Senyum Resta merekah tatkala pekerjaan akhirnya selesai. Dia sempat melirik jam digital di ujung layar komputer sebelum mematikan benda itu. Pukul empat sore. Masih ada waktu untuk mandi dan siap-siap sebelum dia pergi ke tempat yang menjadi pertemuannya dengan Reno. Resta tidak ingin melewatkan pertemuan ini. Keduanya jarang sekali menghabiskan weekend bersama. Tuntutan pekerjaan Reno yang mengharuskan dia stand by di akhir pekan menjadi alasannya. Sekalinya libur, dapatnya malah hari kerja. Langka lelaki itu dapat jatah libur di weekend. Oleh sebab itu, Resta tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Resta sudah menjinjing tasnya. Bersiap keluar dari kubikel yang mengukungnya seharian di hari Sabtu ini. Namun belum sempat kakinya bergeser interkom di mejanya berdering. Sebenarnya Resta enggan mengangkat, tapi tangannya malah menekan tombol di sana dan suara malaikat maut pun terdengar. "Ke ruangan saya sekarang." Kalimat perintah yang sama sekali tak bisa Resta bantah. Wanita itu
"Iya. Resta lagi usahain, Bu." Ruangan divisi masih sepi ketika Resta masuk. Masih 15 menit lagi jam masuk kerja setelah istirahat siang. Langkah wanita 25 tahun itu bergerak menuju kubikel. Tangan kanannya memegangi ponsel di dekat telinga, sementara tangan lain menarik kursi. "Sama sekali nggak merepotkan. Kan ibu yang berjuang buat nguliahin aku. Sekarang gantian aku yang berjuang buat kuliah Kae. Bilang aja sama Kae suruh rajin belajar biar bisa masuk perguruan tinggi negeri. Terus nggak boleh jauh-jauh. Sekitaran Semarang aja biar tetep tinggal di rumah." Jarinya menekan tombol power komputer. Sementara kepalanya mengangguk-angguk mendengar suara ibunya di telepon. "Iya, nggak apa-apa. Oke, kalau gitu Resta matiin dulu telponnya ya, Bu. Tetap jaga kesehatan, Bu." Napas Resta berembus panjang begitu panggilannya ditutup. Pikirannya mengingat berapa sisa tabungan yang dia punya. Tahun lalu dia terpaksa menguras habis tabungannya untuk renovasi rumah ibu di Semarang yang terken
Sudah beberapa hari belakangan ini Gyan melihat Resta pulang tidak kurang dari pukul sepuluh malam. Padahal tidak ada tugas tambahan atau lembur untuk para staf. Dan pria itu juga sedang tidak ingin memberi pelajaran pada wanita itu.Seperti malam ini, lagi-lagi tanpa sengaja Gyan melihat lampu kubikel Resta menyala di antara lampu lain yang sudah padam. Dia bisa saja menghampiri wanita itu dan menanyakan apa yang Resta lakukan. Namun dia memilih membiarkan dan kembali ke ruang kerjanya. Lima belas menit kemudian dia yang berniat pulang sudah mendapati lampu kubik Resta padam."Sebenarnya apa yang wanita itu lakukan?" gumamnya. Penasaran membuat langkah pria itu berbelok menuju workstation dan singgah di meja kerja Resta.Biasanya Gyan melihat Resta begitu serius di depan layar. Kadang dahi wanita itu terlihat sampai berkerut. Malam ini bahkan dia melihat rambut Resta acak-acakan. Telunjuk Gyan menekan tombol power pada komputer di meja Resta. Menunggu beberapa saat sampai jendela lay
Joana mengomeli Resta habis-habisan berkat kebodohannya loss trading. Dia kejam sekali. Bukannya memeluk dan menguatkan Resta yang lagi mode sedih malah marah-marah. Baik, itu semua memang kesalahan Resta, wanita itu juga tidak membantah. Tapi setidaknya Joana memberinya simpati, bukannya menggoblok-goblokinya terus-terusan. "Lo tuh ngomong kalau butuh uang," ujar Joana geregetan. "Gue kan bisa bantu. Atau kalau gue nggak bisa bantu gue bisa kok minta bantuan kakak gue. Tapi nggak main judi gini." "Itu bukan judi. Itu trading, pasar uang," bantah Resta. Namun langsung ditebas Joana sambil mengibas udara. "Halah sama aja. Lo berspekulasi di sana.""Bedalah.""Kalau beda lo nggak bakal bangkrut. Judi itu bikin orang bangkrut!" ujar Joana kencang tepat di depan wajah Resta sampai wanita itu merem. Resta mengembuskan napas. Bahunya meluruh. "Gue ke sini minta dikuatkan bukan diomelin kek gini," ucapnya bersungut-sungut sambil memilin-milin ujung blousenya. "Ya emang lo pantes diomeli
"Nggak masuk akal! Masa 24 jam lo harus stand by sama dia?"Suara Joana melingking ketika membaca klausal MoU yang Gyan buat untuk Resta."Ini sama aja kamu disuruh tinggal sama dia, gitu? Terus ini." Joana menunjuk lagi klausal lain yang menurutnya tidak masuk akal. "Masa selama terikat perjanjian lo nggak boleh ambil cuti kecuali mati. Yang bener aja! Belum lagi kalau lo mangkir atau resign sebelum masa kerja habis, lo harus bayar dendanya 10x lipat. Kenapa nggak sekalian 100x lipat?"Sementara Resta di depannya hanya menunduk pasrah. Dia bingung harus merespons apa."Tugas-tugasnya juga udah lebih mirip pembokat daripada asisten pribadi. Masa lo harus memastikan semua makanan yang dia makan dalam kondisi bagus? Gimana caranya coba?""Bukannya tugas asisten pribadi memang gitu?" Resta berkomentar lesu. Tubuhnya menggelosor ke bawah ranjang tidur."Pantas saja lo digaji gede. Kerjanya nggak main-main. Bahkan ada pasal yang mewajibkan lo jaga rahasia pribadi dia dan punishment-nya. An
Ini menyebalkan.Resta pikir Gyan melupakan eksistensinya sebagai asisten pribadi. Pertanyaan pria itu ketika melihatnya bersama Sella yang membuat dia berpikir demikian. Namun ternyata bukan itu yang Gyan maksud. Pria itu menginginkan Resta satu ruangan bersamanya. Dan yang terjadi setelahnya, meja kerja baru di sisi Sella dipindah ke ruangan lelaki itu.Ya Tuhan! Ini sih sama saja bekerja dalam pengawasan direktur langsung. Hari pertama kerja Gyan memintanya mengurus hal tak penting. Itu tidak masalah bagi Resta asal pria itu tidak rese saja. Menjelang siang Resta diribetkan dengan makanan lelaki itu."Pastikan makanannya tidak mengandung kacang-kacangan dan minyak berlebih," ujar Gyan mengingatkan. "Harus gluten free. Air mineral sudah habis pastikan kamu memesannya dengan merk yang sama. Saya tidak suka merk lainnya. Tidak cocok di lidah saya."Demi Tuhan! Perkara air saja seribet itu. Bukannya semua rasa air itu sama saja? Kelakuan orang kaya benar-benar ajaib, bahkan kalau pun t
Suasana pasca insiden handuk lepas meninggalkan kecanggungan di antara Resta dan Gyan. Ketika Gyan akhirnya keluar dari kamar, Resta pura-pura menyibukkan diri di dapur meskipun tidak ada hal yang perlu wanita itu kerjakan lagi. Malunya masih berasa tiap kali Resta ingat. Dan sepertinya tidak bisa dia lupa begitu saja. Apalagi...Dehaman keras Gyan membuat Resta tersentak. Wanita itu buru-buru memindahkan sarapan yang sudah dia siapkan ke depan pria itu tanpa bicara apa pun. Seusai meletakkan satu mangkok oat sereal dan satu gelas jus di meja makan, dia segera beringsut lagi ke dapur. Namun, di tengah usahanya menghindari sang bos tiba-tiba..."Kamu lihat sesuatu?"Pertanyaan Gyan sontak membuat langkahnya memutar. Jujur dia kaget mendapat pertanyaan ambigu itu. Otaknya sudah traveling ke mana-mana sekarang."Oh nggak kok saya nggak lihat apa-apa, Pak." Semoga jawaban itu meyakinkan. Pipinya terasa panas ketika bayangan sesuatu yang menggantung di bawah perut Gyan berkelebat lagi."Ng
Sejak pertemuan di tangga depan gedung kantor waktu itu, Resta lebih sering menerima pesan dari Reno. Tak jarang pria itu melakukan panggilan telepon meskipun hanya sebentar. Perubahan ini malah membuat Resta bertanya-tanya sekaligus senang. Seperti jatuh cinta kembali Resta merasakan hatinya berbunga-bunga kala mendapat pesan atau panggilan dari kekasihnya itu."Kenapa kamu senyum-senyum?" tegur Gyan tanpa menoleh sedikit pun dari lembar kerja yang ada di hadapannya. Meski begitu pria itu tetap bisa melihat kelakuan aneh asisten pribadinya akhir-akhir ini.Senyum Resta surut. Dia langsung mengubah ekspresi wajah. "Nggak ada apa-apa kok, Pak."Ya kali dia mau jawab jujur : Saya baru dapat chat dari pacar nanyain udah makan belom. Bisa-bisa Gyan memandangnya penuh kenistaan."Are you okay?" Kali ini Gyan menatap Resta sampai kacamatanya melorot."Saya ok—""Mungkin kamu butuh psikiater," sambar Gyan cepat sebelum Resta menjawab dengan sempurna.Wanita itu langsung memasang tampang masa