Kejadian makan siang di gerobak soto ayam membuat Resta berada di ruangan Gyan dengan kepala menunduk. Matanya menatap ujung sepatunya yang sejajar seolah saling menguatkan. Bulir-bulir keringat dingin mulai membanjiri kening Resta. Air conditioner di ruangan ini seperti tidak berfungsi dengan baik. Hawa di sini begitu mencekam.
Resta menelan ludah melihat Gyan menatapnya lurus tanpa suara. Mata biru itu menghujamnya begitu dalam. Andai mata itu bisa mengeluarkan tembakan, pasti pelurunya sudah menembus kepala Resta."Apa kejadian kemarin nggak bisa jadi pelajaran buat kamu, Resta?" tanya Gyan dengan suara dalam dan tegas. "Kalian tidak ada kerjaan lain selain ngomongin atasan yang mungkin saja bisa memecat kalian kapan saja?""Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud bicara nggak sopan sama Bapak. Itu ucapan refleks, Pak," sahut Resta seraya mencoba mengangkat kepala, tapi hanya bertahan sebentar lalu menunduk lagi.Gyan menyandarkan punggung ke kursi sembari menggelengkan kepala. Kalau saja tidak ada urusan yang membuatnya harus melewati gedung belakang kantor, mungkin umpatan kurang ajar dari mulut Resta tidak perlu dia dengar. Sayangnya, wanita itu memang lagi-lagi kurang beruntung."Daripada kamu terus mengumpat di belakang saya, lebih baik kamu buktikan bahwa kamu memang orang yang pantas dipertahankan di perusahaan ini."Resta tidak menjawab. Sejujurnya dia masih bingung dengan kemunculan Gyan di warung kaki lima. Bahkan sekelas manajer Blue Jagland saja tidak mau menyambangi tempat itu. Tapi setan Gyan lagi-lagi muncul tanpa dia duga."Bapak mau saya buatkan es kopi atau es teh?" tanya Resta tiba-tiba, membuat pria di hadapannya mengerutkan kening."Saya nggak perlu kamu—""Biar kepala Bapak bisa lebih dingin."Niat baik Resta malah makin membuat wajah Gyan terlihat kesal. "Kamu ngeledek saya?"Sontak Resta terperanjat melihat Gyan menggeram seperti singa. "Sa-saya nggak—""Keluar dari ruangan saya.""Maaf, Pak. Tapi tadi saya ber—""Cepat!"Tidak pikir panjang lagi Resta langsung lari terbirit-birit keluar dari ruangan Gyan. Jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan hidung dan telinga Gyan seperti tengah mengeluarkan asap. Untuk beberapa saat dia mengatur napas sambil menyandarkan punggung di balik pintu ruangan Gyan."Lo... Baik-baik aja, Res?" tanya Sella agak cemas melihat wajah pias Resta."Apa muka gue kelihatan baik? Astaga, Sel. Kayaknya gue mesti mandi kembang 7 rupa deh," sahut Resta dengan suara memelas sambil berjalan mendekati meja Sella."Lah ngapa? Lo kerasukan jin?""Bisa jadi. Jinnya ada di dalam ruangan itu.""Huss!"Resta mengerang. Baru sehari pindah divisi sudah bikin masalah lagi. Selain kejadian pengajuan budget, dia merasa Gyan memiliki dendam kesumat padanya."Gue kayaknya kena sial mulu akhir-akhir ini. Makanya perlu mandi kembang," ucapnya hampir menangis. "Gue pengin balik ke marketing lagi, Sel. Kerja sama bos Lo bisa bikin gue mati muda."Sebisa mungkin Sella menahan agar tawanya tidak menyembur. Dia harus tetap terlihat prihatin melihat kondisi Resta sekarang. Tangan Sella terangkat dan menepuk bahu Resta pelan."Sabar, ya." Hanya itu yang bisa Sella katakan untuk menguatkan temannya yang saat ini malah mewek di pelukannya.