"Serius ini lokasi yang kalian pilih?" Nada meremehkan itu sangat Gyan benci. Dan kali ini terpaksa harus dengar kembali. Rasanya sudah lama sekali sejak beberapa tahun lalu. Menjalani proyek bersama di dunia kampus tidak lantas membuat Gyan kompak dalam segala hal dengan Ridge. Mereka bahkan sering berbeda pendapat dan tidak jarang berakhir saling tonjok lalu berbaikan lagi seolah tidak terjadi apa-apa. "Pantainya masih sangat alami, Pak. Ombaknya juga tidak terlalu besar. Sangat aman untuk berwisata keluarga." Resta angkat bicara lantaran Gyan tampak tidak ingin meladeni protes Ridge. "Bukannya lebih bagus pantai yang sebelumnya kita kunjungi itu? Ya ombaknya memang besar, tapi dari situ bisa mengundang wisatawan yang suka berselancar. Lagi pula itu ombak besar kan lebih menantang." Wajah Ridge berpaling kepada Resta. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seulas senyum. "Iya kan, Nona?" "Kembali ke konsep, Pak. Kita berencana membangun tempat yang ramah keluarga.""Jadi peng
Hampir pukul sebelas malam ketika Resta keluar dari kamar hotel. Dia sempat menatap pintu kamar Gyan sebelum menyeret langkah mendekati tangga menuju lantai satu. Suasana lantai bawah lobi hening ketika dirinya turun. Hanya ada resepsionis yang jaga. Namun, suasana di luar cukup ramai. Resta mengayunkan langkah menuju Bar & Cafe yang ada di samping bangunan hotel. Bangunan tua yang disulap menjadi kafe menjadikan tempat itu terasa estetik. Dari kaca jendelanya Resta bisa melihat keadaan di dalam. Tidak terlalu sepi, beberapa meja ada yang kosong. Namun ketika Resta mendorong pintu dan masuk ke tempat itu, dia lebih tertarik pada sudut kiri ruangan. Di sana meja bar berada lengkap dengan seorang bartender yang tampak sedang meracik minuman. Dia mengambil duduk di salah satu stool yang kosong. Berderet-deret botol minuman berjajar di rak langsung tertangkap matanya. Seandainya toleransinya terhadap alkohol bisa dimaklumi mungkin dia ingin mencoba isi salah satu dari botol-botol itu.
Observasi kedua berjalan cukup lancar meskipun Gyan dan Ridge belum minta maaf satu sama lain. Setidaknya mereka tidak ribut dan menimbulkan kekacauan lagi bagi Resta itu sudah cukup. Pekerjaan jadi cepat selesai. Mereka juga sudah meeting langsung dengan arsitek yang akan menangani proyek dan mendiskusikan kembali usulan Ridge. Hari sedang terik-teriknya ketika seseorang menyodorkan botol air mineral dingin tepat di depan Resta. Wanita itu menoleh dan langsung mendapati Ridge berdiri di sisinya. Resta pikir Gyan pelakunya. Sejak beberapa menit lalu pria itu izin pergi, tapi belum kembali lagi. Resta tersenyum dan meraih botol minum tersebut. "Terima kasih," ucapnya pelan. Segel minuman itu sudah terbuka, jadi Resta tak perlu repot membukanya. "Ke mana Gyan pergi?" tanya Ridge seraya duduk di depan Resta. Tidak ada tempat duduk yang layak di lokasi ini, hanya kursi reyot yang entah berasal dari mana. "Saya kurang tahu." Resta menatap ponsel yang menampilkan room chatnya dengan Gya
Proyek pembangunan hotel dan vila di daerah pesisir pantai bertebing mulai berjalan sebagai mana mestinya. Observasi yang sudah Gyan dan Ridge lakukan dengan cepat bisa di-follow up. Bahkan peletakkan batu pertama sudah dilakukan beberapa minggu lalu oleh Daniel dan Bill Basco langsung. Prosesnya masih sangat panjang dan akan memakan waktu yang cukup lama. Selain Gyan, Resta juga bekerja sangat keras. Wanita itu banyak membantu Gyan dalam kesibukan yang padat merayap. Akhir pekan pun mereka terjang. Resta benar-benar tidak memiliki hari santai atau libur barang sejenak sejak proyek itu dimulai. Namun, dia bersyukur setidaknya semua kesibukan itu bisa mengalihkan sedikit perasaannya yang sempat kacau. "Saya sangat menghargai kerja keras kalian. Untuk itu sebagai rasa terima kasih..." Daniel menatap Gyan dan Resta yang duduk di depannya. Dia lantas mengambil sesuatu dari balik saku jasnya. Sebuah amplop putih dia letakkan di atas meja. Tangannya medorong ke dekat bos dan asisten itu.
Kereta yang membawa Resta menuju kota kelahirannya sudah melaju sejak beberapa menit lalu. Hanya Joana yang mengantarnya ke stasiun. Gyan masih meeting bersama Sella ketika dirinya pamit melalui pesan. Pria itu pun besok akan berangkat ke Eropa sesuai jadwal liburan yang diberikan Daniel. Setidaknya itu yang Resta pikirkan. Kepala Resta menoleh ke sisi jendela melihat pemandangan yang seolah bergerak begitu cepat. Hatinya terasa hampa. Perasaan yang belum pernah dia rasakan ketika akan pulang kampung. Kerinduannya pada Ibu dan adiknya kali ini tidak bisa menghibur hatinya yang gelisah. Resta berpaling saat ponsel dalam tasnya bergetar. Tangannya bergerak merogoh isi tas dan mengambil benda yang bergetar itu. Gyan memanggil. Menghela napas, wanita itu pun menggeser ikon hijau di layar ponsel tersebut. "Yang, kamu di mana? Kamu naik kereta apa? Aku lagi ada di Stasiun," Suara Gyan terdengar begitu Resta mendekatkan ponsel ke telinga. Resta juga mendengar kebisingan di sana sekaligus
Langkah panjang Gyan menapaki marmer putih yang membentang di sepanjang ruang tamu rumah milik ayahnya. Dia terus berjalan seraya menanggapi seadanya sapaan pelayan rumah yang berpapasan dengannya. Suasana riuh baru dia temukan ketika memasuki area dapur. Di sana, Delotta tengah memberi intruksi beberapa asisten rumah tangga. Entah ibunya sedang bereksperimen apa lagi di dapur mewah itu. "Sore, Mam," sapa Gyan yang langsung duduk di salah satu stool di depan kitchen island. Dia mengambil wortel yang ada di keranjang sayur, lalu menggigitnya seperti kelinci. Mendengar sapaan itu Delotta menoleh dan heran melihat putranya tiba-tiba muncul. "Loh, Mas. Bukannya kamu ke Eropa sama Resta?" "Cancel," sahut Gyan singkat sambil terus mengunyah umbi berwarna orens di tangannya. "Kok bisa sih?" Delotta menghampiri wastafel dan mencuci tangan. "Kenapa? Kamu sama Resta berantem?" Gyan menggeleng dan makin membuat Delotta penasaran. Wanita itu menginstruksi para asisten untuk melanjutkan apa y
"Gimana kuliah kamu?" "Sejauh ini lancar sih, Mbak. Aku berniat ngajuin beasiswa biar ada sedikit keringanan biaya." Resta mengangguk. Tangannya mencomot satu mendoan tempe dan cabe rawit hijau. "Dulu Mbak nekat kuliah di Jakarta juga karena ada beasiswa. Tapi, Kae." Wanita 25 tahun itu menatap adik satu-satunya itu. "Jangan sampai kamu ambil kerja paruh waktu. Mbak nggak setuju." "Hm, padahal aku udah merencanakan itu." "Mbak masih bisa kok biayain kamu. Mbak nggak mau kuliah kamu jadi nggak fokus."Lelaki 19 tahun di depan Resta meluruhkan bahu. Teringat brosur kerja part time yang baru saja dia terima dari salah satu teman. "Kamu ambil jurusan berat loh, Kae.""Tapi aku kan nggak mau repotin Mbak Resta terus." Resta berdecak. Lalu mengacak rambut legam Kae dengan gemas yang langsung dapat protes dari yang punya rambut. "Kalau kamu mau bantu Mbak, kamu cukup belajar yang rajin biar nggak molor lulusnya. Terus...." Resta memindai ruangan. Meneliti setiap sudutnnya yang baginya
Motor yang Gyan tumpangi berhenti di depan sebuah rumah dengan dominan cat berwarna putih. Kusen pintu dan jendelanya sangat sederhana. Meski begitu tampilannya asri. Pemilik sengaja menanam pohon dan bunga hidup di depannya walaupun halaman rumah itu tak seberapa luas. . "Ini dia alamat yang Mas cari," ucap pemuda yang mengendarai motor. Gyan turun dari jok belakang motor. Memperhatikan rumah itu sesaat. Pintunya sedikit terbuka. Senyumnya tersimpul ketika membayangkan reaksi Resta jika melihatnya di sini. "Terima kasih banyak ya," ucap Gyan. "Sama-sama, Mas." Pemuda itu turun dari motor. "Kalau boleh tau Mas mau mencari siapa di rumah ini?" tanyanya penasaran. "Saya mencari pacar saya," ucap Gyan tersenyum tipis. Namun pemuda itu tampak syok. "Pacar?" Gyan mengangguk. "Namanya Resta. Semoga saya nggak salah alamat." Raut pemuda itu makin syok mendengar nama Resta disebut. "Mas pacar Mbak Resta?!" "Wah, rupanya kamu kenal juga? Berarti saya nggak salah alamat. Syukurlah." M
Tidak cuma Daniel dan Delotta yang menghadiri grand opening hot spring dan restoran milik Resta tersebut. Ibu dan Kae juga turut serta. Kae yang sedang sibuk meraih gelar profesi menyempatkan hadir mendampingi ibunya. Lalu Joana dan juga orang tuanya. Dan yang mengejutkan Aaron pun datang. Dia tidak sendiri ada wanita cantik di sebelahnya yang selalu menggandeng tangannya. "Tunangan Kak Aaron?" Resta terlihat takjub saat Aaron mengenalkan wanita itu padanya. "Doakan ya semoga bisa segera dihalalin," sahut Aaron tersenyum sambil menatap wanita di sisinya. "Pasti dong, Kak." "Akhirnya setelah sekian lama kakak gue sold out juga," celetuk Joana. Yang langsung mendapat jitakan di kepalanya dari sang kakak. "Nggak sopan, emangnya kakak kamu ini barang dagangan," gerutu Aaron membuat Joana manyun sambil mengusap kepalanya. "Mana cowok kamu? Katanya ada yang baru lagi?" "Nggak ada! Aku lagi jomblo.""Jomblo beneran ntar lo," timpal Resta menyeringai lebar. "Lah emang gue jomblo!" Aa
"Good. Proposal diterima." Wajah Resta kontan berbinar setelah waswas menunggu respons suaminya perkara proposal yang dia buat lagi. Bibirnya melengkung sempurna. Saat tatapnya bertemu dengan mata biru Gyan, wanita itu langsung meloncat, dan menghambur ke pelukan sang suami. "Makasih, Gy! Makasih," serunya sambil mengecup pipi Gyan bolak-balik. Dia susah payah berdiskusi dan menyusun konsep baru bersama Joana setelah survei ke berbagai jenis cafe di ibukota bersama Gyan waktu itu. Bahkan untuk menyusun menu, Joana menyeret Marsel yang notabene memiliki beberapa chef andalan di rumahnya. Soal Marsel itu, entah tepatnya kapan Joana bisa dekat dengan pria itu. Hal ini belum sempat Resta tanyakan. Yang terpenting saat ini proposal bisnis barunya diterima Gyan. Pria bermata biru itu tersenyum seraya mengusap pinggang Resta yang berada di pangkuannya. "Lokasinya udah ada?" tanyanya. "Udah ada yang kami incar. Joana bilang akan nego sama pemiliknya.""Kamu butuh tanah yang cukup luas loh
Ketukan di pintu sama sekali tidak membuat Resta segera beranjak dari tempat tidur. Dia malah makin merapatkan selimut. Suara Gyan yang terus memanggil pun tidak dia hiraukan. Resta masih kesal. Semalam dia benar-benar memisahkan diri, dan Gyan pun tidak terlihat menyusulnya. Meski kesal luar biasa karena proposalnya ditolak, semalam dia membaca ulang proposal yang sudah dia buat itu. Resta akui Gyan benar. Konsepnya sederhana seperti kafe pada umumnya, tapi tetap saja dirinya merasa tersinggung. Entahlah, akhir-akhir ini Resta merasa gampang emosional. Tidak bisa kena senggol sedikit. Mood-nya benar-benar kacau. Resta tahu ada pergerakan pintu yang dibuka, tapi dia tetap diam. Hatinya cuma berharap tidak ada hal yang akan membuat paginya berantakan, terlebih karena disebabkan suaminya. Akan lebih baik Gyan langsung berangkat kerja saja tanpa mendekatinya seperti ini. Jujur, Resta masih malas sama lelaki itu. Gyan mendekat, dan berbaring di sisi Resta yang tidur membelakanginya. "Sa
Gyan menatap layar komputernya dengan mata berbinar. Kepalan tangannya sesekali diayunkan. Proyeknya berjalan sesuai apa yang dia inginkan. Pertimbangannya untuk berinvestasi tiga tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Baginya ini hal yang harus dia rayakan bersama sang istri. Bumi yang baru saja masuk tersenyum kecil melihat wajah sumringah bosnya. "Saya belum mendengar kabar tender baru yang berhasil. Kenapa Anda bisa sesenang ini, Pak?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah dokumen bersampul hitam ke meja besar bosnya. "Ini bukan soal tender." Javas menjauhkan sedikit badan dari layar komputer lalu menatap asisten pribadinya itu. "Tapi investasi Blue Jagland di proyek kota tua di Sulawesi. Selama tiga tahun berjalan, laporan itu makin membaik. Kenapa saya senang. Karena itu adalah investasi besar pertama saya yang disetujui oleh pemegang saham.""Selamat, Anda memang hebat, Pak." Gyan tersenyum lebar sambil memutar-mutar kursinya. Namun senyum lebarnya tidak berlangsung lama ke
Gyan membungkam segera mulut Resta yang menjerit. Lalu kekehan kecilnya mengudara. Sudah larut malam, tapi keduanya masih terjaga. Bahkan keringat membanjiri tubuh polos mereka yang hanya tertutup kain selimut. "Jangan berisik, Sayang. Kamu bisa membangunkan semua orang," bisik Gyan meletakkan telunjuk ke bibir. Resta mengangguk-angguk sehingga Gyan bisa melepaskan tangan dari mulutnya. "Habis gimana, ini terlalu enak," ujarnya nyengir. Ada kebanggaan tersendiri ketika Resta mengatakan itu. Secara tak langsung wanita itu memuji kemampuan dirinya menyenangkan istri di atas ranjang. "Masih mau lagi?" tanya Gyan tersenyum nakal. Pinggulnya bergerak pelan sengaja menggoda sang istri. "Mau.""Janji jangan teriak. Kalau di apartemen sendiri sih nggak masalah. Di sebelah ada Ola." "Nggak janji sih. Tapi aku bakal usahain nggak teriak kenceng-kenceng." Kebisingan sepasang suami istri muda di malam hari sudah terjadi beberapa malam sejak keduanya menginap di rumah Daniel. Gyan dan Resta
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest