Suara gaduh yang terdengar di luar membuat Resta buru-buru keluar dari kamar mandi. Dia yang sedang mengeringkan rambut menyampirkan handuk sekenanya ke kepala. Kaki panjangnya yang hanya mengenakan celana pendek terayun. Sontak tatapnya langsung menemukan Gyan yang tengah menyangga tubuh seseorang. "Gy, ada apa? Ka--" "Sayang, ini bantu!" seru Gyan meringis lantaran beban berat yang bertumpu pada dua tangannya. Resta refleks berjalan cepat dan agak terkejut mendapati Joana pingsan. "Joana?! Kok dia klenger gini." "Nggak tau. Bawa dia ke sofa dulu." Resta mengangguk dan ikut memapah Joana. Bersama Gyan, dia mendudukan wanita yang sudah berpakaian rapi itu ke sofa. Hanya sebentar memapah Joana, tapi napasnya sudah ngos-ngosan. "Makanan temen kamu apa sih? Berat banget," kesah Gyan berkacak pinggang seraya mengembuskan napas. "Dia kenapa pingsan, Gy? Kamu apain?" tanya Resta agak cemas sambil menepuk pipi Joana. "Jo, bangun, Jo. Ini udah siang. Mama lo nyariin." "Aku nggak ngapa
"Serius ini lokasi yang kalian pilih?" Nada meremehkan itu sangat Gyan benci. Dan kali ini terpaksa harus dengar kembali. Rasanya sudah lama sekali sejak beberapa tahun lalu. Menjalani proyek bersama di dunia kampus tidak lantas membuat Gyan kompak dalam segala hal dengan Ridge. Mereka bahkan sering berbeda pendapat dan tidak jarang berakhir saling tonjok lalu berbaikan lagi seolah tidak terjadi apa-apa. "Pantainya masih sangat alami, Pak. Ombaknya juga tidak terlalu besar. Sangat aman untuk berwisata keluarga." Resta angkat bicara lantaran Gyan tampak tidak ingin meladeni protes Ridge. "Bukannya lebih bagus pantai yang sebelumnya kita kunjungi itu? Ya ombaknya memang besar, tapi dari situ bisa mengundang wisatawan yang suka berselancar. Lagi pula itu ombak besar kan lebih menantang." Wajah Ridge berpaling kepada Resta. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seulas senyum. "Iya kan, Nona?" "Kembali ke konsep, Pak. Kita berencana membangun tempat yang ramah keluarga.""Jadi peng
Hampir pukul sebelas malam ketika Resta keluar dari kamar hotel. Dia sempat menatap pintu kamar Gyan sebelum menyeret langkah mendekati tangga menuju lantai satu. Suasana lantai bawah lobi hening ketika dirinya turun. Hanya ada resepsionis yang jaga. Namun, suasana di luar cukup ramai. Resta mengayunkan langkah menuju Bar & Cafe yang ada di samping bangunan hotel. Bangunan tua yang disulap menjadi kafe menjadikan tempat itu terasa estetik. Dari kaca jendelanya Resta bisa melihat keadaan di dalam. Tidak terlalu sepi, beberapa meja ada yang kosong. Namun ketika Resta mendorong pintu dan masuk ke tempat itu, dia lebih tertarik pada sudut kiri ruangan. Di sana meja bar berada lengkap dengan seorang bartender yang tampak sedang meracik minuman. Dia mengambil duduk di salah satu stool yang kosong. Berderet-deret botol minuman berjajar di rak langsung tertangkap matanya. Seandainya toleransinya terhadap alkohol bisa dimaklumi mungkin dia ingin mencoba isi salah satu dari botol-botol itu.
Observasi kedua berjalan cukup lancar meskipun Gyan dan Ridge belum minta maaf satu sama lain. Setidaknya mereka tidak ribut dan menimbulkan kekacauan lagi bagi Resta itu sudah cukup. Pekerjaan jadi cepat selesai. Mereka juga sudah meeting langsung dengan arsitek yang akan menangani proyek dan mendiskusikan kembali usulan Ridge. Hari sedang terik-teriknya ketika seseorang menyodorkan botol air mineral dingin tepat di depan Resta. Wanita itu menoleh dan langsung mendapati Ridge berdiri di sisinya. Resta pikir Gyan pelakunya. Sejak beberapa menit lalu pria itu izin pergi, tapi belum kembali lagi. Resta tersenyum dan meraih botol minum tersebut. "Terima kasih," ucapnya pelan. Segel minuman itu sudah terbuka, jadi Resta tak perlu repot membukanya. "Ke mana Gyan pergi?" tanya Ridge seraya duduk di depan Resta. Tidak ada tempat duduk yang layak di lokasi ini, hanya kursi reyot yang entah berasal dari mana. "Saya kurang tahu." Resta menatap ponsel yang menampilkan room chatnya dengan Gya
Proyek pembangunan hotel dan vila di daerah pesisir pantai bertebing mulai berjalan sebagai mana mestinya. Observasi yang sudah Gyan dan Ridge lakukan dengan cepat bisa di-follow up. Bahkan peletakkan batu pertama sudah dilakukan beberapa minggu lalu oleh Daniel dan Bill Basco langsung. Prosesnya masih sangat panjang dan akan memakan waktu yang cukup lama. Selain Gyan, Resta juga bekerja sangat keras. Wanita itu banyak membantu Gyan dalam kesibukan yang padat merayap. Akhir pekan pun mereka terjang. Resta benar-benar tidak memiliki hari santai atau libur barang sejenak sejak proyek itu dimulai. Namun, dia bersyukur setidaknya semua kesibukan itu bisa mengalihkan sedikit perasaannya yang sempat kacau. "Saya sangat menghargai kerja keras kalian. Untuk itu sebagai rasa terima kasih..." Daniel menatap Gyan dan Resta yang duduk di depannya. Dia lantas mengambil sesuatu dari balik saku jasnya. Sebuah amplop putih dia letakkan di atas meja. Tangannya medorong ke dekat bos dan asisten itu.
Kereta yang membawa Resta menuju kota kelahirannya sudah melaju sejak beberapa menit lalu. Hanya Joana yang mengantarnya ke stasiun. Gyan masih meeting bersama Sella ketika dirinya pamit melalui pesan. Pria itu pun besok akan berangkat ke Eropa sesuai jadwal liburan yang diberikan Daniel. Setidaknya itu yang Resta pikirkan. Kepala Resta menoleh ke sisi jendela melihat pemandangan yang seolah bergerak begitu cepat. Hatinya terasa hampa. Perasaan yang belum pernah dia rasakan ketika akan pulang kampung. Kerinduannya pada Ibu dan adiknya kali ini tidak bisa menghibur hatinya yang gelisah. Resta berpaling saat ponsel dalam tasnya bergetar. Tangannya bergerak merogoh isi tas dan mengambil benda yang bergetar itu. Gyan memanggil. Menghela napas, wanita itu pun menggeser ikon hijau di layar ponsel tersebut. "Yang, kamu di mana? Kamu naik kereta apa? Aku lagi ada di Stasiun," Suara Gyan terdengar begitu Resta mendekatkan ponsel ke telinga. Resta juga mendengar kebisingan di sana sekaligus
Langkah panjang Gyan menapaki marmer putih yang membentang di sepanjang ruang tamu rumah milik ayahnya. Dia terus berjalan seraya menanggapi seadanya sapaan pelayan rumah yang berpapasan dengannya. Suasana riuh baru dia temukan ketika memasuki area dapur. Di sana, Delotta tengah memberi intruksi beberapa asisten rumah tangga. Entah ibunya sedang bereksperimen apa lagi di dapur mewah itu. "Sore, Mam," sapa Gyan yang langsung duduk di salah satu stool di depan kitchen island. Dia mengambil wortel yang ada di keranjang sayur, lalu menggigitnya seperti kelinci. Mendengar sapaan itu Delotta menoleh dan heran melihat putranya tiba-tiba muncul. "Loh, Mas. Bukannya kamu ke Eropa sama Resta?" "Cancel," sahut Gyan singkat sambil terus mengunyah umbi berwarna orens di tangannya. "Kok bisa sih?" Delotta menghampiri wastafel dan mencuci tangan. "Kenapa? Kamu sama Resta berantem?" Gyan menggeleng dan makin membuat Delotta penasaran. Wanita itu menginstruksi para asisten untuk melanjutkan apa y
"Gimana kuliah kamu?" "Sejauh ini lancar sih, Mbak. Aku berniat ngajuin beasiswa biar ada sedikit keringanan biaya." Resta mengangguk. Tangannya mencomot satu mendoan tempe dan cabe rawit hijau. "Dulu Mbak nekat kuliah di Jakarta juga karena ada beasiswa. Tapi, Kae." Wanita 25 tahun itu menatap adik satu-satunya itu. "Jangan sampai kamu ambil kerja paruh waktu. Mbak nggak setuju." "Hm, padahal aku udah merencanakan itu." "Mbak masih bisa kok biayain kamu. Mbak nggak mau kuliah kamu jadi nggak fokus."Lelaki 19 tahun di depan Resta meluruhkan bahu. Teringat brosur kerja part time yang baru saja dia terima dari salah satu teman. "Kamu ambil jurusan berat loh, Kae.""Tapi aku kan nggak mau repotin Mbak Resta terus." Resta berdecak. Lalu mengacak rambut legam Kae dengan gemas yang langsung dapat protes dari yang punya rambut. "Kalau kamu mau bantu Mbak, kamu cukup belajar yang rajin biar nggak molor lulusnya. Terus...." Resta memindai ruangan. Meneliti setiap sudutnnya yang baginya