Tantangan baru buat Gyan datang nih, Gaes. Jangan lupa ramaikan yak. Oh ya yang belum memberi ulasan di sampul depan, aku tunggu ya. Big hugs <3(^_-)
Dari awal Gyan sudah tidak nyaman dengan investor itu. Bill Basco, seandainya tahu orang itu ayah Ridge, mungkin dia akan melakukan apa pun agar penandatanganan perjanjian kerja itu tidak terjadi. Gyan benci berurusan dengan Ridge lagi. "Old friend? Old friend my ass," umpat Gyan dalam hati. Seorang teman tidak akan memakan teman sendiri. Pagar makan tanaman. Teman tidak mungkin berkhianat dan merusak kepercayaannya. "Gy, kamu baik-baik aja?" tanya Resta yang duduk di samping lelaki itu. Sejak keluar dari ruang meeting, Gyan belum mengeluarkan satu patah kata pun. Pria itu konsisten memasang raut keras pada wajahnya. Ada emosi yang sedang Gyan tahan. Dan itu bisa dirasakan Resta. "I'm ok," sahut pria itu lirih. Mata birunya masih lurus menatap jalanan di depan. Sesekali tangannya meremas kemudi. Resta sendiri tidak melanjutkan bertanya. Dia memutuskan diam lantaran paham mood Gyan sedang tidak bagus. Daripada menjadi sasaran kemarahan lelaki itu, Resta memilih mengerjakan s
Gyan tengah membantu Resta turun dari atas bed ketika korden bangsalnya dibuka seseorang dari luar. Wajah memerah Joana lantas muncul. Resta bisa melihat raut kesal campur khawatir pada wajah sahabatnya itu. "Lama-lama lo bisa beneran mati," gerutu wanita itu seraya melirik sekilas ke arah Gyan. Resta yang tahu sahabatnya itu marah langsung memberi isyarat dengan gelengan kepala. Beberapa saat lalu ketika Joana meneleponnya Resta terpaksa mengatakan dirinya habis kecelakaan. Dan dalam jangka waktu kurang dari lima belas menit sahabatnya sejak kuliah itu langsung muncul. "Sekarang kecelakaan, besok apa lagi?" Joana terus menggerutu tanpa peduli pada Gyan yang notabene pimpinan di perusahaan tempatnya bekerja. Mendengar Resta kecelakaan rasa kesal pada pria itu malah memuncak. Dia tahu Gyan itu kejam, tapi tidak menyangka sampai membuat Resta celaka begini. "Ini musibah, Jo," ujar Resta lirih merasa tidak enak kepada Gyan. "Yakin cuma musibah? Bukannya rekayasa agar lo menderita?"
Gyan tengah berdiskusi dengan Sella ketika seorang wanita cantik dengan hanbook dress berkelir maroon muncul. Wanita dengan tatanan ramput apik dan minim makeup itu tersenyum lega saat mendapati sosok Gyan dalam keadaan baik-baik saja. Gyan yang menyadari kehadiran wanita itu langsung menoleh. "Mam?" Seketika perhatiannya teralihkan dan langsung menyosong wanita yang ternyata Delotta, ibunya. "Kok mami ada di sini?" tanya pria itu seraya mendekati Delotta. "Mami ke sini karena khawatir sama kamu. Semalam mami sama papi ke apartemen, tapi kamu nggak ada. Mana HP mati lagi." Delotta melotot, tapi malah mendapat kekehan dari putranya. Gyan langsung menggandeng tangan ibunya, lantas menggiring perempuan cantik itu memasuki ruangannya. Sekilas Delotta tersenyum dan membalas sapaan Sella sebelum tenggelam di balik pintu ruangan Gyan. "Mami khawatir dengar kamu kecelakaan kemarin. Makanya begitu papi kamu pulang, mami langsung ngajak ke apartemen kamu. Eh, malah kosong," omelnya sambil m
Gyan terus diam ketika sampai di depan kamar kosan Resta. Moodnya terjun bebas melihat Resta bersama Ridge. Katanya mereka tidak sengaja bertemu, tapi entah kenapa Gyan tidak percaya. Ridge itu seorang manipulatif, tidak menutup kemungkinan dia menciptakan kebetulan itu. Lengannya disandarkan ke dinding seraya menunggu Resta membuka pintu. Pikirannya melayang dan menduga apa yang sebenarnya Ridge rencanakan. Gyan benar-benar tidak suka pria itu dekat-dekat kekasihnya. Begitu berhasil membuka pintu, Resta masuk diikuti Gyan. Wanita itu meletakkan kantong belanjaannya di meja, lalu membongkar isinya satu-satu. Sebenarnya dia agak aneh dengan sikap Gyan. Soal Ridge dan rapat kemarin belum sempat wanita itu tanyakan. Memecah kesunyian wanita itu tersenyum. "Aku mau nyeduh mie cup. Kamu mau? Aku beli banyak rasa," ujarnya sambil mengeluarkan mie cup dari berbagai merk yang dia beli. Namun detik selanjutnya dia dibikin terkejut dan menegang secara bersamaan ketika dua lengan mendekap
Dari paha, telapak tangan Gyan merambat ke pinggang. Posisinya makin merapat. Wajahnya dicondongkan makin dekat. Lelaki itu bukan tak menyadari wajah memerah Resta dan gugup yang tercetak jelas di sana, hanya saja dia begitu menyukai bagaimana wanita itu malu-malu karena dirinya. Bukannya menjauh Resta malah mematung dengan dada berdebar kencang. Tidak dipungkiri dia begitu menyukai debaran yang sanggup menggelitik perutnya. Kupu-kupu terbang seolah tak terkendali di sana. Sensasi aneh yang dulu pernah dia dapatkan ketika remaja. Dia bisa merasakan sentuhan tangan Gyan yang menguat pada pinggangnya. Resta memejamkan mata, ketika sebelah tangan Gyan lainnya menyusup ke belakang leher, dan menariknya mendekat. Saat Gyan akhirnya memiringkan kepala dan menyentuh bibirnya, kupu-kupu dalam perutnya pun berhamburan. Resta begitu menikmati sentuhan intim itu. Gerakan bibir Gyan sangat lembut dan hati-hati. Tidak memaksa atau menuntut. Perlahan tapi pasti, Resta membalas tak kalah lembut. A
Suara gaduh yang terdengar di luar membuat Resta buru-buru keluar dari kamar mandi. Dia yang sedang mengeringkan rambut menyampirkan handuk sekenanya ke kepala. Kaki panjangnya yang hanya mengenakan celana pendek terayun. Sontak tatapnya langsung menemukan Gyan yang tengah menyangga tubuh seseorang. "Gy, ada apa? Ka--" "Sayang, ini bantu!" seru Gyan meringis lantaran beban berat yang bertumpu pada dua tangannya. Resta refleks berjalan cepat dan agak terkejut mendapati Joana pingsan. "Joana?! Kok dia klenger gini." "Nggak tau. Bawa dia ke sofa dulu." Resta mengangguk dan ikut memapah Joana. Bersama Gyan, dia mendudukan wanita yang sudah berpakaian rapi itu ke sofa. Hanya sebentar memapah Joana, tapi napasnya sudah ngos-ngosan. "Makanan temen kamu apa sih? Berat banget," kesah Gyan berkacak pinggang seraya mengembuskan napas. "Dia kenapa pingsan, Gy? Kamu apain?" tanya Resta agak cemas sambil menepuk pipi Joana. "Jo, bangun, Jo. Ini udah siang. Mama lo nyariin." "Aku nggak ngapa
"Serius ini lokasi yang kalian pilih?" Nada meremehkan itu sangat Gyan benci. Dan kali ini terpaksa harus dengar kembali. Rasanya sudah lama sekali sejak beberapa tahun lalu. Menjalani proyek bersama di dunia kampus tidak lantas membuat Gyan kompak dalam segala hal dengan Ridge. Mereka bahkan sering berbeda pendapat dan tidak jarang berakhir saling tonjok lalu berbaikan lagi seolah tidak terjadi apa-apa. "Pantainya masih sangat alami, Pak. Ombaknya juga tidak terlalu besar. Sangat aman untuk berwisata keluarga." Resta angkat bicara lantaran Gyan tampak tidak ingin meladeni protes Ridge. "Bukannya lebih bagus pantai yang sebelumnya kita kunjungi itu? Ya ombaknya memang besar, tapi dari situ bisa mengundang wisatawan yang suka berselancar. Lagi pula itu ombak besar kan lebih menantang." Wajah Ridge berpaling kepada Resta. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seulas senyum. "Iya kan, Nona?" "Kembali ke konsep, Pak. Kita berencana membangun tempat yang ramah keluarga.""Jadi peng
Hampir pukul sebelas malam ketika Resta keluar dari kamar hotel. Dia sempat menatap pintu kamar Gyan sebelum menyeret langkah mendekati tangga menuju lantai satu. Suasana lantai bawah lobi hening ketika dirinya turun. Hanya ada resepsionis yang jaga. Namun, suasana di luar cukup ramai. Resta mengayunkan langkah menuju Bar & Cafe yang ada di samping bangunan hotel. Bangunan tua yang disulap menjadi kafe menjadikan tempat itu terasa estetik. Dari kaca jendelanya Resta bisa melihat keadaan di dalam. Tidak terlalu sepi, beberapa meja ada yang kosong. Namun ketika Resta mendorong pintu dan masuk ke tempat itu, dia lebih tertarik pada sudut kiri ruangan. Di sana meja bar berada lengkap dengan seorang bartender yang tampak sedang meracik minuman. Dia mengambil duduk di salah satu stool yang kosong. Berderet-deret botol minuman berjajar di rak langsung tertangkap matanya. Seandainya toleransinya terhadap alkohol bisa dimaklumi mungkin dia ingin mencoba isi salah satu dari botol-botol itu.
Tidak cuma Daniel dan Delotta yang menghadiri grand opening hot spring dan restoran milik Resta tersebut. Ibu dan Kae juga turut serta. Kae yang sedang sibuk meraih gelar profesi menyempatkan hadir mendampingi ibunya. Lalu Joana dan juga orang tuanya. Dan yang mengejutkan Aaron pun datang. Dia tidak sendiri ada wanita cantik di sebelahnya yang selalu menggandeng tangannya. "Tunangan Kak Aaron?" Resta terlihat takjub saat Aaron mengenalkan wanita itu padanya. "Doakan ya semoga bisa segera dihalalin," sahut Aaron tersenyum sambil menatap wanita di sisinya. "Pasti dong, Kak." "Akhirnya setelah sekian lama kakak gue sold out juga," celetuk Joana. Yang langsung mendapat jitakan di kepalanya dari sang kakak. "Nggak sopan, emangnya kakak kamu ini barang dagangan," gerutu Aaron membuat Joana manyun sambil mengusap kepalanya. "Mana cowok kamu? Katanya ada yang baru lagi?" "Nggak ada! Aku lagi jomblo.""Jomblo beneran ntar lo," timpal Resta menyeringai lebar. "Lah emang gue jomblo!" Aa
"Good. Proposal diterima." Wajah Resta kontan berbinar setelah waswas menunggu respons suaminya perkara proposal yang dia buat lagi. Bibirnya melengkung sempurna. Saat tatapnya bertemu dengan mata biru Gyan, wanita itu langsung meloncat, dan menghambur ke pelukan sang suami. "Makasih, Gy! Makasih," serunya sambil mengecup pipi Gyan bolak-balik. Dia susah payah berdiskusi dan menyusun konsep baru bersama Joana setelah survei ke berbagai jenis cafe di ibukota bersama Gyan waktu itu. Bahkan untuk menyusun menu, Joana menyeret Marsel yang notabene memiliki beberapa chef andalan di rumahnya. Soal Marsel itu, entah tepatnya kapan Joana bisa dekat dengan pria itu. Hal ini belum sempat Resta tanyakan. Yang terpenting saat ini proposal bisnis barunya diterima Gyan. Pria bermata biru itu tersenyum seraya mengusap pinggang Resta yang berada di pangkuannya. "Lokasinya udah ada?" tanyanya. "Udah ada yang kami incar. Joana bilang akan nego sama pemiliknya.""Kamu butuh tanah yang cukup luas loh
