Gyan meremas stir ketika mobilnya berhenti di lahan parkir sebuah kelab malam ibukota. Entah hal bodoh apa yang membawanya ke sini dan malah meninggalkan Resta yang sedang susah payah membuatkan makanan untuknya. Bukankah seharusnya dia mnengabaikan semua pesan Marsel dan menikmati kebersamaannya dengan Resta? Lagi-lagi dia bertingkah konyol seperti ini. Pria bermata biru itu meyakinkan diri bahwa keberadaannya di sini hanya sebatas rasa peri kemanusiaan, tidak lebih dari itu, dan bukan berarti dia masih menyimpan perasaan apa pun kepada sang mantan. Gyan baru mematikan mesin mobil ketika tatapnya mendapati perempuan yang sangat dia kenal keluar dari pintu kelab. Perempuan itu May—yang tampak tidak berdaya dirangkul dua orang lelaki asing. Secaram refleks tangannya terkepal. Logikanya jelas menyuruh untuk bergeming, membiarkan May dibawa pergi oleh dua manusia tak dikenal itu. Tapi hatinya menolak parah. Bahkan hatinya itu merasa tercubit ketika dua manusia itu mulai berbuat kurang
Saat May mulai mendesak, Gyan mendorong wanita itu. Refleks punggung tangannya mengusap bibirnya yang basah. Tidak seperti dulu, tidak ada sesuatu yang menggelitik perutnya ketika bibir May menyentuh bibirnya. Segalanya terasa kebas dan hambar. Tidak ada yang istimewa lagi. Efek kecewa yang terlalu dalam dan sakit yang berlebihan membuat pria itu tidak bisa merasakan apa pun lagi. "Gy?" May agak terkejut dengan penolakan yang Gyan lakukan. Bahkan pria itu terlihat jijik saat bibirnya May sentuh. "Aku tegaskan sekali lagi. Kita sudah selesai. Aku nggak ada niat secuil pun buat kembali lagi.""Gy, aku menyesal. Aku harus gimana biar kamu bisa maafin aku?" "Aku sudah maafin kamu, tapi buat kayak dulu lagi. Aku nggak bisa." May terlihat ingin membalas, tapi Gyan buru-buru mengangkat tangan. "Ki-ta su-dah se-le-sai. You get it?" Gyan melangkah mundur, lalu berbalik dengan cepat dan keluar dari unit May tanpa menoleh lagi. Sempat telinganya mendengar seruan May yang memanggil namanya,
Suara debuman benda terjatuh membuat Resta menggeliat. Matanya yang memicing terbuka setengah. Lalu ketika tidak melihat sesuatu terjadi, dia kembali terpejam. Namun, beberapa detik kemudian sebuah teriakan membuat dirinya terperanjat. "Restaaa!" Sontak Resta terbangun mendengar suara Gyan menggelegar. Kepalanya celingukan mencari keberadaan pria itu. Pasalnya sisi tempat tidurnya kosong. Resta beringsut segera ke sisi yang semalam Gyan tempati dan dari sana dia bisa melihat pria itu terduduk di lantai dengan wajah meringis sambil memegangi pinggang. "Kamu kenapa tidur di situ?" tanya Resta dengan mata mengerjap, tapi dia malah mendapat pelototan dari Gyan. "Menurut kamu?!" seru pria itu, mengeluarkan tanduknya. "Kamu kalau tidur yang bener dong! Jangan main tendang orang sembarangan!" Resta terperangah, lalu menutup mulutnya. Dia tidak percaya bisa menendang Gyan sampai terjungkal begitu. Namun setelah itu dia meringis lebar. "Maaf, maaf. Nggak sengaja. Kamu sih maksa tidur baren
Modus Gyan mengajak Resta mandi bersama gagal total. Untuk kedua kalinya Gyan terjungkal dari tempat tidur lantaran Resta mendorongnya dengan kekuatan kamihame. Teriakan pria itu menggelegar di seantero kamar, tapi Resta pura-pura tuli dan dengan cepat melesat ke kamar mandi duluan. Akibatnya wanita itu melewati pagi dengan silent treatment dari sang pacar. Bahkan Gyan melakukan aksi mogok makan. Sarapan yang Resta buat cuma Gyan lirik, tanpa disentuh. Jus buah tanpa gula yang biasanya langsung Gyan tandaskan tanpa bersisa pun dibiarkan utuh. Pria itu memilih keluar unit daripada duduk manis di meja makan seperti biasanya. Yang menyebalkan, Resta sama sekali tidak menghubunginya sampai dia kembali pulang lagi tepat pukul satu siang. "Kamu udah pulang?" tanya Resta seolah tidak tahu kedongkolan pacarnya itu.Gyan tidak menjawab dan memilih menyingkir ke dapur daripada bergabung dengan Resta di living room. "Udah makan siang belum?" tanya Resta lagi yang ternyata menyusulnya ikut ke
Resta pikir rumah Daniel Jagland adalah rumah yang paling besar di kota ini. Namun begitu melihat rumah Bill Basco pikirannya mendadak berubah. Dia tidak menyangka, fasad rumah yang tertutup di dalamnya menyimpan kemewahan yang luar biasa. Akses masuk pun dijaga ketat oleh dua orang bertubuh tinggi dan besar. Sepanjang jalan dari pintu masuk menuju rumah utama, Resta tak hentinya mengerjap. Kontras dengan Gyan di samping wanita itu yang tampak begitu tenang dan tidak terpengaruh sedikit pun. Resta berusaha menahan diri untuk tidak membuka mulut ketika berhasil menginjak lantai rumah Bill yang sebening kaca. Interior klasik modern ala-ala Italia dengan perabot yang benilai mahal itu hanya bisa membuat Resta menelan ludah. Jiwa miskin wanita itu meronta melihat ini semua. "Tuan Bill ada di lantai atas. Mari saya antar," ucap seorang laki-laki dengan tuksedo hitam sambil tersenyum ramah. Dia mempersilakan Gyan dan Resta untuk mengikutinya. Keduanya dibawa menuju sebuah lift yang
Joana menggigit sate ayam sambil menatap wanita berambut sebahu di depannya. Wanita yang sudah berminggu-minggu sudah jarang hang out bersama dirinya lantaran sibuk momong anak big boss. Siapa lagi kalau bukan Resta? Agenda makan siang bersama yang biasa rutin mereka lakukan pun bisa dihitung jari dalam satu bulan. Seperti sekarang. Setelah sekian lama akhirnya Resta bisa lolos dari kukungan bosnya dan bisa makan siang bersama Joana lagi. "Bos lo lagi ke mana? Tumben banget baby sitternya dibiarin lepas," komentar Joana setelah berhasil menandaskan tiga tusuk sate ayam. "Lagi makan siang bareng presdir sekalian meeting di luar," sahut Resta sambil lalu. Dia terlalu sibuk menikmati sate padang di piringnya. Mulutnya agak megap-megap lantaran bumbu satenya terlalu pedas. "Kok lo nggak ikut?" tanya Joana lagi."Ada yang mesti gue kerjain di kantor." "By the way Minggu depan anak-anak mau gathering. Lo mau ikut nggak?" Anak-anak yang Joana maksud adalah para staf di bawah divisi mark
Resta berlari ketika melihat pintu lift akan tertutup. Dia sudah telat. Tidak ada waktu menunggu lift lain terbuka. Gyan bisa mengomel. Wanita itu nyaris putus asa saat dilihatnya pintu lift terbuka kembali. Perasaan lega kontan menghampiri. Dia mengulas senyum sebelum mengayunkan kaki, bermaksud memasuki lift. Tapi... Seseorang di dalam lift yang menahan agar pintu besi itu tetap terbuka membuat Resta urung melangkah dan malah terbengong di tempat. "Nggak mau masuk?" tanya orang itu. Saat tidak mendapat jawaban dari Resta, dia mengedikkan bahu. "Oke aku tutup." "T-tunggu!" seru Resta terkesiap ketika pintu lift bergerak lagi. Dari dalam, dengan gerakan secepat kilat orang itu langsung menarik tangan Resta. Menyentaknya hingga tubuh Resta terhempas masuk ke dalam lift dan terjerembab di pelukan orang tersebut. Bersamaan dengan itu, pintu besi di belakang Resta tertutup sempurna. Sadar dirinya ada di pelukan orang asing, Resta segera menjauh. Rasa canggung kontan menyerbu. Bib
Dari awal Gyan sudah tidak nyaman dengan investor itu. Bill Basco, seandainya tahu orang itu ayah Ridge, mungkin dia akan melakukan apa pun agar penandatanganan perjanjian kerja itu tidak terjadi. Gyan benci berurusan dengan Ridge lagi. "Old friend? Old friend my ass," umpat Gyan dalam hati. Seorang teman tidak akan memakan teman sendiri. Pagar makan tanaman. Teman tidak mungkin berkhianat dan merusak kepercayaannya. "Gy, kamu baik-baik aja?" tanya Resta yang duduk di samping lelaki itu. Sejak keluar dari ruang meeting, Gyan belum mengeluarkan satu patah kata pun. Pria itu konsisten memasang raut keras pada wajahnya. Ada emosi yang sedang Gyan tahan. Dan itu bisa dirasakan Resta. "I'm ok," sahut pria itu lirih. Mata birunya masih lurus menatap jalanan di depan. Sesekali tangannya meremas kemudi. Resta sendiri tidak melanjutkan bertanya. Dia memutuskan diam lantaran paham mood Gyan sedang tidak bagus. Daripada menjadi sasaran kemarahan lelaki itu, Resta memilih mengerjakan s
Tidak cuma Daniel dan Delotta yang menghadiri grand opening hot spring dan restoran milik Resta tersebut. Ibu dan Kae juga turut serta. Kae yang sedang sibuk meraih gelar profesi menyempatkan hadir mendampingi ibunya. Lalu Joana dan juga orang tuanya. Dan yang mengejutkan Aaron pun datang. Dia tidak sendiri ada wanita cantik di sebelahnya yang selalu menggandeng tangannya. "Tunangan Kak Aaron?" Resta terlihat takjub saat Aaron mengenalkan wanita itu padanya. "Doakan ya semoga bisa segera dihalalin," sahut Aaron tersenyum sambil menatap wanita di sisinya. "Pasti dong, Kak." "Akhirnya setelah sekian lama kakak gue sold out juga," celetuk Joana. Yang langsung mendapat jitakan di kepalanya dari sang kakak. "Nggak sopan, emangnya kakak kamu ini barang dagangan," gerutu Aaron membuat Joana manyun sambil mengusap kepalanya. "Mana cowok kamu? Katanya ada yang baru lagi?" "Nggak ada! Aku lagi jomblo.""Jomblo beneran ntar lo," timpal Resta menyeringai lebar. "Lah emang gue jomblo!" Aa
"Good. Proposal diterima." Wajah Resta kontan berbinar setelah waswas menunggu respons suaminya perkara proposal yang dia buat lagi. Bibirnya melengkung sempurna. Saat tatapnya bertemu dengan mata biru Gyan, wanita itu langsung meloncat, dan menghambur ke pelukan sang suami. "Makasih, Gy! Makasih," serunya sambil mengecup pipi Gyan bolak-balik. Dia susah payah berdiskusi dan menyusun konsep baru bersama Joana setelah survei ke berbagai jenis cafe di ibukota bersama Gyan waktu itu. Bahkan untuk menyusun menu, Joana menyeret Marsel yang notabene memiliki beberapa chef andalan di rumahnya. Soal Marsel itu, entah tepatnya kapan Joana bisa dekat dengan pria itu. Hal ini belum sempat Resta tanyakan. Yang terpenting saat ini proposal bisnis barunya diterima Gyan. Pria bermata biru itu tersenyum seraya mengusap pinggang Resta yang berada di pangkuannya. "Lokasinya udah ada?" tanyanya. "Udah ada yang kami incar. Joana bilang akan nego sama pemiliknya.""Kamu butuh tanah yang cukup luas loh
Ketukan di pintu sama sekali tidak membuat Resta segera beranjak dari tempat tidur. Dia malah makin merapatkan selimut. Suara Gyan yang terus memanggil pun tidak dia hiraukan. Resta masih kesal. Semalam dia benar-benar memisahkan diri, dan Gyan pun tidak terlihat menyusulnya. Meski kesal luar biasa karena proposalnya ditolak, semalam dia membaca ulang proposal yang sudah dia buat itu. Resta akui Gyan benar. Konsepnya sederhana seperti kafe pada umumnya, tapi tetap saja dirinya merasa tersinggung. Entahlah, akhir-akhir ini Resta merasa gampang emosional. Tidak bisa kena senggol sedikit. Mood-nya benar-benar kacau. Resta tahu ada pergerakan pintu yang dibuka, tapi dia tetap diam. Hatinya cuma berharap tidak ada hal yang akan membuat paginya berantakan, terlebih karena disebabkan suaminya. Akan lebih baik Gyan langsung berangkat kerja saja tanpa mendekatinya seperti ini. Jujur, Resta masih malas sama lelaki itu. Gyan mendekat, dan berbaring di sisi Resta yang tidur membelakanginya. "Sa
Gyan menatap layar komputernya dengan mata berbinar. Kepalan tangannya sesekali diayunkan. Proyeknya berjalan sesuai apa yang dia inginkan. Pertimbangannya untuk berinvestasi tiga tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Baginya ini hal yang harus dia rayakan bersama sang istri. Bumi yang baru saja masuk tersenyum kecil melihat wajah sumringah bosnya. "Saya belum mendengar kabar tender baru yang berhasil. Kenapa Anda bisa sesenang ini, Pak?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah dokumen bersampul hitam ke meja besar bosnya. "Ini bukan soal tender." Javas menjauhkan sedikit badan dari layar komputer lalu menatap asisten pribadinya itu. "Tapi investasi Blue Jagland di proyek kota tua di Sulawesi. Selama tiga tahun berjalan, laporan itu makin membaik. Kenapa saya senang. Karena itu adalah investasi besar pertama saya yang disetujui oleh pemegang saham.""Selamat, Anda memang hebat, Pak." Gyan tersenyum lebar sambil memutar-mutar kursinya. Namun senyum lebarnya tidak berlangsung lama ke
Gyan membungkam segera mulut Resta yang menjerit. Lalu kekehan kecilnya mengudara. Sudah larut malam, tapi keduanya masih terjaga. Bahkan keringat membanjiri tubuh polos mereka yang hanya tertutup kain selimut. "Jangan berisik, Sayang. Kamu bisa membangunkan semua orang," bisik Gyan meletakkan telunjuk ke bibir. Resta mengangguk-angguk sehingga Gyan bisa melepaskan tangan dari mulutnya. "Habis gimana, ini terlalu enak," ujarnya nyengir. Ada kebanggaan tersendiri ketika Resta mengatakan itu. Secara tak langsung wanita itu memuji kemampuan dirinya menyenangkan istri di atas ranjang. "Masih mau lagi?" tanya Gyan tersenyum nakal. Pinggulnya bergerak pelan sengaja menggoda sang istri. "Mau.""Janji jangan teriak. Kalau di apartemen sendiri sih nggak masalah. Di sebelah ada Ola." "Nggak janji sih. Tapi aku bakal usahain nggak teriak kenceng-kenceng." Kebisingan sepasang suami istri muda di malam hari sudah terjadi beberapa malam sejak keduanya menginap di rumah Daniel. Gyan dan Resta
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest