah Resta siapkan.Sebenarnya itu sesuatu yang wajar dilakukan seorang pacar, tapi Resta yang belum terbiasa mendapat perlakukan itu sedik
"Saya tidak yakin Gyan bisa mengatasi ini. Bill Basco kalau sudah marah biasanya sulit sekali dibujuk."Resta tersenyum mendengar ucapan presdir. Malam ini dia mendapat undangan dinner dari papinya Gyan alias Daniel di rumahnya. "Memang Bill Basco sepenting itu, Pi?" tanya Delotta. Sudah lama dia tidak ikut berkecimpung langsung di perusahaan. Hanya sesekali muncul di beberapa acara perusahaan. "Lumayan. Dia salah satu orang yang berpengaruh di dunia bisnis. Menaklukkan hatinya susah-susah gampang," sahut Daniel. Tangannya dengan cekatan memotong steak di piringnya. "Tapi putra kesayanganmu itu selalu menganggap enteng." Yang jadi objek pura-pura tidak peduli. Lebih pilih tidak menanggapi ucapan sang papi. "Pak Gyan hanya bernegosiasi demi perusahaan, Pak. Tidak bermaksud menganggap enteng. Dan yang Pak Gyan ajukan sebenarnya masuk akal," timpal Resta, berusaha membela Gyan. Dia tahu rasanya disalahkan itu tak enak. Biar gimana pun Gyan juga sudah berusaha yang terbaik. "Ya, saya
"Kamu nggak marah padaku?" tanya Gyan, makin menyurukkan kepala ke paha Resta. Lengannya masih betah memeluk pinggang wanita itu. "Kenapa aku marah?" tanya Resta sambil lalu. Dirinya masih sibuk mengutak-atik ponsel, membiarkan Gyan tidur di pangkuannya. "Aku melarang kamu pegang salah satu anak cabang perusahaan papi di Bogor. Aku minta maaf."Napas Resta berembus kasar. Dia mengalihkan tatap dari layar ponsel. "Mau berapa kali lagi kamu minta maaf?" "Aku nggak bermaksud menghambat kamu berkembang seperti yang papi bilang. Aku masih butuh kamu." "Iya, iya, iya. Aku paham. Kamu nggak perlu ngulang-ngulang itu terus. Aku nggak apa-apa. Lagi pula aku masih perlu banyak belajar." Resta menyingkirkan ponsel ke atas nakas. Lantas meraih wajah Gyan. Membuatnya agar bisa menghadap dirinya secara langsung. "Kamu jangan merasa bersalah begitu," katanya sembari menunduk, menatap wajah pria itu. "Selain itu aku masih ingin terus bersama kamu," ucap Gyan dengan bibir mencebik. "Masa baru ja
Gyan meremas stir ketika mobilnya berhenti di lahan parkir sebuah kelab malam ibukota. Entah hal bodoh apa yang membawanya ke sini dan malah meninggalkan Resta yang sedang susah payah membuatkan makanan untuknya. Bukankah seharusnya dia mnengabaikan semua pesan Marsel dan menikmati kebersamaannya dengan Resta? Lagi-lagi dia bertingkah konyol seperti ini. Pria bermata biru itu meyakinkan diri bahwa keberadaannya di sini hanya sebatas rasa peri kemanusiaan, tidak lebih dari itu, dan bukan berarti dia masih menyimpan perasaan apa pun kepada sang mantan. Gyan baru mematikan mesin mobil ketika tatapnya mendapati perempuan yang sangat dia kenal keluar dari pintu kelab. Perempuan itu May—yang tampak tidak berdaya dirangkul dua orang lelaki asing. Secaram refleks tangannya terkepal. Logikanya jelas menyuruh untuk bergeming, membiarkan May dibawa pergi oleh dua manusia tak dikenal itu. Tapi hatinya menolak parah. Bahkan hatinya itu merasa tercubit ketika dua manusia itu mulai berbuat kurang