***Gyan melempar dokumen ke atas meja yang baru saja dia cek. Tangannya urung mengambil pena dan malah menggembungkan pipi, lantas membuang napas kasar dari mulut. Telunjuknya menunjuk dokumen yang terempas itu."Siapa yang bikin laporan itu?" tanya pria itu seraya menahan kesal. Demi Tuhan! Pekerjaannya sedang banyak sekarang, tapi dia harus menemukan laporan yang berantakan seperti itu."Resta, Pak. Uhm, ada yang salah? Saya akan coba perbaiki." Sella baru akan mengambil dokumen itu ketika tangan Gyan terangkat. Menghentikan aksinya."Nggak perlu. Suruh yang bikin yang perbaiki. Jangan izinkan dia pulang sebelum kerjaannya kelar," ucap Gyan dengan nada yang tak ingin dibantah.Sella mengangguk patuh dan langsung membawa kembali laporan itu keluar. Dalam hati dia berencana untuk memperbaiki laporan itu lantaran tidak mau melihat Resta menangis di hadapannya lagi. Namun belum sampai pintu, Gyan sudah memberinya ultimatum lagi."Ingat, Sella. Harus Resta yang memperbaiki laporan itu. Karyawan tiga tahun bikin laporan keuangan saja tidak becus."Sella menelan ludah sambil memaksakan tersenyum. "Baik, Pak."Gyan mengusap wajah lelah begitu Sella keluar. Dia melirik laptop yang masih menyala. Bersamaan dengan itu ponselnya yang tak jauh dari laptop terus bergetar. Menampilkan nama May di layarnya. Seharian ini, wanita yang pernah mengisi hatinya itu terus mengganggu dengan rentetan pesan dan panggilan seperti orang kurang kerjaan. May masih tak terima Gyan memutuskannya begitu saja.Tangan Gyan menggapai ponsel begitu deringnya mati. Dia mengecek beberapa pesan yang masuk, tapi melewatkan pesan dari May, yang ada di deretan paling atas. Senyumnya terukir kecil saat membaca pesan dari Dellota, ibunya. Menanyakan kapan dia pulang ke rumah. Setelah membalas singkat pesan dari ibunya itu, dia menonaktifkan benda itu. Lalu kembali fokus dengan pekerjaan.Lampu workstation padam saat Gyan keluar dari ruangan. Di tanggal muda seperti sekarang jarang ada staf yang mau lembur. Mereka lebih memilih melanjutkan pekerjaan keesokan harinya daripada menghabiskan waktu di dalam kubikel. Gyan melangkah, melewati meja sekretaris yang sudah ditinggalkan penghuninya beberapa jam lalu. Saat melewati workstation, tanpa sengaja tatapnya melihat cahaya terang dari salah satu kubikel. Langkahnya terhenti selama beberapa saat sebelum berbelok memasuki area workstation, untuk mengecek staf mana yang jam sepuluh masih ada di kantor.Matanya menyipit ketika melihat Resta tampak masih serius di depan layar komputer. Rambutnya tidak serapi siang tadi. Wanita itu mencepol rambut asal-asalan. Sebuah pena bahkan terselip di atas telinganya. Bibirnya sesekali berkerut dalam, menghasilkan ekspresi lucu.Dari posisinya Gyan mengawasi wanita itu. Tanpa sadar sudut bibirnya sedikit terangkat. Hanya sedikit."Kenapa kamu belum pulang?""Setan Kolor Ijo!" seru Resta terlonjak kaget. Kursinya sampai bergerak mundur saking kagetnya. Bahkan pena yang terselip di telinganya sampai terjatuh.Gyan mengangkat sebelah alis melihat reaksi stafnya itu. Apa yang wanita itu kerjakan sampai terkejut seperti itu? Gyan bisa melihat Resta tampak tergesa menekan tombol tetikus begitu menyadari kehadirannya."Pak Gyan, kenapa ada di sini?" tanya Resta gugup."Seharusnya saya yang tanya sama kamu. Kenapa pukul segini kamu masih ada di kantor? Revisian laporan kamu bukannya sudah selesai dari beberapa jam lalu?"Resta meringis kaku. Ujung matanya melirik layar komputer. "Sa-saya lagi belajar, Pak," sahutnya terdengar ragu."Tutup komputer kamu kalau nggak ada yang urgent dan cepat pulang.""Iya, Pak."Kembali Resta melirik layar komputer. Dengan wajah tak rela, akhirnya dia menutup papan grafik yang sedang dia pantau. Daripada Gyan mencurigainya. Wanita itu menggapai tas ransel dan memasukkan ponsel ke dalamnya, lalu keluar dari kubikel setelah mematikan lampu. Saat keluar dari area workstation untuk menuju lift, matanya menemukan Gyan tengah bersandar pada dinding koridor sambil memainkan ponsel. Pria itu menoleh ketika menyadari kemunculan Resta."Kok Bapak masih di sini?" tanya Resta