Ketukan di pintu sama sekali tidak membuat Resta segera beranjak dari tempat tidur. Dia malah makin merapatkan selimut. Suara Gyan yang terus memanggil pun tidak dia hiraukan. Resta masih kesal. Semalam dia benar-benar memisahkan diri, dan Gyan pun tidak terlihat menyusulnya. Meski kesal luar biasa karena proposalnya ditolak, semalam dia membaca ulang proposal yang sudah dia buat itu. Resta akui Gyan benar. Konsepnya sederhana seperti kafe pada umumnya, tapi tetap saja dirinya merasa tersinggung. Entahlah, akhir-akhir ini Resta merasa gampang emosional. Tidak bisa kena senggol sedikit. Mood-nya benar-benar kacau. Resta tahu ada pergerakan pintu yang dibuka, tapi dia tetap diam. Hatinya cuma berharap tidak ada hal yang akan membuat paginya berantakan, terlebih karena disebabkan suaminya. Akan lebih baik Gyan langsung berangkat kerja saja tanpa mendekatinya seperti ini. Jujur, Resta masih malas sama lelaki itu. Gyan mendekat, dan berbaring di sisi Resta yang tidur membelakanginya. "Sa
Gyan menatap layar komputernya dengan mata berbinar. Kepalan tangannya sesekali diayunkan. Proyeknya berjalan sesuai apa yang dia inginkan. Pertimbangannya untuk berinvestasi tiga tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Baginya ini hal yang harus dia rayakan bersama sang istri. Bumi yang baru saja masuk tersenyum kecil melihat wajah sumringah bosnya. "Saya belum mendengar kabar tender baru yang berhasil. Kenapa Anda bisa sesenang ini, Pak?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah dokumen bersampul hitam ke meja besar bosnya. "Ini bukan soal tender." Javas menjauhkan sedikit badan dari layar komputer lalu menatap asisten pribadinya itu. "Tapi investasi Blue Jagland di proyek kota tua di Sulawesi. Selama tiga tahun berjalan, laporan itu makin membaik. Kenapa saya senang. Karena itu adalah investasi besar pertama saya yang disetujui oleh pemegang saham.""Selamat, Anda memang hebat, Pak." Gyan tersenyum lebar sambil memutar-mutar kursinya. Namun senyum lebarnya tidak berlangsung lama ke
Gyan membungkam segera mulut Resta yang menjerit. Lalu kekehan kecilnya mengudara. Sudah larut malam, tapi keduanya masih terjaga. Bahkan keringat membanjiri tubuh polos mereka yang hanya tertutup kain selimut. "Jangan berisik, Sayang. Kamu bisa membangunkan semua orang," bisik Gyan meletakkan telunjuk ke bibir. Resta mengangguk-angguk sehingga Gyan bisa melepaskan tangan dari mulutnya. "Habis gimana, ini terlalu enak," ujarnya nyengir. Ada kebanggaan tersendiri ketika Resta mengatakan itu. Secara tak langsung wanita itu memuji kemampuan dirinya menyenangkan istri di atas ranjang. "Masih mau lagi?" tanya Gyan tersenyum nakal. Pinggulnya bergerak pelan sengaja menggoda sang istri. "Mau.""Janji jangan teriak. Kalau di apartemen sendiri sih nggak masalah. Di sebelah ada Ola." "Nggak janji sih. Tapi aku bakal usahain nggak teriak kenceng-kenceng." Kebisingan sepasang suami istri muda di malam hari sudah terjadi beberapa malam sejak keduanya menginap di rumah Daniel. Gyan dan Resta
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest