Langkah panjang Gyan menapaki marmer putih yang membentang di sepanjang ruang tamu rumah milik ayahnya. Dia terus berjalan seraya menanggapi seadanya sapaan pelayan rumah yang berpapasan dengannya. Suasana riuh baru dia temukan ketika memasuki area dapur. Di sana, Delotta tengah memberi intruksi beberapa asisten rumah tangga. Entah ibunya sedang bereksperimen apa lagi di dapur mewah itu. "Sore, Mam," sapa Gyan yang langsung duduk di salah satu stool di depan kitchen island. Dia mengambil wortel yang ada di keranjang sayur, lalu menggigitnya seperti kelinci. Mendengar sapaan itu Delotta menoleh dan heran melihat putranya tiba-tiba muncul. "Loh, Mas. Bukannya kamu ke Eropa sama Resta?" "Cancel," sahut Gyan singkat sambil terus mengunyah umbi berwarna orens di tangannya. "Kok bisa sih?" Delotta menghampiri wastafel dan mencuci tangan. "Kenapa? Kamu sama Resta berantem?" Gyan menggeleng dan makin membuat Delotta penasaran. Wanita itu menginstruksi para asisten untuk melanjutkan apa y
"Gimana kuliah kamu?" "Sejauh ini lancar sih, Mbak. Aku berniat ngajuin beasiswa biar ada sedikit keringanan biaya." Resta mengangguk. Tangannya mencomot satu mendoan tempe dan cabe rawit hijau. "Dulu Mbak nekat kuliah di Jakarta juga karena ada beasiswa. Tapi, Kae." Wanita 25 tahun itu menatap adik satu-satunya itu. "Jangan sampai kamu ambil kerja paruh waktu. Mbak nggak setuju." "Hm, padahal aku udah merencanakan itu." "Mbak masih bisa kok biayain kamu. Mbak nggak mau kuliah kamu jadi nggak fokus."Lelaki 19 tahun di depan Resta meluruhkan bahu. Teringat brosur kerja part time yang baru saja dia terima dari salah satu teman. "Kamu ambil jurusan berat loh, Kae.""Tapi aku kan nggak mau repotin Mbak Resta terus." Resta berdecak. Lalu mengacak rambut legam Kae dengan gemas yang langsung dapat protes dari yang punya rambut. "Kalau kamu mau bantu Mbak, kamu cukup belajar yang rajin biar nggak molor lulusnya. Terus...." Resta memindai ruangan. Meneliti setiap sudutnnya yang baginya
Motor yang Gyan tumpangi berhenti di depan sebuah rumah dengan dominan cat berwarna putih. Kusen pintu dan jendelanya sangat sederhana. Meski begitu tampilannya asri. Pemilik sengaja menanam pohon dan bunga hidup di depannya walaupun halaman rumah itu tak seberapa luas. . "Ini dia alamat yang Mas cari," ucap pemuda yang mengendarai motor. Gyan turun dari jok belakang motor. Memperhatikan rumah itu sesaat. Pintunya sedikit terbuka. Senyumnya tersimpul ketika membayangkan reaksi Resta jika melihatnya di sini. "Terima kasih banyak ya," ucap Gyan. "Sama-sama, Mas." Pemuda itu turun dari motor. "Kalau boleh tau Mas mau mencari siapa di rumah ini?" tanyanya penasaran. "Saya mencari pacar saya," ucap Gyan tersenyum tipis. Namun pemuda itu tampak syok. "Pacar?" Gyan mengangguk. "Namanya Resta. Semoga saya nggak salah alamat." Raut pemuda itu makin syok mendengar nama Resta disebut. "Mas pacar Mbak Resta?!" "Wah, rupanya kamu kenal juga? Berarti saya nggak salah alamat. Syukurlah." M
Resta melenggang memasuki rumah setelah motor Ridge meninggalkan halaman. Pria itu tidak mampir karena ada urusan lain dan hanya menitipkan salam untuk ibu dan Kae. Wajah Kae yang mesam-mesem tak jelas terlihat pertama kali begitu Resta memasuki teras. Sepertinya ada tamu. Dia melihat ada sosok lain yang duduk di seberang Kae, membelakangi dirinya. "Lama banget sih, Mbak. Udah ditungguin Mas Gyan loh dari tadi." Teguran Kae membuat langkah Resta yang akan mencapai pintu terhenti seketika. Gyan? Matanya membulat dan memastikan tamu itu beneran Gyan dengan isyarat mata. Di tempatnya, Kae mengangguk pelan. Saat itu juga kaki Resta rasanya lemas mendadak. Bagaimana Gyan bisa di sini? Bukankah seharusnya lelaki itu di Eropa? Resta masih membeku ketika Gyan menoleh dan memberinya senyum. Bukan jenis senyum kebahagiaan, tapi senyum yang seolah bisa mengantarnya ke ambang maut. "Hai, seneng banget ya yang habis jalan-jalan," sapa Gyan sarat akan sindiran. Resta sangat hapal ekspresi itu
Kae menurunkan Resta tepat ketika roda duanya berada di depan gedung hotel. Dia sendiri langsung meluncur ke kampusnya lantaran ada praktikum pagi yang harus dia ikuti. Lelaki itu sempat pesan pada Resta agar wanita itu tidak banyak mendebat Gyan nanti. Bahkan dia yang menyarankan agar Resta membawa sesuatu. Alhasil sebelum sampai hotel dia sempatkan diri mampir ke minimarket. Resta segera melangkah mendekati gedung begitu Kae melanjutkan perjalanannya. Tangannya menggenggam tali tas dengan erat. Jujur dia agak jeri menemui Gyan meskipun di otaknya sudah tersusun kata-kata yang akan dia ucapkan nanti. Memasuki lobi hotel, dadanya mendadak berdebar. Resta sampai harus menarik napas panjang sebelum bergerak ke arah resepsionis. Beruntung aroma rempah yang menguar di area lobi membuat perasaannya sedikit tenang. "Pak Gyan Jagland? Sebentar ya, Bu." Resepsionis yang menyambutnya ramah lantas sibuk begitu Resta bertanya soal Gyan. Pilihannya cuma dua. Gyan mau menemuinya, atau malah men
Tanpa sadar Resta mencengkeram kaus yang Gyan kenakan. Matanya yang terpejam terbuka saat Gyan menjauh. Pria itu lantas berbisik padanya. Bisikan yang membuat sekujur tubuhnya meremang seketika. "I want you now." Resta bisa merasakan hawa panas menjalari kulit tubuh ketika telapak tangan Gyan mengusap langsung area pinggangnya. Tatapan tajam pria di atasnya itu berubah sendu. Resta memejamkan mata menahan getar yang menggelitik di pusat gairahnya. "Gy." Suara Resta bergetar lirih. "Apa yang harus aku korbankan lagi buat mendapat maafmu?" Gerakan tangan Gyan yang tengah mengusap perut Resta terhenti. Dia tak suka mendengar itu. "Kenapa di sini seolah aku yang salah?" Alisnya menyatu. Tangannya lantas bergerak keluar dari dalam blouse. "Kamu jalan sama laki-laki lain tanpa aku tau. Dan laki-laki itu Ridge. Kamu sangat tau kalau aku nggak suka kamu dekat-dekat sama dia." Gyan menjauh, emosinya kembali naik. Resta menarik napas panjang, lalu beranjak bangun. Dia paham kekhawatiran ke
Gyan menyurukan wajahnya ke belakang leher Resta. Membaui aroma rambut wanita itu sambil memejamkan mata. Sementara lengannya memeluk perut wanita itu seraya sesekali bermain di area sekitar dada. Hanya itu yang bisa dia lakukan setelah penolakan Resta satu jam lalu. Dan Gyan masih tetap menghargai prinsip kekasihnya itu. Cium dan peluk juga cukup. Uhm, dan sedikit make out seperti sekarang. "Wangi banget rambut kamu, Sayang," bisiknya seraya terus menciumi rambut Resta. "Mau sampai kapan kamu begini terus? Memang kamu nggak lapar?" tanya Resta lantas menggigit bibir agar tidak mendesah saat Gyan memilin puncak dadanya dari dalam blouse. Tangan pria itu tidak mau diam. Modusnya hanya ingin peluk, tapi tangannya piknik ke mana-mana. Namun Resta tidak menolak lagi, asal tidak dengan melakukan seks. Meski sejujurnya Resta sendiri tergoda. Dia wanita normal dan sensitif. Disentuh dengan intim begini jelas sangat mempengaruhinya. "Nanti aku suruh staf hotel membawanya ke sini," sahut G
Ibu menyentuh dadanya. Terkejut dengan kata-kata yang Gyan sampaikan barusan. Perempuan paruh bayu itu menatap putrinya yang tampak pasrah saja. Resta sudah mewanti-wanti agar Gyan jangan sampai membuat ibunya syok. Tapi berita yang Gyan sampaikan memang terlalu tiba-tiba. Mau disampaikan sepelan apa pun tetap saja membuat ibu kaget. "Nak Gyan serius?" tanya Ibu masih terlihat tidak percaya. "Lebih dari serius, Bu," sahut Gyan tersenyum. Sama sekali tidak ada keraguan di wajah tampannya. Sepertinya Ibu tidak bisa berkata-kata lagi. Dia menarik napas panjang lalu menatap Resta lagi. "Kalau Ibu terserah Resta saja. Dia yang akan menjalani. Kalau itu membuat dia bahagia, tentu ibu akan merestui kalian." Ucapan Ibu langsung membuat wajah Gyan berseri-seri, tapi tidak dengan Resta. Dia hanya meringis menanggapi itu. "Nggak sia-sia aku nyusul kamu ke sini," ujar Gyan seraya melirik Resta. Dia kembali menatap ibu. "Dalam waktu dekat saya akan meminta orang tua saya melamar Resta ke sin