bingung. Dia pikir makhluk itu sudah lenyap."Saya antar kamu pulang," ucap Gyan, lalu bergerak menuju arah lift tanpa menunggu respons Resta yang terlihat makin bingung.Dengan cepat, Resta menyusul Gyan yang sudah bersiap menunggu pintu lift terbuka. "Pak, itu nggak perlu. Saya bisa pulang sendiri," ujarnya begitu berhasil mengejar Gyan."Saya nggak tahu apa yang kamu kerjakan sampai pulang selarut ini," sahut Gyan seraya melirik pergelangan tangannya."Ini belum larut, Pak. Saya biasa pulang jam 11 malam malah."Pintu lift terbuka. Gyan masuk lebih dulu, Resta menyusulnya kemudian."Kamu pikir saya akan terkesan?" Gyan melirik sekilas wanita yang tampangnya terlihat makin berantakan di bawah sinar lampu lift.Kening Resta berkerut dalam. "Siapa yang lagi bikin bapak terkesan?" tanyanya tak habis pikir. Kalau pun ingin membuat seseorang terkesan, jelas bukan Gyan orang yang akan dia pilih.Gyan tidak menyahut lagi dan lebih menyibukkan diri dengan ponselnya kembali. Resta pun melakukan hal sama, tenggelam bersama rangkaian grafik yang masih dia pantau. Sampai pintu lift terbuka di lantai lobi, keduanya masih sibuk sendiri-sendiri. Hingga suara dering ponsel milik Gyan memecah keheningan itu. Gyan menerima panggilan selama beberapa saat seraya keluar dari lift."Kamu biasa pulang naik apa?" tanya Gyan tiba-tiba, menghentikan langkah Resta di belakangnya."Ojek online, Pak," sahut Resta spontan dengan wajah sedikit kaget.Gyan mengangguk. "Oke, hati-hati. Saya nggak bisa antar kamu pulang. Ada urusan mendadak," katanya lantas kembali bergerak dengan langkah cepat, meninggalkan Resta yang malah melongo di tempat."Dih! Siapa juga yang minta dianterin dia?"Gyan menghela napas panjang saat lagi-lagi harus ke kelab untuk menjemput orang mabuk. Orang dari kelab menelepon mengatakan May tengah mabuk parah. Sebenarnya Gyan sudah tidak mau direpotkan dengan urusan May lagi. Namun, demi hati nurani dan untuk menghargai waktu dua tahun yang pernah mereka lewati bersama, Gyan menyambangi kelab sialan itu lagi. May tidak sendiri ketika Gyan sampai. Seorang pria tengah menemani minum. Pria yang sama dengan waktu itu. Namun begitu melihat kemunculan Gyan, pria itu langsung pergi setelah sebelumnya mencium samar pelipis May. "Hai, Pacar," sapa May tersenyum. "Mau minum bareng? Udah lama kan kita nggak minum bareng. Pacarku kan direktur Blue Jagland yang sibuknya ngalahin presiden. Hei, Braco! Kamu tau Blue Jagland nggak?" tanya May pada bartender yang sibuk membuat pesanan. Bartender itu hanya tersenyum dan mengabaikan May yang kembali menuang minuman ke gelas. "Gy, sini dong. Kenapa cuma berdiri? Ayo, minum sama aku." May berusaha turun dari st
Hampir saja Resta muntah mendengar ucapan penuh percaya diri bosnya. Naksir pria itu bilang? Perlu pertapa tahunan buat naksir sama pria seperti Gyan. Wanita di dunia ini bakal terkecoh dengan paras malaikat dan mata birunya, tapi kalau sudah tahu aslinya Resta yakin seratus persen siapa pun ogah berdekatan dengan anak presdir itu. Resta berani taruhan. Menanggapi ucapan asal Gyan, Resta memilih memalingkan muka ke layar komputer lagi. Memutuskan tidak ingin berurusan dengan pria itu. Apalagi sekarang masih pagi. Tidak baik untuk kesehatan mental. Tapi... "Ikut ke ruangan saya," ucap Gyan yang sontak membuat Resta mendongak. "Saya, Pak?" "Ya iya. Memang siapa lagi?" delik Gyan dengan mata yang hampir keluar dari rongganya. Bibir Resta manyun seketika. Pagi indah yang dia harapkan buyar. Ini pasti gara-gara gosip pagi yang Joana sebar. Dengan gerakan ogah-ogahan Resta keluar dari rongga antara meja dan kursi. Mengikuti langkah Gyan yang sudah lebih dulu berjalan menuju ruangannya.
"Nggak bisa gue." "Lah napa?" "Kayaknya ini hari tersinting gue deh, Jo. Lo sih pagi-pagi pake bawa gosip soal si bos. Gue jadi kayak kena tulah sial." Resta berani taruhan Joana di ujung telepon sana pasti sedang mengernyitkan dahi. "Apa hubungannya, Botol Kecap?" pertanyaan ajaib Joana keluar. Dari sini Resta menghela napas panjang. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, tapi banyak pekerjaan yang Gyan limpahkan padanya. Mood pria arogan itu sepertinya sedang kacau gara-gara Pak Jamet yang ternyata ketahuan menyelundupkan dana perusahaan. Resta tidak habis pikir. Sebenarnya Gyan itu detektif atau pimpinan sih? Baru juga dua hari Resta bergabung di divisi ini dia sudah melihat tiga orang kena tumbal makian Gyan. "Gue lagi disandera si bos," sahut Resta asal, sambil membuka sebuah file di layar komputer. "Maksud lo?" "Gue lagi gantiin Sella. Tuh cewek lagi dirawat di RS, keracunan makanan. Dan sekarang gue yang jadi tumbal buat gantiin kerjaan dia. Astaga, kerjaannya seabr
Resta melongo di tempat. Sejujurnya dia tidak ingin menjadi orang udik begini. Akan tetapi keadaan yang memaksa. Belum lagi sepanjang turun dari lantai paling atas gedung semua mata seolah tertuju padanya. Ya, itu memang cuma perasaannya saja. Aslinya yang menjadi pusat perhatian tentu saja orang nomor satu di Blue Jagland. Daniel Jagland dan putranya. Resta hanya kecipratan saja karena mengekori mereka."Ikut mobil papi?" tanya Daniel ketika dia dan rombongannya sampai di teras gedung. Mercedes-Benz series terbaru pria tua itu sudah berdiri anggun dengan supir di sampingnya."Aku sama Resta menyusul saja nanti," sahut Gyan kalem.Daniel tidak memaksa. "Kalau gitu hati-hati bawa mobilnya," pungkasnya sebelum bergerak masuk ke dalam mobil.Sampai sang papi pergi, Gyan masih berdiri di teras. Tepat ketika mobil itu tak terlihat lagi, dia baru beringsut menuju mobilnya yang berada di parkir khusus direksi.Gyan berbalik ketika Resta masih mematung. "Kenapa masih diam?"Wanita itu tersent
Resta melotot ketika Gyan memberikan setumpuk berkas ke hadapannya. Seketika wajah cantiknya bersungut-sungut. Dengan pasrah dia menatap layar ponsel yang berisi pesan dari Reno-pacarnya. Entah sudah berapa kali dia menggagalkan rencana pertemuan mereka. Ini hari ketiga Resta menggantikan Sella dan berharap menjadi hari terakhir. Sumpah demi apa pun lebih nyaman jadi staf biasa daripada menjadi sekretaris bos yang gila kerja seperti Gyan. Dua hari ini dia pulang larut gara-gara mengikuti jam pulang Gyan yang tidak tahu waktu. Beruntung dua hari kemarin Joana juga lembur jadi pulangnya wanita itu bisa nebeng. 'Sekretaris baru boleh pulang kalau bosnya sudah pulang.' Itu yang Gyan ucapkan. Sialnya Gyan tidak pernah pulang kurang dari pukul sepuluh malam. Resta terpaksa menunggui pria itu. Seperti malam ini. Pekerjaannya sudah selesai sekitar tiga puluh menit lalu, tapi pintu ruang direktur keuangan masih tertutup rapat. Dia mencoba peruntungan menghubungi Gyan melalui interkom di me
Akhirnya Resta bisa bernapas lega ketika hari kelima Sella muncul. Sekretaris direktur keuangan itu terlihat segar bugar. Tidak seperti orang habis sakit. Bahkan sekarang rambutnya diombre cokelat terang di bagian ujungnya."Thanks ya, Res. Lo udah mau handle kerjaan gue," ujar Sella ketika Resta menanyakan keadaannya. "Gimana? Enak kan jadi sekretaris?"Resta tidak langsung menjawab. Ujung matanya malah melirik kanan kiri. Lalu ketika merasa aman dia bersuara sambil mencondongkan tubuh ke dekat Sella."Amit-amit. Kalau jadi sekretaris Pak Bambang mungkin iya enak. Atau jadi sekretaris Pak Daniel sekalian. Tapi kalau bos lo itu... cukup empat hari kemarin aja dan nggak mau-mau lagi."Sella cekikikan melihat muka ekspresif Resta yang totalitas banget unlike seorang Gyan Jagland. Sebenarnya yang Resta rasakan dia juga merasakan. Tapi karena sudah terbiasa sejak tujuh bulan terakhir, Sella fine-fine saja dan mulai bisa mengikuti ritme kerja anak presdir itu."Tapi nggak semua menyebalkan
Sella baru saja mengumumkan siapa saja staf yang harus masuk weekend ini. Ada pekerjaan audit dadakan yang akan Gyan lakukan. Dan pria itu butuh beberapa staf untuk membantu. Sialnya, nama Resta ikut tercatut sebagai staf yang harus ikut overtime itu. Buyar sudah rencana akhir miinggunya. Khayalan bakar dilamar pacar pun ikut bubar."Kenapa gue ikut lembur juga sih, Sel?" tanya wanita itu tak habis pikir. "Dibanding membantu gue cuma bakal jadi pelengkap penderitaan doang."Sella mengangkat bahu. "Pak Gyan yang susun. Gue kan cuma announce doang.""Seenggaknya lo harusnya bilang dong kalau gue nggak perlu diajak lembur. Gue nggak bisa audit keuangan.""Mungkin Pak Gyan bakal kasih tugas lain buat lo." Sella mengulum senyum. Di otaknya sudah ada jawaban kalau Resta tanya lagi."Tugas lain apaan?""Bikinin kopi staf yang lembur misalnya. Atau bisa juga gosokin toilet ruangan Pak Gyan." Di ujung kalimat Sella tertawa."Sialan!" umpat Resta cemberut. "Emangnya gue janitor!"Sebelum mendap
Senyum Resta merekah tatkala pekerjaan akhirnya selesai. Dia sempat melirik jam digital di ujung layar komputer sebelum mematikan benda itu. Pukul empat sore. Masih ada waktu untuk mandi dan siap-siap sebelum dia pergi ke tempat yang menjadi pertemuannya dengan Reno. Resta tidak ingin melewatkan pertemuan ini. Keduanya jarang sekali menghabiskan weekend bersama. Tuntutan pekerjaan Reno yang mengharuskan dia stand by di akhir pekan menjadi alasannya. Sekalinya libur, dapatnya malah hari kerja. Langka lelaki itu dapat jatah libur di weekend. Oleh sebab itu, Resta tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Resta sudah menjinjing tasnya. Bersiap keluar dari kubikel yang mengukungnya seharian di hari Sabtu ini. Namun belum sempat kakinya bergeser interkom di mejanya berdering. Sebenarnya Resta enggan mengangkat, tapi tangannya malah menekan tombol di sana dan suara malaikat maut pun terdengar. "Ke ruangan saya sekarang." Kalimat perintah yang sama sekali tak bisa Resta bantah. Wanita itu
Tidak cuma Daniel dan Delotta yang menghadiri grand opening hot spring dan restoran milik Resta tersebut. Ibu dan Kae juga turut serta. Kae yang sedang sibuk meraih gelar profesi menyempatkan hadir mendampingi ibunya. Lalu Joana dan juga orang tuanya. Dan yang mengejutkan Aaron pun datang. Dia tidak sendiri ada wanita cantik di sebelahnya yang selalu menggandeng tangannya. "Tunangan Kak Aaron?" Resta terlihat takjub saat Aaron mengenalkan wanita itu padanya. "Doakan ya semoga bisa segera dihalalin," sahut Aaron tersenyum sambil menatap wanita di sisinya. "Pasti dong, Kak." "Akhirnya setelah sekian lama kakak gue sold out juga," celetuk Joana. Yang langsung mendapat jitakan di kepalanya dari sang kakak. "Nggak sopan, emangnya kakak kamu ini barang dagangan," gerutu Aaron membuat Joana manyun sambil mengusap kepalanya. "Mana cowok kamu? Katanya ada yang baru lagi?" "Nggak ada! Aku lagi jomblo.""Jomblo beneran ntar lo," timpal Resta menyeringai lebar. "Lah emang gue jomblo!" Aa
"Good. Proposal diterima." Wajah Resta kontan berbinar setelah waswas menunggu respons suaminya perkara proposal yang dia buat lagi. Bibirnya melengkung sempurna. Saat tatapnya bertemu dengan mata biru Gyan, wanita itu langsung meloncat, dan menghambur ke pelukan sang suami. "Makasih, Gy! Makasih," serunya sambil mengecup pipi Gyan bolak-balik. Dia susah payah berdiskusi dan menyusun konsep baru bersama Joana setelah survei ke berbagai jenis cafe di ibukota bersama Gyan waktu itu. Bahkan untuk menyusun menu, Joana menyeret Marsel yang notabene memiliki beberapa chef andalan di rumahnya. Soal Marsel itu, entah tepatnya kapan Joana bisa dekat dengan pria itu. Hal ini belum sempat Resta tanyakan. Yang terpenting saat ini proposal bisnis barunya diterima Gyan. Pria bermata biru itu tersenyum seraya mengusap pinggang Resta yang berada di pangkuannya. "Lokasinya udah ada?" tanyanya. "Udah ada yang kami incar. Joana bilang akan nego sama pemiliknya.""Kamu butuh tanah yang cukup luas loh
Ketukan di pintu sama sekali tidak membuat Resta segera beranjak dari tempat tidur. Dia malah makin merapatkan selimut. Suara Gyan yang terus memanggil pun tidak dia hiraukan. Resta masih kesal. Semalam dia benar-benar memisahkan diri, dan Gyan pun tidak terlihat menyusulnya. Meski kesal luar biasa karena proposalnya ditolak, semalam dia membaca ulang proposal yang sudah dia buat itu. Resta akui Gyan benar. Konsepnya sederhana seperti kafe pada umumnya, tapi tetap saja dirinya merasa tersinggung. Entahlah, akhir-akhir ini Resta merasa gampang emosional. Tidak bisa kena senggol sedikit. Mood-nya benar-benar kacau. Resta tahu ada pergerakan pintu yang dibuka, tapi dia tetap diam. Hatinya cuma berharap tidak ada hal yang akan membuat paginya berantakan, terlebih karena disebabkan suaminya. Akan lebih baik Gyan langsung berangkat kerja saja tanpa mendekatinya seperti ini. Jujur, Resta masih malas sama lelaki itu. Gyan mendekat, dan berbaring di sisi Resta yang tidur membelakanginya. "Sa
Gyan menatap layar komputernya dengan mata berbinar. Kepalan tangannya sesekali diayunkan. Proyeknya berjalan sesuai apa yang dia inginkan. Pertimbangannya untuk berinvestasi tiga tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Baginya ini hal yang harus dia rayakan bersama sang istri. Bumi yang baru saja masuk tersenyum kecil melihat wajah sumringah bosnya. "Saya belum mendengar kabar tender baru yang berhasil. Kenapa Anda bisa sesenang ini, Pak?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah dokumen bersampul hitam ke meja besar bosnya. "Ini bukan soal tender." Javas menjauhkan sedikit badan dari layar komputer lalu menatap asisten pribadinya itu. "Tapi investasi Blue Jagland di proyek kota tua di Sulawesi. Selama tiga tahun berjalan, laporan itu makin membaik. Kenapa saya senang. Karena itu adalah investasi besar pertama saya yang disetujui oleh pemegang saham.""Selamat, Anda memang hebat, Pak." Gyan tersenyum lebar sambil memutar-mutar kursinya. Namun senyum lebarnya tidak berlangsung lama ke
Gyan membungkam segera mulut Resta yang menjerit. Lalu kekehan kecilnya mengudara. Sudah larut malam, tapi keduanya masih terjaga. Bahkan keringat membanjiri tubuh polos mereka yang hanya tertutup kain selimut. "Jangan berisik, Sayang. Kamu bisa membangunkan semua orang," bisik Gyan meletakkan telunjuk ke bibir. Resta mengangguk-angguk sehingga Gyan bisa melepaskan tangan dari mulutnya. "Habis gimana, ini terlalu enak," ujarnya nyengir. Ada kebanggaan tersendiri ketika Resta mengatakan itu. Secara tak langsung wanita itu memuji kemampuan dirinya menyenangkan istri di atas ranjang. "Masih mau lagi?" tanya Gyan tersenyum nakal. Pinggulnya bergerak pelan sengaja menggoda sang istri. "Mau.""Janji jangan teriak. Kalau di apartemen sendiri sih nggak masalah. Di sebelah ada Ola." "Nggak janji sih. Tapi aku bakal usahain nggak teriak kenceng-kenceng." Kebisingan sepasang suami istri muda di malam hari sudah terjadi beberapa malam sejak keduanya menginap di rumah Daniel. Gyan dan Resta
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest